Perang Dimulai

Ayo liat bagaimana takdir bekerja

______________________________________

Matahari mulai naik dikaki langit. Awan kian cerah, memancarkan keindahan warna birunya. Embun-embun mulai menetes dari dedaunan hijau. Bahkan jalan raya sudah terdengar bising dengan kendaraan yang lalu lalang di depan Madrasah Nurul Hidayah.

Braaak!

Zaim menarik tas ransel Haniyatul sehingga tali tas ransel gadis itu putus. Mata Haniyatul melebar ketika melihat tali tas ransel miliknya rusak. Padahal tas ransel itu baru saja di belinya kemarin.

Sementara Zaim pula, mulutnya membulat, tangan kanannya di gunakan untuk menutup mulutnya sementara tangan kirinya masih memegang tas ransel Haniyatul yang sudah rusak.

Begitu Haniyatul memandang kearah Zaim. Malah lelaki itu tersenyum lebar sambil menampakkan beberapa batang giginya.

Dbuuuk!

Buku-buku Haniyatul jatuh di atas tanah, gadis itu malah semakin melebarkan matanya. Emosinya sudah tidak tertahan lagi. Sedangkan Zaim pula bergegas mengangkat kedua tangannya ke udara, seakan mengatakan bahwa ia tidak bersalah.

Haniyatul melempar tasnya ke atas tanah yang permukaannya terdapat batu-batu kerikil kecil sehingga lebih menambah kesan mewah pada Madrasah Nurul Hidayah. Madrasah Nurul Hidayah adalah Madrasah yang dekorasinya menyongsong elemen-elemen keislaman dengan ukiran-ukiran kaligrafi di dinding-dinding sekolahnya tidak hanya itu, sekolah ini juga memiliki kolam yang berukuran sederhana dengan jembatan diatasnya yang menghubungkan kearah bangunan sebelah barat. Kolam itu terisi dengan ikan berwarna-warni.

Pandangan Haniyatul terarah pada Zaim, ia tidak bisa lagi menahan amarahnya. Bajunya kotor, tasnya rusak, dan kini buku-bukunya berhamburan di atas tanah.

"Ya, Allah. Baju ku kotor, tas ku rusak, buku berhamburan setelah ini apa lagi?" ucap Haniyatul sambil menyilangkan tangannya ke dada.

Sekali lagi Zaim tersenyum lebar. Tangannya masih juga tak di turunkan, "maaf, lagian salah siapa juga? Dari tadi di panggil malah saya diabaikan."

Jreeeng!

Haniyatul melayangkan tatapan elangnya pada Zaim. Sudahlah bersalah malah lelaki itu menuduhnya juga bersalah karena mengabaikan panggilannya.

"Sungguh sopan sekali Anda meminta maaf, sudah melakukan kesalahan malah berkata saya juga bersalah. Jadi maksud Anda di sini saya pokok permasalahannya? Sopirnya mengemudi tidak liat-liat, eh. Ternyata tuan mudanya juga malah begini sikapnya," Haniyatul mulai mengeluarkan segala yang ada di pikirannya. Ia tidak peduli lagi apa laki-laki itu akan marah atau tidak.

Zaim menurunkan tangannya. Alisnya di naikkan sebelah, sungguh ia merasa tersindir sekali.

"Saya yang kurang sopan santun? Saya sudah minta maaf yang situ itu malah tidak menjawab. Sombong sekali Anda," balas Zaim tak kalah pedasnya.

Haniyatul dan Zaim pun mulai beradu mulut, tidak dipedulikan lagi bagaimana seluruh siswa melihat mereka. Suara mereka memenuhi setiap sudut ruangan sekolah. Bu guru yang ada di kantor sekolah pun mulai menengok keluar kantor. Kebetulan sekali kantor sekolah berhadapan dengan lapangan tempat Zaim dan Haniyatul berkelahi.

Seorang guru wanita berkaca mata dengan jilbab panjang berwarna cokelat datang menghampiri Zaim dan Haniyatul.

"Anda yang salah," ucap Zaim. Masih mempertahankan argumennya.

"Anda yang salah," balas Haniyatul.

"Ada apa ini?"

Zaim dan Haniyatul terdiam. Suara ibu guru itu bagaikan petir yang menyambar ditelinga mereka. Masing-masing mulai tersadar di mana posisi mereka sekarang. Mata mereka terarah pada sekeliling yang sudah di penuhi para siswa yang keasyikan menonton perkelahian mereka.

