Tempat itu terdapat hanya mereka berdua. Ruangan gelap nan kosong tak berujung menciptakan suasana suram, sedikit cahaya mengarah pada lelaki di sana. Dia terlihat menyedihkan. Layla tidak pernah tahu terdapat kaca bening di antara mereka sampai dia tak sengaja menabraknya.
“Aku melihatmu lagi.” Lelaki bernama Atoryn Taevirian berbicara, tatapan mematikan mengarah pada mata Layla dan menakutinya. Atoryn bukan hanya putus asa tapi marah. Dia mendekat dan memukul kaca yang tidak pernah bisa dipecahkan itu, menyebabkan Layla mengambil langkah mundur.
“Siapa kau?” Atoryn bertanya. Layla tidak menjawab karena tidak berani. Dia sadar betapa Atoryn membencinya tanpa tahu apa alasannya. “Aku marah setiap kali melihatmu.”
Atoryn menyentuh kaca, berharap untuk menghilangkan pembatas itu, tetapi tidak bisa. Ekpresinya dipenuhi penderitaan dan Layla mengasihaninya. Layla mengambil langkah mendekat dan mengulurkan tangan, tapi lagi-lagi Atoryn men-gejutkannya dengan memukul kaca. Dia lakukan lebih brutal, tanpa henti, meneror Layla dan menyebabkannya menjerit ketakutan.
“Kyaaaah!” Layla membuka mata, spontan melihat sekitar untuk memeriksa keadaan. Dia berkeringat dingin dan nafasnya mengalir kasar. Itu merupakan sekian kalinya Layla memimpikan hal yang sama dan dibangunkan oleh ketakutan. Dia memeluk tubuhnya, merasakan kulit yang dingin.
Wajah pemuda yang Layla lihat begitu sempurna, raja muda yang mempesona menggenakan setelan khas kerajaan, tapi ada kebencian di matanya.
Layla Ellison, perempuan berusia dua puluh lima tahun itu menghela nafas berkali-kali untuk menenangkan diri, menyakinkan diri bahwa semua yang dia lihat tidak lebih dari bunga tidur. Tidak peduli seberapa nyata, tempat itu tetap adalah mimpi. “Dia membuat aku merinding setiap kali melihatnya.”
Layla mengelus lengan sebelum beranjak meninggalkan kasur. Hari itu, Layla memiliki kelas pagi, buru-buru dia bersiap-siap dan meninggalkan rumah. Tujuannya adalah universitas, terletak lima belas menit dari rumah menggunakan sepeda.
Hal pertama yang terjadi setelah Layla memarkir sepeda adalah muncul seorang perempuan bersurai pendek, merangkulnya ramah dan menyapa, ”hi, Layla!”
Karen Carson nama perempuan itu dan lelaki di sampingnya, Dustin Watkins, berkata, “beritahu aku kau tidur nyenyak malam ini.”
Mereka berteman baik semenjak sekolah menengah. Layla tidak menjawab, tapi memutar tubuh membiarkan mereka menilai sendiri penampilannya, tepatnya bawah mata yang menghitam dan ekpresi wajah yang kacau. “Ah …” Dustin mengganguk kecil, mengeluarkan apa yang ada di benaknya, “biar aku tebak. Kau tidak tidur nyenyak karena memimpikan hal yang sama. Lagi.”
Dustin selalu mencemaskan Layla, begitu pula dengan Karen tapi mereka tidak bisa membantu selain menawarkan keberadaan. Layla seringkali mengeluh akan segera habis kewarasan karena semua hal yang dia lihat di dalam mimpi dan dia tidak bisa mengabaikannya untuk suatu alasan.
“Aku melihat lelaki itu lagi,” ungkap Layla, mengingat jelas wajah dan amarah di sorot matanya. “Dia terlihat sangat marah dan terluka. Entah untuk alasan apa, dia sangat membenciku, melihat aku seolah-olah ingin membunuhku.”
