ANEH

Menjelang pagi, dua sosok bersayap turun dari awang-awang, melesat secepat meteor lalu menghilang begitu saja saat berada di atas hutan wilayah pinggiran Bojonegoro. Di daerah inilah Pakde Suro tinggal. Letak rumahnya terpencil di hutan, di sebuah dataran tinggi. Namun, akses keluar-masuk tidak sulit karena ada jalan besar yang merupakan jalur alternatif.

"Altair Tawang, kamu harus mendampingi Arka. Main-main dengannya, buat dia tanpa sadar melakukan itu." Begitu kaki sudah menjejak di tanah berumput, altair perempuan itu langsung memberi perintah bernada misterius. "Aku mau ke Madiun untuk membuat perjalanan si bungsu lancar tanpa hambatan," lanjutnya. Setelah itu, dia terkikik sambil menutup mulut.

"Kenapa harus menggunakan cara aneh dan bahaya, toh? Awas saja kalau sampai ada kesalahan. Kamu bisa bernasib seperti Altair Harnum dulu." Altair pria bernama Tawang itu menatap lekat rekannya yang masih terkikik.

Sebenarnya Tawang tidak setuju dengan cara Suli yang menurutnya terlalu ekstrem. Namun, apa boleh buat? Meskipun keras kepala dan cenderung seenaknya sendiri, berdasarkan pengalaman selama ini, hasil kerja altair perempuan itu bisa dibilang selalu memuaskan. Oleh karena itulah, dia tidak mampu menentang walaupun sebenarnya keberatan.

"Nggak akan. Percaya aku." Suli mengibas tangan kanan di depan wajah Tawang. "Mending aku cepat ke sana. Kayaknya dia sudah siap-siap. Sampai jumpa, Altair Tawang." Sosoknya langsung menghilang begitu selesai berbicara.

"Semoga semua berjalan lancar, Altair Suli." Sosok altair pria ini pun menghilang tidak lama kemudian.

Baru pukul enam pagi. Meskipun matahari sudah mengintip, tetap saja ini masih terlalu dini bagi Diyan yang terbiasa bangun pukul tujuh lalu melakukan aktivitas pagi sebelum ke kampus dengan terburu-buru.

Keluar dari pintu pagar hanya mengenakan kaus hitam bergaris-garis putih dan celana pendek selutut, rambut panjangnya tergerai, masih berantakan. Di bahu kanan tersampir tas ransel yang tampak padat hingga menggelembung.

Karena mata yang masih terasa lengket, dia sempat mengalami kesulitan untuk mengunci pintu pagar. Seorang gadis turun dari mobil yang parkir di seberang jalan depan rumah lalu berlari-lari kecil menyongsongnya.

"Sini aku bawakan tasnya."

"Nggak usah, aku bisa bawa sendiri." Diyan menolak halus sembari memaksakan bibir tersenyum.

"Rambutmu awut-awutan," ujar gadis berambut ikal diwarnai kebiruan ini sembari merapikan rambut Arka menggunakan jari.

"Ayolah, In," Pemuda itu mengibaskan kepala, "aku mau tidur lagi di mobil buat apa dirapikan?"

"Tsk, nggak pake jaket pisan. Dasar tambeng."

Sekarang memang musim panas, tetapi udara pagi tetap saja terasa cukup dingin karena angin bertiup kencang. Jadi, tidak salah juga kalau gadis itu sedikit mengomel karena menurutnya baju Diyan terlalu tipis.

"Kan ada kamu, toh. Itu wes cukup, Su-dah cu-kup. Paham?"

Intan terkekeh senang, padahal sebenarnya Diyan mengatakan itu hanya bermaksud membuatnya berhenti mengoceh. Jujur saja, Diyan tidak pernah benar-benar merasakan perasaan spesial pada Intan. Kadang dia bertanya-tanya, apakah lupa ingatan juga akan membuat rasa cinta atau nalurinya menjadi tumpul?

Akan tetapi, dia juga tidak bisa mengabaikan fakta bahwa semua orang di sekitar mengakui bahwa Intan memang kekasihnya. Jadi meskipun terkadang terbersit rasa ragu, dia tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti alur. Lagi pula, Intan gadis yang sangat baik dan penuh perhatian.

