Di teras rumahnya, Ray duduk menatap guru lesnya, Andi yang tengah berusaha keras mengajarinya. Andi adalah guru les privat yang secara khusus diminta oleh Tebas, ayahnya untuk bisa membantunya masuk ke universitas terbaik. Dan tentu saja ke jurusan Hukum, jurusan yang mana diinginkan ayahnya agar dimasukinya.
Itu masuk akal karena ayahnya merupakan pengacara kondang dengan segudang kasus yang dimenangkannya. Bahkan dia tak pernah terkalahkan. Konon katanya, Tebas hanya satu kali kalah tapi Ray sendiri belum tahu kapan dan dalam kasus apa ayahnya bisa kalah. Dan kalau ia tahu, ia pasti akan berguru pada orang itu. Ray amat sangat ingin mengalahkan ayahnya.
“ Ray, kita ke soal 12, ya. “ Tanpa mengurangi rasa hormat, sebenarnya Ray benar benar malas untuk mengikuti les ini. Andi adalah guru yang baik. Mungkin Ray-nya saja yang tidak baik. Ray benar-benar tak mau ke Hukum. Tapi, ia juga tidak mau dihukum ayahnya. Apalagi ia masih hidup bergantung pada ayahnya. Untuk makan saja, dengan kemampuannya yang cuma bisa masak mie takkan cukup untuk bisa lepas dari ketergantungan pada ayahnya.
“ Ya, Pak. “ Jawabannya terdengar lesu. Bagai orang yang pasrah. Tanpa perlawanan. Matanya sudah mengantuk meski baru jam lima sore. Bahkan ia baru saja tidur siang dan mandi.
“ Kamu sakit, Ray ? “ Ternyata Andi peka pada keadaan muridnya. Ia takut terjadi apa apa pada murid berliannya ini. Disebut berlian bukan karena kecemerlangan prestasinya, tapi karena Tebas, ayah Ray telah membayar begitu banyak. Menjadi kliennya yang membayar uang les terbanyak sampai saat ini.
“ Ah, ga apa-apa, Pak. Lanjut aja ke nomor 29, “ kata Ray sambil mengucek-ucek matanya.
Andi mengerutkan kening, membatin dalam hatinya. Apakah anak ini masih benar benar waras ? Baru beberapa detik yang lalu, ia bilang soal nomor dua belas, ini malah dibilang nomor dua puluh sembilan. Yang mengherankan lagi, soal-soal ini cuma sampai nomor dua puluh. Benar-benar rusak.
“ Oke, kalau ada apa-apa bilang aja, ya. Kita ke nomor dua belas. “
12. “ Manakah yang anda pilih ? “
A. Kebenaran
B.Keadilan
C. Kejujuran
Begitulah soal nomor dua belas. Andi menatap Ray, bertanya padanya. “ Mana jawaban yang benar menurutmu ? Yang menurutmu lebih dekat pada Hukum ? “
“ Kebenaran. Tapi, kejujuran juga bisa. “ Ray tampak percaya diri. “ Hukum itu untuk membuktikan kebenaran, yang dihakimi oleh orang jujur. Apakah jawabanku benar ? “ Ia menyeringai. Begitu yakin dengan jawabannya. Seolah-olah ia adalah kebenaran itu sendiri.
“ Ehm, ini Hukum, Ray. Bukan seleksi petugas pajak. “ Andi menggelengkan kepalanya. “ Jawaban yang benar adalah keadilan. Hukum adalah untuk menegakkan keadilan. Yang terpenting dari hukum adalah keadilan itu sendiri. Kamu mengerti ? “
Ray tampak tak terima jawabannya dianggap salah. Ia punya pendirian, dan ia pun berusaha untuk mendebat gurunya. “ Bagaimana Bapak bisa menjelaskan itu karena kebenaran dan kejujuran adalah aspek yang penting juga dalam Hukum. Emang Bapak mau kita hidup dibawah hukum yang ga jujur dan ga benar ? “
“ Saya tahu maksud kamu, Ray. Akan saya beri contoh untuk memudahkan pemahamanmu. “ Andi menghela nafas. “ Sekarang saya tanya, menyiksa orang itu benar atau salah ? Membunuh orang itu benar apa salah ? “
“ Dalam moralitas, jelas salah, “ jawab Ray singkat. Ia menebak-nebak apa yang sebenarnya ingin dijelaskan oleh Andi.
“ Tapi, dalam hukum itu adalah benar. Negara memiliki hukuman mati. Hukuman penjara yang penuh penyiksaan bagi para penjahat. Ini bukan tentang kebenaran tapi keadilan. “ Ray terperangah mendengar jawaban itu. Telinganya menolak mendengar, otaknya menolak untuk mengerti, apalagi hatinya yang menolak untuk percaya. Jelas-jelas konsep yang rusak.
