NovelToon NovelToon

Teluk Narmada

Chapter 1

Aroma bunga sedap malam berkuasa, merasuki hidung merahku sebab flu berat sejak beberapa hari yang lalu. Aroma khas ini membuat penciumanku yang macet seketika berfungsi kembali. Ah, wanginya.

Jalan raya yang sepi mengiringi langkah. Suasana senyap membuat suara derap kakiku beralun merdu. Mirip suara sepatu kuda. Mungkin tidak. Aku tak jadi mau disamakan dengan kuda.

Embusan hidung terus bekerja sepanjang jalan. Sebab sepanjang jalan pula bunga-bunga sedap malam mengiringi. Dengan jingkrak kecil, aku bersenandung. Sembari melirik segala arah untuk memastikan tak ada seseorang yang melihat tingkah memalukanku.

"Eh?"

Langkahku terhenti seketika. Di ujung jalanan di mana sudah tak ada tumbuhan bunga sedap malam, sosok menyebalkan yang selalu kuhindari bahkan dihindari semua orang terlihat duduk jongkok membelakangiku.

Ia mengadah. Sepertinya melihat rembulan yang terlihat separuh itu. Kemeja lusuh yang tak dikancing itu melambai-lambai.

Sial, bagaimana aku akan lewat kalau ada makhluk biang kerok itu di sana. Tapi, tak ada jalan lain untuk pulang. Masa iya aku harus balik lagi ke rumah bibi. Mana udah jauh, lagi.

Sejenak, aku terdiam. Memandang lelaki nakal yang mengadah seperti patung. Rambut hitamnya yang gondrong dan kusut terlihat berbanding terbalik dengan tubuh kurusnya. Kami terpaut sekitar lima meter.

Menit-menit berlalu menjengkelkan. Aku sampai tak yakin bahwa lelaki itu benar-benar masih bangun. Mungkin saja ia sudah tidur dalam keadaan jongkok dan mendongak. Mungkin saja ia keturunan serigala yang tak bisa lepas dari bulan purnama. Ya, walau pun pemandangan malam ini bukanlah bulan purnama.

Aku menarik napas panjang. Baiklah, lebih baik aku jalan saja. Pura-pura tidak melihatnya. Jika ia membuat masalah, aku akan lari sambil berteriak. Maka, aku akan selamat sampai tujuan. Telapak tangan telah terkepal mantap. Dengan satu kantong kresek berisi buah delima pemberian bibi.

Beberapa langkah lagi untuk melewati tempat lelaki nakal itu duduk.

"Eh?" ucapku sedikit terkejut.

Padahal aku hampir melewatinya, namun makhluk menyebalkan ini justru menoleh.

"Aku mau itu!" pintanya sambil menunjuk kantong plastik berisi buah delima yang aku bawa.

Mata coklatnya tampak teduh. Bulu mata panjangnya namun tak lentik itu menutupi sedikit bola matanya ketika mendongak ke arahku. Namun tak lama, ia berdiri dan melebarkan telapak tangan kanannya ke arahku. Untuk pertama kalinya. Aku melihat sorot mata yang berbeda darinya.

Cuaca malam ini dingin sekali. Yang benar saja. Ia hanya mengenakan kemeja tipis dengan jersey di dalamnya tanpa terlihat menggigil sedikit pun.

"Kenapa kamu masih di luar. Ini sudah tengah malam," tuturku tanpa menanggapi permintaannya terlebih dahulu.

"Aku lapar. Aku mau makanan yang ada di dalam sana," ujarku seraya kembali menunjuk barang bawaanku.

Situasi macam apa ini. Aku tak menanggapinya dan ia kembali tidak menanggapiku. Ya, tapi sudah wajar sebab ia yang terlebih dahulu melontarkan perkataan kepadaku.

Melihat wajah datarnya membuat terdiam sejenak. Aku harus segera pulang. Ia juga sepertinya tidak berniat menggangguku.

