Cahaya matahari menyinari bumi, terik cahayanya membuat percikan keringat di dahi seorang gadis yang sedang mengayuh sepeda santai. Hari ini musim semi telah tiba, bunga-bunga cinta pun kembali bermekaran. Mengetuk tiap pintu hati yang diberikan rasa cinta oleh sang pencipta.
Haniyatul memegang sepucuk surat sambil tetap mengayuh sepedanya dengan laju. Sesekali percikan keringatnya dihapus kasar agar tidak menitik mengenai pipinya.
Haniyatul menghentikan sepedanya begitu tiba di rumah kayu dengan bentuk sederhana, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Dekorasinya seperti rumah zaman dulu kala. Namun, masih terkesan modern. Mulai dari lantai hingga ke dinding. Semuanya berbahan kayu, di halaman rumahnya pula terlihat rumput-rumput hijau dan pendek bagaikan sebuah karpet. Sungguh siapa saja yang ke rumah ini akan merasa damai dengan kicauan burung dan semilir angin yang menyejukkan.
"Assalamualaikum," Haniyatul memberi salam. Sepatu sekolahnya dilepas lalu di susun di rak sepatu.
"Walaikumsalam," jawab sang ibu dari ruang tamu.
Haniyatul bergegas masuk ke dalam rumah dan mencari sosok ibunya.
"Ibu," ucap gadis tersebut sambil mengambil posisi duduk di sebelah ibunya yang sedang menjahit baju yang robek.
"Hmmm," gumam Aida. Ia tidak pula menghentikan aktivitasnya.
"Ada surat dari sekolah," ucap Haniyatul. Sesekali terlihat gadis itu mengibas-ngibas jilbabnya karena merasa gerah.
"Surat apa?" Kini Aida menghentikan aktivitasnya. Lalu pandangannya terarah pada anaknya.
"Surat dari sekolah bu, kepala sekolah menyuruh surat ini dibagikan pada ibu," jelas Haniyatul.
"Kamu tidak membuat onar di sekolahkan, nak?" tanya Aida. Baru pertama kali ia mendapat surat dari kepala sekolah selama Haniyatul bersekolah. Ia takut jika anaknya itu membuat hal yang mengundang emosi para guru.
"Ah.. ibu, anak ibu ini anak baik-baik bu, tidak mungkin saya menjadi pembuat onar di sekolah," Haniyatul mulai memuji dirinya sendiri.
Aida tertawa, kemudian mengambil surat yang di berikan oleh putrinya. Dibacanya isi surat itu.
"Lah, mulai besok kamu sekolah sore nak," ucap Aida. Lalu surat itu diletakkan secara sembarangan di atas meja.
"Iya, bu. Soalnya beberapa gedung sekolah sedang di renovasi. Dan beberapa kelas juga akan dibuat di sebelah selatan, karena jumlah kami yang banyak menyebabkan kelas tidak cukup jika ditempati oleh semua siswa secara bersamaan. Makanya kepala sekolah mengambil keputusan untuk mengadakan dua sesi belajar. Sesi pertama dari pukul 07:30 - 01:30 siang. Dan sesi kedua pula dari pukul 01:30- 05:40 sore," jelas Haniyatul.
"Jadi kamu sesi keberapa nak?" tanya Aida.
"Sesi kedua, bu," jawab Haniyatul, wajahnya terlihat kurang senang karena ditempatkan di sesi kedua.
"Oh, begitu. Padahal sekolah kamu itu besar, tapi masih juga kekurangan kelas," ucap Aida. Kali ini ia melanjutkan kegiatannya yang tertunda tadi.
"Jumlah siswa baru banyak ibu, sekitar tiga ratusan jadi tidak heran jika kepala sekolah harus membagi sesi sehingga beberapa ruangan kelas selesai di revisi dan dibangun, tapi bu. Haniyatul kurang suka jika harus di sesi kedua," Haniyatul mulai menceritakan hal yang membuatnya kurang senang hari ini. Beginilah sikap Haniyatul Qoriah gemar sekali berbagi suka maupun duka pada ibunya. Ia tidak segan-segan untuk curhat apapun itu pada ibunya.
"Mau sesi pertama atau pun sesi kedua sama saja, nak. Yang penting kamu sehat-sehat dan bisa sukses," ucap Aida. Ucapan sang ibu ini selalu saja bisa menjadi solusi bagi anaknya. Tidak hanya itu, kata-katanya bagaikan penawar yang mengobati segala keresahan. Dibalik ucapannya menjadikan anaknya tidak takut menghadapi kejamnya dunia.