"Cepatlah, An! Lebih cepat sampai lebih baik!" Seorang pemuda yang berada di balik kemudi berteriak.

"Jalan!" Intan buru-buru menarik Diyan yang masih ogah-ogahan.

"Aish, iya, iya!" Pemuda itu pun melangkah sambil menggerutu.

Selain pemuda yang tadi berteriak, di dalam mobil masih ada satu pemuda lagi duduk di sampingnya. Dalam keadaan mengantuk berat, pemuda ini berkata, "Nik, ayahmu nelpon, tapi nggak ada suara pas tak angkat." Suara pemuda itu sangat lemah dan ogah-ogahan.

"Abaikan saja," ujar Niko, si pengemudi sekaligus pemilik vila yang akan mereka datangi.

Niko mengerling kaca spion untuk melihat ke kursi barisan tengah, di mana Intan dan Diyan baru saja masuk.

Setelah mengenakan sabuk pengaman, Diyan langsung menyamankan diri dengan menyandar, lalu memejamkan mata. Intan, tanpa sungkan bergelayut di lengan pemuda itu kemudian menyandar di bahunya.

"Tks, oeee! Ini nggak ada yang mau nemeni aku melekan?"

Nasib. Tidak hanya sebagai penyedia fasilitas liburan, sungguh sial dia juga harus menjadi satu-satunya orang yang sepenuhnya terjaga dan bertindak sebagai sopir.

"Nyetir saja nggak usah brisik. Kamu yang tiba-tiba ngubah rencana kok. Rasakno akibate yo," ujar Diyan malas tanpa ada niat membuka mata.

Kemarin rencananya mereka akan berangkat setelah pukul tujuh, tidak disangka malah sudah datang menjemput pukul setengah enam. Bayangkan, untuk membangunkan Diyan saja butuh waktu setengah jam sendiri.

"Sialan. Aku wes ngusahakne yang terbaik malah kayak gini jadine."

"Nik," panggil Diyan lirih, nyaris tak terdengar, bahkan bibirnya saja tidak bergerak.

"Apa?!"

"Jalan ... atau aku turun dan---"

"Sialan!"

Diyan dan Intan menyungging senyum tipis karena Niko buru-buru menghidupkan mesin mobil meski sambil merutuk kesal. Mobil baru saja melaju ketika ponsel Niko yang ada di genggaman pemuda di sampingnya berdering. Ogah-ogahan, si rambut keriting yang belum sepenuhnya terlelap ini membuka sambungan tanpa melihat terlebih dahulu siapa yang menelepon.

Setelah mengucapkan salam berulang kali, tetapi tidak mendapat jawaban, akhirnya dia membuka mata dan menilik layar ponsel. "Ayahmu," gumamnya.

"Apa katanya?"

"Menurutmu?" Pemuda ini terlihat sebal. "Nih! Angkat sendiri kalau telpon lagi."

"Matikan saja," ujarnya acuh tak acuh.

Seenaknya saja Niko menonaktifkan ponsel, padahal sang ayah saat ini sedang setengah mati mencemaskannya. Pria paruh baya bertubuh tambun yang masih dalam balutan baju tidur, tadi menerima telepon aneh dari penjaga vila tentang dukun atau apalah, tidak lama setelah Niko berangkat.

Pria itu mengacak rambut frustrasi karena panggilannya selalu gagal, sekarang malah tidak tersambung. Mencoba menghubungi penjaga vila untuk mengkonfirmasi keadaan, pun tidak bisa terhubung. Bagi warga kota kecil yang masih sangat percaya takhayul, kejadian semacam itu sudah tentu langsung disangkutpautkan dengan hal-hal gaib atau yang berbau mistis.

"Astaga! Ada apa ini? Duh, Gusti nyuwun pengayoman."

Setelah melempar telepon ke kasur, pria itu bergegas membuka almari. Mengambil satu setel pakaian lalu melemparnya ke tempat tidur. Setelah itu, dia pergi ke kamar mandi dan ketika kembali pakaian itu sudah tidak ada di tempatnya.

