Ada pepatah yang mengatakan, “masa lalu adalah sejarah, masa depan adalah misteri, dan masa kini adalah pilihan.” Semua orang di dunia ini pasti memilih dalam hidupnya. Memilih melakukan hal baik maupun buruk, memilih untuk berusaha atau bermalas-malasan. Ketika seseorang tidak memilih, maka itu adalah pilihannya.
Meskipun begitu, tidak peduli apapun yang kita pilih, tidak peduli seberapa besar usaha yang kita lakukan dalam pilihan tersebut, atau sekuat apapun kita mencobanya, seseorang tidak akan pernah lepas dari sesuatu yang disebut dengan takdir.
Jika jalan yang aku lalui ini adalah takdir yang telah lama ditentukan, maka aku akan dengan senang hati melaluinya dan memberikan palu penghakiman kepada para penjahat. Atas nama Hammer of Judgment.
...…...
Namaku Erina Amalia Putri, biasa dipanggil Erina. Saat ini umurku enam belas tahun dan aku berada di kelas sebelas SMA Purnama. Aku tidak bermaksud sombong, tapi aku sadar kalau diriku ini sangatlah cantik. kulit yang halus dan seputih salju, seperti permadani lembut yang terjaga dari sinar matahari. Wajah yang dipenuhi dengan keanggunan dan pesona yang tak tergantikan. Mata yang berkilauan seperti permata, memberikan kilatan kecerdasan dan kehangatan yang tak terlupakan.
Rambut hitam, halus, dan panjang, mengalir dengan anggun seperti sungai yang meliuk-liuk. Setiap helai rambut yang tampak begitu sempurna, menghadirkan keindahan yang memikat hati siapapun yang melihatnya. Ketika angin berhembus, rambutku bergerak dengan lembut, menciptakan tarian yang mempesona. Senyumanku yang begitu memikat, memancarkan kebahagiaan dan kebaikan dari hatiku yang tulus.
Dengan tinggi badanku yang 160 cm dan berat badan yang rahasia dan beberapa privasi lainnya, bisa dibilang aku adalah primadona di sekolah ini, dan sudah tidak terhitung banyaknya laki-laki yang menembakku dan mengajakku pacaran. Namun, aku memilih untuk menolak semua ajakan tersebut, karena bagiku pacaran itu merepotkan. Dan juga, mereka hanya mencintai tampilan luarku bukan diriku apa adanya.
Saat ini aku berjalan di lorong sekolah, menuju ke kelas. Ketika aku berjalan, aku menyadari bahwa pandangan orang-orang tertuju padaku, baik laki-laki maupun perempuan. Aku bisa merasakan perhatian yang diberikan oleh mereka di sekitarku.
“Pagi, Erina!” Ucap seorang gadis yang tiba-tiba menepuk punggungku.
Namanya adalah Nada, dia adalah teman baikku. Jika aku mendeskripsikannya, dia juga tidak kalah cantiknya denganku. Walaupun kami ini teman baik, kami selalu bersaing dalam bidang akademik maupun non-akademik ketika di sekolah. Tapi diluar itu, kami ini adalah sahabat sejati.
“Pagi, Nada!” Balasku sambil tersenyum.
“Apa kamu sudah belajar untuk UTS yang akan datang?” Tanya Nada dengan antusias.
“Tentu saja. Kali ini aku tidak akan kalah darimu”
Nada menyeringai. “Coba saja. Toh, lagian aku juga yang akan juara satu” ucap Nada dengan nada mengejek.
Aku merasa sangat kesal dengan ejekan dan kesombongannya itu. “Kalau begitu, mau bertaruh?”
“Oh? Tentu saja. Kalau begitu, yang kalah harus…”
Belum habis kalimat Nada, tepat ketika kami memasuki ruang kelas. Tubuh seorang siswa laki-laki bernama Arvin terhempas menghantam dinding kelas dengan sangat keras.
Seorang siswa laki-laki yang menendang Arvin sehingga tubuhnya terhempas itu bernama Alex.
“Bagaimana rasanya? Itulah akibatnya karena kau bersikap sombong” ucap Alex sambil tertawa kecil bersama dengan teman-temannya yang menonton aksi Alex tersebut.
“Mereka melakukannya lagi? Ayo, Erina, sebaiknya kita tidak terlibat dengan mereka!” Ucap Nada sambil berjalan ke tempat duduknya.