"Baik, aku akan memberikanmu satu. Tapi, ini tidak akan membuatmu kenyang karena ini hanyalah buah delima. Bukan nasi bungkus," ujarku serasa mengeluarkan satu buah delima yang ukurannya lumayan besar. "Tapi, setelah ini kamu harus pulang!" tambahku saat lelaki itu hendak meraih buah delima dari tanganku.

"Aku mau pisau!" pintanya yang lagi-lagi tidak mengindahkan permintaanku.

"Nggak ada!" ketusku sambil berlalu.

Langkah cepatku terus menyusuri jalan raya kecil yang kosong tanpa kendaraan. Di sini memang tidak terlalu ramai. Bahkan sebelum jam 09.00 saja jalanan sudah kosong. Tempat tinggalku memang masih asri dan hanya sedikit penduduk yang tinggal di sini. Sebab sebagian besar wilayah ini diisi oleh perkebunan dan persawahan. Sedangkan rumah bibiku berasa di pusat pedesaan, di mana pemerintahan desa berada.

"Shinea!"

Aku menoleh. Tahu-tahu, lelaki nakal itu sudah ada di belakangku. Sedikit terkejut membuatku reflek mendorongnya. Reaksi yang membuatku semakin terkejut sebab khawatir jika lelaki itu akan membalas perbuatanku. Ancang-ancang lari sudah kusiapkan. Namun, ia tetap berekspresi datar.

"Apa lagi? Kurang delimanya?"

"Apakah di rumahmu ada pisau?" tanyanya.

Lontaran pertanyaan yang membuatku mengernyitkan dahi.

"Ada. Jangan bilang mau minjam pisau di rumahku. Jangan! Kamu pulang aja. Pakai pisau yang ada di rumahmu! Kayak nggak punya pisau aja." ucapku dengan perasaan sebal, lantas lanjut berjalan dengan sedikit berlari.

Baiklah, lelaki satu ini benar-benar membuatku jengkel. Bagaimana tidak. Ia benar-benar mengikutiku. Tanpa aba-aba, aku langsung berlari kencang. Se-kencang yang aku bisa. Berharap makhluk menjengkelkan ini tidak bisa mengejar.

"PERGI!" bentakku.

Lihatlah, di benar-benar ikut berlari. Bahkan tak perlu menggunakan lari terkencang. Ia sudah mampu menyejajariku. Lebih menjengkelkan lagi. Ia mengacungkan jarinya dan memperagakannya sebagai pisau. Isyarat bahwa ia butuh pisau untuk memotong buah delima.

"Ayolah, Yoru! Aku mau pulang. Aku capek. Tidakkah kamu lihat hidungku yang merah. Flu-ku bisa bertambah parah jika aku terlalu lama di luar. Aku mohon, mengertilah!"

Yoru menelan ludah. Terlihat mengarahkan matanya pada hidungku. Seketika membuatku menutupnya dengan telapak tangan.

Sekali lagi, aku berlari kencang. Kencang sekali. Menurut kemampuanku. Namun, tanpa sengaja pegangan kantong plastik itu justru terlepas yang membuat isinya berhamburan ke luar menerjang jalanan. Beberapa buah delima tersebut retak.

"TIDAK!" jeritku kencang.

Yoru langsung memungut salah satu buah delima yang retak dan dengan mudah ia buka untuk mendapatkan isinya.

Napas beratku terdengar. Habis sudah.

"Hei, ngapain kamu!" ucap seseorang yang tinggal tidak jauh dari tempat kami berada.

Seorang pria paruh baya datang. Ia segera menghampiriku yang dilanjutkan dengan melemparkan pandangan tajam pada Yoru.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya pria itu.

Aku mengangguk cepat di sela napasku yang ngos-ngosan.

Tanpa berlama-lama, pria itu langsung berjalan ke tempat Yoru berada. Lelaki itu sedang menikmati buah delima tanpa peduli terhadap pria yang seperti siap menerkam itu.