“ Dan untuk kejujuran, apakah setiap kejujuran akan membebaskan orang dari hukuman ? Terdakwa yang jujur, tetap tidak bisa lepas dari hukum. Kebenaran dan kejujuran itu bukan hal yang diputuskan oleh hukum. Tapi, keadilan adalah hal yang diberikan oleh hukum. Hukum memberi keadilan. “
Makin rusak. Hati Ray tak suka dengan penjelasan Andi. Tetap baginya, kejujuran adalah fondasinya, kebenaran adalah tiang dan atap, sementara keadilan adalah hasil, tapi bukan yang terpenting karena keadilan tak bisa dicapai tanpa kejujuran dan kebenaran. “ Maaf, Pak.. tapi aku benar-benar susah untuk ikut jawaban Bapak. Aku tetap pada jawabanku, “ kata Ray tanpa rasa gentar.
Andi yang mendengar itu, membatin lagi. Bocah ini keras kepala banget, persis seperti ayahnya. Tak ada yang bisa dilakukan kalau sudah seperti ini. Ia mau membalas, tapi kalau hati Ray tak mau menerima ya tetap saja hasilnya menolak. Kalau mau berhenti, bisa-bisa Ray tak masuk ke jurusan hukum. Sungguh dilema baginya.
~~
Malam itu, Tebas pulang dari pengadilan dengan kegembiraan. Ia baru saja memenangkan kasus besar, dan ini semakin mengukuhkan statusnya sebagai pengacara yang legit. Ia pun menyempatkan diri untuk membeli salmon bakar, yang merupakan makanan kesukaannya agar disantap sebagai makan malam bersama anaknya, Ray yang ia tahu saat ini belum makan. Ray sama sekali tak bisa memasak jadi pikirnya, anak tunggalnya itu pasti tengah meraung-raung kelaparan.
“ Ray ! Ray ! “ seru Tebas ke atas, dimana kamar putranya berada. Namun, tak ada jawaban yang terdengar. Ia tahu bahwa putranya ada di kamar, tak mungkin pergi kemana-mana. Lagipula mau kemana dia ? Ray adalah definisi anak rumahan yang bisa betah seharian hanya di dalam kamar saja. Keluar cuma untuk makan dan minum. Mandi saja jarang.
“ Ray ! Turun dan ayo makan malam ! “ Untuk kedua kalinya ia berteriak, tapi masih tetap tak ada jawaban. Dasarnya ia adalah seorang yang tidak sabaran, Tebas kemudian menaiki tangga dan berjalan menuju kamar anaknya. Ia bersiap untuk mendamprat Ray.
Ketika tiba di depan kamar Ray, pintunya terkunci. Kebiasaan ! Begitu batin Tebas yang sudah tersulut emosi itu. Ia kemudian menggedor-gedor pintu, yang beruntungnya mendapat respon dari Ray. Ray membuka pintu kamarnya, dan langsung melihat ayahnya yang berdiri dengan wajah tegang, seperti sedang menahan kemarahan. Sementara dirinya, bingung dan kemudian melepaskan airpods nya lalu bertanya, “ Ada apa, Yah ? “
“ Turun sekarang ! “ Tebas mengatakannya dengan dingin. Ia kemudian berbalik dan menuruni tangga. Ray yang menyaksikan itu, hanya bisa terdiam. Ia sebenarnya antara sadar atau tidak sadar dengan apa yang terjadi. Tapi, ia tak mau berspekulasi lebih liar lagi dan memilih untuk segera turun.
Di meja makan, makan malam terasa sunyi. Dingin. Mereka berdua tak terlihat seperti ayah dan anak. Setelah sekian menit tanpa pembicaraan, Tebas mulai berbicara dengan melempar pertanyaan. “ Gimana lesnya ? Lancar ? “
“ Ehm.. “ Ray ragu untuk menjawab. Dibilang lancar ya tidak juga, tapi tak ada masalah juga dengan les karena sejauh ini masih berjalan. “ Ya gitulah.. “
“ Ya gitulah gimana ? “ Tebas mengerutkan kening. Jawaban mengawang-ngawang seperti itu sebenarnya adalah jawaban memuakkan baginya. Tidak jelas seperti menyembunyikan sesuatu. “ Lancar atau tidak ? “
“ Biasa aja. “ Ray memberi jawaban yang lebih netral. Tebas mengangguk. Itu masih lebih mending meski belum membuatnya puas.