“Mimpimu selalu membentuk cerita yang seru,” komentar Dustin. Karen menyikut perutnya, meminta dia untuk tidak mengatakan sesuatu yang akan membuat Layla merasa buruk. Dustin tidak peka, malah membuat kata-katanya lebih jelas, “apa? Itu memang benar. Mimpi Layla selalu menyambung seperti novel dan aku senang untuk tahu apa kelanjutannya.”
Layla menghela nafas, mengalihkan pembicaraan, “itu hanya mimpi. Ayo masuk.”
Layla berjalan lebih dulu dan diikuti teman-temannya, tapi Dustin tidak puas dibiarkan tanpa jawaban. Dia membujuk, “ayolah! Beritahu aku lanjutan dari yang kemarin.”
“Dustin!”
Layla tidak berani mengatakannya. Dia selalu menceritakan apa yang dia lihat di dalam mimpi setiap hari untuk meringankan sakit kepala, tapi mimpinya menjadi semakin aneh dan menakutkan setiap harinya.
Semua dimulai dari sebuah istana megah, terletak di lokasi yang sama dengan sebuah akademi. Tempat itu ditujukan untuk bangsawan yang artinya hanya orang kaya dan berkuasa yang bisa menempatkan anak mereka di sana. Apa yang istimewa dari tempat itu adalah sihir dan raja muda yang manis nan rupawan. Semua orang mempelajari sihir di akademi sementara sang raja sibuk menyelinap keluar menemui seseorang tanpa sepengetahuan.
Semuanya berjalan lancar, hebat dan indah sampai suatu hari, raja bernama Atoryn itu menggila. Bukan tanpa asalan, dia menjerit, “kembalikan dia padaku!” Atoryn tak ragu mengeluarkan sihir, menerbangkan semua barang di sekitar untuk menghantam semua orang di depannya.
Beruntung mereka bisa menghindari pakaian besi pajangan itu. Ayahnya bernama Samsons Kanx, raja sebelumnya, berusaha menenangkan, “tenangkan dirimu, Atoryn Taevirian. Kau adalah raja!”
Bukan berhasil membujuk, kata-kata tegasnya malah menyulut api amarah dan kebencian di hati Atoryn. “Jika benar begitu, maka seharusnya kau dengarkan aku!” Atoryn mencabut pedang yang menyangkut di lantai dan menyerang ayahnya. Dia berhenti ketika beberapa prajurit yang siap bertarung menghadang jalan. Mereka terpaksa mengeluarkan pedang masing-masing ketika Atoryn menolak untuk berhenti.
Pedang saling beradu membuat Atoryn menggeram penuh amarah. Dia melototi ayahnya di belakang para prajurit, bertanya, “aku adalah raja? Tidakkah seharusnya mereka adalah prajuritku? Mereka baru saja mencabut pedang melawanku!”
Mereka tidak bermaksud begitu, tapi bagaimana bisa mereka hanya diam dan membiarkan Atoryn menyerang raja sebelumnya? Atoryn baru dua tahun dinobatkan menjadi raja, tapi itu bukan berarti dia memiliki kekuasaan yang lebih sedikit dibanding ayahnya.
Atoryn mengalirkan tenaga ke pedang dan menebas udara, menyebabkan para prajurit melayang jauh hingga akhirnya terjatuh. “Aku tidak pernah meminta kau untuk menyakitinya!” Dia menjerit keras, suaranya menggema di ruangan besar nan tinggi itu hingga tercipta hawa tidak menyenangkan.
“Tidakkah ini adalah pengkhiataan? Seharusnya aku mengantungmu atas apa yang kau lakukan tapi kau bahkan tidak bisa mati!” Dia melempar pedang. Samsons mengelak dan menyebabkan senjata itu menancap di dinding.
Samsons kehabisan akal, tidak lagi tahu bagaimana cara menenangkan Atoryn yang masih dilanda amarah. “Kau tidak tahu apa pun, Atoryn.” Kata-kata Samsons selayaknya menuang bensin pada kobaran api, membuat Atoryn menjerit meluapkan amarah yang hendak memecah rongga dadanya.
