WARS OF SYSTEMS

WARS OF SYSTEMS

DIRI

Di teras rumahnya, Ray duduk menatap guru lesnya, Andi yang tengah berusaha keras mengajarinya. Andi adalah guru les privat yang secara khusus diminta oleh Tebas, ayahnya untuk bisa membantunya masuk ke universitas terbaik. Dan tentu saja ke jurusan Hukum, jurusan yang mana diinginkan ayahnya agar dimasukinya.

Itu masuk akal karena ayahnya merupakan pengacara kondang dengan segudang kasus yang dimenangkannya. Bahkan dia tak pernah terkalahkan. Konon katanya, Tebas hanya satu kali kalah tapi Ray sendiri belum tahu kapan dan dalam kasus apa ayahnya bisa kalah. Dan kalau ia tahu, ia pasti akan berguru pada orang itu. Ray amat sangat ingin mengalahkan ayahnya.

“ Ray, kita ke soal 12, ya. “ Tanpa mengurangi rasa hormat, sebenarnya Ray benar benar malas untuk mengikuti les ini. Andi adalah guru yang baik. Mungkin Ray-nya saja yang tidak baik. Ray benar-benar tak mau ke Hukum. Tapi, ia juga tidak mau dihukum ayahnya. Apalagi ia masih hidup bergantung pada ayahnya. Untuk makan saja, dengan kemampuannya yang cuma bisa masak mie takkan cukup untuk bisa lepas dari ketergantungan pada ayahnya.

“ Ya, Pak. “ Jawabannya terdengar lesu. Bagai orang yang pasrah. Tanpa perlawanan. Matanya sudah mengantuk meski baru jam lima sore. Bahkan ia baru saja tidur siang dan mandi.

“ Kamu sakit, Ray ? “ Ternyata Andi peka pada keadaan muridnya. Ia takut terjadi apa apa pada murid berliannya ini. Disebut berlian bukan karena kecemerlangan prestasinya, tapi karena Tebas, ayah Ray telah membayar begitu banyak. Menjadi kliennya yang membayar uang les terbanyak sampai saat ini.

“ Ah, ga apa-apa, Pak. Lanjut aja ke nomor 29, “ kata Ray sambil mengucek-ucek matanya.

Andi mengerutkan kening, membatin dalam hatinya. Apakah anak ini masih benar benar waras ? Baru beberapa detik yang lalu, ia bilang soal nomor dua belas, ini malah dibilang nomor dua puluh sembilan. Yang mengherankan lagi, soal-soal ini cuma sampai nomor dua puluh. Benar-benar rusak.

“ Oke, kalau ada apa-apa bilang aja, ya. Kita ke nomor dua belas. “

12. “ Manakah yang anda pilih ? “

A. Kebenaran

B.Keadilan

C. Kejujuran

Begitulah soal nomor dua belas. Andi menatap Ray, bertanya padanya. “ Mana jawaban yang benar menurutmu ? Yang menurutmu lebih dekat pada Hukum ? “

“ Kebenaran. Tapi, kejujuran juga bisa. “ Ray tampak percaya diri. “ Hukum itu untuk membuktikan kebenaran, yang dihakimi oleh orang jujur. Apakah jawabanku benar ? “ Ia menyeringai. Begitu yakin dengan jawabannya. Seolah-olah ia adalah kebenaran itu sendiri.

“ Ehm, ini Hukum, Ray. Bukan seleksi petugas pajak. “ Andi menggelengkan kepalanya. “ Jawaban yang benar adalah keadilan. Hukum adalah untuk menegakkan keadilan. Yang terpenting dari hukum adalah keadilan itu sendiri. Kamu mengerti ? “

Ray tampak tak terima jawabannya dianggap salah. Ia punya pendirian, dan ia pun berusaha untuk mendebat gurunya. “ Bagaimana Bapak bisa menjelaskan itu karena kebenaran dan kejujuran adalah aspek yang penting juga dalam Hukum. Emang Bapak mau kita hidup dibawah hukum yang ga jujur dan ga benar ? “

“ Saya tahu maksud kamu, Ray. Akan saya beri contoh untuk memudahkan pemahamanmu. “ Andi menghela nafas. “ Sekarang saya tanya, menyiksa orang itu benar atau salah ? Membunuh orang itu benar apa salah ? “

“ Dalam moralitas, jelas salah, “ jawab Ray singkat. Ia menebak-nebak apa yang sebenarnya ingin dijelaskan oleh Andi.