“ Ray.. “ Tebas menghela nafas. “ Kau satu-satunya anakku. Aku ingin yang terbaik untuk masa depanmu. “ Matanya menyorot tajam, ia meminta keseriusan pada putranya, tapi sepertinya Ray tak tertarik. Berulang kali, Ray menolak untuk melakukan kontak mata dengan ayahnya.
“ Hukum adalah yang terbaik, kah ? “ tanya Ray dengan nada yang sinis.
“ Kau lihat ayahmu ini, Ray ? “ Tebas membusungkan dadanya. “ Ini adalah berkat Hukum. Kau masih ragu juga ? “
“ Apa itu masa depan ? “ Ray tiba-tiba saja bertanya. “ Bisakah Ayah menjamin masa depan ? “
Tebas terdiam sejenak. Ia agak kaget karena putranya jadi sok filosofis dengan mempertanyakan hal semacam itu. Dia pasti sudah terpengaruh dengan banyak paham hingga tak paham satupun paham yang ia baca, pikirnya. “ Kau ingin masa depan yang seperti apa ? “
“ Bahagia. Aku ingin keluarga yang bahagia. Bukan uang. “ Mata Ray membulat, rahangnya menguat, kata-katanya teramat tegas. Memberikan perlawanan pada ayahnya yang ia tahu akan melemahkannya.
Tebas menyeringai. “ Kau masih kecil. Jangan sok idealis ! “ Ia melipat tangannya dan menaikkan kaki ke pahanya. Jelas gestur itu untuk meredam anaknya yang sudah ancang-ancang untuk berdebat dengannya. “ Kau ga tau apa-apa dengan dunia. Kau bisa mati kalau terlalu terpaku pada idealismemu. “
“ Bisa mati.. tapi itu cuma kemungkinan. Ada kemungkinan aku tetap hidup. Jadi selama tidak ada kepastian, aku akan tetap berjalan di jalanku. “ Ray memang keras kepala. Pendiriannya teguh meski ayahnya sudah berusaha untuk menggoncangnya dengan kata-kata pedas. “ Lagipula aku ga mau jadi tiruan ayah. “ Kata-kata itu menjadi penutup dalam makan malam keluarga yang lebih mirip ajang debat. Baik Ray maupun Tebas, sama-sama kekeuh pada keputusan mereka. Tebas tetap menginginkan Ray untuk masuk ke jurusan Hukum, sementara Ray meski tak tahu ingin kemana, tapi ia tak mau ke Hukum. Ia ingin menjalani takdirnya sesuai dengan keinginannya. Menjadi dirinya sendiri seutuhnya.
~~
Pagi-pagi betul Andi datang ke kantor Tebas. Sudah jelas urusannya terkait dengan Ray. Ya, Tebas ingin bertanya-tanya tentang progress anaknya itu setelah tak menemukan jawaban dengan bertanya langsung pada Ray. Komunikasi yang sulit dan ketegangan yang memuncak adalah hambatannya, dan Tebas sendiri menerima hal itu.
“ Selamat pagi, Pak Andi “ Tebas menyambut Andi yang diantar oleh sekretarisnya ke ruangannya. “ Silahkan duduk, Pak “
Andi tersenyum. Ia langsung duduk, dan tak secepat kilat datanglah tawaran lain untuknya dari Tebas. “ Mau minum apa, Pak ? Kopi ? Susu ? Teh ? “
“ Kalau ada, jeruk hangat saja, Pak, “ ucapnya seramah mungkin.
“ Jeruknya jeruk apa ? Jeruk Bali ? Nipis ? Mandarin ? apa Jeruk Purut ? “ Andi cuma tersenyum mendengar pertanyaan dari Tebas itu. Dengan berhati-hati, mulutnya menjawab, “ Jeruk apa saja terserah Bapak. “
“ Oke, “ jawab Tebas, yang kemudian mengalihkan pandangannya ke sekretarisnya, dan berbicara padanya, “ Tolong satu jeruk hangat dan kopi panas. Gulanya dua sendok. “ Sekretaris itu mengangguk, dan segera meninggalkan mereka berdua saja di ruangan itu.
Suasana menjadi agak tegang karena memang secara aura saja, Tebas merupakan sosok yang begitu menggetarkan hati. Bila sering melihat persidangannya, Tebas adalah sang pengacara yang terkenal dengan kata-kata pedasnya, ekspresi sinis, dan gestur intimidasi. Pendekatannya yang seperti itu sudah melekat sehingga tak jarang ia amat disegani dimana-mana.
