Suatu malam yang gelap, ketenangan dalam keluargaku terguncang oleh peristiwa yang tak terduga. Dalam sekejap, ibu dan ayahku diculik oleh sekelompok penculik yang tiba-tiba masuk ke rumah kami, kepergian mereka berdua disertai kekacauan dan pertarungan yang terjadi di ruang tamu. Menyisakan trauma yang mengakar dalam setiap detak jantung.
Malam yang semula suasananya hangat, ketika kami duduk riang gembira dengan bumbu bahagia diruang tamu, sambil nonton tv bersama keluarga dengan makanan ringan biscuit yang disajikan dengan teh, kopi, dan susu dihadapan kami itupun berubah menjadi hal yang mengerikan.
Ya! hari itu 31 Agustus jam 20:10 ingatan itu sangat membekas di benakku mereka mengepung dan setelahnya mendobrak pintu rumah kami memaksa masuk, hingga kami semua terpojok di ruang tamu.
Kalian tau apa yang terjadi di depanku itu adalah pertarungan yang amat sengit Farel sebagai anak tertua, berusaha melawan mereka dengan segenap kekuatannya. Suara benturan dan pukulan memenuhi udara, membuat suasana semakin mencekam. Vas bunga pecah ketika ibu yang berusaha melindungi anak-anaknya, membantingnya pada salah satu penculik dengan suara yang keras.
Brak...!
Darah segar megalir diantara kepala salah seorang pencuri yang segera terkapar. Seiring derap langkah kaki penculik yang masuk ke dalam rumah, hancurlah ilusi kebahagiaan itu. Petarungan brutal terjadi di ruang tamu.
Terdengar suara “Brak..., bruk..., buk...,” pukulan memecahkah kesunyian malam. Ayah kami, sebagai satu-satunya pertahanan, berusaha melawan penculik dengan segala yang dimilikinya.
Dorr...!
Di tengah kekacauan itu, suara senjata api menggelegar menciptakan keheningan sejenak yang menyisakan ketakutan di hati kami anak-anak. Ayah dengan berani berjuang penuh melindungi kami, berusaha menerjang menjadi tameng.
Suara senjata api itu menjadi tanda kehancuran bagi kehidupan kami lima bersaudara. Fira, yang biasanya menari di tengah keluarga yang ceria, kini menangis di pelukan kak Tari yang kehilangan kekuatan.
Dorr..!
“Ayahhh....!!!” “Tidak...!”
Sebuah tembakan mengakhiri kehidupan ayah kami, mengguncang hati kami lima bersaudara, hatiku sakit ketika melihat bekas peluru itu yang menembus ruas dada ayah kami. Rumah yang sebelumnya penuh tawa, Sebuah keluarga bahagia kini menangis tersedu-sedu sambil berpelukan. Kami lima bersaudara yang menjalani kehidupan penuh tantangan.
Tiba-tiba sesuatu yang tidak terduga. Ayah ternyata belum benar-benar tewas, dengan kekuatan terakhirnya, melempar sebuah cermin yang ternyata adalah alat portal. Cermin itu membuat proyeksi tameng menghalang pergerakan kami.
“Anak-anakku..., kalian hiduplah dengan baik jangan pedulikan ayah dan ibu” kata dengan suara serak itu dilontarkannya sambil merangkak menuju kearah istrinya yang terkapar pingsan, akhirnya ayah menggenggam tangan ibu.
Cermin itu berpendar mengeluarkan cahaya biru yang bercampur putih seukuran 2 meter, bersiap menelan kami semua, itu ‘portal mirror’ Sekilas kami melihat mereka membawa ayah dan ibu kami.
“Ayah... Ibu....” suara kami spontan keluar
“Jangan... tinggalkan kami...!” Farel yang terkapar berusa sekuat tenaga bangkit untuk meraih lengan ibu, namun itu tidak tercapai karena portal mirror menelan kami semua tanpa sempat mengungkapkan selamat tinggal.
..." ..... "...