Arvin Maulana, seorang pria yang sangat pendiam. Dia sangat jarang bicara dan selalu menyendiri. Wajah dan nilai akademis maupun non-akademiknya rata-rata. Bisa dibilang dia orang yang bisa ditemukan dimana saja. Tapi, karena sifat pendiam dan penyendirinya itu, dia jadi target bully oleh siswa nakal, dan bahkan guru tidak mempedulikan Arvin yang dibully itu.
Aku melihat Arvin yang meringis kesakitan. Kejadian ini tidak hanya terjadi sekali dua kali. Mereka selalu mencari alasan untuk membully Arvin meskipun dia tidak salah apa-apa.
Meskipun aku tidak tega melihatnya, tapi tidak ada yang bisa aku lakukan. Lebih baik aku…
Tepat ketika aku ingin pergi ke tempat dudukku, aku terkejut kalau mata Arvin dengan mataku bertemu. Aku dapat merasakan kebencian dan amarah yang terpancar dari matanya.
Apa dia marah padaku? Tapi kenapa? Tidak, sedari awal aku telah menyadarinya. Meskipun kami tidak ikut membullynya, tapi hanya menonton saja seperti tidak terjadi apa-apa juga merupakan sebuah kesalahan. Aku tidak pernah mencoba menolongnya, tentu saja dia akan marah padaku.
Kalau begitu, meskipun aku tahu ini sia-sia, setidaknya aku akan mencoba untuk menolongnya.
“Hei, sebaiknya kalian henti…”
Belum habis kalimatku, guru tiba-tiba datang dan menyuruh semua murid untuk duduk di tempat duduknya masing-masing. Alex dan semua siswa yang menonton berdecak kesal dan kembali ketempat duduk mereka.
Aku berjalan mendekati Arvin, mengulurkan tanganku dengan ragu-ragu. “Apa kamu tidak apa-apa?”
Arvin melihat tanganku, lalu kemudian dia bangkit Tanpa meraihnya. “Ya, terima kasih” ucap Arvin dengan pelan sambil berjalan ke tempat duduknya.
Terima kasih? Kenapa dia berterima kasih padaku? Padahal aku tidak melakukan apapun.
Pukul empat sore, bel pulang berbunyi. Saat ini aku sedang dalam perjalanan pulang bersama Nada.
“Apa kamu mencoba untuk menolong Arvin, Erina?” Tanya Nada.
“Yah, begitulah” jawabku singkat.
“Kenapa?” Tanya Nada lagi.
Aku terdiam mendengar pertanyaan itu. Aku mulai memikirkan alasan kenapa aku mencoba menolong Arvin tadi. Apakah kita benar-benar butuh alasan untuk menolong seseorang. Tidak, aku tidak semulus itu, buktinya selama ini aku hanya menonton saja ketika Arvin di bully. Lalu kenapa? Apakah karena aku merasa kasihan padanya? Atau mungkin karena rasa bersalah?
“Aku tahu kalau kamu itu terlalu baik, Erina! Tapi lebih baik kamu tidak terlibat dengan mereka!” Ujar Nada dengan serius. “Yah, jangan terlalu dipikirkan, lebih baik kamu memikirkan untuk mengalahkanku di UTS yang akan datang” tambahnya sambil menyeringai.
Aku mengangguk sambil tersenyum. Nada benar, lebih baik aku tidak terlalu membebani pikiranku dalam masalah ini.
Pukul delapan malam, aku membuka internet dan memutar video pembelajaran untuk persiapan UTS yang akan datang. Meskipun kejadian tadi masih terlintas di benakku, aku berusaha keras untuk menghilangkan pikiran tersebut agar aku bisa fokus sepenuhnya pada pembelajaran.
Keesokan harinya, suasana di sekolah menjadi sangat heboh. Ketika aku masuk kedalam kelas, aku sangat terkejut dengan apa yang aku lihat. Darah dan organ dalam yang berceceran di setiap sudut ruang kelas kami, membuat pemandangan ini terlihat sangat ngeri. Nada yang berdiri di sampingku tiba-tiba memelukku, mencoba menutup pandangannya dari pemandangan yang mengerikan ini. Beberapa siswa mulai merasa mual dan muntah ditempat.