“Apa yang aku tidak tahu?” Atoryn tahu segalanya, terutama tentang apa yang membuatnya sangat marah. “Kau membunuhnya, Ayah! Kau membunuhnya karena kau berpikir dia tidak pantas untukku.” Atoryn berpindah ke depan Samons dalam sekejap mata dan mencekik lehernya, mengangkat tubuhnya tinggi sampai kakinya berjarak dari lantai.
“Kau ingin katakan kau tidak melakukannya?” Dia menatap lantang, mengabaikan ayahnya yang mulai kesulitan bernafas. “Siapa yang kau beri perintah? Tidak peduli siapa yang membunuhnya, pada akhirnya, itu adalah kau pelakunya.”
Atoryn melempar Samsons, tapi lelaki awet muda dengan kumis tipis itu cukup keras kepala untuk mau terjatuh. Dia memutari udara dan mendarat dengan sempurna. Samsons berdiri, melihat Atoryn mengepalkan kedua tangan. Atoryn siap kapan pun menikam Samsons andai pedang bisa membunuhnya. Dia membuat Samsons hampir tidak bisa berkata-kata. Menggunakan ekpresi tenang, Samsons mengkritik, “itu adalah apa yang aku katakan. Kau tidak tahu apa pun, Anakku.”
Nada bicaranya yang terkesan merendahkan menguncang hebat emosi Atoryn, menyebabkan tangannya gemetaran. Seorang lelaki yang kemarin dipenuhi oleh cinta berubah menjadi iblis yang hanya mengenal kebencian. Dia bergeming, tidak peduli kuku-kuku jarinya telah menyakiti telapak tangan hingga mengeluarkan darah.
“Oke, oke. Mari kita mulai dari awal,” kata Dustin, selalu bersemangat setiap kali mereka berkumpul di kamar Layla untuk membahas mimpi sang pemilik ruangan. Karen sudah bosan mengutuknya, sekarang memutuskan tetap diam dan membiarkan dia melakukan apa saja yang membuatnya bahagia selama itu tidak menggangu Layla.
“Di sana ada istana.” Dustin memulai dan Layla melanjutkan …
“Istana ajaib. Kau tidak bisa membunuh siapa pun di sana. Semuanya abadi, tidak bisa mati bahkan ketika kau menikam jantung mereka.” Layla tahu tidak mungkin hal seperti itu nyata di dunia, hanya tidakkah itu gila andai tempat seperti itu nyata? Layla melanjutkan, “terdapat satu cara untuk membunuh mereka, hanya satu dan itu adalah kelemahan. Ketika kau tahu apa kelemahan mereka, kau bisa dengan mudah membunuh mereka dan semua orang memiliki kelemahan mereka masing-masing.”
“Kau tidak bisa membunuh seseorang menggunakan pistol, tapi ketika kelemahannya adalah jarum, dia akan mati hanya dengan dilukai. Ketika mati, tubuh mereka berubah menjadi manik-manik yang indah, melayang tinggi ke langit dan akan terdengar bunyi lonceng.”
“Tempat yang dipenuhi oleh kelemahan …, tapi aku ingin tahu mengapa Atoryn sangat marah?” Karen tidak sadar pertanyaan itu terlontar, penasaran karena menyetujui kata-kata Dustin perihal mimpi Layla selalu menyenangkan untuk didengar.
Layla pun tidak lagi peduli bila disebut gila, dia cukup puas bisa mengeluarkan beban dari dalam hati dan benak dengan bercerita. “Aku tidak tahu … sepertinya dia kehilangan seseorang,” kata Layla, sesuai seperti yang ada di benak. “Atoryn punya seorang perempuan bernama Adrieth Xyrrel. Dia sangat mencintainya dan suatu hari, perempuan itu mati. Hal itu menyebabkannya mengamuk sampai-sampai menyerang ayahnya sendiri.”