Saat kami berlima tersadar, kami mendapati diri berada di sebuah taman rerumputan yang luas dengan pepohonan yang menjulang tinggi di kejauhan. Kejutan dan rasa kehilangan menyelimuti kami, merasakan kekecewaan yang mendalam saat semua terdampar di hamparan rumput luas.
'Hiks... huwaaa..... ibu... ayah....'
Ketika Farel, Tari, Rendra, dan Fira menangis, aku merenung dengan penuh kepedihan, merasa dunia ini begitu tak adil dan menuntut sesuatu yang sulit diungkapkan. Dalam keheningan malam, cahaya bulan menerangi wajah kami yang sedang bersedih.
Aku, dengan mata penuh ketidakpercayaan terhadap kehidupan, merasakan beban berat di hatiku. Seolah-olah ada keadilan yang telah terluka dan dunia ini tidak lagi memiliki tempat yang aman.
Hatiku mengatakan “Kenapa-kenapa?!.... ayah dan ibu mengorbankan diri sendiri agar kami bisa hidup” aku merasa sesak hati.
“Tari, Albar, Dial, Fira,..... ayo jangan nangis lagi... kita jalan ya! Cari tempat tinggal... buat kita istirahat nanti...” kata Farel sambil terisak-isak bekas tangisan tadi, kakak pertama.
Di tengah kegelapan, kami bersama-sama mencari tempat untuk ditinggali. Langkah kami menyusuri hamparan rumput mencari tempat berteduh di bawah pohon-pohon yang menjulang. Kami berlima, dengan langkah hati-hati menyusuri hamparan rumput yang tak berujung.
Cahaya rembulan menjadi petunjuk jalan, menarangi langkah-langkah kami di malam yang sunyi. Di tengah perjalanan, mata kami tertuju pada jalan raya yang sepi yang melintas hamparan itu.
Disamping itu tertera sebuah tiang yang diatasnya ada papan tertulis ‘100 M KRB Baru’, mungkin kami bisa istirahat di desa itu. “kita pergi kesana ya! Fira... masih sanggup jalan... kalau ngak sini kakak gendong” dengan wajah yang Dipaksa senyum dari tangisan itu, Farel menawarkan bantuan ke adik bungsu yang tertatih-tatih tidak sanggup lagi berjalan. Dan kami terus menulusuri jalan raya yang mengarah ke desa itu.
Ketika kami mendekati jalan raya, mata kami terbelalak melihat sebuah mobil box yang terparkir di tepi jalan. Keherenan dan rasa curiga membayangi pikiran kami, namun ketertarikan untuk menemukan jawaban mengalahkan kekhawatiran kami. Namun, saat kami berada di tengah jalan raya yang sepi itu, keheningan malam tiba-tiba tergantikan oleh deru mesin mobil.
Sebuah mobil box melaju perlahan, dan kegelapan malam hanya diterangi oleh lampu mobil yang redup. Kami memandang takjub, namun ketegangan merayap di antara kami. Tari, yang tidak menyadari bahaya yang mengintai, tiba-tiba terjebak dalam sergapan seorang penculik yang keluar dari mobil. Tangannya yang kejam meraih tubuh mungil Tari, dan sebelum siapa pun bisa bereaksi, mobil itu melaju meninggalkan tempat itu.
Farel, tanpa ragu, mecoba mengejar mobil tersebut, di saat bersamaan mendapat beberapa serangan dari sayatan melindungi mobil tersebut. Pertarungan yang tidak terduga terjadi lagi di tengah jalan raya yang sepi. Farel, dengan tekad bulat mencoba melawan pukulan dan sayatan yang menghalangi nya, tetapi serangan yang terus menerus membuatnya semakin lemah. Aku, menyadari bahaya yang melibatkan kakakku, dengan cepat melompat ke dalam aksi, berusaha melawan pukulan dan memberikan dukungan pada Farel.