“ Begini, Pak.. alasan sebenarnya saya memanggil anda adalah untuk berbicara tentang anak saya, Ray. Saya penasaran dengan progressnya selama mengikuti bimbel dengan anda. Bisakah anda menjelaskan bagaimana anak saya sampai sejauh ini ? “ tanya Tebas sambil melipat kakinya. Sudah menjadi kebiasaannya, bahkan itu adalah gestur khasnya saat berbicara dengan seseorang.
“ Ehm, baik, Pak Tebas. “ Andi menjeda kata-katanya. Ia memikirkan kalimat yang pas untuk menjawab pertanyaan Tebas. Salah-salah, dirinya bisa habis di depan pengacara dingin ini. “ Ray sebenarnya.. adalah anak yang baik. Dia cerdas dan pintar. Hanya saja.. “
“ Hanya apa ? “ Tebas agak meninggikan suaranya. Lagi-lagi hal yang tak ia suka. Orang yang menjawab dengan terbata-bata adalah hal memuakkan baginya. Ia begitu tidak sabaran. “ Katakan saja dengan sejujurnya. Saya ingin mendengar semuanya. “
Andi menghela nafas. “ Hanya saja.. Ray sepertinya tidak akan cocok di jurusan Hukum. Hampir setiap hari, saat saya menerangkan materi, berusaha untuk mengarahkan dia ke Hukum, namun dia terus-terusan membantah. Dan mengajak saya untuk berdebat. “
“ Loh, bukannya justru cocok. “ Ternyata Tebas punya pemikiran lain. “ Ray suka berdebat dengan anda. Berarti mewarisi bakat dan kemampuan saya. Itu justru menjadi bukti bahwa Hukum adalah tempat yang sesuai untuknya berkembang menjadi seseorang. “
Masuk akal juga, batin Andi. Kini ia yang bingung. Apa ia kurang bisa mendorong Ray pada kemampuan dan potensinya, apalagi ia sendiri belum bisa menemukan secara pasti apakah sebenarnya potensi dari Ray.
“ Mungkin benar dia punya potensi. Tapi, dia tak memiliki kemauan untuk itu. Justru.. “
Suara pintu terketuk, menjeda ucapan Andi. Tebas yang agak kesal mendengarnya langsung menyuruh sang pengetuk pintu membuka pintu. Ternyata seorang pegawainya yang membawa minuman mereka. Jeruk hangat dan kopi panas. Pegawai itu meletakkan kedua minuman itu dengan hati-hati di meja, dan segera izin pergi setelah melihat wajah Tebas yang tampak merah kesal.
“ Mengganggu saja., “ ucap Tebas pelan, namun tetap bisa didengar oleh Andi yang hendak mencicipi jeruk hangatnya tapi akhirnya tidak jadi.
“ Silahkan dilanjutkan penjelasan anda.. “
Andi mengangguk. “ Jadi, Ray memang tidak memiliki kemauan untuk ke Hukum. Justru dari beberapa kali saya perhatikan, pemikirannya lebih ke filosofis. Dia seperti ingin menjadi filsuf bagi dirinya sendiri dan orang lain. Pertapa atau orang bijak. “
“ Ah, dia masih kecil. Sok idealis dengan kebenaran. “ Tebas terdengar skeptis. Kata-katanya meremehkan, dan berusaha untuk menjatuhkan putranya. “ Dia cari perhatian dengan hal-hal begitu. “
“ Mungkin dia ingin mencari perhatian anda juga, Pak. “ Andi menatap Tebas, sebenarnya ada kekhawatiran di hatinya setelah mengatakan demikian tapi ia pun penasaran apakah Tebas akan bersimpati. Apalagi sebagai orangtua tunggal, Tebas membesarkan anaknya seorang diri selama ini.
“ Dia sudah mendapatkan semua itu. Saya membayar anda semahal itu pun sudah menjadi bukti. Selama ini saya sekolahkan dia di sekolah terbaik di negeri ini. Saya perlakukan dia sebaik-baiknya. Perhatian saya hanya pada dia seorang, “ jawab Tebas dengan tenang. Ia tak kelihatan tertekan dengan pertanyaan Andi karena ia sendiri tahu bahwa ia sudah melakukan yang benar.
Tapi, Andi punya pandangan lain dari pengalamannya mengajari Ray. Remaja itu jelas mendapatkan fasilitas nyata dari ayahnya, tapi ada hal yang tak didapatnya. Fasilitas batin. Tebas sama sekali tidak memberinya kasih sayang dalam hatinya. Ray hidup dalam kesendirian dan kekosongan hati.
“ Itu benar. Tapi, Ray mungkin butuh kelembutan anda.. “ Makin besar rasa penasarannya, makin besar kecemasannya saat ini. Mulutnya tak bisa dikontrol, banyak kata-kata bernada lancang yang keluar dari mulutnya itu. Andi seperti seorang anak kecil yang penasaran dengan hutan penuh monster didalamnya, yang siap untuk membunuhnya kapan saja.