***

Zaim dan Haniyatul berdiri menghadap kearah meja kepala Madrasah. Ternyata kepala Madrasah Nurul Hidayah adalah seorang wanita berusia 40an.

"Muhammad Hazim Zaim," gumam Qamariah. Tangannya membuka lembaran demi lembaran yang berisi tentang identitas siswa.

Nama\= Hazim Zaim

Umur\= 15tahun

Kelas\=X. Ipa.2

Nama orang tua :

Ibu: Fitriah S. Pd. M. Ag

Profesi: Dosen

Ayah: Kiai Abdul Zahid

Profesi: Kiai, mengajarkan ilmu agama di pondok-pondok pesantren.

Setelah membaca lembaran berisi Identitas Zaim, Bu Qomariah membuka satu lagi lembaran yang berisi tentang identitas Haniyatul.

Nama: Haniyatul Qoriah

Umur: 15tahun

Kelas: X. Ipa.1

Nama orang tua:

Ibu: Aida

Profesi: Ibu rumah tangga

Ayah: Lukman

Profesi: Nelayan

Bu Qomariah menutup buku identitas yang berukuran besar bersampul hijau tua. Ia tidak pula membaca sampai habis identitas kedua siswa itu. Cukup mengetahui nama, kelas, nama kedua orang tua, dan profesi kedua orang tua mereka. Tanggal lahir dan sebagainya tidak pula diambil tahu oleh guru tersebut. karena setelah ini ia ada rapat jadi ia harus membereskan masalah kedua siswanya dengan segera.

Bu Qomariah menyentuh bingkai kaca matanya lalu memandang kearah Haniyatul dari atas kebawa. Dilihatnya baju gadis itu kotor dengan tas rusak, kedua tangannya pula memegang buku-bukunya yang terlihat masih baru.

"Ada apa ini? Masalahnya apa?" tanya Bu Qomariah pada kedua siswa yang ada di hadapannya.

"Maaf ustazah, tadi--tadi sopir saya tidak sengaja melewati genangan air yang ada di jalan raya dan genangan air itu mengenai baju--" Zaim menghentikan kata-katanya. Ia ternyata belum mengetahui nama gadis yang berkelahi dengannya tadi.

"Haniyatul," ucap Bu Qomariah.

Tanpa diperintahkan, Zaim langsung melanjutkan lagi ucapannya.

"Genangan air itu mengenai baju Haniyatul, dan malangnya sopir saya tidak meminta maaf. Dan begitu tiba di sekolah, saya ingin mewakili sopir saya untuk meminta maaf pada Haniyatul. Akan tetapi, dia tidak menggubris sedikit pun panggilan saya. Saya mengejarnya dan akhirnya jadi begini," jelas Zaim panjang lebar. Ia menundukkan kepalanya.

"Kamu, Haniyatul. Kenapa tidak menjawab panggilan Zaim?" Kini pandangan Bu Qomariah terfokus pada Haniyatul.

Haniyatul meremas kasar telapak tangannya. "Saya... Saya...," ucap Haniyatul terbata-bata.

"Sa...Saya belum pernah berbicara dengan cowok selain dengan keluarga dan ayah saya, karena itu saat laki-laki ini memanggil saya, saya jadi takut," jelas Haniyatul pula.

"Bwahahahahah,"

Zaim tertawa sekeras-kerasnya. Sedangkan Bu Qomariah pula mulai menahan tawanya.

Haniyatul menundukkan kepalanya karena wajahnya yang mulai memerah diakibatkan rasa malu yang mulai menyelubungi hatinya. Sedangkan Zaim, suara tawanya sudah memenuhi ruangan kantor.

Bu Qomariah melihat kearah gadis polos yang ada di hadapannya kini. Inilah sebabnya mengapa ia menggabungkan siswa laki-laki dan perempuan di kelas yang sama, hal ini karena agar mereka tidak terlalu canggung ketika bertemu nanti. Apalagi sampai terbawa perasaan saat tidak terbiasa melihat lawan jenis. Dan sudah tentu dengan menggabungkan siswa laki-laki dan perempuan juga akan mengakibatkan masalah. Namun, menurutnya masalah apapun itu akan bisa dihindari jika orang tua dan guru saling bekerja sama membangun karakter dan kepribadian para siswa dengan tidak hanya menjadi siswa yang pintar saja. Tetapi, menjadi siswa pintar dan beretika. Namun, ada juga beberapa pesantren yang tidak sepahaman dengan pemikiran Bu Qomariah. Akan tetapi, Bu guru ini tidak pula mengambil pusing akan hal itu karena setiap orang bebas untuk berpendapat dan bertindak sesuai undang-undang negara dan ajaran agama.