“Dia pasti sangat mencintainya,” komentar Dustin. “Tapi mengapa ayahnya membunuh perempuan itu? Maksudku, bahkan ketika dia bukan pasangan yang pantas. Tega-teganya dia membunuh seseorang yang membuat anaknya tersenyum setiap hari.”
Layla tidak menanggapi, tidak tahu mengapa hal itu terjadi tapi sungguhkah itu alasannya? Layla mengerjap mata, pandangannya disita oleh cermin meja rias di dekat ranjang. Dia termenung mengingat apa yang terjadi selanjutnya.
Atoryn menyerang ayahnya membabi buta sementara Samsons terus bertahan. Dia bukan tidak ingin melukai, tapi mustahil menang melawan Atoryn apalagi berhasil menundukkan. Samsons hanya beruntung Atoryn tidak tahu apa kelemahannya atau jika tidak, dia mati.
Atoryn meluapkan emosinya sepuas hati. Dia berhasil melukai Samsons, menyakiti dan menikam jantungnya berkali-kali, tapi Samsons tetap berdiri seolah tidak terjadi apa-apa. Fakta menyebalkan itu membuat Atoryn menjadi lebih murka, mengingat perempuannya yang telah mati. “Bagaimana kau tahu kelemahannya? Bagaimana bisa kau membunuhnya!”
Samsons kehilangan fokus untuk sebentar dan Atoryn menikam jantungnya. Atoryn mencabut pedang dan sekali lagi, luka di tubuh Samsons memudar dan sembuh dengan sendirinya. Dia membuat Atoryn frustasi. “Selama apa kau mengawasinya?” Tidak mendapat jawaban membuat Atoryn mulai menebak-nebak. Dadanya sakit menyebabkan nafasnya terputus-putus. “Hanya … tega-teganya kau …, ayahku ...”
Hati Atoryn hancur. Dia tidak berdaya, bahkan menangis tanpa bisa mengeluarkan air mata. Atoryn menjatuhkan pedang karena pegangan yang melemah dan perhatiannya disita oleh pintu ruangan yang terbuka.
Atoryn berpikir akan lebih banyak prajurit datang untuk melawannya, tapi ternyata para murid dari akademi. Lebih dari tiga puluh orang memasuki ruangan, membawa buku di tangan masing-masing, mengingatkan Atoryn bahwa sekarang adalah waktunya untuk melakukan penilaian rutin yang dilakukan langsung oleh raja untuk menghargai kerja keras mereka.
Sepertinya kegiataan itu tidak akan dilakukan hari ini. Satu per satu murid mulai menyadari terdapat hawa tidak menyenangkan di dalam ruangan dan pedang di bawah kaki Atoryn. Semua orang mulai berbisik-bisik dan saling menyikut, mengisyaratkan siapa pun untuk berbicara.
Atoryn menarik tangannya, kekuatan yang dialirkan membanting pintu sampai tertutup dan mengejutkan semua orang. Kemudian Atoryn menatap Samsons, sorot matanya memberitahu bahwa Samsons akan menjumpai kegilaan yang lebih buruk dari yang sanggup dia hadapi.
Atoryn mengulang, “kembalikan dia padaku.” Itu adalah satu-satunya hal yang sangat Atoryn inginkan, bahkan bila harus menukarkan jiwanya kepada iblis. Dia ingin perempuan itu kembali. “Kembalikan dia dan hidupkan dia.” Suara Atoryn merendah, berbicara dengan tenang atau sebut dia sedang memohon, naas jawaban ayahnya tidak pernah berubah.
“Orang yang telah mati tidak bisa dihidupkan kembali, Atoryn.” Atoryn menyapu udara, melayangkan Samsons dan membuat dia menempeli dinding selayaknya bingkai foto.
Atoryn putus asa. Hati dan jiwanya hancur karena ulah ayahnya sendiri. Perhatiannya tertuju pada murid-murid yang masih menunggu, menjerit, “aku perintahkan, mulai dari hari ini, seseorang harus mati. Setiap harinya sampai Samsons berikan aku apa yang aku mau!”