Beberapa pertanyaan mulai muncul di benakku. Siapa yang melakukan ini? Tapi yang lebih penting, darah siapa ini? Meskipun aku merasa sedikit mual, aku mencoba menahan perasaan itu dan memberanikan diri untuk memasuki ruangan. Aku melihat sekeliling, mencari petunjuk apa pun yang bisa memberikan penjelasan.
Belum genap beberapa detik, mataku tertuju pada papan tulis. Di sana tergantung sebuah kepala yang mengerikan.
“Itu... Alex?” gumamku dengan ngeri.
Aku merasa terkejut dan tak percaya dengan apa yang kulihat. Alex, siswa laki-laki yang disebut-sebut sebelumnya, tergantung di papan tulis dengan kondisi yang mengerikan. Aku merasa campur aduk antara ketakutan dan kebingungan.
Tanpa berpikir panjang, aku segera mengambil langkah mundur dan mencoba menenangkan diri. Aku tahu bahwa aku harus melaporkan kejadian ini kepada guru atau pihak sekolah secepat mungkin. Keadaan ini sangat serius dan membutuhkan tindakan yang tepat.
Tapi tiba-tiba perhatianku tertuju pada tulisan yang ada di papan tulis, yang ditulis dengan darah. Hatiku berdegup kencang saat membaca tulisan itu.
“MATA DIBALAS MATA, TANGAN DIBALAS TANGAN, DAN KEJAHATAN DIBALAS KEJAHATAN. AKU AKAN MENJATUHKAN PALU PENGHAKIMAN KEPADA PARA PENJAHAT”
^^^HAMMER OF JUDGMENT^^^
...…...
Di sebuah ruangan yang bermodalkan cahaya redup, seseorang duduk sendirian di meja kayu yang terletak di tengah ruangan. Dalam keheningan yang terasa mencekam, orang itu dengan hati-hati membuka sebuah buku tua yang terletak di depannya dan menulis sesuatu di buku tersebut.
Nama : Alex Pratama
Umur : 16 Tahun
Status : Mati
Target selanjutnya:???
Setelah kejadian itu, polisi dan kru televisi berdatangan, menciptakan kehebohan di dunia maya. Berita tentang kematian Alex dan tulisan misterius yang ditemukan di papan tulis menyebar dengan cepat di media sosial dan platform berita online. Banyak warganet yang mulai membahas dan berspekulasi tentang identitas Hammer of Judgment, yang disebut sebagai penegak keadilan yang menghukum siswa-siswa jahat.
Beberapa warganet berpendapat bahwa Hammer of Judgment adalah sosok yang bertindak sebagai penegak keadilan untuk melawan ketidakadilan di kalangan siswa. Mereka menunjukkan bahwa Alex, yang sebelumnya disebut-sebut sebagai pelaku kekerasan dan penyalahgunaan obat-obatan, adalah target dari Hammer of Judgment. Mereka berargumen bahwa tindakan Hammer of Judgment mungkin adalah bentuk pembalasan atas perbuatan buruk Alex.
Namun, ada juga pendapat sebaliknya. Banyak yang mengecam kekerasan dan kekejaman yang ditunjukkan oleh Hammer of Judgment. Mereka berpendapat bahwa tidak peduli sejahat apapun seseorang, tidak ada alasan untuk melakukan tindakan membunuh dengan sekejam itu. Mereka menekankan pentingnya penegakan hukum yang adil dan proses pengadilan yang sesuai untuk menangani pelanggaran.
Polisi terus melakukan penyelidikan untuk mengungkap identitas dan motif di balik Hammer of Judgment. Mereka berusaha untuk menemukan kebenaran dan memastikan keadilan terpenuhi. Sementara itu, warganet terus berdebat dan mempertanyakan tindakan Hammer of Judgment, memunculkan beragam sudut pandang dan pemikiran tentang kejadian tersebut.
Tiga hari setelah kejadian itu, lima orang siswa, termasuk aku dan Arvin, dipanggil ke ruangan kepala sekolah untuk diinterogasi oleh polisi sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Alex. Keadaan menjadi semakin tegang dan atmosfer di sekolah terasa mencekam.
Setelah aku memasuki ruangan interogasi yang berada di ruangan sebelah, polisi mempersilahkan aku untuk duduk dan mencoba merilekskan diri. Polisi kemudian meminta aku untuk menjelaskan apa yang aku lakukan pada pukul delapan malam sebelum mayat Alex ditemukan di ruang kelas.