Tebas menarik nafas panjang. “ Saya telah kehilangan seseorang yang saya cintai karena kelembutan itu. Saya tidak ingin melakukan kesalahan yang sama. “ Matanya memandang Andi, cukup lama yang membuat Andi agak gelisah. Tapi kemudian ia berkata, “ Saya keras pada Ray adalah karena saya tak ingin dia menjadi seseorang yang sama seperti dia yang hilang dari saya. Saya ingin Ray, di masa depan menjadi seseorang yang besar dan ketika itu, dia akan berterimakasih pada saya karena telah membuatnya menjadi hebat. Itulah cita-cita terbesar saya sebagai ayah. Ray harus menjadi seorang yang besar. Karena orang akan membanding-bandingkan dia dengan saya. Saya tak yakin dia sanggup dengan tekanan itu. “
“ Saya mengerti, Pak. “ Andi mengangguk. Perkataan Tebas yang cukup dalam itu mulai sedikit menjawab rasa penasaran Andi, namun ternyata ia belum puas. Ia malah kembali bertanya, “ Tapi, haruskah Hukum ? Tidak bisakah anda mengikuti keinginan putra anda ? “
“ Anda tahu Ray menginginkan apa ? “ Tebas langsung saja membalikkan pertanyaan itu. Andi terdesak dan dengan setengah gugup menjawab, “ Dia ingin menjadi seorang yang bijak. Filsuf mungkin. “
“ Sekarang dimana orang ingin mendengar filsuf berbicara ? Hal-hal semacam itu hanya popular di zaman Yunani Kuno. Saya tak benar-benar yakin itu akan menjadi pekerjaan baginya. Minat, ya. Realita, tidak. “ Tebas seorang yang realistis. Dia adalah sang kusir bagi anaknya, yang bagai kuda liar tak terkendali saat ini. Ia perlu menjinakkan dan mengarahkannya ke jalan yang benar. “ Hukum adalah pilihan yang terbaik. Saya bisa menjadikannya sebagai seseorang yang besar di dunia Hukum. Sama seperti saya, bahkan lebih. “
Keadaan pun menjadi hening. Tebas meminum kopinya sejenak, begitu pun dengan Andi yang sudah ngebet ingin mencicipi jeruk hangatnya. Bahkan dengan sekali teguk, Andi berhasil menghabiskan jeruk hangat itu. Jeruk hangat ini begitu segar. Mungkin Pak Tebas bisa membuka kedai minuman kalau sudah bosan jadi pengacara, batin Andi.
“ Anda mau tambah ? “ tanya Tebas tiba-tiba, yang mengejutkan Andi. Andi langsung menggelengkan kepala, malu sepertinya karena cara minumnya yang seperti orang kehausan. Meski benar ia haus, tapi seharusnya ia menjaga cara minumnya yang elegan. “ Jeruknya enak sekali, Pak. Tapi, sudah cukup. “
“ Pembicaraan kita masih panjang. Anda bisa tambah haus saat berbicara dengan saya. Saya pesankan satu minuman lagi untuk anda, ya. “ Tebas langsung mengambil handphonenya. Mengetikkan sesuatu di handphonenya, dan berkata, “ Sudah saya pesankan. Mari kita lanjutkan pembicaraan ini. “
Andi hanya bisa tersenyum selebar-lebarnya sambil menunggu Tebas membuka obrolan lagi yang sempat hening.
“Untuk ke depannya anda akan bagaimana ? Dengan progress Ray yang seperti ini ? Adakah perubahan metode belajar ? “ Setelah meminum kopinya, sepertinya Tebas terlihat on-fire untuk membombardir Andi dengan segudang peluru pertanyaan.
“ Ehm.. “ Andi memegangi hidungnya. Ia gugup sekali apalagi dengan sorot mata Tebas yang mulai mengintimidasinya. “ Sebenarnya ini sulit. Karena dalam tes di Universitas Sepuluh April, universitas yang anda inginkan untuk Ray, mereka mengadakan sebuah tes spesial. Tes minat bakat, semacam tes yang menampilkan setiap pilihan ganda lalu dari pilihan-pilihan itu akan membawa seseorang kepada jurusan terbaik sesuai pilihannya. Tes ini harus dilakukan dengan kejujuran dan kalau Ray dengan hatinya yang seperti itu, bisa terdeteksi oleh kursi kebohongan bahwa ia memilih dengan tidak jujur, tidak dengan hatinya. Dia bisa didiskualifikasi bahkan kemungkinan terburuknya dia dibuang ke Neverland. “
“ Tak adakah cara lain untuk membuat anak itu ke jurusan Hukum ? Kalau seperti itu, dia bisa berakhir di jurusan sastra.. Itu buruk baginya. “ Tebas menggelengkan kepala, tak bisa membayangkan anaknya harus masuk ke jurusan yang menurutnya adalah jurusan yang menyedihkan.