"Kamu apakan gadis itu? Hanya buah seperti ini saja kamu tega merampasnya."

Pria itu merebut buah delima dari tangan Yoru dan menamparnya keras sekali. Seketika mataku membulat kaget. Keras sekali suaranya. Sampai seolah-olah aku turut merasakannya.

Tak berhenti sampai di sana. Kini pria itu menendang perut Yoru. Dilanjutkan dengan menjambaknya. Pada akhirnya, aku melihat Yoru berekspresi. Setelah dari tadi hanya datar seperti robot. Ya, kini yang terlihat adalah ekspresi kesakitan.

Alangkah terkejutnya aku melihat banyaknya helai rambut Yoru yang berpindah ke genggaman pria itu. Tanpa sadar, aku menitikkan air mata karena pemandangan menyakitkan itu.

"CUKUP!" ucapku sambil berlari ke arah mereka berdua sebelum terjadi hal yang lebih tragis lagi. "Cukup, Pak. Yoru tidak berbuat jahat kepada saya. Ia hanya lapar dan meminta satu buah delima."

Chapter 2

"Cine, kenapa buah delimanya retak semua?" Suara Ibu terdengar dari balik pintu kamarku yang tertutup.

Posisi nyamanku dengan duduk bersandar di tembok, juga kaki kiri di atas lutut kanan. Nikmat mana lagi yang mampu melebihi ini. Ditambah kasur empuk yang baru saja dibelikan bapak beberapa minggu yang lalu karena kasur lamaku telah rusak.

Aku mengeluh pelan. Lantas ke luar dari posisi nikmat ini untuk pergi ke dapur demi menjelaskan kepada ibu perihal insiden semalam.

"Semalam aku ketemu Yoru di bunga sedap malam." Aku menjawab.

"Oh, jadi ini ulah anak nakal itu?"

Entah mengapa, aku menggeleng cepat seolah membantah jika ibu sepenuhnya menyalahkan Yoru. Ya, walaupun tentunya itu tidak terlepas dari perbuatan Yoru. Tapi, mengingat nasibnya semalam yang membuat wajah datarnya meringis kesakitan itu membuatku tidak tega.

Tujuh buah delima itu dicuci oleh ibu. Jumlah awalnya yang diberikan oleh bibi adalah sembilan. Namun, dua di antaranya telah aku berikan kepada Yoru. Lebih tepatnya, satunya ia ambil karena terjatuh dan retak.

"Tapi dia nggak mukul-mukul kamu, 'kan?" tanya ibu.

"Nggak, Bu. Dia cuma minta delima. Katanya dia laper."

"Laper kok minta delima. Mana kenyang. Pantes aja tubuhnya begitu kurus."

Napasku berembus perlahan. Suasana hatiku kembali tak karuan. Aku tahu, Yoru memang sangat terkenal oleh masyarakat sekitar karena kenakalannya. Aku bertemu dengannya sejak SD. Sebab pada saat itu ia pertama kali pindah ke desa tempatku berada. Sekali pun aku belum pernah melihat rumahnya, atau pun siapa keluarganya.

Sewaktu SD, Yoru seringkali membuatku menangis. Tepatnya hampir setiap orang. Tak peduli jika ia perempuan, laki-laki, atau bahkan yang tubuhnya jauh lebih besar dibanding dirinya. Mencari masalah dan memancing keributan. Itulah kebiasaan Yoru sejak dulu.

Namun, sejak masuk SMP. Aku tidak terlalu sering lagi bertemu dengannya. Ya, lebih tepatnya tidak se-sering waktu SD ketika kami satu sekolah. Sejak itu pula ia tak pernah membuatku menangis lagi. Lebih tepatnya tak punya kesempatan untuk menggangguku. Sebab sekolah kami berbeda, aku akan menghindar jika tak sengaja bertemu, dan lain-lain. Padahal, semalam seharusnya menjadi kesempatannya untuk menggangguku. Ya, sebenarnya ia memang tetap menggangguku semalam. Akan tetapi, tidak sampai membuatku menangis. Bahkan, Yoru terlihat sedikit berbeda. Entah karena kami sekolah di tempat yang berbeda atau karena sebab lain.