Aku dan Farel berusaha bekerja sama, menciptakan energi positif yang mampu menahan serangan. Namun, kekuatan kegelapan itu bukanlah lawan yang mudah. Aku, walaupun berusaha sekuat tenaga terluka dalam pertarungan segit itu. Sementara itu, kami berlima yang tersisa aku, Rendra, dan Fira mencoba memberikan bantuan sebisa kami mengumpulkan batu-batu kecil untuk digunakan sebagai senjata sederhana, berusaha membuat jalur aman bagi Farel yang masih berjuang.
Dalam kegelapan malam yang menyelimuti hamparan rumput, ketengangan melonjak ketika Farel, berusia 18 tahun, berusaha menyelamatkan adiknya Tari dari cengkraman penculik. Langkah-langkahnya terhenti mendadak ketika si penculik dengan kasar menarik keluar pistol, menambahkan ketengangan di udara.
Dorr..!
Tanpa sadar, suara peluru pecah dari pistol itu, mengantarkan gelombang ketakutan di antara kami. Namun, dengan kecepatan refleks yang luar biasa, Farel berhasil menghindar dari tembakan itu. Peluru yang seharusnya menandai akhir hidupnya hanya menyentuh bahunya, meninggalkan luka yang memancarkan rasa sakit.
Meski berhasil menghindari tembakan, Farel tersungkur akibat benturan dan kelelahan yang melanda. Tubuhnya terkapar ditengah jalan, menjadi saksi bisu dari perlawanan gagah berani yang tak terduga. Ketengangan meluas di antara kami yang lain, sementara sayatan yang melindungi penculik makin memperkuat barikadenya.
Sementara itu, kami yang lainnya terpukul dan lemah oleh aura kegelapan yang terpancar dari sayatan dan pukulan mereka. Kami pingsan satu persatu, terjatuh dalam kelelahan dan keputusasaan. Melihat kejadian kami yang tak berdaya, hatiku tercabik antara keinginan untuk melawan dan kenyataan bahwa kekuatanku sudah mencapai batas.
Aku, Rendra, dan Fira terbaring lemah setelah mengalami penculikan yang mengerikan. Kakak kami, Farel, dengan penuh keteguhan membopong kami menuju sebuah desa terpencil. Desa itu menjadi tempat perlindungan, tempat di mana panti asuhan yang lusuh dan hampir tak layak dihuni menanti kami.
Aku terbangun dari pingsan, cahaya rembulan menggambarkan kepedihan di mataku, mata yang masih terasa berat di bawah langit malam yang kelam. Perlahan-lahan, realitas pahit mulai merayap kembali ke dalam kesadaranku. Ketika aku melihat sekeliling, pandanganku langsung mencari saudara-saudaraku.
Hiks.... hiks....
Aku menangis, rasa sesak menghantui dada ketika menyadari bahwa Tari tidak ada di antara kami. Mata yang penuh kepedihan menatap langit malam, mencari tanda-tanda keberadaan kakaku, namun kesedihan yang memilukan menggelayut ketika menyadari bahwa Tari telah diculik tanpa bisa diselamatkan.
"Kenapa aku tidak bisa melindunginya?" gumamku dengan suara gemetar. Air mata meluncur dari sudut matanya yang tajam, mengalir begitu deras seperti hujan yang turun tanpa henti. Merenung pada langit malam yang kini terasa begitu gelap, aku merasa bagai kehilangan sepotong diriku sendiri. “Sungguh tak adil,” bisikan dalam keputusasaan yang menggema di malam hari.
Hatinku yang hancur merasakan beban berat yang tak terlupakan. Penderitaan saudara perempuanku menjadi bayang-bayang yang melingkupi keberanian dan kekuatan yang dia tunjukkan. Dalam keheningan malam, aku meratapi ketidakberdayaan, merenungi kegagalan melindungi kakak Tari.
Didepan kami bangunan panti asuhan itu, yang seharusnya menjadi tempat bermain dan tumbuh kembang bagi anak-anak, telah terpukul oleh waktu. Dinding yang sudah usang dan atap yang berlubang-lubang memberikan kesan bahwa kehangatan dan keamanan adalah barang langka di sini. Namun, itulah satu-satunya tempat yang bisa kami tuju dalam keadaan darurat ini.