Aku dengan jujur memberitahu mereka bahwa pada waktu itu aku sedang belajar. Bahkan, aku menunjukkan bukti berupa riwayat video pembelajaran yang ada di ponselku. Aku berharap bukti tersebut bisa membuktikan bahwa aku tidak terlibat dalam kejadian tragis tersebut.
Namun, polisi menjelaskan bahwa alasan mereka memasukanku sebagai tersangka adalah karena adanya insiden dua hari sebelumnya. Aku memergoki Alex menyimpan foto-foto diriku dalam jumlah yang sangat banyak di HP-nya. Karena itu, kami terlibat dalam sebuah perdebatan yang sengit, dan akhirnya Nada menghancurkan ponsel Alex sebagai tindakan protes atas privasi yang dilanggar.
Yah, aku sudah menduganya. Namun, aku tetap berusaha menjelaskan bahwa itu hanyalah sebuah konflik pribadi yang tidak berhubungan dengan kejadian tragis yang terjadi pada Alex.
Polisi mencatat keteranganku dan berjanji akan mempertimbangkan semua bukti yang ada. Mereka mengingatkan aku untuk tetap kooperatif dan siap memberikan keterangan lebih lanjut jika diperlukan.
Aku meninggalkan ruangan interogasi dengan perasaan campur aduk. Aku berharap bahwa bukti yang aku berikan dan keterangan yang aku sampaikan dapat membantu membuktikan bahwa aku tidak terlibat dalam pembunuhan Alex.
Saat aku keluar dari ruangan kepala sekolah, Nada melihatku dengan ekspresi khawatir di wajahnya. Dia segera mendekatiku dan bertanya dengan penuh perhatian, “Apa kamu tidak apa-apa, Erina?”
Aku mencoba tersenyum padanya, mencoba menyembunyikan kecemasan yang ada di dalam diriku. “Yah, aku tidak apa-apa” jawabku dengan suara yang sedikit gemetar. Aku berusaha keras untuk tetap tenang dan mengatasi perasaan gelisahku.
Nada menatapku dengan penuh kepedulian, tahu bahwa aku sedang menghadapi situasi yang sulit. Dia memberikan dukungan dan mengatakan bahwa dia akan selalu ada disampingku, siap mendengarkan dan membantu jika aku membutuhkannya.
Pukul lima sore, aku dan Nada berada di sebuah kafe. Kami duduk di meja yang nyaman, menikmati suasana yang tenang dan hangat di dalam kafe. Aroma kopi yang sedap mengisi udara, menciptakan suasana yang mengundang untuk duduk dan bersantai.
Aku memesan secangkir kopi panas, sementara Nada memilih teh hangat. Kami duduk berhadapan, saling berbagi cerita dan mengobrol tentang berbagai hal. Cafe ini menjadi tempat yang sempurna untuk kami melepaskan sedikit kekhawatiran dan tekanan setelah kejadian yang baru saja terjadi.
“Apa kamu kenal dengan keempat tersangka dan hubungan mereka dengan Alex?” tanyaku pada Nada.
Nada mengangguk seraya menjawab, “Yah, tidak banyak. Pertama, ada siswi perempuan bernama Putri. Dia berada di kelas sebelah dan juga merupakan pacar Alex. Kedua, ada seorang siswa dari kelas sepuluh. Dia sering menjadi korban bully dan pemerasan oleh Alex. Ketiga, ada Reno, siswa dari kelas kita. Dia terlibat dalam perkelahian dengan Alex beberapa hari sebelum kejadian itu. Dan yang terakhir adalah Arvin. Yah, kamu pasti sudah tahu tentang dia”
Aku mendengarkan dengan seksama, mencoba memahami hubungan antara tersangka dan Alex. Informasi ini memberikan gambaran bahwa ada sejumlah hubungan yang rumit dan konflik yang terjadi di antara mereka.
Sambil menyeruput minuman kami, kami juga menikmati suasana cafe yang nyaman. Musik yang lembut mengalun di latar belakang, menciptakan suasana yang menenangkan.
“Menurutmu, siapa yang paling berpotensi menjadi pelakunya?” tanya Nada dengan antusias. “Kalau menurutku, pelakunya adalah pacarnya itu”
Aku memikirkan pertanyaan itu sejenak sebelum menjawab, “Kenapa kamu berpikir seperti itu?”