"Ehem," Bu Qomariah berdehem. Serta merta suara tawa Zaim langsung tidak terdengar lagi. Meski orang tuan Zaim kaya, itu tidak menjadikannya siswa yang sombong dengan kekayaan orang tuanya.

"Menurut saya, kalian berdua salah, Zaim sekarang minta maaf dengan Haniyatul," perintah Bu Qomariah.

Tanpa membantah sedikit pun Zaim langsung meminta maaf seraya membungkukkan badannya," maaf, saya benar-benar minta maaf,"

"Hmmm," gumam Haniyatul, ia menundukkan wajahnya.

Bu Qamariah menghela napas panjang. Baru awal masuk sekolah perkelahian sudah terjadi. Bagaimana untuk dua tahun kedepannya? Guru ini pun menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tidak habis pikir dengan tingkah kedua siswa itu.

"Karena kalian sudah berkelahi pada saat awal masuk sekolah, sebagai hukumannya berdiri didepan kantor, Zaim di sebelah kanan dan Haniyatul di sebelah kiri, dengan jarak tiga meter sampai jam mata pelajaran pertama selesai," sekali lagi Bu Qomariah memberikan perintah.

"Oh, iya. Saya hampir lupa. Zaim ganti tas ransel Haniyatul yang sudah kamu rusakkan. Paham!" Lanjutnya.

"Paham ustazah!" Sahut Zaim pula.

***

Bu Qomariah berpidato di depan ratusan siswa baru, terlihat dari sorot matanya kewibawaannya sebagai seorang kepala Madrasah.

"Saya harap kalian dapat mematuhi peraturan-peraturan sekolah dengan baik, dan ingat! Siswa yang tidak hadir ke sekolah lebih dari tiga kali tanpa alasan yang wajar akan saya keluarkan dari sekolah demikian juga dengan yang bolos,"

Begitulah isi pidato yang diucapkannya dengan mencantumkan sebuah ancaman agar para siswa tidak berani alpa sesukanya apalagi bolos.

Siswa yang berbaris mulai menahan tawa ketika melihat Zaim dan Haniyatul dihukum di hari pertama masuk sekolah.

"Siapa perempuan itu?" tanya Aydan.

"Aku tidak tahu, kita baru saja masuk sekolah. Bertemu dengannya saja tidak pernah," jawab Mukhlis pula. Pandangan kedua siswa ini terpusat pada Haniyatul dengan perasaan yang penasaran terhadap gadis itu.

***

Matahari semakin terik, percikan keringat mulai membasahi dahi Zaim dan Haniyatul. Zaim memandang kearah Haniyatul. Gadis itu di tempatnya.

Zaim mulai melemparkan batu kerikil kecil pada Haniyatul sehingga mengenai sepatu gadis itu. Namun, sayangnya. Haniyatul tidak melirik sedikit pun kearah Zaim. Gadis itu masih melihat lurus kedepan.

Zaim tidak ingin menyerah. Ia kembali mengambil batu kerikil kecil dan melemparkannya pada Haniyatul. Sekali lagi batu kerikil itu mengenai sepatunya. Namun, gadis itu masih tidak memandang kearah Zaim.

"Gadis ini benar-benar berbakat mengabaikan orang," gumam Zaim.

***

Haniyatul masuk ke dalam kelasnya. Wajahnya berubah merah karena sedari tadi berjemur dibawah terik matahari.

Ia melihat sekelilingnya. Ternyata ada satu bangku yang kosong di urutan ke tiga, bergegas Haniyatul menuju kearah bangku itu.

"Maaf, apa bangku ini kosong?" tanya Haniyatul, bibirnya terasa kering karena ia belum pernah membasahkan tenggorokannya dengan air setelah dijemur di bawah sinar matahari seperti ikan kering.

"Oh, kursi ini kosong," ucap seorang gadis berjilbab panjang, berwarna putih dan berkaca mata. Gadis itu sempat melirik sekilas kearah bangku kosong yang ada di sebelahnya, tepat dekat dengan jendela.

"Bisa saya duduk disini?" tanya Haniyatul.

"Ah, bisa. Silahkan," Jawab gadis berkacamata sembari menepikan badannya.

