Halim segera turun dari motornya untuk berteduh di halte kosong, ketika hujan deras tiba-tiba mengguyur permukaan bumi. Dia baru saja pulang dari sekolah tempat dia mengajar.
Halim merupakan seorang guru PNS berumur 28 tahun yang baru saja pindah tugas. Sekitar 3 bulan sudah dia mengajar di Sekolah Menengah Kejuruan di kota tempat dia tinggal. Sebelumnya, dia ditempatkan di daerah agak terpencil di luar pulau.
Halim merupakan anak sulung dari seorang pengusaha terkenal. Tapi dia lebih memilih mengabdikan dirinya pada negara untuk mencerdaskan anak bangsa, dari pada meneruskan perusahaan orang tuanya.
Lagi pula, dari awal Halim memang sengaja mengambil kuliah jurusan pendidikan dari pada bisnis. Dan sekarang, dia sedang kuliah lagi untuk mengambil magisternya.
Halim melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 18:00. Pria itu lalu berdecak.
“Sudah sore. Sebentar lagi masuk waktu magrib. Tapi hujan makin deras saja sepertinya.”
Halim mendongak menatap langit yang sudah semakin gelap, seiring matahari yang juga akan terbenam.
Dikarenakan sedang ada pembangunan tambahan kelas, maka waktu pembelajaran pun dibagi menjadi 2 waktu. Pagi dan sore.
Karena Halim guru matematika, jadinya dia masuk untuk pagi dan sore. Cuma satu hari dia akan off dari tugas mengajarnya.
Halim segera tersentak dari lamunannya menatap langit, saat mendengar ada suara sepeda yang mendekat ke halte itu.
Ada seorang gadis memakai baju seragam sekolah, sedang menutupi keranjang yang ada di jok belakang sepedanya dengan plastik besar.
Ketika rasanya sudah pas menutup semua jualannya, gadis itu langsung berlari untuk berteduh.
Karena ada orang lain selain gadis itu, gadis itu menunduk dan tersenyum sekilas pada Halim dan langsung mengambil tempat berdiri agak jauh.
Halim hanya menganggukkan kepalanya sekilas. Tapi entah kenapa, matanya malah tertarik memperhatikan sepeda gadis itu.
‘Apakah itu jualannya?’
Dan sekarang, matanya malah melirik gadis yang sedang memasangkan mantel pada tas sekolahnya.
Setelah selesai, gadis itu lantas memakai kembali tas ranselnya.
Halim agak terkejut dan tak berkedip saat gadis itu tak sengaja menatapnya juga. Lagi-lagi gadis itu tersenyum singkat dan langsung mengalihkan tatapannya ke arah lain.
Sedang Halim tak selesai-selesai dengan yang dilakukannya. Satu kata yang dapat Halim simpulkan di dalam hatinya mengenai gadis itu, yaitu cantik dan manis.
‘Astaghfirullah! Apa yang lagi aku pikirkan?’
Halim tersenyum tipis. Baru kali ini semenjak patah hati, matanya mulai melirik seorang gadis lagi. Dilihat dari cara dia memakai seragam sekolahnya yang rapi, dan jilbab yang terjulur menutupi dada.
Ada rasa kagum yang dengan tanpa ijin menyentil hati Halim. Padahal, bukan hanya gadis di sebelahnya ini saja yang memakai jilbab seperti itu di sekolah.
Hujan akhirnya berhenti. Gadis itu langsung beranjak dari halte untuk menghampiri sepedanya. Dengan segera mengambil plastik yang menutupi keranjang berisi jualannya, lalu mengibaskannya sebelum melipat plastik itu.
Mata Halim tak bergerak mengamati setiap gerakan yang dilakukan gadis itu. Entah kenapa, kok dia malah tertarik, ya?
Halim tak sengaja melihat lambang sekolah yang ada di lengan baju sebelah kiri gadis itu.
Halim mengernyit. ‘Bukannya itu lambang SMK tempat aku mengajar? Berarti dia sekolah di sana, ya? Tapi kenapa aku tidak pernah melihat dia?’
Sebelum gadis itu mengayuh sepedanya, gadis itu kembali mengangguk dan tersenyum pada Halim.