"Terus, kenapa delimanya bisa retak?" tanya ibu lagi yang masih penasaran.

"Setelah aku kasih delima, Yoru mau minjam pisau. Tapi aku nggak bawa. Dia malah ngikutin. Katanya mau minjem di rumah. Ya, aku nggak mau dong. Masa mau minjem pisau doang harus ikut ke rumah. Jadi, aku lari deh sampai delima-delima ini jatuh," jelasku.

Ibu mengangguk tanda mengerti. Lantas kembali fokus dengan tujuh buah delima itu yang kini sedang ia masukkan ke kulkas. Percakapan kami pun selesai. Tentu saja karena rasa penasarannya telah sirna. Hanya menyisakan senyap. Apa-apaan itu.

❀❀❀

Cuaca terik tampak menyilaukan. Sebab terangnya mentari, juga terangnya luka seseorang yang melintas di depanku. Yoru.

Minimarket langganan ibu tempatku berpijak saat ini. Di mana aku sedang pusing-pusingnya mencari sesuatu yang dititip ibu. Seketika ada yang membuat teralihkan sebab kemunculan lelaki nakal itu. Aku ingat betul bahwa semalam ia tak mendapatkan luka di bagian itu. Mata kirinya bengkak berwarna keunguan. Juga dagunya memiliki warna yang sama dengan bengkak pada mata kirinya. Tak cukup sampai di sana. Ia juga berjalan pincang. Sesak mengendap sesaat.

Artinya, apakah Yoru mendapatkan pukulan lain tanpa sepengetahuanku? Siapa yang melakukannya? Apakah pria paruh baya itu? Bukankah aku sudah menjelaskan bahwa Yoru tak menyakitiku? Kenapa ia tetap dipukul?

Lemparan pandang Yoru mengarah ke tempatku berada. Matanya yang bengkak sebelah tak membuatnya malu untuk berkeliaran ke sana ke mari. Ya, ampun. Aku tahu dia nakal. Tapi, pantaskah ia mendapatkannya?

Dulu, Yoru memang kerap kali dipukul oleh siapa pun. Tapi, baru kali ini aku melihatnya separah itu. Lebih mirip penganiayaan. Jika saja ia temanku. Pasti sudah aku obati lukanya dan mendengar segala keluhannya.

Seseorang menghampiriku ketika aku sudah ke luar dari toko.

"Cine, kamu liburan ke mana?"

"Rumah bibi," jawabku.

Gadis bernama Niji itu manyun, "Itu sih bukan liburan. Setiap hari juga kamu selalu ke sana. Jalan kaki pula. Padahal, jaraknya 'kan lumayan jauh."

Ucapan Niji tidak kutanggapi lagi karena tiba-tiba lelaki yang semalam berurusan denganku itu menghadang langkah kami.

Raut wajah Niji langsung berubah menjadi kesal. Napasnya terdengar berat. Seperti siap memaki Yoru habis-habisan.

"Minggir!" Niji berseru galak.

Pandangan Yoru mengarah pada barang bawaanku yang baru saja aku beli di minimarket. Secepat kilat, ia langsung menyambar kantong plastik itu dan dengan mudah merebutnya. Kantong plastik itu langsung dirobeknya, membiarkan isinya berhamburan ke luar.

"Jangan!" jeritku sambil berusaha menarik kembali kantong plastik yang terlambat aku selamatkan itu.

"Kurang ajar!" seru Niji sambil mendorong Yoru dengan keras.

Walaupun kurus, namun pertahanan lelaki nakal itu kuat juga. Ia tidak terjatuh dengan dorongan sekuat tenaga oleh Niji itu.