Andi tak menjawab. Kepalanya tertunduk, matanya terpejam, nafasnya terangkat, mulutnya mulai membuka tapi tertutup kembali. Seperti ada keraguan dalam hatinya untuk menjawab. Jelas ragu, karena ini bukan cara yang baik. Ini adalah cara kriminal. Tapi, Tebas tahu bahwa Andi punya jawaban, kemudian mendesaknya agar memberitahu padanya.
“ Katakan saja apa ide anda ! Baik atau buruknya ide anda akan saya pertimbangkan nanti, “ kata Tebas dengan tegas.
“ Baik.. “ Andi mengatur nafasnya, mulai berbicara tentang idenya, “ Saya punya teman yang bekerja di bagian pendataan tes. Dia bertugas untuk memasukkan hasil tes setiap calon mahasiswa di USA ( Universitas Sepuluh April ). Saya pikir dia bisa membantu untuk mengubah hasil tes Ray, apapun hasilnya menjadi jurusan Hukum. Maafkan saya, saya tak bermaksud menyarankan hanya saja ini ide saya. “
Wajah Tebas datar. Tak ada ekspresi. “ Berapa harganya ? “ tanyanya singkat.
“ Lima juta, “ jawab Andi. Ia sepertinya sudah mempersiapkan hal ini. Bahkan tidak ada keraguan dalam kata-katanya saat menjawab.
“ Tiga juta saya bayar sekarang. Tujuh juta akan saya bayar selanjutnya bila Ray benar-benar menjadi mahasiswa Hukum. Dua kali lipat dari harga yang anda tawarkan, bukan ? “
Mata Andi membulat. Ia benar-benar tertarik dengan tawaran ini. Dengan suara yang yakin dan tegas ia berkata, “ Deal ! “ Tebas dan Andi saling berjabat tangan sepakat dengan harga dan tawaran ini.
~~
Ray tak terbiasa bangun pagi. Kebiasaanya adalah bangun jam sepuluh pagi atau bahkan jam dua belas siang, apalagi di saat libur seperti ini. Liburan panjang setelah kelulusan SMA. Di hari-hari sekolah, Ray pun terbiasa untuk terlambat dan itu membuat kedisiplinannya sangatlah rendah. Dan begitu juga hari ini. Hari dimana dia mengikuti tes masuk perguruan tinggi di Universitas Sepuluh April.
Normalnya, ketika waktu tes dimulai pukul tujuh pagi, seseorang akan datang maksimal tiga puluh menit sebelum tes. Tentunya untuk mempersiapkan hal-hal yang berkaitan dengan tes, termasuk otak dan mental mereka. Tapi, Ray tiba dengan senyuman tak tahu dirinya pada pukul tujuh lewat lima belas menit. Panitia saja sampai memakinya karena terlambat.
Sebenarnya Ray tak pernah masalah dengan itu. Ia suka dan bangga akan hal itu. Ia suka karena ia merasa menjadi orang yang ditunggu-tunggu dengan datang terlambat. Pemikiran gila, dia pikir dia presiden, artis, atau selebritas ? Tapi Ray tak peduli. Dia adalah dia. Pemikirannya adalah kebebasannya. Tak heran ayahnya, Tebas menganggapnya sebagai kuda liar.
“ Kau harus menunggu giliran lagi. Peserta setelahmu tadi sudah masuk duluan. Nanti setelah dia, baru kau masuk, “ ucap panitia itu kepada Ray, yang hanya mengangguk saja.
Ray kemudian duduk di bangku dekat panitia yang berada persis di depan ruang tes. Ia melihat para peserta lainnya yang duduk di belakangnya, terlihat begitu cemas. Beberapa dari mereka masih ada yang membaca buku, ada yang saling berdiskusi, bahkan tak sedikit mereka yang merapalkan doa. Seperti mau kiamat saja, batin Ray.
Ray dasarnya memang santai. Dalam ujian seperti ini saja, ia tidak cemas atau takut. Ia diberitahu oleh Andi bahwa ujiannya adalah tentang kejujuran hati. Jadi ia akan menerima apapun hasilnya. Tak ada hasil buruk baginya karena ini adalah tentang hatinya.