Halim yang lagi-lagi salah tingkah karena ketahuan memandangi gadis itu pun, segera mengangguk dan tersenyum tipis.
Halim memang begitu orangnya, bicara seadanya dan tersenyum seperlunya. Bahkan dengan orang yang dia kenal. Apalagi dengan gadis yang sama sekali tak dia kenal barusan. Dia pun merasa aneh kenapa membalas senyum gadis itu.
Sampai-sampai matanya ikut memandangi sepeda yang sudah hampir hilang dari pandangan.
Allahu Akbar, Allahu Akbar..
Halim tersentak ketika mendengar adzan Maghrib berkumandang.
“Astaghfirullah!”
Dia terburu-buru menaiki motor CBR berwarna hitam kesayangannya untuk pulang.
Sesampainya di rumah yang cukup luas untuk seseorang yang tinggal sendirian, Halim segera mandi dan menunaikan sholat Maghrib.
Setelah selesai, dia lalu memanaskan sayur yang dia masak tadi pagi untuk makan malamnya.
Halim terbiasa masak makanan untuk dirinya sendiri. Kalau ada jadwal kuliah, baru dia akan makan di luar.
Sambil mengunyah makanan, Halim sempatkan mempelajari materi yang akan dia ajarkan besok kepada murid-muridnya.
Tapi pikirannya kali ini menerawang pada gadis tadi.
“Hem, siapa dia, ya? Apa memang dia murid di SMK Merah Putih? Tapi kenapa aku gak pernah melihatnya? Ah, atau bukan aku kali guru matematika yang masuk ke kelasnya. Hemm. Haha, kenapa aku jadi penasaran? Lagi pula, aku gak tahu siapa namanya. Karena simbol namanya tertutup oleh jilbabnya.”
Halim jadi senyum-senyum sendiri. “Baru kali ini, aku lihat ada anak sekolah yang cantik seperti dia.”
Tanpa sadar dia sudah mengucapkan kata seperti itu.
Tak lama, adzan isya mulai terdengar. Halim mempercepat makannya dan segera menunaikan sholat isya.
Kali ini, untuk berdzikir pun rasanya Halim susah untuk fokus. Karena terbayang-bayang wajah gadis tadi.
“Haaaaah, apa-apaan ini?”
.............*****............
“Bu, besok Medi tidak jualan dulu, boleh?”
Wanita yang dipanggil Ibu pun menoleh. “Kenapa, Me? Kamu mau ke tempat PKL lagi, ya? Apa belum selesai?”
PKL (Praktek kerja lapangan) yang biasa diadakan untuk murid SMK sesuai dengan jurusannya.
Anisa Medina, gadis cantik itu mendekati sang Ibu.
“Tadi kan Medi sudah dari sana sambil jualan, Bu? Ibu lupa, ya? Belum selesai ‘sih, Bu. 2 hari lagi insya Allah selesai. Tapi besok, Medi mau ke sekolah, ngasih laporan PKL sama Pak Bambang, guru pembimbing.”
“Tapi, kamu pakai baju apa? Baju kamu tadi 'kan basah kena hujan? Lagi pula ada-ada saja PKL kok pakai baju sekolah? Seharusnya ‘kan pakai baju praktek?” omel Bu Widya.
Medina hanya terkekeh mendengar omelan Ibunya.
“Besok pakai baju biasa juga tidak masalah, Bu. Yang penting pakai baju,” celetuk Medina.
Bu Widya malah ngakak mendengar celetukan anak semata wayangnya. Tangannya dengan sigap dan cekatan memasukkan keledai yang sudah diberi ragi ke dalam plastik.
Tadi Medina membawa jualannya berupa nasi lemak dan gorengan ke tempat dia PKL. Di samping Bu Widya membuat dan menjual tempe ke kedai-kedai.
Hanya dengan berjualan seperti itu, Bu Widya membesarkan dan menyekolahkan Medina setelah kepergian sang Suami.
Bu Widya bersyukur Medina mau membantunya. Putrinya itu bahkan tidak malu menjual makanan pada orang-orang.
