Shortcoming

Shortcoming

Kebencian di Matanya

Tempat itu terdapat hanya mereka berdua. Ruangan gelap nan kosong tak berujung menciptakan suasana suram, sedikit cahaya mengarah pada lelaki di sana. Dia terlihat menyedihkan. Layla tidak pernah tahu terdapat kaca bening di antara mereka sampai dia tak sengaja menabraknya.

“Aku melihatmu lagi.” Lelaki bernama Atoryn Taevirian berbicara, tatapan mematikan mengarah pada mata Layla dan menakutinya. Atoryn bukan hanya putus asa tapi marah. Dia mendekat dan memukul kaca yang tidak pernah bisa dipecahkan itu, menyebabkan Layla mengambil langkah mundur.

“Siapa kau?” Atoryn bertanya. Layla tidak menjawab karena tidak berani. Dia sadar betapa Atoryn membencinya tanpa tahu apa alasannya. “Aku marah setiap kali melihatmu.”

Atoryn menyentuh kaca, berharap untuk menghilangkan pembatas itu, tetapi tidak bisa. Ekpresinya dipenuhi penderitaan dan Layla mengasihaninya. Layla mengambil langkah mendekat dan mengulurkan tangan, tapi lagi-lagi Atoryn men-gejutkannya dengan memukul kaca. Dia lakukan lebih brutal, tanpa henti, meneror Layla dan menyebabkannya menjerit ketakutan.

“Kyaaaah!” Layla membuka mata, spontan melihat sekitar untuk memeriksa keadaan. Dia berkeringat dingin dan nafasnya mengalir kasar. Itu merupakan sekian kalinya Layla memimpikan hal yang sama dan dibangunkan oleh ketakutan. Dia memeluk tubuhnya, merasakan kulit yang dingin.

Wajah pemuda yang Layla lihat begitu sempurna, raja muda yang mempesona menggenakan setelan khas kerajaan, tapi ada kebencian di matanya.

Layla Ellison, perempuan berusia dua puluh lima tahun itu menghela nafas berkali-kali untuk menenangkan diri, menyakinkan diri bahwa semua yang dia lihat tidak lebih dari bunga tidur. Tidak peduli seberapa nyata, tempat itu tetap adalah mimpi. “Dia membuat aku merinding setiap kali melihatnya.”

Layla mengelus lengan sebelum beranjak meninggalkan kasur. Hari itu, Layla memiliki kelas pagi, buru-buru dia bersiap-siap dan meninggalkan rumah. Tujuannya adalah universitas, terletak lima belas menit dari rumah menggunakan sepeda.

Hal pertama yang terjadi setelah Layla memarkir sepeda adalah muncul seorang perempuan bersurai pendek, merangkulnya ramah dan menyapa, ”hi, Layla!”

Karen Carson nama perempuan itu dan lelaki di sampingnya, Dustin Watkins, berkata, “beritahu aku kau tidur nyenyak malam ini.”

Mereka berteman baik semenjak sekolah menengah. Layla tidak menjawab, tapi memutar tubuh membiarkan mereka menilai sendiri penampilannya, tepatnya bawah mata yang menghitam dan ekpresi wajah yang kacau. “Ah …” Dustin mengganguk kecil, mengeluarkan apa yang ada di benaknya, “biar aku tebak. Kau tidak tidur nyenyak karena memimpikan hal yang sama. Lagi.”

Dustin selalu mencemaskan Layla, begitu pula dengan Karen tapi mereka tidak bisa membantu selain menawarkan keberadaan. Layla seringkali mengeluh akan segera habis kewarasan karena semua hal yang dia lihat di dalam mimpi dan dia tidak bisa mengabaikannya untuk suatu alasan.

“Aku melihat lelaki itu lagi,” ungkap Layla, mengingat jelas wajah dan amarah di sorot matanya. “Dia terlihat sangat marah dan terluka. Entah untuk alasan apa, dia sangat membenciku, melihat aku seolah-olah ingin membunuhku.”

“Mimpimu selalu membentuk cerita yang seru,” komentar Dustin. Karen menyikut perutnya, meminta dia untuk tidak mengatakan sesuatu yang akan membuat Layla merasa buruk. Dustin tidak peka, malah membuat kata-katanya lebih jelas, “apa? Itu memang benar. Mimpi Layla selalu menyambung seperti novel dan aku senang untuk tahu apa kelanjutannya.”

Layla menghela nafas, mengalihkan pembicaraan, “itu hanya mimpi. Ayo masuk.”

Layla berjalan lebih dulu dan diikuti teman-temannya, tapi Dustin tidak puas dibiarkan tanpa jawaban. Dia membujuk, “ayolah! Beritahu aku lanjutan dari yang kemarin.”

“Dustin!”

Layla tidak berani mengatakannya. Dia selalu menceritakan apa yang dia lihat di dalam mimpi setiap hari untuk meringankan sakit kepala, tapi mimpinya menjadi semakin aneh dan menakutkan setiap harinya.