“ Tapi, dalam hukum itu adalah benar. Negara memiliki hukuman mati. Hukuman penjara yang penuh penyiksaan bagi para penjahat. Ini bukan tentang kebenaran tapi keadilan. “ Ray terperangah mendengar jawaban itu. Telinganya menolak mendengar, otaknya menolak untuk mengerti, apalagi hatinya yang menolak untuk percaya. Jelas-jelas konsep yang rusak.

“ Dan untuk kejujuran, apakah setiap kejujuran akan membebaskan orang dari hukuman ? Terdakwa yang jujur, tetap tidak bisa lepas dari hukum. Kebenaran dan kejujuran itu bukan hal yang diputuskan oleh hukum. Tapi, keadilan adalah hal yang diberikan oleh hukum. Hukum memberi keadilan. “

Makin rusak. Hati Ray tak suka dengan penjelasan Andi. Tetap baginya, kejujuran adalah fondasinya, kebenaran adalah tiang dan atap, sementara keadilan adalah hasil, tapi bukan yang terpenting karena keadilan tak bisa dicapai tanpa kejujuran dan kebenaran. “ Maaf, Pak.. tapi aku benar-benar susah untuk ikut jawaban Bapak. Aku tetap pada jawabanku, “ kata Ray tanpa rasa gentar.

Andi yang mendengar itu, membatin lagi. Bocah ini keras kepala banget, persis seperti ayahnya. Tak ada yang bisa dilakukan kalau sudah seperti ini. Ia mau membalas, tapi kalau hati Ray tak mau menerima ya tetap saja hasilnya menolak. Kalau mau berhenti, bisa-bisa Ray tak masuk ke jurusan hukum. Sungguh dilema baginya.

~~

Malam itu, Tebas pulang dari pengadilan dengan kegembiraan. Ia baru saja memenangkan kasus besar, dan ini semakin mengukuhkan statusnya sebagai pengacara yang legit. Ia pun menyempatkan diri untuk membeli salmon bakar, yang merupakan makanan kesukaannya agar disantap sebagai makan malam bersama anaknya, Ray yang ia tahu saat ini belum makan. Ray sama sekali tak bisa memasak jadi pikirnya, anak tunggalnya itu pasti tengah meraung-raung kelaparan.

“ Ray ! Ray ! “ seru Tebas ke atas, dimana kamar putranya berada. Namun, tak ada jawaban yang terdengar. Ia tahu bahwa putranya ada di kamar, tak mungkin pergi kemana-mana. Lagipula mau kemana dia ? Ray adalah definisi anak rumahan yang bisa betah seharian hanya di dalam kamar saja. Keluar cuma untuk makan dan minum. Mandi saja jarang.

“ Ray ! Turun dan ayo makan malam ! “ Untuk kedua kalinya ia berteriak, tapi masih tetap tak ada jawaban. Dasarnya ia adalah seorang yang tidak sabaran, Tebas kemudian menaiki tangga dan berjalan menuju kamar anaknya. Ia bersiap untuk mendamprat Ray.

Ketika tiba di depan kamar Ray, pintunya terkunci. Kebiasaan ! Begitu batin Tebas yang sudah tersulut emosi itu. Ia kemudian menggedor-gedor pintu, yang beruntungnya mendapat respon dari Ray. Ray membuka pintu kamarnya, dan langsung melihat ayahnya yang berdiri dengan wajah tegang, seperti sedang menahan kemarahan. Sementara dirinya, bingung dan kemudian melepaskan airpods nya lalu bertanya, “ Ada apa, Yah ? “

“ Turun sekarang ! “ Tebas mengatakannya dengan dingin. Ia kemudian berbalik dan menuruni tangga. Ray yang menyaksikan itu, hanya bisa terdiam. Ia sebenarnya antara sadar atau tidak sadar dengan apa yang terjadi. Tapi, ia tak mau berspekulasi lebih liar lagi dan memilih untuk segera turun.

