Kepingan Puzzle

Kepingan Puzzle

Prolog

Suatu malam yang gelap, ketenangan dalam keluargaku terguncang oleh peristiwa yang tak terduga. Dalam sekejap, ibu dan ayahku diculik oleh sekelompok penculik yang tiba-tiba masuk ke rumah kami, kepergian mereka berdua disertai kekacauan dan pertarungan yang terjadi di ruang tamu. Menyisakan trauma yang mengakar dalam setiap detak jantung.

Malam yang semula suasananya hangat, ketika kami duduk riang gembira dengan bumbu bahagia diruang tamu, sambil nonton tv bersama keluarga dengan makanan ringan biscuit yang disajikan dengan teh, kopi, dan susu dihadapan kami itupun berubah menjadi hal yang mengerikan.

Ya! hari itu 31 Agustus jam 20:10 ingatan itu sangat membekas di benakku mereka mengepung dan setelahnya mendobrak pintu rumah kami memaksa masuk, hingga kami semua terpojok di ruang tamu.

Kalian tau apa yang terjadi di depanku itu adalah pertarungan yang amat sengit Farel sebagai anak tertua, berusaha melawan mereka dengan segenap kekuatannya. Suara benturan dan pukulan memenuhi udara, membuat suasana semakin mencekam. Vas bunga pecah ketika ibu yang berusaha melindungi anak-anaknya, membantingnya pada salah satu penculik dengan suara yang keras.

Brak...!

Darah segar megalir diantara kepala salah seorang pencuri yang segera terkapar. Seiring derap langkah kaki penculik yang masuk ke dalam rumah, hancurlah ilusi kebahagiaan itu. Petarungan brutal terjadi di ruang tamu.

Terdengar suara “Brak..., bruk..., buk...,” pukulan memecahkah kesunyian malam. Ayah kami, sebagai satu-satunya pertahanan, berusaha melawan penculik dengan segala yang dimilikinya.

Dorr...!

Di tengah kekacauan itu, suara senjata api menggelegar menciptakan keheningan sejenak yang menyisakan ketakutan di hati kami anak-anak. Ayah dengan berani berjuang penuh melindungi kami, berusaha menerjang menjadi tameng.

Suara senjata api itu menjadi tanda kehancuran bagi kehidupan kami lima bersaudara. Fira, yang biasanya menari di tengah keluarga yang ceria, kini menangis di pelukan kak Tari yang kehilangan kekuatan.

Dorr..!

“Ayahhh....!!!” “Tidak...!”

Sebuah tembakan mengakhiri kehidupan ayah kami, mengguncang hati kami lima bersaudara, hatiku sakit ketika melihat bekas peluru itu yang menembus ruas dada ayah kami. Rumah yang sebelumnya penuh tawa, Sebuah keluarga bahagia kini menangis tersedu-sedu sambil berpelukan. Kami lima bersaudara yang menjalani kehidupan penuh tantangan.

Tiba-tiba sesuatu yang tidak terduga. Ayah ternyata belum benar-benar tewas, dengan kekuatan terakhirnya, melempar sebuah cermin yang ternyata adalah alat portal. Cermin itu membuat proyeksi tameng menghalang pergerakan kami.

“Anak-anakku..., kalian hiduplah dengan baik jangan pedulikan ayah dan ibu” kata dengan suara serak itu dilontarkannya sambil merangkak menuju kearah istrinya yang terkapar pingsan, akhirnya ayah menggenggam tangan ibu.

Cermin itu berpendar mengeluarkan cahaya biru yang bercampur putih seukuran 2 meter, bersiap menelan kami semua, itu ‘portal mirror’ Sekilas kami melihat mereka membawa ayah dan ibu kami.

“Ayah... Ibu....” suara kami spontan keluar

“Jangan... tinggalkan kami...!” Farel yang terkapar berusa sekuat tenaga bangkit untuk meraih lengan ibu, namun itu tidak tercapai karena portal mirror menelan kami semua tanpa sempat mengungkapkan selamat tinggal.

..." ..... "...

Saat kami berlima tersadar, kami mendapati diri berada di sebuah taman rerumputan yang luas dengan pepohonan yang menjulang tinggi di kejauhan. Kejutan dan rasa kehilangan menyelimuti kami, merasakan kekecewaan yang mendalam saat semua terdampar di hamparan rumput luas.

'Hiks... huwaaa..... ibu... ayah....'

Ketika Farel, Tari, Rendra, dan Fira menangis, aku merenung dengan penuh kepedihan, merasa dunia ini begitu tak adil dan menuntut sesuatu yang sulit diungkapkan. Dalam keheningan malam, cahaya bulan menerangi wajah kami yang sedang bersedih.