Tak sampai di sana, aku yang hendak memungut barang-barang yang baru kubeli itu langsung diinjak olehnya. Bahkan tanganku ikut terinjak.

Aku meringis kesakitan. Meski demikian, aku masih berpikir bahwa Yoru tidak berniat untuk menginjak tanganku. Ia hanya berniat mengotori barang bawaanku.

"Cine!" seru Niji yang sekali lagi mendorong Yoru. Ditambah dengan tendangan kuat hingga makhluk menyebalkan itu terjatuh. "Udah babak belur kayak gitu, masih aja mau mengganggu. Harus kamu sampai buta dan cacat aja sekalian!"

Aku menepuk keras betis Niji karena perkataannya yang sangat tidak sopan. Aku masih dalam posisi duduk hendak berdiri.

"Nggak sopan, Niji. Nggak boleh ngomong gitu!" tegasku.

"Manusia kayak gini sih nggak perlu sopan santun, Cine. Sopan santun pun males dekat-dekat sama dia." Niji bertutur pedas.

Lelaki nakal itu terlihat nyengir lebar. Wajah babak belurnya tampak lebih menyakitkan dari jarak dekat. Aku yakin, itu pasti sangat perih. Entah bagaimana, ia masih bisa selincah itu dan tertawa seperti itu. Atau, mungkin saja itu caranya menutupi rasa sakit. Lagi-lagi aku bertanya-tanya, siapa yang melakukan itu padanya?

"Shinea jelek!" ucap Yoru mengejekku.

"Terus, kamu kira kamu ganteng? Kamu itu lebih mirip aspal daripada manusia!" ketus Niji yang lebih kepanasan.

Sekali lagi aku menepuknya dengan keras. Seraya berbisik, "Aku nggak suka denger kamu ngomong kayak gitu. Nggak sopan!" tegasku.

Gangguan terakhir dari Yoru. Pisau lipat. Seketika membuatku dan Niji mundur beberapa langkah. Kami berada di area yang sepi. Di sekitar perkebunan. Apa yang hendak Yoru lakukan? Degup jantungku dan Niji sama berisiknya. Seolah begitu. Saking tegangnya kami.

"Sekarang aku punya pisau!" ujar Yoru.

Aku teringat semalam aku ia ingin meminjam pisau.

Tanpa disangka, ia langsung berjongkok dan melubangi bahan-bahan kue yang telah aku beli dengan pisau itu. Semuanya. Tak terlewat satu pun. Ingin rasanya aku berteriak, namun urung sebab takut dengan pisau barunya yang terlihat tajam mengkilap itu.

Yoru langsung berlalu setelah itu. Meninggalkanku dan Niji yang langsung lemas. Aku menangis saat itu juga.

Chapter 3

Namaku, Shinea. Orang-orang yang akrab denganku biasanya memanggilku, Cine. Usiaku 14 tahun. Kelas 8. Aku tinggal di salah satu pulau di Indonesia. Termasuk pulau yang kecil, yakni pulau Lombok. Tempat yang paling banyak dikenal dengan sebutan pulau seribu masjid. Begitulah kenyataannya. Belum sampai 5 kilometer aku melalui perjalanan untuk pergi ke pantai. Entah sudah berapa masjid yang terlewat.

Kurasakan sesuatu yang berat menindih pundakku. Ini dia. Si tukang tidur. Ke mana pun dan dalam keadaan apa pun. Ia selalu tidur.

"Baiklah, Queen. Kita bahkan belum seperempat jalan tapi kamu sudah menjelajahi alam mimpi seperti itu!" seruku sambil mendorong kepalanya menjauh karena merasa geli pada pundakku.

Si tukang tidur itu membuka matanya yang sayu. Membunyikan bibir sembari menggeliat. Lalu menguap lepar di balik telapak tangannya.

"Sudah sampai? Mana pantainya?"

Aku menepuk dahi.