Lagi pula, apa yang membuat malu, coba? Kita kan tidak minta-minta. Gitu kira-kira ucapan Medina yang sangat menyentuh hatinya.
“Ya sudah. Sekarang Medi sholat dulu, baru tidur, ya?”
Medina mengangguk lalu pergi ke kamar mandi dan mengambil wudhu.
Setelah selesai sholat, Medina mengirim pesan WhatsApp pada Nona-temannya untuk bertemu besok.
Tapi tiba-tiba entah kenapa Medina teringat dengan pria asing di halte tadi.
Medina jadi terkekeh. “Abang itu ngelihatin aku kok begitu banget tadi, ya? Mana salah tingkah lagi! Macam gak pernah lihat wanita aja? Hahaha. Astaga. Untung aja hujan cepat berhenti, kalau gak seram juga. Haaah, ada-ada saja.”
..........****.........
“Haaaatchiim!!”
Halim yang tengah tertidur pun tiba-tiba terbangun karena bersin. Dia tidak tahu kalau gadis yang membuat hatinya penasaran, sedang membicarakannya.
............*****...........
“Bagaimana? Apakah kalian sudah mengerti?” tanya Halim pada murid-muridnya.
“Belum, Paaaaak!!” jawab mereka kompak. Didominasi oleh suara murid perempuan di kelas itu. Kalau murid laki-laki, mereka malah acuh tak acuh.
Bagi mereka, melihat Pak Halim menjelaskan materi di papan tulis dengan suara tegasnya, seperti melihat aktor drakor yang tampannya seperti apotek tutup.
Jadi mereka tidak rela saja kalau Halim menyelesaikan penjelasannya di depan kelas.
Halim berdecak kecil. Padahal materi yang diajarkannya pagi ini itu gampang sekali. Bagi dia tapi. Dia juga sudah menjelaskan secara detail tentang pengerjaan soalnya. Tapi kenapa belum ada yang nyambung juga?
“Baiklah, bagian mana yang kalian tidak paham?”
“Bagian cara mengerjakan soalnya, Pak!” jawab mereka sekali lagi dengan kompak. Bikin Halim ingin tepuk jidat.
“Akan saya jelaskan sekali lagi. Tapi saya harap, kali ini kalian akan langsung mengerti. Ini soalnya sudah saya kasih tahu cara mengerjakannya. Dan itu mudah sekali.”
“Tapi kami tidak mau paham, Pak! Biar Bapak jelaskan terus sama kami,” sahut salah satu murid perempuan.
“Uuuuhhh..” murid laki-laki bersorak.
“Iya, Pak! Kami betah soalnya lihatin Bapak di depan kelas sambil jelasin materinya,” sambut murid perempuan yang lain.
“Uuuuuhhhh..” murid laki-laki bersorak lagi. Mereka sebal lihat teman-teman mereka yang rada gatal sama Pak Halim yang notabene adalah guru matematika mereka yang baru.
“Eh, kenapa malah berisik? Kalian mau saya ditegur Kepala Sekolah?”
Murid-murid itu sontak langsung terdiam. Mana mungkin mereka rela kalau guru favorit mereka ditegur sama kepsek.
Halim menghela nafas. Entah kenapa, setiap kelas yang dia masuki, makhluknya sama semua modelnya. Terlebih murid-murid perempuan yang ingin sekali mencari perhatiannya.
Terdengar bel tanda pergantian les berbunyi.
Halim menghela nafas lega. Hampir saja dia sesak nafas karena perilaku murid-muridnya.
“Kerjakan soal halaman 48. Besok serahkan sama saya di ruang guru.”
“Baik, Paaaaaak!!”
Halim bergegas keluar dari kelas itu. Tapi tiba-tiba beberapa murid perempuan menghentikan langkah kakinya.
“Pak, Pak, tunggu!”
Halim berbalik dan agak membelalakkan mata saat melihat mereka semua tersenyum sok imut di depannya.
“Ada apa?” tanyanya dengan dingin.
“Pak, apakah kami boleh tahu akun Instagram Bapak?”
Halim membulatkan matanya menanggapi pertanyaan itu. “Hah? Untuk apa? Kenapa nanya itu?”
“Tidak apa-apa, Pak. Hehe. Boleh, ya, Pak?”