Jurusan sastra adalah tebakan dari Andi, meski ia memikirkan untuk masuk ke jurusan filsafat. Ia ingin mendalami ilmu-ilmu filosofi seperti itu. Entah kenapa masa remajanya lebih sering tertarik dengan pemikiran ataupun paham-paham daripada angka seperti teman-temannya yang lain.
Antara sastra dan filsafat, keduanya tak disukai ayahnya. Tapi, masa bodoh dengan itu. Toh, kuliah tak lagi harus butuh uang ayahnya seperti sekolah. Yaps, pemerintah menerapkan kuliah gratis. Ini sebenarnya menjadi jackpot baginya. Kuliah gratis dan di jurusan yang sesuai dengan minat dan bakatnya. Nikmat mana lagi yang tak lebih istimewa dari ini ?
Maka dari itu, ia bisa memilih jurusan dengan sesukanya tanpa harus khawatir tak mendapat dukungan dari ayahnya. Lagipula ia benci dengan ayahnya yang terlalu mengaturnya. Bahkan dengan teman-temannya, ayahnya membenci mereka. Kata ayahnya, teman-temannya membawa pengaruh buruk. “ Padahal cuma rokok.. dan pulang malam saja., “ kata Ray saat itu sebagai pembelaan dan itu membuahkan sepaket komplit tamparan di pipi kanan dan kiri dari ayahnya. Mulai dari itu, ia tak diizinkan pergi kemana-mana lagi. Setelah pulang sekolah, pulang ke rumah dan ikut les atau belajar di rumah.
Ray juga berpikir bahwa ayahnya adalah seseorang yang tak mengenal cinta kasih. Dalam benaknya, ayahnya merupakan seorang egois yang selalu menjaga martabat dan harga dirinya dengan memakai tameng nama baik keluarga. Andai saja ibunya masih hidup, nasibnya mungkin akan lebih baik. Atau justru cinta kasih itu tidak ada.
Ya, sebuah pertanyaan. Ayahnya tak pernah mengajaknya ziarah ke makam ibunya. Padahal itu masih satu kota, dan dekat lagi. Sebegitu dingin dan tak berhatinya kah ayahnya ? Ray sempat diam-diam mengunjungi makam ibunya, dan melihat bahwa makam itu tak terawat dengan baik. Makam itu bahkan lebih mirip kebun tanaman liar daripada sebuah makam. Ia kemudian membersihkan makam itu, dan memberinya bunga tabur dengan layak untuk makam ibunya. Di makam itu, ia berbisik bahwa ia akan membalas ayahnya suatu saat nanti.
“ Rayendra Putra Nugraha ! “ Namanya telah dipanggil. Ray kemudian bangkit dari kursinya. Dari ruang tes itu, ia melihat seorang gadis berjalan keluar dengan mata berkaca-kaca. Tak jelas menangis lega, atau menangis sedu. Dugaannya menangis stress, sih. Ujian seburuk itu, ya, batinnya sebelum memasuki ruang tes.
Di ruang tes, Ray bersama dengan beberapa orang lain yang namanya juga dipanggil, dijelaskan tentang tata cara tes secara singkat oleh panitia. Tes ini dilakukan dengan sistem TBM ( Test Berdasarkan Minat dan Bakat ), dimana nanti setiap peserta akan diberikan pertanyaan dan memilih setiap pilihan untuk setiap pertanyaan yang disediakan berdasarkan minat dan bakat masing-masing peserta. Dilarang keras untuk mengelabui dengan memilih pilihan yang tidak sesuai dengan hati karena para peserta akan duduk di kursi yang telah dipasang sistem pendeteksi kebohongan. Jadi, bila alarm pada sistem berbunyi tiga kali, maka peserta akan didiskualifikasi dari tes.
Ray hanya mengangguk-angguk saja dengan penjelasan itu. Ia cuma ikut tes supaya bisa kabur dari ayahnya saja. Harapannya jurusan yang ia inginkan, yang penting bukan Hukum. Ia tak mau ayahnya girang. Ia mau ayahnya kecewa dan melupakannya.
“ Tes dimulai dari 1.. 2.. 3.. “
Setiap peserta langsung mulai untuk mengerjakan soal yang ada pada layar komputer. Ray pun sama, dan mendapat soal aneh. Soal yang tak ia duga ada. Soal matematika !
X + Y \= 6, jika diketahui Y \= 9, maka X adalah..
A. Tak ada jawabannya
B. -1
C. Tidak tahu
Ray tahu betul ini adalah soal aljabar kelas delapan SMP. Tapi, karena selama bersekolah ia hanya tidur melulu, ia tak bisa mengerjakan ini sama sekali. Namun, ia kemudian menjawab pilihan B (-1) karena hanya pilihan itu yang ada angkanya meski ia tak yakin.