"Perkenalkan namaku Ainul Jariah," ucap gadis berkaca mata itu lagi, sambil mengulurkan tangannya pada Haniyatul dengan niat untuk bersalaman.

"Nama saya Haniyatul Qoriah, panggil Haniyatul saja," Haniyatul menyambut uluran tangan gadis itu. Kemudian, duduk diatas bangkunya.

Baru berapa menit Haniyatul di kelas, seorang guru laki-laki pun datang, guru itu mengajarkan mata pelajaran Fikih.

"Assalamualaikum," ucap guru laki-laki tersebut, yang sering di panggil dengan nama ustadz Zulfikar.

"Walaikumsalam warahmatullahi wabarakatu," jawab semua siswa yang ada di kelas dengan serempak.

Ustadz Zulkfikar meletakkan buku paket diatas meja. Kemudian, ia mengambil map kuning yang ada di mejanya. Di dalam map kuning itu berisikan absen siswa kelas X. Ipa.1.

Matanya membaca satu persatu nama siswa. Ternyata semua siswa hadir hari ini.

Guru laki-laki itu berjalan kearah papan tulis sambil memegang map berwarna kuning tersebut.

"Alhamdulillah, semua hadir ya?" ucapnya.

"Iya, pak," jawab sebagian siswa.

"Ini pertama kali kita ketemu bukan? Perkenalkan nama saya Muhammad Zulfikar, bisa dipanggil ustadz Zul, atau ustadz Zulfikar juga bisa," ucapnya seraya menatap satu persatu siswa kelas X. Ipa.1.

"Oh, kamu yang dihukum tadi kan?" tanya ustadz Zulfikar pula seraya pandangannya terfokus pada Haniyatul.

"Iya, ustadz," sahut Haniyatul sambil tertunduk malu. Bagaimana ia tidak malu, hari pertama seharusnya ia memberikan kesan yang baik untuk guru-guru. Tetapi sekarang hancur sudah reputasinya.

Drrrt!

Ponsel ustadz Zulfikar bergetar, bergegas guru muda itu mengambil ponselnya dari kantong celananya.

"Assalamualaikum,"

Guru itu menjawab panggilan yang masuk. Sedangkan, siswa yang lain mulai melakukan aktivitas mereka, ada yang membuat gambaran abstrak di belakang buku dan ada pula yang asyik mengobrol.

Haniyatul melirik arloji yang terpasang ditangan kanannya. Ternyata masih ada 30 menit sebelum istirahat. Ia sudah tidak sabar ingin istirahat karena sememangnya sekarang ia haus sekali.

"Hush... Hush!"

Terdengar suara di jendela seakan-akan sedang memanggil Haniyatul. Awalnya gadis itu mengabaikan suara itu. Tetapi suara tersebut tak henti-henti ribut di jendelanya, mau tidak mau ia memalingkan wajahnya kearah sumber suara.

Di jendela terlihat Zaim sedang tersenyum lebar ketika mereka sedang beradu pandang. Dibelakang lelaki itu ada dua siswa laki-laki.

"Apa?" tanya Haniyatul dengan suara berbisik-bisik.

Zaim pun mengulurkan botol air Aqua pada Haniyatul.

"Nah minum, jangan khawatir aku tidak meletakkan racun di air itu," Zaim berseloroh, dan tangannya masih mengulurkan air Aqua pada Haniyatul.

"Aku tidak haus," tolak Haniyatul. Ia memandang lurus kearah papan tulis.

"Ya, tuhan. Cewek ini, cepat ambil air ini sebelum ustadz selesai menjawab panggilannya," ucap Zaim lagi. Ia tidak ingin ketahuan oleh ustadz Zulfikar. Bisa-bisa nanti ia akan dihukum lagi karena dikira mengganggu Haniyatul.

"Tidak mau," tolak Haniyatul dengan tegas.

Zaim melihat kearah ustadz Zulfikar, terlihat guru itu sudah hampir selesai berbicara di teleponnya. Mau tidak mau, botol air Aqua itu diletakkan saja diatas meja Haniyatul dengan susah payahnya.

Haniyatul membulatkan matanya, ia tidak menyangka lelaki tersebut senekat itu. Dengan senyuman yang mengembang Zaim pun berlalu di ikuti oleh dua orang temannya.

"MasyaAllah, sungguh pemandangan yang indah," Ainul membuka bicara setelah sedari tadi terdiam. Ia terkagum-kagum dengan ketampanan ketiga laki-laki tersebut.

"Kamu kenal mereka?" tanya Haniyatul.