Halim lagi-lagi menghela nafas. Waktu dia mengajar di pulau dulu, dia gak sesering ini menghela nafas.
‘Dasar anak-anak sekarang. Kasih saja kali, ya? Lagi pula, mereka tidak akan bisa lihat apa isinya. Hahaha, aku kan tidak menaruh foto apapun di sana.’
“Baiklah. Nama akun saya Abiyan Halim,” ucap Halim langsung berbalik meninggalkan mereka yang histeris.
Sedang Halim geleng-geleng kepala dipanggil terus sama mereka.
Halim meneruskan langkahnya menuju ruang guru. Karena les 3-4 dia kosong, rencananya dia akan sholat Dhuha di musholah sekolah.
Tiba-tiba Halim teringat dengan kunci motornya. Dia merogoh kantung celana bahannya, dan kunci itu terjatuh dari kantungnya.
“CK!” Halim menunduk dan memungut kunci yang terjatuh itu.
Tiba dia bangkit, dia tak sengaja berpapasan dengan guru perempuan yang berstatus PNS juga di sekolah itu.
“Eh, maaf, Bu,” ucap Halim. Ya walaupun dia tidak ada menyenggol Ibu itu.
“Pak Halim kenapa?” suara lembut mengalun dari bibir guru perempuan yang bernama Rania itu.
“Kunci saya jatuh tadi, Bu. Maaf, saya permisi dulu.” Halim mengangguk sekilas lalu pergi dari hadapan Rania.
Rania begitu terkesima dengan Halim. Sampai-sampai dia memiringkan badannya demi bisa melihat punggung pria itu.
Rania jadi senyum-senyum sendiri. Dari awal Halim masuk ke sekolah ini, dia sudah jatuh hati karena ketampanan pria itu.
Sepertinya bukan Rania saja ‘sih. Banyak guru perempuan jomblo yang diam-diam sudah mengidolakan Halim.
“Ah, Pak Halim. Semoga suatu hari nanti aku bisa merebut hatimu,” gumam Rania. Kemudian dia melanjutkan langkahnya menuju kelas yang akan dia masuki.
Setelah meletakkan tas dan buku ke mejanya sendiri di ruang guru, Halim langsung pergi menuju musholla.
..........*****..........
Ketepok!! Ketepok!! Suara pukulan di kepala terdengar, diiringi kekehan.
Medina hanya tertawa terbahak-bahak saat membawa sepedanya dengan ugal-ugalan. Sedangkan Nona yang dia bonceng, sudah cengap-cengap seperti hendak pingsan.
“Kurang ajar! Lu sengaja mau bikin gue mati, ya?”
Medina yang baru saja mencagakkan sepedanya di parkiran sekolah, lantas semakin tertawa.
“Ya elah! Buktinya lu masih hidup gitu!”
“Gila lu, Me! Ini masih naik sepeda, naik motor entah gimana nasib gue kalau diboncengi sama lu?”
“Hahaha. Ya sudah, yuk!”
Medina dan Nona berjalan masuk ke dalam sekolah.
“Me, lu sudah denger belum tentang guru matematika baru di sekolah kita?”
Medina menoleh pada Nona dan menggeleng. “Belum. Memang ada, ya?”
Nona memukul pelan lengan Medina. “Iiihh ada. Orangnya ganteng, Me. Tampan gimana gitulah!”
Medina tersenyum. “Tampan boleh. Asal jangan serem aja ngajarnya.”
“Ah, lu mau serem ataupun baik hati kayak malaikat, tetap nyangkut pelajaran itu ke otak lu! Lah gue?”
Medina kembali terkekeh. Matanya tiba-tiba tertuju ke lapangan sekolah, di mana anak-anak paskibra yang baru sedang latihan.
“Kita ikut ngelatih, Me?” tanya Nona seakan tahu maksud dari Medina walau hanya melihat dari tatapan matanya. Maklumlah, mereka sahabatan sejak SD.
Medina menaikkan kedua alisnya. “Boleh juga, Na. Tapi kita siapkan dulu urusan kita sama Pak Bambang.”
“Oke, Me.”