Perintah menggerikan itu membuat mereka yang mendengarkan kembali berbisik-bisik, mengatakan betapa menggerikan kata-kata sang raja dan apakah dia serius? Bagaimana bisa pemuda yang manis itu berubah menggerikan? Atoryn menyadarinya. Dia mengulurkan tangan, menarik tubuh salah seorang dari mereka selayaknya magnet dan berakhir dengan mencekiknya.
Atoryn membanting tubuh lelaki itu ke lantai, sangat keras sampai menyebabkan keramik pecah. Dia sepenuh tenaga menghajar lelaki itu, bertubi-tubi, menyebabkan keramik di bawahnya semakin retak dan hancur dan semua orang hanya bisa mengatup bibir tanpa berani bersuara apalagi menjerit. Atoryn mengakhiri kebrutalannya dengan menendang pemuda itu dan berbicara, “aku tidak bisa membunuh kalian satu per satu tapi rasanya tetap menyakitkan bila disiksa.”
Atoryn membuatnya jelas bahwa tidak ada gertakkan apalagi permainan, lelaki yang telah tak sadarkan diri di bawah kakinya menjadi bukti bahwa perintahnya tidak bisa dibantah. Atoryn menjerit, “satu orang mati setiap harinya atau sepuluh orang akan disiksa sebagai ganti!”
Dia menakuti semua orang, menyebabkan mereka gemetaran. “Hentikan itu, Atoryn!” Samsons menegur tapi Atoryn bukan pendengar yang baik, tidak setelah dia kehilangan perempuan yang sangat dia cintai.
Alih-alih menghentikan, Atoryn melanjutkan, “setiap hari sebelum tengah malam, biar aku dengar suara lonceng berbunyi atau kalian semua, tidak ada kecuali, akan dipilih secara acak!”
Atoryn mengalirkan kekuatan, membuka pintu lebar-lebar dan melempar satu per satu orang di dalam ruangan seolah mereka adalah barang yang bisa meringis kesakitan. Tidak ada kecuali bahkan ayahnya, semua orang terpental dan terjatuh dan saat hanya tersisa Atoryn seorang, pintu ruangan pun tertutup.
“Bahkan ketika dia benar-benar sangat mencintainya, aku tidak berpikir bagaimana bisa dia menjadi sangat gila. Dia menyakiti ayahnya dan orang-orang yang tidak tahu apa pun,” komentar Dustin. “Itu adalah cerita yang menggerikan.” Dan sekarang Dustin semakin paham mengapa Layla selalu bangun dalam ketakutan. Kekerasan dan kebencian adalah apa yang ada di mimpinya, Dustin pun akan gila bila semua itu menjadi apa yang dia lihat setiap hari.
“Atoryn kehilangan Adrieth satu tahun lamanya. Selama itu, dia berusaha bersabar dan memohon agar siapa pun bisa mengembalikan Adrieth, tapi kenyataan seringkali mengecewakan. Hatinya jatuh terlalu dalam sampai-sampai membuatnya menjadi gila.”
“Tidak ada orang waras ketika jatuh cinta.” Layla ingin tahu seperti apa Atoryn ketika jatuh cinta, tapi hari pertama mengenal Atoryn, pemuda itu sudah dilanda perasaan bersalah dan hati yang seolah mati. “Dia sangat mencintainya sampai rasanya seperti ingin mati,” tambah Layla, teringat akan pertemuan pertama mereka. Atoryn berusaha membunuh dirinya sendiri tapi tidak bisa melakukannya.
“Berapa lama mereka saling mengenal?” tanya Karen.
“Aku tidak yakin.” Layla berpikir sebentar sebelum menjawab, “aku pikir mereka sudah saling mengenal sejak masih kecil.” Layla pernah melihat Atoryn memegang bingkai foto yang berisikan dua anak kecil yang sedang tersenyum lebar. “Adrieth adalah orang yang selalu ada untuk Atoryn. Dia melakukan semua hal yang dia bisa untuk membantunya bahkan Adrieth adalah alasan Atoryn berubah pikiran dan mau menerima tahta itu, tapi mereka malah membunuhnya.”