Pria itu celingukan sambil garuk-garuk kepala. "Perasaan tadi aku taruh di sini." Matanya mengerling almari yang terbuka lebar.

Alisnya bertaut seketika. Aneh. Dia ingat betul tadi sudah menutup pintu almari itu. Matanya langsung melebar saat melihat pakaian yang tadi sudah dikeluarkan ternyata kembali terlipat rapi di sana. Bagaimana bisa?

Tidak mau ambil pusing atas hal yang mungkin saja terjadi karena faktor lupa, pria itu segera berganti pakaian. Dia harus buru-buru menyusul Niko, mencegahnya melanjutkan perjalanan ke Magetan. Dengan tergesa-gesa dia masuk ke dalam mobil dan ....

"Aaarrrhhhggg! Siaal!" Pria itu meraung murka sambil memukul lingkar kemudi berkali-kali karena mesin mobil tidak bisa dihidupkan.

Sementara itu di vila, Arka tengah melompat ke sana-kemari menghindari sabetan ekor makhluk menjijikan. Dia kembali mendarat tanpa sedikit pun mengendurkan tingkat kewaspadaan.

Makhluk menjijikan yang terus meneteskan air liur, perlahan merayap di langit-langit ruang tengah, lalu menggelantung di lampu hias dengan posisi kepala di bawah.

Bentuknya bisa berubah-ubah sesuka hati. Beberapa puluh menit yang lalu, sebelum Arka berhasil menyarangkan pukulan jarak jauh ke tubuhnya, makhluk itu masih berwujud manusia bertanduk dan bertaring panjang. Namun, sekarang wujudnya adalah kadal besar berkulit kasar berwarna abu-abu, matanya besar melotot, giginya runcing seperti pagar jarum sebesar jari kelingking, telinga mirip telinga gajah, dan satu tanduknya tepat berada di tengah-tengah dahi.

Selama aktif membantu Pakde Suro, baru kali ini Arka berhadapan dengan lawan tangguh sekaligus paling mengerikan. Wajah pemuda itu berpeluh, bajunya pun basah kuyup oleh cairan yang sama. Dada dan bahu naik turun kasar karena napas tidak beraturan.

Sementara mata terpaku menatap tajam kadal menjijikan itu, telinganya mempertajam pendengaran untuk mengikuti pergerakan lain yang ada di sekitar vila, ada dua iblis lagi yang berkeliaran di halaman.

Pakde Suro dan Laras serta seorang pria paruh baya bertubuh kurus yang merupakan penjaga vila, berdiri saling merapat di belakang Arka. Keadaan Pakde Suro dan Laras tampak acak-acakan setelah babak belur menghadapi makhluk-makhluk itu satu lawan satu. Kemudian, Arka melarang mereka bergerak lagi, apalagi menjauh. Dia ingin semua berada dalam jangkauan pandagnya.

Pria penjaga vila itu sekitar tiga jam lalu sempat bersitegang dengan mereka karena merasa tidak pernah memesan jasa cenayang atau dukun. Dia marah-marah, tetapi tidak bisa menolak ketika Arka menyarankan untuk menghubungi si pemilik vila. Kemarahannya semakin menjadi-jadi setelah dia mendapat murka dari sang bos karena telah menggangu di pagi buta. Pun, ternyata bosnya tidak pernah menghubungi cenayang.

Akan tetapi, sekarang orang itu malah merasa sangat bersyukur karena para cenayang ini datang di saat yang tepat---saat di mana tiga iblis tiba-tiba menyatroni vila yang selama ini aman-aman saja. Mereka seperti dikirim langsung oleh Tuhan.

"Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana bisa begini kebetulan?" Setelah sekian lama tidak mampu berkata-kata, akhirnya pria kurus tinggi itu bersuara, seperti mencicit saking takutnya.

Dia tidak bisa melihat wujud makhluk yang sedang dihadapi Arka, tetapi bisa merasakan kengerian yang ditimbulkannya. Lututnya saling menempel gemetaran, antara menahan kencing dan mencoba bertahan untuk tetap bisa berdiri. Tidak ada yang merespon pertanyaan si penjaga vila. Pakde Suro dan Laras pun sangat tegang dan waspada, mata terus mengedar pandang ke sekitar dan pendengaran pun dipertajam.