Mereka berdua segera bergegas mencari Pak Bambang ke ruang guru.
Setelah selesai dengan urusannya, Medina mengajak Nona untuk sholat dhuha dulu ke mushola sebelum pergi ke lapangan.
“Me, kenapa lu rajin banget sih sholat Dhuha?” Nona bertanya sembari melihat Medina mengambil wudhu.
Medina yang sudah selesai lalu tersenyum pada sahabatnya itu.
“Cuma dengan cara ini kita bersyukur sudah dikasih nafas sama Allah. Dikasih sehat dan yang lainnya.”
“Masya Allah, beruntung banget gue jadi sahabat lu, Me.”
“Ya sudah, gue masuk duluan, ya?”
Medina masuk ke dalam mushola. Dia meletakkan tasnya di dekat lemari penyimpanan mukenah. Dia lalu mengambil salah satu mukenah yang tersedia di lemari itu.
Medina sudah selesai memakai mukenanya dan bersiap untuk sholat. Dia menghadap ke depan dan tersentak kaget karena bukan Cuma dia yang ada di mushola ini ternyata.
Karena tirai pembatas shaf antara pria dan wanita tidak terlalu tinggi, sehingga masih kelihatan orang yang sholat di depan ataupun di belakang.
Terdengar lirih ayat yang dibacakan pria yang sholat di shaf depan itu, begitu merdu di telinga Medina.
Medina tidak sadar sudah senyum-senyum sendiri.
‘Masya Allah. Bacaan yang indah.’
Medina kemudian menggelengkan kepalanya. Dia lalu membaca niat dan memulai sholat Dhuha dengan tenang dan khusyuk.
...........*****...........
Halim berdoa dengan khusyuk sekali. Setelah selesai, Halim bergegas keluar tanpa tahu ada orang yang membuat dia penasaran kemarin tengah sholat juga di mushola itu.
Medina dan Nona pergi ke lapangan. Mereka disambut antusias oleh adik-adik junior yang sedang istirahat dari latihan.
Ibra-senior Medina dan Nona, mendatangi mereka. Mereka bertiga bersalaman ala anak organisasi di sekolah itu.
“Sudah selesai PKL-nya, Dek?” Ibra bertanya pada dua gadis itu, tapi matanya malah hanya menatap Medina dengan damba.
“Belum, Kak! Besok selesai,” jawab Nona.
Padahal yang Ibra harap itu, Medina yang menjawab. Tapi mau gimana lagi, Medina memang begitu orangnya. Susah untuk menaklukkan hatinya.
Ibra bahkan sedang bersaing dengan 3 orang senior Medina lainnya di organisasi paskibra ini. Mereka semua diam-diam mencoba mengambil hati Medina.
“Oh iya, Kak. Gimana latihan Adek-adek ini?” Medina membuka suaranya.
Ibra tersenyum. “Ya, gitulah, Dek! Baru berapa minggu, mana mungkin mereka langsung bisa.”
Medina tersenyum simpul, lalu mengalihkan pandangannya pada Adik-adik juniornya. Di sana ada Nona. Ternyata dia sudah menghampiri mereka duluan.
“Kak, aku ke sana dulu, ya?”
“Ah, iya, Dek.”
Ibra tersenyum-senyum melihat Medina yang berjalan melewatinya dengan penuh power.
Ibra mengusap tengkuknya. “Ahh, wanita tangguhku.”
..........*****.........
Tak terasa, jam sudah menunjukkan pukul 13:30 wib. Halim yang telah selesai mengajar, langsung saja pergi ke mushola untuk sholat Dzuhur.
Di sana, lagi-lagi dia dan Medina ada di dalam satu ruangan yang sama. Tapi yang namanya Halim, dia tidak akan peduli, kalau seseorang itu tidak terlalu penting baginya. Bahkan melirik orang saja dia rasanya malas.
Sholat Dzuhur pun akhirnya dia selesaikan dengan rasa syukur. Halim kembali ke ruang guru untuk makan siang. Pukul 15:00 nanti dia akan masuk ke kelas sore. Sambil menunggu masuk, mungkin dia akan berehat sejenak nanti.
“Pak Halim? Lagi makan, ya?”