“Itu masuk akal mengapa dia menjadi sangat frustasi,” kata Dustin. “Atoryn memutuskan untuk menjadi raja demi Adrieth di saat semua yang dia inginkan adalah pergi jauh dan berbahagia bersamanya, tapi dia malah kehilangan Adrieth setelah menerima tahta yang tidak dia inginkan.” Dustin menatap Layla dan menyadari perempuan itu termenung.
“Layla?”
“Sepertinya aku tahu mengapa Atoryn sangat marah padaku.” Layla mengerjap mata ketika mendengar namanya disebut, menebak, “karena aku melihat dia melukai dirinya sendiri dan berharap untuk mati.”
Perasaan luar biasa memalukan dan menyedihkan itu meninggalkan jejak yang sulit dilupakan di hati Atoryn. Siapa perempuan itu? Dia tidak dikenali apalagi ditemukan meski Atoryn telah mencari sampai ke ujung negeri.
Orang-orang dari tempat ini tidak bermimpi, tapi itu adalah cara berkomunikasi. Ketika seseorang muncul di dalam mimpi, mereka datang dengan pesan penting, tapi Layla hanya berdiri di sana dan mengasihinya menggunakan tatapan dan itu membuat Atoryn merasa selayaknya binatang dalam kurungan.
Ruangan sangat hening, yang terdengar hanya bunyi detik jam dinding. Atoryn duduk menyandari kursi singgahsana, matanya terpejam dan jari telunjuk mengetuk-ngetuk tangan kursi. Atoryn menghitung mundur. Sebentar lagi waktu akan menunjuk pukul dua belas malam dan masih tidak ada bunyi lonceng terdengar seperti yang telah dia perintahkan.
Sepuluh detik kemudian mata Atoryn terbuka. Tatapannya tajam selayaknya pedang yang siap menebas.
…
“Kau yakin tidak ingin tidur?” Dustin bertanya, mencemaskan Layla yang menolak memejamkan mata untuk suatu alasan. “Ini sudah tengah malam,” katanya sembari menatap jam yang baru mengeluarkan bunyi. “Karen sudah tidur.”
Mereka bertiga berbaring berdampingan di atas kasur luas yang sama, Dustin dan Layla saling menatap di dalam kegelapan dan Layla memberitahu, “kalau aku pejamkan mata, aku akan memimpikan dia lagi.”
Layla tidak ingin melakukannya karena takut, sial kantuk sulit dilawan. Dia memejamkan mata hanya sebentar dan semua yang terlihat telah berubah.
Semua orang menjerit. Sepuluh siswa dari delapan kelas berbeda tidak bisa mengendalikan tubuh masing-masing, ditarik bagaikan magnet dalam kecepatan tinggi menuju lokasi tertentu. Semua orang buru-buru mengikuti, penasaran dan mencemaskan apa yang akan terjadi.
Mereka ngos-ngosan ketika tiba di lapangan luas di samping istana. Satu per satu dari mereka menahan nafas menyadari apa yang terjadi. Sepuluh teman mereka terikat di antara tiang dan sepuluh prajurit ditugaskan untuk menikam jantung mereka berkali-kali. Mereka menjerit kesakitan dan menangis, tapi pedang itu lagi-lagi menghunus setelah luka sebelumnya pudar dan tertutup.
Semua orang membeku, menatap tak percaya bagaimana bisa seorang raja yang seharusnya melindungi malah melakukan hal keji. Atoryn tidak duduk di sana dan menonton, tapi perbuatannya tetap adalah yang terburuk.
“Ini gila.” Salah satu dari orang itu berkomentar, perlahan mengambil langkah mundur dan menjauh. “Ini benar-benar di luar akal sehat. Kita harus keluar dari tempat ini!”