Di meja makan, makan malam terasa sunyi. Dingin. Mereka berdua tak terlihat seperti ayah dan anak. Setelah sekian menit tanpa pembicaraan, Tebas mulai berbicara dengan melempar pertanyaan. “ Gimana lesnya ? Lancar ? “

“ Ehm.. “ Ray ragu untuk menjawab. Dibilang lancar ya tidak juga, tapi tak ada masalah juga dengan les karena sejauh ini masih berjalan. “ Ya gitulah.. “

“ Ya gitulah gimana ? “ Tebas mengerutkan kening. Jawaban mengawang-ngawang seperti itu sebenarnya adalah jawaban memuakkan baginya. Tidak jelas seperti menyembunyikan sesuatu. “ Lancar atau tidak ? “

“ Biasa aja. “ Ray memberi jawaban yang lebih netral. Tebas mengangguk. Itu masih lebih mending meski belum membuatnya puas.

“ Ray.. “ Tebas menghela nafas. “ Kau satu-satunya anakku. Aku ingin yang terbaik untuk masa depanmu. “ Matanya menyorot tajam, ia meminta keseriusan pada putranya, tapi sepertinya Ray tak tertarik. Berulang kali, Ray menolak untuk melakukan kontak mata dengan ayahnya.

“ Hukum adalah yang terbaik, kah ? “ tanya Ray dengan nada yang sinis.

“ Kau lihat ayahmu ini, Ray ? “ Tebas membusungkan dadanya. “ Ini adalah berkat Hukum. Kau masih ragu juga ? “

“ Apa itu masa depan ? “ Ray tiba-tiba saja bertanya. “ Bisakah Ayah menjamin masa depan ? “

Tebas terdiam sejenak. Ia agak kaget karena putranya jadi sok filosofis dengan mempertanyakan hal semacam itu. Dia pasti sudah terpengaruh dengan banyak paham hingga tak paham satupun paham yang ia baca, pikirnya. “ Kau ingin masa depan yang seperti apa ? “

“ Bahagia. Aku ingin keluarga yang bahagia. Bukan uang. “ Mata Ray membulat, rahangnya menguat, kata-katanya teramat tegas. Memberikan perlawanan pada ayahnya yang ia tahu akan melemahkannya.

Tebas menyeringai. “ Kau masih kecil. Jangan sok idealis ! “ Ia melipat tangannya dan menaikkan kaki ke pahanya. Jelas gestur itu untuk meredam anaknya yang sudah ancang-ancang untuk berdebat dengannya. “ Kau ga tau apa-apa dengan dunia. Kau bisa mati kalau terlalu terpaku pada idealismemu. “

“ Bisa mati.. tapi itu cuma kemungkinan. Ada kemungkinan aku tetap hidup. Jadi selama tidak ada kepastian, aku akan tetap berjalan di jalanku. “ Ray memang keras kepala. Pendiriannya teguh meski ayahnya sudah berusaha untuk menggoncangnya dengan kata-kata pedas. “ Lagipula aku ga mau jadi tiruan ayah. “ Kata-kata itu menjadi penutup dalam makan malam keluarga yang lebih mirip ajang debat. Baik Ray maupun Tebas, sama-sama kekeuh pada keputusan mereka. Tebas tetap menginginkan Ray untuk masuk ke jurusan Hukum, sementara Ray meski tak tahu ingin kemana, tapi ia tak mau ke Hukum. Ia ingin menjalani takdirnya sesuai dengan keinginannya. Menjadi dirinya sendiri seutuhnya.

~~

Terpopuler

Comments

Acelinz

Acelinz

Bakal terjawab di bab-bab selanjutnya, Kak

2024-05-10

0

Acelinz

Acelinz

Wkwkwkwk kepikiran nama itu, ga tau aja sih, Kak

2024-05-10

0

Acelinz

Acelinz

kebiasaan remaja itu, kak

2024-05-10

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!