Kami sama-sama menatap tempat yang akan kami tinggali untuk waktu yang panjang, rumah yang catnya sudah kusam terkelupas, pagar kayu yang ditumbuhi jamur juga ilalang, dan pamplet yang seolah-olah hampir jatuh, pamplet dengan tulisan yang sama dengan penunjuk arah yang tadi ‘PANTI ASUHAN DESA KRB-BARU’.
Aku mendapati Farel, dengan lebam, sayatan, dan bekas tembakan di bahunya, menunjukkan keletihan yang mendalam. Dia tumbang tepat di depan pintu panti asuhan yang reyot. Aku dan Rendra, meski sendiri-sendiri merasakan kelemahan, saling berpandangan dengan kekhawatiran yang dalam. Kami tahu bahwa kakak kami telah berjuang keras untuk melindungi kami, dan sekarang saatnya untuk menyelamatkan dirinya.
Dalam kelamnya situasi, kehadiran tari, kakak kedua kami yang tak dapat terselamatkan dari penculikan meninggalkan luka yang mendalam di hatiku, Rendra, dan juga Fira. Meskipun sedih dan penuh duka, kami mencoba menguatkan hati satu sama lain, menahan tangis yang mengancam untuk pecah setiap saat. Rendra, dengan mata berkaca-kaca, berkata, "Tari pasti ingin kita terus hidup, kita harus kuat untuknya."
Aku sambil mengusap air mata yang tumpah, menambahkan, "Kita harus saling mendukung. Dan sekarang, kita harus mencari pertolongan medis untuk kakak Farel." Dalam kesedihan yang dalam, kami bersama-sama mencari kekuatan untuk melanjutkan, memahami bahwa langkah pertama untuk menyembuhkan adalah membantu kakak kami yang masih hidup.
Dan disinilah cerita kami lima bersaudara dimulai....
...֎֎֎...
*Catatan : Perlu diingat, cerita ini hanyalah produk imajinasi dan sepenuhnya fiksi. Semua karakter, tempat, dan kejadian bersifat khayalan semata.*
Seekor merpati terbang dilangit kota Ace, diatas langit ia terbang dengan penuh semangat karena melihat dari atas terdapat berbagi bentuk gedung kota Ace yang indah. Merpati itu harus kembali kesarangnya karena hari sudah mulai sore, dari arah barat sudah terlihat bulatan senja hampir tenggelam sepenuhnya.
Dalam perjalanan pulangnya, ia melihat seorang laki-laki di atap gedung dan menghampirinya untuk menyuruh melepaskan sebuah gulungan yang diikat di kakinya, setelahnya dia kembali ke sarang yang berada tepat di belakang pria yang sedang berdiri itu.
Hari ini tanggal 4 september tepat umurku menginjak 18 tahun, aku sekarang sudah menjadi tentara. Lebih tepatnya aku pasukan khusus yang sangat terlatih bertugas macam-macam seperti body guard, penyelamatan, dan lain-lain juga sangat rahasia, sangking rahasianya kalian hanya bisa meminta kinerja kami melalui web yang lebih dari dark web bisa dikatakan sedikit diatas mariana web.
Tak sedalam mariana web bahkan ini tidak terdaftar di administrasi negara sangking rahasia-nya. Mungkin sedikit lebih tinggi peringkatnya dari pada mata-mata yang ada di negara ini, yang kalian kenal CIA atau sejenisnya.
Sore hari ini, dihari yang sebentar lagi hampir mendung padahal tadi masih bisa melihat senja tenggelam dengan jelas. Sekarang ada sedikit misi yang harus kuselesaikan, entahlah! Aku harus menyebutnya misi membantai, melindungi, atau meretas identitas orang, "(dalam hati) ooh... rumitnya misi ini.. Itu karna otakku tidak bisa menganalisa dengan misi yang diberikan, hanya dengan bermodal selembar foto perempuan ilegal lagi," itu diberikan Sogata. (sambil menggaruk kepala mulai berpikir) “Hmm....”