Aku, dengan mata penuh ketidakpercayaan terhadap kehidupan, merasakan beban berat di hatiku. Seolah-olah ada keadilan yang telah terluka dan dunia ini tidak lagi memiliki tempat yang aman.

Hatiku mengatakan “Kenapa-kenapa?!.... ayah dan ibu mengorbankan diri sendiri agar kami bisa hidup” aku merasa sesak hati.

“Tari, Albar, Dial, Fira,..... ayo jangan nangis lagi... kita jalan ya! Cari tempat tinggal... buat kita istirahat nanti...” kata Farel sambil terisak-isak bekas tangisan tadi, kakak pertama.

Di tengah kegelapan, kami bersama-sama mencari tempat untuk ditinggali. Langkah kami menyusuri hamparan rumput mencari tempat berteduh di bawah pohon-pohon yang menjulang. Kami berlima, dengan langkah hati-hati menyusuri hamparan rumput yang tak berujung.

Cahaya rembulan menjadi petunjuk jalan, menarangi langkah-langkah kami di malam yang sunyi. Di tengah perjalanan, mata kami tertuju pada jalan raya yang sepi yang melintas hamparan itu.

Disamping itu tertera sebuah tiang yang diatasnya ada papan tertulis ‘100 M KRB Baru’, mungkin kami bisa istirahat di desa itu. “kita pergi kesana ya! Fira... masih sanggup jalan... kalau ngak sini kakak gendong” dengan wajah yang Dipaksa senyum dari tangisan itu, Farel menawarkan bantuan ke adik bungsu yang tertatih-tatih tidak sanggup lagi berjalan. Dan kami terus menulusuri jalan raya yang mengarah ke desa itu.

Ketika kami mendekati jalan raya, mata kami terbelalak melihat sebuah mobil box yang terparkir di tepi jalan. Keherenan dan rasa curiga membayangi pikiran kami, namun ketertarikan untuk menemukan jawaban mengalahkan kekhawatiran kami. Namun, saat kami berada di tengah jalan raya yang sepi itu, keheningan malam tiba-tiba tergantikan oleh deru mesin mobil.

Sebuah mobil box melaju perlahan, dan kegelapan malam hanya diterangi oleh lampu mobil yang redup. Kami memandang takjub, namun ketegangan merayap di antara kami. Tari, yang tidak menyadari bahaya yang mengintai, tiba-tiba terjebak dalam sergapan seorang penculik yang keluar dari mobil. Tangannya yang kejam meraih tubuh mungil Tari, dan sebelum siapa pun bisa bereaksi, mobil itu melaju meninggalkan tempat itu.

Farel, tanpa ragu, mecoba mengejar mobil tersebut, di saat bersamaan mendapat beberapa serangan dari sayatan melindungi mobil tersebut. Pertarungan yang tidak terduga terjadi lagi di tengah jalan raya yang sepi. Farel, dengan tekad bulat mencoba melawan pukulan dan sayatan yang menghalangi nya, tetapi serangan yang terus menerus membuatnya semakin lemah. Aku, menyadari bahaya yang melibatkan kakakku, dengan cepat melompat ke dalam aksi, berusaha melawan pukulan dan memberikan dukungan pada Farel.

Aku dan Farel berusaha bekerja sama, menciptakan energi positif yang mampu menahan serangan. Namun, kekuatan kegelapan itu bukanlah lawan yang mudah. Aku, walaupun berusaha sekuat tenaga terluka dalam pertarungan segit itu. Sementara itu, kami berlima yang tersisa aku, Rendra, dan Fira mencoba memberikan bantuan sebisa kami mengumpulkan batu-batu kecil untuk digunakan sebagai senjata sederhana, berusaha membuat jalur aman bagi Farel yang masih berjuang.

Dalam kegelapan malam yang menyelimuti hamparan rumput, ketengangan melonjak ketika Farel, berusia 18 tahun, berusaha menyelamatkan adiknya Tari dari cengkraman penculik. Langkah-langkahnya terhenti mendadak ketika si penculik dengan kasar menarik keluar pistol, menambahkan ketengangan di udara.

Dorr..!

Tanpa sadar, suara peluru pecah dari pistol itu, mengantarkan gelombang ketakutan di antara kami. Namun, dengan kecepatan refleks yang luar biasa, Farel berhasil menghindar dari tembakan itu. Peluru yang seharusnya menandai akhir hidupnya hanya menyentuh bahunya, meninggalkan luka yang memancarkan rasa sakit.

Meski berhasil menghindari tembakan, Farel tersungkur akibat benturan dan kelelahan yang melanda. Tubuhnya terkapar ditengah jalan, menjadi saksi bisu dari perlawanan gagah berani yang tak terduga. Ketengangan meluas di antara kami yang lain, sementara sayatan yang melindungi penculik makin memperkuat barikadenya.