Mustahil tidak ada yang tidak setuju. Mereka berlari menuju gerbang, tapi pintu lebar nan tinggi itu tidak bisa dibuka. Bukan karena dijaga oleh prajurit, tapi ada perisai mengukungnya. Mereka tidak bisa menyentuh apa pun selain perisai halimunan yang Atoryn ciptakan untuk menghalangi wilayah kekuasannya. Mereka ketakutan, putus asa menjerit dan meminta tolong tapi tidak berguna.
Istana dan akademi yang menjadi tujuan dan impian semua orang seketika berubah menjadi tempat yang menggerikan. Atoryn menyadari betul apa yang dia lakukan, tapi tidak bisa berhenti untuk suatu alasan. Hatinya terlalu hancur untuk bisa merasakan. Terkadang dia bertanya-tanya, apa semua ini terjadi sungguh karena aku benar-benar tidak peduli pada mereka?
Atoryn menyadari Layla merupakan satu-satunya orang yang tahu dan melihat perasaannya. Ketika kontak mata bertemu, mulut tidak berbicara tapi mata melakukannya.
Layla meremas tangan di depan perut, ekpresi wajahnya lirih menyadari Atoryn pun terluka. Apa perasaan menyedihkan itu disebabkan oleh kejahatan yang dia lakukan pada mereka yang tidak bersalah atau karena perasaan bersalah kepada Adrieth yang tidak kunjung lenyap meski setelah satu tahun berlalu?
“Hentikan. Aku mohon,” bisik Layla, mengharapkan Atoryn tidak menyakiti dirinya sendiri lebih dari itu. “Kau menyakiti semua orang dan mereka tidak pantas menerimanya.”
Alih-alih mendengarkan, Atoryn mengalihkan pembicaraan ke arah yang dia inginkan. “Kau bukan hanya muncul di dalam mimpiku tapi melihat semuanya.” Atoryn mendekati kaca bening yang memisahkan mereka sebelum bertanya, “bagaimana caramu masuk ke sini?”
Pertanyaan Atoryn adalah pertanyaan Layla juga, sebenarnya siapa yang terkurung di sini? Apakah Atoryn atau dirinya atau tempat ini hanya sekedar memisahkan mereka? Yang jelas adalah tidak pernah layla memiliki niat untuk bertemu Atoryn. “Aku tidak tahu.” Jawaban Layla membuat Atoryn meninju kaca, suara besar yang menggema menggetarkan sampai ke dalam jantungnya. Layla berusaha tetap tenang, tidak ingin menciptakan kericuhan. “Kau boleh tidak mempercayaiku, tapi aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu.”
“Omong kosong!” Atoryn menaruh nol kepercayaan pada kata-kata Layla. Atoryn tidak sebodoh itu sampai Layla bisa memperdayanya tapi andai dia tahu Layla tidak berbohong. “Tidak semua orang bisa berkomunikasi dengan cara memasuki mimpi seseorang. Kau hanya bisa melakukannya ketika kau memiliki kekuatan itu dan kau berdiri di sana dan bilang padaku kau tidak tahu?”
Layla memberanikan diri mendekat, menatap lebih lekat dan ekpresi wajahnya berubah serius kala bertanya, “jika kau tidak percaya, beritahu aku cara meninggalkan tempat ini. Beritahu aku bagaimana cara untuk tidak kembali dan kau tidak akan pernah melihatku lagi.” Layla meminta dengan kesungguhan, tapi permintannya malah mendatangkan lebih banyak salah paham.
“Kau benar-benar mencoba membuatku marah?” Raut wajah Atoryn berubah garang dan itu membinggungkan Layla yang tidak memiliki niat apa pun selain keluar dari pertemuan tak berujung ini. “Kau masuk kemari dengan kemauanmu sendiri dan satu-satunya cara untuk keluar adalah dengan tidak datang. Kenyataannya kau di sini dan itu sudah cukup menjelaskan kau bermaksud bertemu denganku untuk mengusikku!”