Sogata dia adalah seorang freelancer seperti intel kami yang diperintahkan untuk mengambil gambar target misi, yang baru saja ia berikan lewat merpati tadi.
Dan tau siapa atasanku, dan juga yang mengawasiku lewat monitor satelit. Yap! Kalian akan kaget kalau tau bahwa Farel jadi atasanku, dan dia pencetus pasukan khusus ini. Dan nama pasukan khusus ini adalah ‘Drobar’, juga halnya untuk bisa membeli perlengkapan Drobar yang ada disistem pasukan khusus ini dia membuat sistem poin untuk membeli perlengkapan dan aku butuh itu. Anggota kami tidak lebih dari 7 atasan termasuk aku sendiri dan yang lain hanya sebagai mata-mata informasi seperti intel kami menyebutnya minion.
Triiiing triiiing.....
Selang beberapa saat handpone ku bunyi. “Hallo... Gilan, kakak minta bantu sebentar tolong belikan kakak makan malam ya!, lengkap dengan minuman sodanya ya... kamu bisakan, Gilan..? ”
Ah! Itu Farel dia menggunakan voice changer seolah aku lagi telponan dengan seorang perempuan. Kode rahasia itu sepertinya ada tugas dan nada memelas terdengar memohon itu membuatku merinding, adakah! Seorang kakak laki-laki meminta dengan nada itu terkesan menggelitik.
“Ya.. aku bisa kak, apalagi cuaca yang sebentar lagi akan mendung... aku mau yang hangat, kira-kira disana ada berapa orang kak..?”
Itu kesalahan aku menanyakan jumlah yang pasti menambah pekerjaanku, sungguh bodoh mulut yang tidak bisa diajak kompromi “aaahhhh....!! (teriakan kesal di dalam hati)”
“Ya... sepertinya lima orang cukup”
Ah! Itu artinya aku harus mulai mengintai dan sepertinya ada lima tempat di sebuah gedung yang harus aku periksa, sekarang aku harus menggunakan reseptorku yang sedikit sama dengan cara kerja reseptor kalajengking, Plantypus, dan belut listrik. Aku memiliki entah! Apa juga aku harus menyebutnya insting alam liar, atau indra keenam kah?.
Skill itu aku menamainya ‘Elektro reseptor’ yang peka terhadap benda konduktor apa saja dengan cara aku cukup menutup penglihatan, dan penciuman, dan dengan itu juga mendeteksi orang melalui insting yang sama seperti binatang yang kusebutkan tadi, insting ini mengalirkan melalui benda konduktor yang bisa menghantarkan listrik meskipun tidak tersambung dengan arus listrik seperti besi logam apapun itu.
Gunanya untuk mengetahui spesifik daerah sekitar dan merasakan pergerakan mahkluk hidup itu seperti melihat sebuah proyeksi hologram dengan aura panas bewarna merah sebagai mahkluk hidup. Dahlah! nanti tambah pusing itu bisa disebut saja life skill yang aku dapat.
...֎֎֎...
Pangkat dalam Drobar dibagi dua segi logistic dan pelaksana, ibarat politik dan militer.
Segi logistic dibagi menjadi beberapa level:
Freelance
Mereka biasanya hanya menjadi pengantar pesan rahasia dan juga berperan membersihkan jejak dari para pelaksana. biasanya mereka berdomisili di sortir.
employee
employee bertugas memberikan fasilitas untuk para freelance. mereka seperti penjaga gudang yang memberikan fasilitas untuk para freelance
menejer
Pekerjaan ini adalah mengatur para employee atau freelance kemana mereka akan ditugaskan dan apa strateginya. mereka biasanya seperti pekerja kantoran.