TIT TIT TIT TIT
Alarm di kursi Ray berbunyi keras. Sial aku melakukan kesalahan, pikirnya. Seorang panitia mendatanginya. Dia menatap Ray dengan tatapan tegas, lalu berkata, “ Peringatan untukmu, pilihlah jawaban karena murni dan keyakinan hatimu bukan karena kesempatan. Karena itu akan menentukan kualitas pribadimu. “ Setelah mengucapkan kata-kata puitis itu, sang panitia kembali ke tempatnya. Sementara Ray masih bingung dengan kata-kata panitia itu. Ia kemudian memutuskan untuk menjawab soal dengan cepat dan yakin.
Perlahan-lahan, ia menjawab soal yang bersyukurnya tak ada angka-angka lagi. Semuanya lebih kepada pertanyaan moralitas dan berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Ia menjawab pertanyaan itu dengan sebaik-baiknya sesuai keyakinan hatinya. Hingga muncul pertanyaan yang sulit lagi.
24. Bila anda seorang pejabat negara Dinas Sosial lalu melihat seorang pengemis, apa yang anda lakukan ?
A. Memberinya uang
B. Membiarkannya saja
Hanya dua pilihan saja. Ini pertanyaan moral, menguji hati, dan ia tahu bahwa jelas ini pertanyaan yang pernah ia lihat. Setidaknya ini tipe soal serupa yang pernah dibahas oleh Andi.
Hukum adalah tentang keadilan, bukan kebenaran dan kejujuran. Memberi uang pada pengemis adalah tindakan yang benar. Tapi, Hukum Negara melarangnya karena itu akan membuat pengemis tak berkembang sama sekali. Pengemis dan orang-orang seperti itu dipelihara negara melalui Dinas sosial. Itu yang dia ingat dari penjelasan Andi tentang soal ini. Andi benar-benar hebat prediksi soal-soalnya.. atau justru ada yang bocor. Ah, emang genteng, bisa bocor.., batin Ray dalam hatinya.
Tangannya kemudian menggeser kursornya ke pilihan A, agar ia tak masuk ke jurusan Hukum. Ia yakin pilihan A akan menghindarkannya dari jurusan Hukum. Lagipula, ia juga akan melakukan itu karena jujur saja ia tak tahan untuk tidak memberi pada orang-orang miskin di jalanan. Tapi.. Matanya tertipu !
Pejabat negara.. ini kata yang sulit. Ia menjauhkan kursornya, muncul keraguan dalam hatinya. Hadeuh, ini tes yang sulit, Ray mulai merasakan apa yang dirasakan gadis tadi setelah selesai tes. Menangis stress.
Kalau pengemis dipelihara negara melalui Dinas Sosial, dan memberi uang pada pengemis itukan kewajibannya. Tak salah secara hukum. Justru kalau membiarkannya, itu adalah kesalahan. Begitulah pemikiran Ray yang sedang terombang-ambing dalam pertanyaan yang terlihat mudah, namun sulit sebenarnya.
“ Berarti B.. eh tapi.. A.. kan.. “ Ray mulai bercucuran keringat. Hatinya penuh kebimbangan. Tangannya lalu menggerakkan mouse, memilih pilihan A. Sesuai pilihan awalnya, tapi dengan keraguan seratus persen.
Dan sedetik kemudian, alarm di kursinya berbunyi lagi. Pengawas ujian segera mendatanginya. Dengan wajah kesal, pengawas itu berkata, “ Nak, kerjakan ujian dengan penuh keyakinan. Jawaban keraguan akan membuat alarm di kursi ini berbunyi terus. Jangan berusaha menipu tes, atau kau akan gagal ! “ Peringatan pengawas itu begitu tegas hingga membuat Ray ciut. Dia panik, cemas, khawatir, tegang, dan muak. Rasanya ia ingin meninju komputer didepannya, yang telah memberikan soal-soal gila padanya.
Tapi, beruntung saja baginya karena sepuluh soal sisa bisa dikerjakannya dengan sukses. Ia tak memikirkan itu berhubungan dengan hukum, atau apalah itu. Masa bodoh dengan dia diterima atau tidak di jurusan Hukum, yang penting setelah masuk masa perkuliahan, ia bebas dari sang ayah. Karena kabarnya, Universitas Sepuluh April menerapkan sistem asrama bagi para mahasiswanya.
“ Well, I’m done, “ katanya sambil keluar dari ruang tes dengan ekspresi yang tak bisa lagi disebut ekspresi selain kehancuran.
~~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!