"Iya, sudah tentu. Di sekolah ini tidak ada yang tidak mengenal mereka bertiga. Bahkan sebelum masuk sekolah rumor tentang mereka sudah tersebar luas. Yang berada disebelah kanan Zaim tadi adalah Muhammad Aydan Atthullah, terkenal dengan laki-laki berparas bule dengan sikap cool dan cuek, pendiam dan tidak cerewet. Ibunya berprofesi sebagai Profesor dan ayahnya bekerja di sebuah perusahaan besar. Yang ada disebelah kiri Zaim pula adalah Muhammad Mukhlis Asyraf. Dia satu-satunya cowok yang paling cerewet diantara ketiga mereka tadi. Ia keturunan tiongkok muslim, Ibu Mukhlis berprofesi sebagai kepala sekolah. Sedangkan, ayahnya mengurus restoran keluarganya. Dan terakhir adalah Muhammad Hazim Zaim. Menurut siswi perempuan, Zaim adalah yang paling populer ketimbang Aydan dan Mukhlis. Hal ini karena pesona parasnya dan sikapnya yang lembut. Zaim memiliki darah keturunan Arab. Kakeknya adalah orang Arab yang menikahi neneknya, yaitu gadis asli Indonesia. Oleh karena itu tidak heran jika paras wajahnya mirip seperti orang Arab. Dan Zaim adalah sepupuku," ucap Ainul panjang lebar. Diakhir ucapannya ia tersenyum manis pada Haniyatul. Sedangkan, Haniyatul pula membulatkan matanya ketika mengetahui bahwa Ainul adalah sepupu Zaim. Wajah keterkejutannya tidak bisa di tutupi lagi. Jika ia tahu dari awal bahwa gadis yang akan menjadi teman sebangkunya adalah sepupu dari laki-laki yang sudah merusakkan tasnya. Sudah tentu ia lebih memilih duduk di lantai ketimbang harus duduk disebelah Ainul.

***

Proses pembelajaran terus berlangsung. Terlihat ustadz Zulfikar tidak mempunyai tanda-tanda untuk berhenti mengajar sejenak. Bahkan bel juga belum berbunyi padahal sudah 5menit berlalu masa untuk istirahat bagi para siswa.

Tenggorokan Haniyatul benar-benar kering. Botol yang di berikan Zaim padanya tadi masih tidak di sentuh sedikit pun.

Ya, Allah. Kapan istirahat, batin Haniyatul. Gadis itu memandang botol air Aqua yang menggiurkan baginya.

Zaaap!

Ia menyambar kasar botol air Aqua tersebut lalu di minumnya air itu dengan rakus.

Ustadz Zulfikar tidak melihat kelakuan Haniyatul karena ia sedang menulis dipapan tulis. Hanya Ainul saja dan beberapa orang siswa lain yang mulai menahan tawa mereka.

Haniyatul menutup kembali botol air Aqua tersebut. Di lihatnya air dibotol itu sudah setengah. Ia juga menghela napas lega karena ia sudah tidak haus lagi.

Triiiing! Triiiing!

Bel berbunyi menandakan waktu istirahat sudah usai. Haniyatul pun meletakkan kembali botol air Aqua ketempatnya semula. Namun, baru saja botol itu di letakkan, gadis itu sudah berteriak kecil karena wajah Zaim sedari tadi dekat dengan kaca jendela.

Zaim tersenyum tipis ketika mendapati air di dalam botol Aqua sudah setengah. Sedangkan, mata Haniyatul juga mengikuti arah pandang Zaim, mata Haniyatul melebar. Bergegas ia memegang botol berwarna putih bening itu. Ia berniat ingin menyembunyikan botol itu agar Zaim tidak tahu bahwa air yang di berikannya tadi sudah ia minum hingga hampir habis. Akan tetapi, sepertinya sudah terlambat karena sedari tadi Zaim memperhatikan Haniyatul pada saat menyeruput air Aqua itu dengan rakus.

Haniyatul memukul kecil jidatnya. Untuk pertama kali keegoisannya runtuh dihadapan makhluk bernama laki-laki. Dan Zaim pula berlalu dengan penuh kemenangan.

Sepertinya kali ini aku yang menang Haniyatul.

~Hazim Zaim~

Terpopuler

Comments

Ai

Ai

mampir, Thor

2024-04-11

1

Florissa

Florissa

ketat bgt aturannya 😭

2024-03-22

1

Florissa

Florissa

lucu bgt hani 😭😭

2024-03-22

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!