Nada menjawab dengan penuh keyakinan, “Yah, coba kamu pikirkan saja. Hanya pacarnya yang memiliki motivasi kuat untuk membunuh Alex. Maksudku, tidak mungkin seorang pengecut seperti Arvin atau siswa dari kelas sepuluh itu bisa melakukan hal sekejam itu.”
“Lalu, bagaimana dengan Reno?”
Nada langsung menepis kemungkinan itu, “Reno? Itu semakin tidak mungkin. Reno adalah siswa yang sangat baik hati, pintar, dan tidak bisa dipungkiri dia juga tampan. Dia berkelahi dengan Alex karena dia membela seorang murid yang dibully oleh Alex. Jadi, menurutku, orang sebaik Reno tidak mungkin melakukan pembunuhan”
Aku mendengarkan penjelasan Nada dengan rasa bangga yang terpancar dari wajahnya. Meskipun aku menghargai sudut pandangnya, aku tetap berpikir bahwa kita tidak boleh terlalu cepat mengambil kesimpulan.
“Tapi, kenapa pacarnya? Jika dia adalah pacarnya, tidak mungkin, kan, dia membunuh pria yang dia cintai?” Tanyaku, penasaran dengan pendapat Nada kalau Putri adalah pelakunya.
“Tidak semua orang pacaran saling mencintai, Erina!” Jawab Nada dengan ekspresi serius, membuatku langsung terdiam.
Nada benar, meskipun seseorang berpacaran, bukan berarti hubungan itu selalu terbentuk atas dasar cinta. Apalagi, jika Alex benar-benar mencintai pacarnya, maka tidak mungkin dia akan mengambil dan menyimpan fotoku secara diam-diam. Ada kemungkinan kalau Putri diancam oleh Alex dan memaksanya untuk menjadi pacarnya.
“Apa kamu tahu dimana rumahnya Putri?” tanyaku pada Nada.
Nada tersenyum kecil. “Aku tahu kamu pasti akan menanyakan hal itu. Jadi, aku telah menanyakan alamatnya dari teman-teman yang lain”
Aku merasa berterima kasih pada Nada karena telah mengerti keinginanku. Kami berdua bangkit dari tempat duduk kami dan bersiap-siap untuk pergi ke rumah Putri.
Pukul enam sore, kami tiba di rumah Putri. Nada menekan bel rumah dengan harapan Putri akan membuka pintu. Namun, setelah beberapa kali mencoba, tidak ada jawaban yang kami terima.
Kami saling bertukar pandangan, merasa cemas dan khawatir. Aku mencoba memanggil-manggil nama Putri, berharap dia akan mendengar dan merespons panggilan kami. Namun, masih tidak ada tanggapan.
“Sepertinya tidak ada orang. Bagaimana sekarang?” Tanya Nada.
“Apa boleh buat. Kita tanyakan saja besok di sekolah” jawabku dengan nada yang sedikit kecewa. Namun, tidak ada yang bisa kami lakukan pada saat ini. Kami harus bersabar dan menunggu sampai besok di sekolah untuk mencoba berbicara dengan Putri.
Pukul sembilan malam, aku sedang berjalan sendirian menuju minimarket untuk membeli beberapa kebutuhan sehari-hari. Langkahku pelan saat aku memasuki toko, memperhatikan barang-barang yang tersusun rapi di atas rak.
Tiba-tiba, saat aku mencari shampo yang aku butuhkan, tanganku secara tidak sengaja bersentuhan dengan tangan seseorang yang juga hendak mengambil shampo tersebut. Aku terkejut dan mengangkat kepalaku untuk melihat siapa orang itu.
“Ah, maaf... Eh? Arvin?” ucapku dengan terkejut.
“Oh? Erina?” balas Arvin dengan ekspresi yang sama terkejutnya.
Kami saling menatap, masih terkejut dengan kebetulan ini. Tidak terduga bahwa kami akan bertemu di minimarket pada malam ini. Meskipun kami berada dalam situasi yang rumit karena tersangkut dalam kasus pembunuhan Alex, aku mencoba untuk tetap tenang dan berbicara dengan sopan. Mengingat ini adalah yang kedua kalinya kami berbicara.