Halim yang masih baru saja membaca basmalah, langsung mendongak. Ternyata ada Bu Sinta yang sedang tersenyum genit padanya.
Halim menganggukkan kepala dan tersenyum tipis. Yang bahkan senyumnya tidak bisa terlihat.
“Ini, saya mau tawarin sayur yang saya masak sendiri di rumah, Pak. Ayo, silakan.”
‘Haduh!’
“Terima kasih, Bu. Saya sudah bawa sendiri dari rumah,” tolak Halim dengan halus.
“Oh gitu? Ya sudah, deh. Selamat makan ya, Pak Halim?”
Bu Sinta melenggang pergi. Sepertinya tidak ada nada kecewa dari bicaranya. Halim menghembuskan nafas lega.
Sudah 3 bulan, semenjak kepindahannya di sini, dia selalu ditawarkan makanan oleh Bu Sinta. Belum lagi ada Rania dan guru-guru perempuan yang berstatus jomblo begitu serius memperhatikan dia yang sedang makan. Haduh.
‘Besok-besok, aku makan di kantin saja.’
Setengah jam sebelum masuk kelas, Halim memilih untuk duduk di bawah pohon dekat aula para guru. Di sana ada bangku panjang yang terbuat dari beton dan dilapisi keramik.
Biasanya, jam segini dia akan duduk sejenak sambil melihat anak-anak latihan baris berbaris.
Dia juga tak lupa sambil menanyakan kabar orang tua dan adik perempuannya melalui WhatsApp.
Angin bertiup sepoi-sepoi. Menggoyangkan sedikit daun-daun pada pohon.
Halim memejamkan matanya sejenak, merasai angin yang berhembus pelan tapi bisa begitu dinikmati.
Karena tidak ada balasan dari orang tuanya maupun Adik perempuannya, Halim kembali menyimpan hp-nya ke dalam kantung celana bahannya. Eh, tapi dia kelupaan untuk mengecek jadwal kuliahnya. Jadi, Halim tidak jadi menyimpan hp-nya.
“Siap gerak!!”
Terdengar suara dari komandan barisan mulai memberikan perintah.
Setelah itu, terdengar suara seorang perempuan sedang menyapa anak-anak yang sedang berbaris itu.
“Selamat siang, Adek-adek!”
Halim merasa tertarik mendengar suaranya. Karena biasanya, hanya anak kelas XII saja yang melatih, dan semuanya laki-laki.
Halim langsung menyimpan kembali Hp-nya ke dalam kantung celana bahannya. Dia kemudian menoleh pada anak-anak yang tengah berbaris itu.
Matanya langsung membulat ketika tatapannya tertuju pada gadis yang tengah berbicara itu.
‘Bukankah itu gadis yang kemarin? Eh, kenapa dia pakai baju biasa? Apa dia tidak sekolah? Tapi dia cantik.’
Bibir Halim tertarik ke samping memandangi gadis yang sedang tertawa itu. Sepertinya gadis itu memberikan penjelasan tentang game yang akan dimainkan oleh anak-anak paskibra itu.
Halim jadi semakin penasaran dengan gadis itu. Siapa namanya? Dia kelas berapa?
Ada rasa aneh singgah di hati Halim. Entah kenapa, dia jadi merasa kalau perempuan yang cantik di sekolah ini hanya gadis itu saja. Dan entah kenapa, hatinya menggebu ingin tahu.
“Permisi, Pak.”
Seorang murid laki-laki melewati Halim yang tengah duduk sambil membungkukkan badannya.
“Eh, Riko! Tunggu!”
Karena dipanggil oleh Halim, Riko berbalik dan menghampiri Halim.
“Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?”
“Kamu tahu tidak siapa dia?”
Halim menunjuk ke arah Medina dengan dagunya. Riko lantas mengikuti arah yang dimaksud Halim.
“Oh, itu anak kelas XI, Pak.”
Halim manggut-manggut. “Oh, begitu, ya? Tapi kenapa dia pakai baju biasa?”
“Mereka kan lagi PKL, Pak. Mungkin mereka ke sekolah karena ada urusan sama guru pembimbingnya.”