Haniyatul tersenyum, ia menatap dalam-dalam mata teduh ibunya yang selalu membuatnya bahagia. Dimata tua itu selalu saja ada rasa kasih sayang yang tiada habisnya.
"Bantu ibu masukkan benang di jarum," pinta Aida. Ia memberikan jarum yang dipegangnya pada putrinya. Mata teduhnya itu kini tidak seterang dulu karena usianya yang semakin bertambah. Haniyatul berharap ibunya akan selalu dalam keadaan sehat sehingga bisa melihatnya meraih kesuksesan.
***
Terkadang insan baru yang hadir dalam kehidupan selalu saja bisa memberikan warna, kesan, bahagia, dan luka. Bagaimana cara orang itu datang menghampiri, atau datang mendekati semua itu ternyata takdir yang tertulis. Seperti aku bertemu denganmu di musim semi.
______________________________________________
Hari pertama masuk sekolah sore yakni di sesi kedua. Terasa aneh saja saat masuk sekolah siang-siang begini. Apa mungkin karena belum terbiasa jadi banyak siswa yang masih mengeluh. Apalagi siswa yang harus ke sekolah menaiki sepeda. Beberapa siswa yang baru datang ke sekolah lebih memilih nongkrong di kantin.
Di kantin sekolah terdiri dari beberapa meja yang tersusun memanjang. Lantainya berwarna biru dengan empat tiang yang menjadi pilar penyangga. Tidak hanya itu. Di tiang penyangga itu juga terdapat ukiran-ukiran kaligrafi yang unik.
Suasana di lapangan sekolah terlihat sunyi. Kelas-kelas juga terlihat kosong. Mungkin beberapa siswa belum hadir atau masih nongkrong di kantin untuk membasahi tenggorokan mereka karena cuaca yang panas.
Haniyatul berjalan ke kelas sembari mengecek tas ranselnya yang sudah dijahit seperti semula. Walaupun jahitannya kurang rapi tapi tas ranselnya masih terlihat baru dan bersih karena baru beberapa hari digunakan ke sekolah.
Beberapa hari yang lalu Zaim ingin mengganti tas ransel Haniyatul yang ia rusakkan. Namun, gadis itu menolak dengan keras. Haniyatul lebih memilih memperbaiki kembali tas ranselnya yang rusak ketimbang harus menerima tas baru yang diberikan oleh laki-laki itu.
Haniyatul terus mengobrak-abrik tas ranselnya, mencari pulpen berwarna biru sambil berjalan tanpa melihat ke depan.
Braaak!
Haniyatul menabrak seseorang. Karena tubuhnya yang kecil malah ia pula yang terdorong ke belakang, padahal ia yang menabrak orang.
"Maaf," ucap Haniyatul sembari menggosok-gosok dahinya yang terasa sakit.
Aydan menoleh kearah belakang setelah merasakan seseorang menabrak tas ransel yang ada di pundaknya. Untung saja Haniyatul hanya menabrak belakang laki-laki itu. Andai saja mereka saling berhadapan entah apa yang akan terjadi.
"Maaf," Haniyatul membungkukkan badannya sembari sekali lagi meminta maaf.
Aydan tidak menggubris permintaan maaf Haniyatul. Tetapi, lelaki itu mengambil pulpen biru yang terjatuh di hadapannya. Lalu pulpen itu diberikan pada Haniyatul
Gadis itu mematung di tempat begitu Aydan memberikan pulpen padanya. Tatapan mata Aydan dingin, sedingin es yang mampu mendinginkan musim semi bulan ini. Raut wajahnya bersinar, secerah sinar matahari dan seindah cahaya bulan. Hidungnya kecil, bibirnya berwarna merah ranum. Jadi memang tidak heran jika lelaki ini digilakan banyak perempuan.
"Astagfirullah," Haniyatul menundukkan pandangannya. Ia tahu, ia tidak sewajarnya terlalu mengagumi ketampanan laki-laki itu. Apalagi sampai bisa membawa zina mata.
Pulpen yang diberikan oleh Aydan diambil oleh Haniyatul.
"Terima kasih," ucap gadis itu seraya berlalu pergi.
Aydan bergeming di tempatnya, pandangannya masih lurus ke depan padahal Haniyatul sudah beranjak pergi. Semilir angin bertiup mengenai wajahnya. Lalu bibirnya mengukir sebuah senyuman.