“Hm? Kamu tahu namaku ya?” tanyaku tanpa berpikir panjang.
“Itu karena kamu sangat populer di sekolah. Tapi, aku tidak menyangka kamu ingat namaku,” jawab Arvin dengan sedikit kaget.
“Yah, karena kita ini sekelas,” ujarku sambil tersenyum, mencoba meredakan ketegangan.
Arvin hanya diam, membuat suasana semakin canggung. Kami memang tidak terlalu akrab dan jarang berinteraksi sebelumnya.
“Ini! Kamu menginginkannya kan?” ucap Arvin tiba-tiba, sambil memberikan shampo yang dia pegang kepadaku.
“Eh? Tapi...” ucapku, masih terkejut dengan tindakannya yang tiba-tiba.
“Inilah yang kamu cari, kan? Tinggal satu lagi, jadi ambillah”
Aku merasa sedikit bingung, tapi kemudian menerima shampo tersebut dari tangannya. Arvin kemudian pergi begitu saja tanpa berkata apa-apa.
“Te-terima... kasih...” ucapku, masih terkejut dengan tindakan Arvin yang tiba-tiba.
Aku merenung sejenak tentang tindakan Arvin yang tidak terduga ini. Rasanya seperti ada kesenjangan antara apa yang dikatakan orang tentangnya dan apa yang aku alami saat ini. Mungkin rumor-rumor yang beredar tidak sepenuhnya mencerminkan sosok sebenarnya dari Arvin.
Aku melanjutkan perjalananku di minimarket, masih memikirkan kejadian yang baru saja terjadi. Aku merasa sedikit bingung dan terkejut, tetapi juga penasaran untuk lebih mengenal Arvin dengan lebih baik. Mungkin ada sisi lain dari dirinya yang belum terungkap.
Keesokan harinya, ketika aku memasuki ruang kelas, aku melihat semua murid sedang heboh. Karena penasaran, aku bertanya kepada Nada yang sudah sampai terlebih dahulu. Nada menjelaskan kalau alasan Putri di interogasi adalah karena pak satpam mengatakan kalau semalam sebelum Alex ditemukan, Alex pergi ke sekolah dengan alasan mengambil barang-barang Putri yang ketinggalan dan Putri menghilang setelah di interogasi kemarin.
Sekolah ini memang memiliki sistem keamanan yang ketat dengan tembok tinggi dan hanya satu gerbang masuk. Seharusnya pak satpam dapat memantau siapa saja yang keluar masuk dari sekolah. Namun, berdasarkan kesaksian pak satpam, hanya Alex yang datang pada saat itu dan dia juga mengatakan bahwa Alex keluar dari sekolah tanpa mengucapkan sepatah katapun. Polisi juga tidak menemukan jejak yang menunjukkan bahwa ada yang memanjat tembok, membuat kasus ini semakin tidak masuk akal.
Pukul empat sore, kami berdua berada di sebuah kafe, mencoba mencari jawaban atas kejadian yang semakin membingungkan ini. Dan Nada sepertinya ingin mengatakan sesuatu yang tidak ingin didengar oleh orang lain padaku.
“Apa menurutmu pak satpam berbohong?” tanyaku pada Nada, mencoba mencari pendapatnya.
“Aku pikir tidak,” jawab Nada dengan tegas. “Polisi telah memeriksa rekaman CCTV, mereka memang menemukan kalau Alex memang keluar masuk malam itu, namun mereka tidak menemukan satupun rekaman yang menunjukkan Putri meninggalkan sekolah kemarin”
“Lalu, bagaimana dengan CCTV yang terpasang di setiap lorong sekolah? Bukankah mereka memasang banyak CCTV?” tanyaku, mencoba mencari jawaban dari Nada.
“Itulah yang ingin aku bahas denganmu. Sebenarnya semalam aku meretas CCTV sekolah, dan aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat,” ucap Nada sambil mengeluarkan laptop dari ranselnya dan menunjukkan hasil rekaman CCTV sekolah.
Aku memperhatikan dengan seksama. Aku melihat Alex masuk ke dalam kelas, tetapi tidak lama kemudian dia keluar dari kelas dan langsung pergi.
“Eh? Ada yang aneh!” ujarku dengan ekspresi terkejut.