Semua dimulai dari sebuah istana megah, terletak di lokasi yang sama dengan sebuah akademi. Tempat itu ditujukan untuk bangsawan yang artinya hanya orang kaya dan berkuasa yang bisa menempatkan anak mereka di sana. Apa yang istimewa dari tempat itu adalah sihir dan raja muda yang manis nan rupawan. Semua orang mempelajari sihir di akademi sementara sang raja sibuk menyelinap keluar menemui seseorang tanpa sepengetahuan.

Semuanya berjalan lancar, hebat dan indah sampai suatu hari, raja bernama Atoryn itu menggila. Bukan tanpa asalan, dia menjerit, “kembalikan dia padaku!” Atoryn tak ragu mengeluarkan sihir, menerbangkan semua barang di sekitar untuk menghantam semua orang di depannya.

Beruntung mereka bisa menghindari pakaian besi pajangan itu. Ayahnya bernama Samsons Kanx, raja sebelumnya, berusaha menenangkan, “tenangkan dirimu, Atoryn Taevirian. Kau adalah raja!”

Bukan berhasil membujuk, kata-kata tegasnya malah menyulut api amarah dan kebencian di hati Atoryn. “Jika benar begitu, maka seharusnya kau dengarkan aku!” Atoryn mencabut pedang yang menyangkut di lantai dan menyerang ayahnya. Dia berhenti ketika beberapa prajurit yang siap bertarung menghadang jalan. Mereka terpaksa mengeluarkan pedang masing-masing ketika Atoryn menolak untuk berhenti.

Pedang saling beradu membuat Atoryn menggeram penuh amarah. Dia melototi ayahnya di belakang para prajurit, bertanya, “aku adalah raja? Tidakkah seharusnya mereka adalah prajuritku? Mereka baru saja mencabut pedang melawanku!”

Mereka tidak bermaksud begitu, tapi bagaimana bisa mereka hanya diam dan membiarkan Atoryn menyerang raja sebelumnya? Atoryn baru dua tahun dinobatkan menjadi raja, tapi itu bukan berarti dia memiliki kekuasaan yang lebih sedikit dibanding ayahnya.

Atoryn mengalirkan tenaga ke pedang dan menebas udara, menyebabkan para prajurit melayang jauh hingga akhirnya terjatuh. “Aku tidak pernah meminta kau untuk menyakitinya!” Dia menjerit keras, suaranya menggema di ruangan besar nan tinggi itu hingga tercipta hawa tidak menyenangkan.

“Tidakkah ini adalah pengkhiataan? Seharusnya aku mengantungmu atas apa yang kau lakukan tapi kau bahkan tidak bisa mati!” Dia melempar pedang. Samsons mengelak dan menyebabkan senjata itu menancap di dinding.

Samsons kehabisan akal, tidak lagi tahu bagaimana cara menenangkan Atoryn yang masih dilanda amarah. “Kau tidak tahu apa pun, Atoryn.” Kata-kata Samsons selayaknya menuang bensin pada kobaran api, membuat Atoryn menjerit meluapkan amarah yang hendak memecah rongga dadanya.

“Apa yang aku tidak tahu?” Atoryn tahu segalanya, terutama tentang apa yang membuatnya sangat marah. “Kau membunuhnya, Ayah! Kau membunuhnya karena kau berpikir dia tidak pantas untukku.” Atoryn berpindah ke depan Samons dalam sekejap mata dan mencekik lehernya, mengangkat tubuhnya tinggi sampai kakinya berjarak dari lantai.

“Kau ingin katakan kau tidak melakukannya?” Dia menatap lantang, mengabaikan ayahnya yang mulai kesulitan bernafas. “Siapa yang kau beri perintah? Tidak peduli siapa yang membunuhnya, pada akhirnya, itu adalah kau pelakunya.”

Atoryn melempar Samsons, tapi lelaki awet muda dengan kumis tipis itu cukup keras kepala untuk mau terjatuh. Dia memutari udara dan mendarat dengan sempurna. Samsons berdiri, melihat Atoryn mengepalkan kedua tangan. Atoryn siap kapan pun menikam Samsons andai pedang bisa membunuhnya. Dia membuat Samsons hampir tidak bisa berkata-kata. Menggunakan ekpresi tenang, Samsons mengkritik, “itu adalah apa yang aku katakan. Kau tidak tahu apa pun, Anakku.”

Nada bicaranya yang terkesan merendahkan menguncang hebat emosi Atoryn, menyebabkan tangannya gemetaran. Seorang lelaki yang kemarin dipenuhi oleh cinta berubah menjadi iblis yang hanya mengenal kebencian. Dia bergeming, tidak peduli kuku-kuku jarinya telah menyakiti telapak tangan hingga mengeluarkan darah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!