Tiba-tiba, bis yang kami tumpangi menikung tajam. Seketika membuatku yang duduk paling tepi terhimpit teman-temanku yang kehilangan keseimbangan. Itu karena kami duduk di kursi paling belakang. Di mana bisa muat hingga lima orang.

Seorang lelaki yang duduk di depanku melongokkan kepalanya. Hanya memperlihatkan separuh wajahnya.

"Apa!?" ketusku kepada lelaki itu galak.

"Ada yang punya kantong kresek?" pintanya.

"Nah, ini lagi satu tukang mabuk kendaraan. Nggak di mobil, bus, bahkan motor pun tetap aja suka mabuk," ucapku tegas.

Kini wajah lelaki itu terlihat semuanya. Lalu tiba-tiba memperagakan seperti orang akan muntah. Seketika membuatku berdiri dan hendak menjauh, namun malah membuat kepalaku terhantuk jendela.

"KAI!"

Lelaki bernama Kai itu tertawa puas. Dilanjutkan dengan mengayunkan tangannya ke arahku seperti seorang anak yang hendak meminta uang kepada ibunya.

"Apa?"

"Kantongnya, Cine!"

"Emangnya aku pernah bilang kalau mau ngasih?" ujarku sambil melirik ke arah lain.

"Ya, udah. Berarti aku akan muntah ke arah kamu."

"Jorok! Awas aja kalau berani-berani. Jangan harap bisa lepas dari pukulan superku!"

Sekali lagi, bus kembali bergoyang. Kali ini lebih kencang. Lagi-lagi aku terhantuk. Suaranya keras pula. Itu membuat Kai berekspresi seperti orang kesakitan.

"Uh, itu pasti sangat sakit. Siapa kamu?" celetuk Kai mencoba mengejekku.

"Sok asik!" ketusku.

"Oh, kirain udah amnesia karena terhantuk 2 kali."

Terdengar suara tawa dari 3 orang lainnya di dekat Queen. Sebab di tukang tidur itu sendiri sudah kembali tertidur. Namanya memang sudah cocok. Queen. Ratu tidur. Bukan lagi putri tidur.

Suara tawa yang membuatku menoleh. Begitu juga dengan Kai. Tentu saja aku tahu apa yang mereka tertawakan. Aku pun tahu maksud di balik tawa tersebut.

"Udahlah. Kalian mah cocok banget. Ribut terus setiap hari. Berantem terus setiap hari," cetus Niji yang duduk paling ujung sana.

"Apanya yang cocok kalau berantem terus?" Aku bertanya tidak terima.

"Ya, namanya juga jodoh. Sekarang mungkin sering berantem. Ke depannya, malah saling suka," sahut seseorang yang duduk di sebelah Niji.

Sejenak. Aku melemparkan pandangan ke arah Kai. Makhluk paling usil itu cengegesan. Seperti menunggu aku yang terlebih dahulu menanggapi.

"Oh, ya. Nggak dulu deh kalau sama dia," ujarku sembari melemparkan pandangan ke arah Niji dan dua orang di dekatnya.

"Iya, Cine mah cocoknya sama yang barbar. Kayak itu, siapa namanya yang terkenal kriminal di desanya Cine dan Niji itu?" Kai bertanya dengan melirik sekitar sembarang, tanda sedang berpikir.

Apa-apaan lagi ini. Tidak ada angin tidak ada hujan malah menyebut seseorang yang jelas-jelas belum pernah ditemuinya. Berita tentang kenakalan lelaki itu memang sudah menyebar ke banyak tempat. Ya, tentu saja orang yang dimaksud Kai adalah Yoru.

❀❀❀

Kami telah sampai di lokasi study tour. Lokasinya adalah pantai Narmada. Sebuah pantai indah dan unik. Indahnya adalah, karena pantai ini sangat bersih dan pasirnya berwarna putih bersih. Uniknya, pantai tersebut terlihat warna warni karena kerang-kerang di pantai itu melimpah dan cantik berwarna-warni. Apalagi ketika matahari sedang terik-teriknya. Berkilau seperti istana berlian. Oleh sebab itu, tak sedikit juga orang yang menyebut pantai ini sebagai pantai pelangi.