C-level eksekutif
Tugas mereka adalah melacak, kebanyakan dari mereka adalah orang yang bisanya ada didepan komputer hampir 24 jam. mereka adalah orang yang menacari informasi terkait target dan semua hal layaknya guild informasi
CEO
orang yang mengatur jalannya bidang logistic baik strategi informasi dan semua yang berkaitan dengan hal yang akan dijalankan baik misi rahasia dan hal lainnya semuanya datang dari CEO.
owner
singkatnya adalah pemilik semua hal itu
*Catatan Pengarang: Bab ini mengandung adegan kekerasan yang mungkin mengganggu beberapa pembaca. Jika Anda merasa tidak nyaman, disarankan untuk tidak melanjutkan membaca. Namun, jika Anda memilih untuk melanjutkan, plot akan mengungkapkan detail yang penting untuk memahami kisah ini.*
Aku mulai mempersiapkan diri mengecek berbagai perlengkapan untuk berburu. Mulai dari half gas mask, rompi anti peluru, decker knee pad dan elbow pad, dan terakhir sebilah pedang dan belati yang melingkar dipinggangku, semua harus berfungsi.
Lalu aku mengambil sebuah penyedap seperti earphone dan memasangnya ditelinga, itu tersambung langsung ke monitor Farel, dia sedang memantauku dengan STL drone buatannya sendiri berbentuk bola, drone itu memantau berada di ketingian 300 m dari permukaan tanah dan benda itu anti sadap.
“Mentor 1 ke seit report.... apakah terhubung?”
“Report diterima, jelaskan..?”
“Memberi mereka kode variabel...!, variabel A 23 meter arah jam 9, variabel B 30 meter arah jam 10, variabel C 42 meter arah jam 11, variabel D 54 meter arah jam 2, variabel E 37 meter arah jam 12. Aku berada pas dibelakang mereka semua, mereka terdiri dari beberapa orang per-variabel...., mungkin sekitar 5 sampai 12 orang lebih tergantung luas tempatnya..., memintai spesifik spesifik senjata”
Elektro reseptor yang aku miliki sekarang bisa mendeteksi dengan radius 300 meter, cara mengatifkannya pun lumayan rumit, yaitu harus duduk seolah sedang bersemedi dan meletakkan tangan di lantai. Terlihat sangat primitif.
(Blizzz.....) “spesifik senjata yang mereka gunakan saat itu, dan semuanya menggunakan suppressor atau slincer , senjata mereka terdiri dari SPR-2 Kal. 12.7mm dan Barret untuk sniper, HK 416 dan Tavor x-95 untuk assault rifle, dan untuk SMG mereka memakai CZ Scorpion Evo 3, MP5, dan pistol G2 Elite” suara Al itu berarti pemandu dinganti menjadi drone berarti Farel lagi keluar mungkin saja.
Mungkin aku bisa berburu poin disini. Ya! Semacam hal yang lumrah di setiap pasukan agar bisa naik pangkat, tapi aku menginginkan hadiah dengan poin ini sebuah sepeda motor yang keren yang dirancang khusus mungkin sekitar 4.000 poin yang aku butuhkan. Ya! Seperti itu lah.
“Izin melaksakan... seit...”
“Izin diberikan...!, mereka kelompok Makatel yang sedikit bermasalah, laundry dilakukan Drobar drone..., dan jangan buat panggungnya berdarah jaga agar terlihat bersih”, kata-kata itu berarti menyuruhku agar aksi ini tidak terpublikasi.
(Blizzz...) 'Jika terdapat kesalahan poin akan dikurangi berdasarkan skala kesalahan’ suara robot yang menggema di alat penyadap di telingaku
Dasar STL drone payah, mesin bulat seperti bola mengapung di udara kosong dengan sedikit bulatan hitam sebagai kamera benda itu tidak akan pernah bisa diajak kerja sama, benda itu juga sangat sempurna dengan kecerdasan Al, hingga bisa digunakan untuk jangka waktu yang sangat lama layaknya drone yang sudah up level tahan disegala cuaca.