“Ya, kan. Kenapa Alex yang ingin mengambil barang-barang Putri yang tertinggal malah masuk ke kelas kita? Terlebih lagi, yang paling aneh adalah bagaimana tubuh Alex bisa berada di dalam kelas kita sedangkan rekaman CCTV dan kesaksian pak satpam membuktikan bahwa dia pulang setelah urusannya selesai” jelas Nada dengan raut wajah yang penuh tanda tanya.
Aku merasa semakin bingung dan terkejut dengan temuan ini. Hal ini semakin memperumit kasus ini dan menimbulkan lebih banyak pertanyaan.
“Lalu, bagaimana dengan rekaman CCTV kemarin? Seharusnya jejak Putri bisa ditemukan dengan CCTV karena kemarin sekolah diliburkan dan hanya ada beberapa siswa yang datang ke sekolah,” tanyaku lagi, mencoba mencari jawaban dari Nada.
“Memang benar sih, tapi…” Nada terdiam sejenak, lalu mencari rekaman CCTV kemarin dan kemudian memperlihatkannya padaku.
Aku melihat rekaman CCTV yang menunjukkan Putri sedang berjalan sendirian di lorong sekolah. Namun, tepat ketika pukul dua belas siang, seluruh CCTV di sekolah mati selama lima belas menit, kecuali CCTV di gerbang masuk sekolah. Setelah itu, Putri tidak lagi terlihat dalam rekaman CCTV manapun.
Aku merasakan kebingungan yang semakin mendalam. Ada sesuatu yang tidak beres dengan rekaman CCTV ini, dan itu semakin menambah misteri dalam kasus ini. Mengapa rekaman CCTV mati selama lima belas menit? Dan di mana Putri berada setelah itu?
Setelah beberapa menit berpikir, aku menghela nafas. Tidak peduli sekeras apapun aku berpikir, tapi tetap saja jalan buntu, aku tidak dapat menemukan jawabannya.
“Yah, tidak perlu terlalu memikirkannya! Itu hanya membuatmu sakit kepala” ucap Nada.
“Ya kamu benar. Tapi… bisakah kamu berhenti untuk meretas sesuatu seperti CCTV?”
Nada yang mendengar hal itu langsung panik dan hampir tersedak ketika dia sedang menyeruput minumannya.
“O-oh ya, Erina! Jika Putri tidak terlihat keluar sekolah dari CCTV, bukankah itu berarti dia masih berada di sekolah sampai sekarang?” Ujar Nada dengan wajah panik, sangat jelas sekali kalau dia mencoba mengalih pembicaraan.
Tapi, yang di katakan Nada ada benarnya juga. Dia mungkin saja bersembunyi di suatu tempat. Tapi dimana? Jika dia memang masih disekolah, kenapa polisi tidak dapat menemukannya? Aku benar-benar tidak mengerti lagi apa yang sebenarnya telah terjadi.
Pukul enam sore, kami sedang dalam perjalanan pulang ke rumah. Pikiranku masih dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab, membuatku merasa sedikit pusing.
“Sudah kukatakan, kan? Berhenti memikirkannya, itu hanya akan membuatmu sakit kepala” ujar Nada dengan nada menyindir.
“Ma-maaf! Tapi, sebaiknya kamu berhenti meretas! Jika kamu ketahuan memiliki kemampuan yang sangat hebat dalam meretas, maka kamu akan dicurigai karena telah meretas CCTV sekolah saat insiden itu terjadi!” ucapku dengan ekspresi khawatir.
“Yah, kamu benar. Aku akan berhati-hati mulai sekarang,” kata Nada dengan ekspresi menyesal. “Tapi, bukankah itu berarti Hammer of Judgment juga bisa meretas? Itu berarti, jika dia ingin melakukan sesuatu lagi, maka dia bisa saja membuat CCTV sekolah hanya merekam bangunan kosong saja, dan melakukan aksinya tanpa khawatir akan ketahuan”
“Itu mungkin saja. Tapi, bagaimana caranya dia bisa keluar masuk sekolah tanpa sepengetahuan pak satpam?” Tanyaku, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang semakin rumit ini.
Kami berdua merasa semakin terjebak dalam teka-teki yang semakin rumit ini. Kami menyadari bahwa ada banyak pertanyaan yang perlu dijawab, dan kami harus terus mencari bukti dan informasi yang dapat membantu mengungkap kebenaran di balik semua ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!