Ember berukuran sedang yang aku bawa sudah siap diisi oleh manik-manik alam ini. Ibu sangat suka berkreasi. Ia sangat kreatif. Kerang-kerang ini akan aku berikan kepadanya. Nantinya, ia sulap menjadi bermacam-macam aksesoris cantik.

Kegiatan study tour sudah terlaksana. Kami diberikan waktu untuk menikmati pantai atau berkegiatan secara bebas sebelum pulang. Sehingga, aku memilih untuk berjalan sendiri untuk mengumpulkan kerang-kerang cantik ini. Terus melangkah jauh. Hingga rombongan terlihat sangat kecil dari pandangan. Aku berhenti saat menyadari bahwa mereka sudah terlihat seperti ukuran semut.

"Kerang-kerang ini membuatku terhipnotis." Aku berkata pada diriku.

Tanpa sadar, ada sesosok yang terlihat. Hanya berjarak tak lebih dari 3 meter. Bukan lagi orang-orang dari kejauhan yang terlihat seperti semut itu. Kerang-kerang ini benar-benar menghipnotis. Sampai-sampai tidak menyadari keberadaan orang ini. Lebih mengejutkannya lagi, Yoru!

Napasku berembus berat. Pandangan kami tertaut. Selintas, aku melihat ekspresi terkejutnya. Walaupun ia langsung menampakkan ekspresi datar. Seperti biasanya.

Haruskah aku berlari? Tapi, sejujurnya aku ingin tetap di sini. Mungkin untuk mendapatkan jawaban. Tentang apa yang ia lakukan di sini. Atau tentang dirinya. Entah dari kapan, aku ingin tahu lebih banyak hal tentang si lelaki nakal ini. Mata dan beberapa bagian wajahnya yang babak belur masih terlihat jelas. Wajar saja. Itu baru sekitar 3 hari lalu.

"Menjauh dari semua manusia. Manusia tak layak menjadi temanku menjalani hidup." Yoru bertutur dengan pandangannya yang mengarah ke laut.

"Apa yang kamu lakukan di sini sendirian, Yoru?" Aku bertanya.

"Sebab setiap kali bertemu manusia. Tak akan lepas dari berbagai jenis luka," urainya tanpa menanggapi perkataanku.

Angin kencang menggoyang-goyangkan rambut gondrongnya yang kusut. Kemeja lusuh itu lagi. Jika saja aku yang memakai itu dan dilihat ibu. Sudah pasti akan dijadikan kain lap. Tapi Yoru, entah baju apa pun yang menjadi inner-nya. Selalu seja kemeja lusuh berwarna krem polos itu yang tak pernah lepas dari tubuhnya. Entahlah. Aku tak tahu pasti sebab aku tidak bertemu dengannya setiap hari. Tapi aku selalu melihatnya mengenakan itu setiap kali bertemu dengannya.

"Hanya dengan melihatku bersama manusia. Lantas terkaman bak hewan buas itu terlaksana. Buas dan menyakitkan. Kukira, mataku akan buta karenanya. Bukankah lebih baik memang seperti itu? Hidup tanpa luka tak ada sisi menariknya. Dengan darah mengucur. Itu membuatku menyadari, bahwa anggota tubuhku masih berfungsi, yaitu rasa sakit." Yoru bertutur lagi.

Telapak tangan yang kuat seolah meremas sanubari. Sakit sekali rasanya mendengar penuturan Yoru. Entah apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, ia seolah memindahkan endapan perasaannya kepadaku. Sesak sekali. Seperti ada gumpalan derita yang ia rengkuh selama ini. Apa pun itu. Aku yakin bahwa sebenarnya ia sangat menderita.

"Yoru, jadilah temanku!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!