***
Haniyatul memilih duduk di kelas sebelum jam pelajaran masuk. Pandangannya lurus melihat keluar jendela, dilihatnya beberapa siswa sedang lalu lalang di luar kelasnya. Namun, tiba-tiba matanya menangkap sosok laki-laki yang dikenalnya. Laki-laki itu berjalan di belakang seorang gadis berjilbab panjang berwarna abu-abu. Wajah gadis itu begitu menenangkan, dan seperti sebuah lukisan. Sungguh mahakarya tuhan yang begitu indah sekali.
"Cantik bukan?" tiba-tiba saja suara Ainul menyapa kuping telinga Haniyatul, membuat gadis itu menoleh ke samping atau tepatnya ke arah teman sebangkunya itu yang sudah duduk disebelahnya.
"Siapa itu?" tanya Haniyatul.
"Gadis itu namanya Humaira. Ia sudah berteman dengan Aydan sedari kecil," jelas Ainul. Matanya tak lepas dari memerhatikan Aydan yang saat itu berjalan di belakang Humaira.
"Teman masa kecil," gumam Haniyatul.
"Tapi semua orang tahu, bahwa Aydan menyukai Humaira. Namun, sepertinya laki-laki itu ditolak," ucap Ainul lagi. Di wajahnya terbit rasa sedih. Apa mungkin Ainul juga menyukai Aydan?
Meong!
"Eh. Kucing," teriak Ainul. Gadis itu terlihat gemas dengan anak kucing yang berada tidak jauh dari mejanya.
Mata Haniyatul juga berbinar terang begitu melihat anak kucing berbulu oranye putih tersebut.
"Hani, kayaknya anak kucing ini kesasar," ucap Ainul.
"Lah.. bagaimana kamu tau anak kucing itu kesasar?" tanya Haniyatul pula.
"Di belakang gedung sekolah kita ada rumah kucing di bawah pohon yang daunnya rindang. Barangkali ibu anak kucing ini ada di sana. Aku mau minta tolong Hani, bawa anak kucing ini ke sana sebelum nanti diganggu oleh siswa laki-laki," pinta Ainul.
"Kita pergi ke belakang sekolah bareng yuk!" ajak Haniyatul pula.
"Maaf, tapi aku alergi dengan bulu kucing," jelas Ainul. Gadis ini teramat menyukai kucing. Namun, sayang. Ia alergi pada bulu kucing. Gadis ini akan bersin-bersin jika memegang kucing.
"Baiklah, biar aku pergi sendiri saja. Jika ada guru, bilang aku ke belakang sekolah mengantar anak kucing yang kesasar," pesan Haniyatul pada Ainul. Yang dijawab dengan anggukan kepala oleh teman sebangkunya itu.
Anak kucing berwarna oranye putih itu diangkat oleh Haniyatul. Di elusnya perlahan kepala si anak kucing tersebut sembari melangkah keluar kelas.
"Aku ingin memberimu nama," gumam Haniyatul.
"Nama apa ya yang bagus," Haniyatul mulai bermonolog sendiri.
"Gendut," gumamnya. Berhubung anak kucing itu Gendut maka dipanggillah si Gendut. Lalu ia terkekeh sendiri, merasa lucu dengan nama yang diberikan pada si anak kucing.
***
Begitu tiba di pohon yang daunnya rindang. Tampaklah sebuah rumah kucing berwarna cokelat. Sepertinya kepala sekolah Madrasah ini sangat menyayangi hewan.
Di depan rumah kucing itu terlihat ibu kucing sedang menunggu anaknya. Haniyatul meletakkan si Gendut di hadapan ibunya dengan hati-hati.
"Gendut.. kamu jangan nakal-nakal ya," pesan Haniyatul pula pada si anak kucing sambil mengelus kepalanya.
Terlihat si ibu kucing menjilati bulu anaknya. Tampaknya kucing itu sudah terbiasa dengan kehadiran manusia.
Haniyatul pun membalikkan tubuhnya dengan niat untuk pergi. Namun, niatnya itu terhenti. Di hadapannya terlihat Aydan sedang memegang kaleng makanan kucing. Pandangan mereka beradu. Kemudian, masing-masing menundukkan wajah.
Dedaunan berjatuhan bagaikan bunga sakura. Dan sekali lagi takdir mempertemukan mereka. Membuat hati Haniyatul yang sekeras batu kian melunak. Apakah lelaki itu yang menjadi idaman Haniyatul? Ataukah posisi Zaim hanya sekedar pemeran pendukung saja.
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
👑Queen of tears👑
hmmmm,,aku mulai menemukan radar disini🧐🧐😎
2024-03-28
1
👑Queen of tears👑
cinta pada pandangan pertama,,dari merangkak naik kemata/Drool/
2024-03-28
1