Dan kelompok Makatel, mereka sepertinya pembunuh bayaran yang tugas mereka hanya membunuh target misinya dan lagi mereka sangat ilegal di negara ini.
Mula-mula aku akan parkour ke gedung variabel A yang dekat dengan tempat aku berada sekarang, melompat langsung dari gedung ini, dari depan gedung itu terdapat tangga darurat aku mendarat dengan memengan handrail besi pada tangga, menunggu dibagian tangga itu sambil melihat keatas.
‘Ahkk’ aku mendesah kesal karena sayangnya tangga darurat apartemen ini tidak terhubung dengan atap rooftop dan lantai 1 gedung ini, hanya menggantung dari lantai 5 sampai lantai 13.
Aku menggunakan ‘Elektro reseptor’ lagi. Mereka terlihat sedang santainya meneropong target misiku, mereka seperti mau membunuhnya, emang itu misi mereka membunuh dengan timing yang sangat tepat, ‘(Dalam hati) Dasar para kelompok Makatel.... kalian Cuma bisa membunuh!’ aku mencibir kesal.
Tap... tap... tap...
Dari tangga darurat aku melompat keatas dan sedikit berjalan ke samping memengang lantai balkon dari bawah, mengangkat tubuhku lalu memengang handrail balkon dan melompat kelantai balkon itu. Sambil menunggu mereka lalai, aku merasakan ada seorang dari mereka mondar-mandir dengan secarik kertas dan pulpen berjalan kesana-kemari, mereka secara bergantian dan seorang yang sedang mengawas seperti mencatat sesuatu.
Sekarang aku naik dengan memanjat keatas hingga pas menggelantung di sebuah ubin yang tertutup handrail, kalau tidak ada dinding handrail rooftop ini aku akan terlihat jelas di depan seseorang yang sendang mengawasi sekeliling.
sambil menunggu ia menoleh, aku melepaskan tangan kanan dan mengambil sebuah belati yang ada di pinggang bersiap-siap menikam. Ketika dia menoleh langsung aku melompat hingga seperti terbang 1 meter di atas kepala mereka dan melempar belati tadi ke atas kepala dia.
Suff..... jleeb....
Tikaman belati itu menancap langsung presisi dilingkaran lehernya seseorang yang sedang mondar-mandir tadi, dan dengan sigap aku mengeluarkan pedang yang dari tadi ada di punggung.
Dengan gerakan cepat dan presisi, aku melancarkan serangan mematikan. Pedang bersinar di udara saat mengarahkannya menuju mereka. Dalam sekejap, belati dan pedang itu menembus tubuh mereka, mengakhiri hidup dalam sekejap dengan suara yang begitu halus yang terdengar. Aku segera menarik kembali pedang yang tertancap di ruas tubuh salah seorang dari mereka.
“(Dalam hati) Ah.. disini Cuma lima orang” aku melihat seorang yang tersisa dan bodohnya dia tidak menyadari rekannya telah kukirim ke alam baka, dan dia masih saja berisik dari tadi.
“(Marah-marah) oii Neroz, bodoh.... cepat pesan batagor sama boba woii... kau mau tunggu apalagi, aku sudah kelapar dari tadi siang!!!”
“Sebentar aku pesan... bisa tunggu ngak...! makan saja yang dipikirkan!”
“Ehh... kok beda sifatnya!? Suaranya juga?!!” perlahan ia menoleh kebelakan dan.
Sratss...
Keadaan terakhir, menebas pedang yang meminjam tetesan air mulai hujan melayangkan kepalanya.
STL drone memanggil beberapa pekerjanya yang berbeda bentuk darinya, bentuknya agak lonjong seperti segitiga, itu ‘Laundry Drone’ benda itu adalah pembersih TKP. Tugas mengangkat mayat, senjata api dan membersihkan darah. Yang paling diherankan entah itu cairan atau proyeksi tertentu yang tampak samar-samar seperti disemprot ke darah yang terdapat di lantai. Dan darah itu benar-benar hilang tampa bekas.
...֎֎֎...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!