“Aku tidak—”
“Siapa yang memberimu perintah?!” Suara Atoryn menyaring, lagi-lagi menyentak Layla ketika dia meninju kaca.
“Kau akan menyakiti dirimu sendi—” Lagi-lagi tinjuan pada kaca bening menyela. Layla menutup mata dan mulut rapat-rapat, tidak tahan melihat Atoryn menyakiti dirinya sendiri. Ruas-ruas jarinya memar dan sedikit bergetar. Dia mungkin tidak menunjukkan rasa sakit, tapi itu hanya karena dia terlalu fokus pada amarah. Tidak menunjukkan, bukan berarti tidak merasakan.
“Tutup mulutmu!” teriak Atoryn penuh amarah, menyela dengan tatapan yang dibakar oleh kobaran api. “Aku punya seseorang yang selalu memperhatikan aku dan aku tidak butuh kau untuk melakukannya. Jangan berani kau mengasihani aku atau aku akan membunuhmu!” Atoryn mengamuk, meninju dan menendang kaca dengan niat menghancurkan. Dia mengeluarkan kekuatan dari telapak tangan, tapi tenaga itu memantul ke tubuhnya setelah mengenai kaca.
Layla mengambil beberapa langkah mundur untuk menghindar. Takut, meski tahu kaca itu tidak akan pernah pecah. “Tolong berhenti! Aku mohon padamu.” Layla tidak bisa hanya diam dan menonton Atoryn terluka. Tangannya mulai mengeluarkan darah disebabkan oleh kerasnya kaca tapi dia menolak berhenti. Layla memohon, “aku mohon padamu! Berhenti—"
“Kau yang seharusnya berhenti!” Suara Atoryn melengking tinggi, lagi-lagi membungkam Layla dan menghapus semua emosi yang ada kecuali takut. Atoryn menyentuh kaca, perlahan mengambil nafas guna menenangkan diri sebelum berbicara, “apa pun kelemahanmu …, kau akan menjadi orang pertama yang aku bunuh.” Dia menggertak gigi, mengeraskan rahang untuk menunjukkan semua keseriusan dan kebencian.
“Berani sekali orang sepertimu mengasihani aku. Berani orang sepertimu mengkritik dan memberitahuku apa yang harus aku lakukan! Tunjukkan dirimu dan berhenti bersikap seperti pengecut. Datang padaku atau salahkan dirimu atas mereka yang mati.”
“Atoryn …” Tegang punggung Layla perlahan mencair, begitu pula dengan ekpresi wajahnya. Dia menggigit pipi bagian dalam saat melihat tidak ada lagi Atoryn di balik kaca. Layla berjalan mendekat dan menyentuh pelan kaca itu seolah-olah ingin merasakan keberadaan Atoryn. “Atoryn …,” panggilnya, lirih.
Atoryn terbangun. Matanya terbuka dan menyadari posisinya terlelap di kursi singgahsana. Semua amarah begitu nyata ketika dia menarik nafas panjang, merasakan tubuhnya berubah panas karena pembicaraan tadi.
Atoryn mengingat seperti apa Layla mengasihaninya dan itu membuatnya menjadi lebih marah lagi. Atoryn bergumam, “entah siapa pun kau, aku akan menemukanmu.” Bahkan jika harus mencari sampai ke ujung dunia, Atoryn menolak untuk berhenti. “Adrieth adalah satu-satunya orang yang sangat peduli dan mencemaskan aku. Berani sekali kau melakukan apa yang seharusnya dia lakukan.”
Nama yang disebutkan membuat mata Atoryn memanas. Amarahnya lenyap dan datang kesedihan untuk menyayat hatinya. Atoryn tersiksa mengingat semua kenangannya bersama Adrieth, di waktu bersamaan semakin senggsara mengingat perempuan itu telah meninggalkan dunia. “Aku merindukanmu …, Adrieth.” Atoryn sedikit meringkuk, menyentuh dadanya yang serasa ditikam.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!