Sungguh atmosfer yang sangat berbeda dari biasanya bagi Pakde Suro dan Laras. Namun, bagi Arka situasi ini justru sangat familier. Dia merasa seperti sudah pernah berada dalam situasi yang sama. Namun, kapan dan di mana? Tentu saja dia tidak bisa menemukan jawabannya. Bukankah dia lupa ingatan?

"Dari mana kamu berasal? Kenapa tiba-tiba mengganggu tempat ini?" Suara Arka sangat tenang cenderung dingin.

Makhluk itu menelengkan kepala, wajahnya yang mengerikan seketika terlihat bodoh. Mulutnya terbuka memperlihatkan ruang menjijikan penuh genangan air liur yang serta-merta mengalir keluar.

"Dia nggak punya lidah," ujar Pakde Suro jijik. "Pantas saja nggak bisa ngomong."

"Jangan ngledek, Yah. Nggak ngeri apa? Lagian mana ada binatang bisa ngomong?" Laras mengomel pada ayahnya dengan mata menatap tajam pada si kadal yang terus-menerus menggerakkan ekor.

Pria penjaga vila mengikuti arah pandang mereka, mencoba untuk turut melihat apa yang mereka lihat. Namun sayang, meski mata sampai melotot dan terkadang menyipit, dia tetap tidak bisa melihat apa-apa.

"Se-sebenarnya kalian lihat apa? Apa sama seperti yang dua di luar sana itu?"

"Sampean patut bersyukur karena nggak bisa lihat yang ini," ujar Pakde Suro enteng.

"Betul banget," Laras menimpali asal-asalan.

Pria penjaga vila itu sudah membuka mulut hendak berbicara, tetapi suara Arka menghentikannya, "Kalian tetap waspada. Dua lagi yang di luar kayaknya mau ke sini."

Pria penjaga vila terkejut sampai suara memekiknya tertahan di tenggorokan, menimbulkan bunyi seperti orang sedang cegukan, tangannya pun refleks memeluk Pakde Suro.

"Lepas, goblok! Aku nggak bisa gerak ini loh!"

"Terus aku kudu piye? Aku wedi." Si penjaga vila merengek seperti anak kecil.

"Cukup diam jangan aneh-aneh." Laras menghardik. Dia sebenarnya juga takut, tetapi sangat percaya bahwa Arka pasti mampu mengatasi makhluk-makhluk itu. Jadi, hatinya tidak terlalu gelisah.

Sementara itu, dua makhluk berbadan besar yang sedari tadi berkeliaran di halaman vila dengan cepat melesat menembus dinding.

"Mereka datang!" Arka berseru tanpa mengalihkan perhatian dari makhluk jelek yang menyeringai padanya.

Pakde Suro dan Laras yang mengetahui dari arah mana mereka datang, sudah berjaga-jaga, tetapi Arka memberi instruksi, "Kalian lindungi saja pria itu! Kalau mereka nggak nyerang abaikan saja! Dan njenengan, tolong hubungi mereka. Suruh mereka cari vila lain untuk sementara!"

"Tapi telpon rumah ada di sebelah sana." Tangan si penjaga vila gemetaran menunjuk ke arah pojok ruangan yang tidak bisa dijangkau dalam dua atau tiga langkah.

"Pakai ponselku ambil sendiri di saku." Pakde Suro sedikit menggerakkan pinggul kanannya untuk memberi tahu bahwa ponselnya ada di situ.

Harusnya mudah, tetapi karena tangannya gemetar hebat, pria penjaga vila itu kesulitan mengeluarkan ponsel Pakde Suro.

Terpopuler

Comments

anggita

anggita

bojonegoro... jawa timur.

2024-05-30

0

Bumirang_TJ

Bumirang_TJ

🤣🤣🤣🤣🤣🤣 kata GOBLOK nya mantap

2024-04-28

0

bang sleepy

bang sleepy

/Facepalm//Facepalm//Facepalm/ berasa smpe sini marahnya

2024-04-28

1

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 66 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!