Halim manggut-manggut lagi. Inginnya ‘sih bertanya lebih jauh siapa namanya. Tapi malu, ah! Apa yang akan dipikirkan si Riko nanti.
“Ya sudah. Terima kasih, ya?”
“Sama-sama, Pak.”
Riko segera berlalu dari hadapan Halim. Dada Halim terasa sesak karena dipenuhi rasa menggebu ingin tahu tentang gadis itu.
“Paaaaak!! Paaaak Haliiiim!!”
Segerombolan murid perempuan mendatangi Halim yang sudah terkejut dan mengambil ancang-ancang ingin kabur. Tapi terlambat. Mereka sudah sampai duluan di hadapannya.
“Pak, kenapa Bapak tidak masuk ke kelas?”
Halim mengerjapkan mata. Ah! Kenapa dia lupa? Dia melirik jam tangannya, dan ternyata sudah setengah jam dia duduk di sini memperhatikan gadis yang mulai menyentil hatinya.
“Iya! Saya lupa kalau akan masuk ke kelas kalian.” Halim mencari alasan yang bahkan terdengar cute di telinga murid-murid itu.
Medina yang sudah selesai melatih dan sedang mengerjakan tugas di joglo di dekat lab komputer, terusik mendengar keributan di dekat aula para guru. Matanya memicing memperhatikan dari jauh, dan penasaran apa yang terjadi.
Medina lantas menutup laptop-nya dan menyenggol lengan Nona yang sibuk bermain hp.
“Na, itu ada apa?” dagu Medina terangkat menunjuk ke arah keributan itu.
“Oohh, itu paling guru baru yang lagi dikerubuti sama murid-murid.”
Alis Medina terangkat sebelah. “Hah? Lu kok tahu, sih?”
“Gue sudah berapa hari ini kan sering ke sekolah, Me.”
Medina manggut-manggut. “Memang kenapa sampai dikerubuti begitu?”
“Lu sih gak tahu betapa tampannya Bapak itu. Bapak itu jadi idola para kaum hawa di lingkungan sekolah ini, Me. Aduh! Gue sih pernah sekilas lihat Bapak itu. Waduh! Silau mata gue, Me! Silau! Gila! Bapak itu tampannya keterlaluan!” Nona begitu semangat berbicara hingga ngos-ngosan.
Medina manggut-manggut lagi. “Kok gue jadi penasaran, ya?”
Nona membelalak. “Eh, tumben elu penasaran sama seseorang. Biasanya elu cuek kalau sudah berurusan sama seorang pria.”
“Haha, sesekali gapapa kali, ya?”
“Boleh, dong! Apa lu gak tahu kalau lu itu sebenarnya disukai banyak laki-laki di sini, Me?”
Medina mengedikkan bahu. “Ah, masa? Terserah mereka, Na. Gue mau fokus dulu sekolah sama jualan. Kalau gak jualan bantuin Ibu gue, entah dari mana gue bisa sekolah.”
Nona mengusap lengan Medina. “Ouuh. Semangat ya, sahabatku? Gue bantuin deh, Me. Kalau elu butuh bantuan gue untuk jualan, gue juga bersedia. Hehe.”
Medina tersenyum dan gantian mengusap tangan Nona. “Makasih ya, Na? Lu masih mau temenan sama gue yang notabene Cuma anak tukang tempe.”
Nona bukannya tersentuh, malah memukul lengan Medina. “Ah, elu, Me!”
.........****.........
Halim yang berjalan menuju parkiran motor, mendadak berhenti. Dia celingak-celinguk memperhatikan sekitar.
Tadi dia sengaja melewati lapangan sekolah demi bisa melihat gadis itu. Tapi sayang sekali, dia sudah tidak ada di sana. Anak-anak paskibra itu pun sudah pada bubar semua.
Dan di parkiran, Halim tidak menemukan gadis itu juga. Padahal, Halim kira, dia akan bisa bertemu gadis itu barang sedetik saja.
‘Apakah dia sudah pulang? Hem, kenapa aku begitu menggebu ingin melihat wajahnya? Astaghfirullah.’
Sepertinya Halim harus bersabar untuk bisa bertemu dengan gadis itu.
..........****..........
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!