Sementara itu, kami yang lainnya terpukul dan lemah oleh aura kegelapan yang terpancar dari sayatan dan pukulan mereka. Kami pingsan satu persatu, terjatuh dalam kelelahan dan keputusasaan. Melihat kejadian kami yang tak berdaya, hatiku tercabik antara keinginan untuk melawan dan kenyataan bahwa kekuatanku sudah mencapai batas.

Aku, Rendra, dan Fira terbaring lemah setelah mengalami penculikan yang mengerikan. Kakak kami, Farel, dengan penuh keteguhan membopong kami menuju sebuah desa terpencil. Desa itu menjadi tempat perlindungan, tempat di mana panti asuhan yang lusuh dan hampir tak layak dihuni menanti kami.

Aku terbangun dari pingsan, cahaya rembulan menggambarkan kepedihan di mataku, mata yang masih terasa berat di bawah langit malam yang kelam. Perlahan-lahan, realitas pahit mulai merayap kembali ke dalam kesadaranku. Ketika aku melihat sekeliling, pandanganku langsung mencari saudara-saudaraku.

Hiks.... hiks....

Aku menangis, rasa sesak menghantui dada ketika menyadari bahwa Tari tidak ada di antara kami. Mata yang penuh kepedihan menatap langit malam, mencari tanda-tanda keberadaan kakaku, namun kesedihan yang memilukan menggelayut ketika menyadari bahwa Tari telah diculik tanpa bisa diselamatkan.

"Kenapa aku tidak bisa melindunginya?" gumamku dengan suara gemetar. Air mata meluncur dari sudut matanya yang tajam, mengalir begitu deras seperti hujan yang turun tanpa henti. Merenung pada langit malam yang kini terasa begitu gelap, aku merasa bagai kehilangan sepotong diriku sendiri. “Sungguh tak adil,” bisikan dalam keputusasaan yang menggema di malam hari.

Hatinku yang hancur merasakan beban berat yang tak terlupakan. Penderitaan saudara perempuanku menjadi bayang-bayang yang melingkupi keberanian dan kekuatan yang dia tunjukkan. Dalam keheningan malam, aku meratapi ketidakberdayaan, merenungi kegagalan melindungi kakak Tari.

Didepan kami bangunan panti asuhan itu, yang seharusnya menjadi tempat bermain dan tumbuh kembang bagi anak-anak, telah terpukul oleh waktu. Dinding yang sudah usang dan atap yang berlubang-lubang memberikan kesan bahwa kehangatan dan keamanan adalah barang langka di sini. Namun, itulah satu-satunya tempat yang bisa kami tuju dalam keadaan darurat ini.

Kami sama-sama menatap tempat yang akan kami tinggali untuk waktu yang panjang, rumah yang catnya sudah kusam terkelupas, pagar kayu yang ditumbuhi jamur juga ilalang, dan pamplet yang seolah-olah hampir jatuh, pamplet dengan tulisan yang sama dengan penunjuk arah yang tadi ‘PANTI ASUHAN DESA KRB-BARU’.

Aku mendapati Farel, dengan lebam, sayatan, dan bekas tembakan di bahunya, menunjukkan keletihan yang mendalam. Dia tumbang tepat di depan pintu panti asuhan yang reyot. Aku dan Rendra, meski sendiri-sendiri merasakan kelemahan, saling berpandangan dengan kekhawatiran yang dalam. Kami tahu bahwa kakak kami telah berjuang keras untuk melindungi kami, dan sekarang saatnya untuk menyelamatkan dirinya.

Dalam kelamnya situasi, kehadiran tari, kakak kedua kami yang tak dapat terselamatkan dari penculikan meninggalkan luka yang mendalam di hatiku, Rendra, dan juga Fira. Meskipun sedih dan penuh duka, kami mencoba menguatkan hati satu sama lain, menahan tangis yang mengancam untuk pecah setiap saat. Rendra, dengan mata berkaca-kaca, berkata, "Tari pasti ingin kita terus hidup, kita harus kuat untuknya."

Aku sambil mengusap air mata yang tumpah, menambahkan, "Kita harus saling mendukung. Dan sekarang, kita harus mencari pertolongan medis untuk kakak Farel." Dalam kesedihan yang dalam, kami bersama-sama mencari kekuatan untuk melanjutkan, memahami bahwa langkah pertama untuk menyembuhkan adalah membantu kakak kami yang masih hidup.

Dan disinilah cerita kami lima bersaudara dimulai....

...֎֎֎...

Terpopuler

Comments

engkau punya cerita sungguh memotivasi sekali

2024-08-04

2

tari ape hal engkau kena culik /Sob/

2024-08-04

2

bagian ketidak percayaan lupa awak spasi, perbaiki dulu biar perfect

2024-08-04

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!