Penyerangan?

"Tuan brayan apa menurut anda, anda adalah orang yang sama seperti sebelumnya, anda hanya lah pria cacat sekarang, mengapa anda memerintahkan kami?"

Dalam kegelapan pria itu berkata dengan emosional dan tangannya gemetar.

Pisau itu sangat tajam dan sheila merasakan sakit di lehernya.

Bau darah memenuhi ujung hidungnya tetapi sheila masih tidak bergerak.

Wajahnya mengahadap ke depan dan pandangannya gelap gulita, dia tidak dapat melihat siapapun dengan jelas, tetapi intuisinya mengatakan kepadanya bahwa brayan ada tepat di depannya.

Apakah dia akan menyelamatkannya? Bagaimana caranya?

Saat pikiran itu terlintas di benaknya, hembusan angin tertiup melewati telinganya, di ikuti dengan erangan teredam.

Sheila merasakan kekuatan yang mencekamnya tiba-tiba mengedur.

Klikkk

Lampu di nyalakan.

Sheila tanpa sadar mengangkat tangannya untuk menutupi cahaya. Setelah dia pulih dia melihat sekeliling.

Brayan duduk di kursi roda tidak jauh dari sana dan menatapnya.

Di belakangnya ada seseorang yang terbaring di lantai.

"Apakah kamu takut?" Brayan menatapnya, matanya yang dalam berbinar.

Sheila menggelengkan kepalanya dan menunjuk ke lehernya dengan tenang. "Kenapa aku harus takut? Kamu tidak akan membiarkanku mati, bukan? Namun, aku harus membalutnya."

Orang gila tadi, menggores lehernya beberapa kali. Meskipun lukanya tidak dalam, ia tetap merawatnya dengan baik.

Sheila melihat brayan mendorong kursi rodanya ke ruangan lain dan kembali membawa beberapa obat.

Sheila segera mengambil obat tersebut dan mengobati lukanya. Dia dengan terampil membalut dirinya sendiri. Di keluarga braham, dia terbiasa terluka. Dia tidak menganggap serius luka ini.

Setelah dia mengganti pakaiannya dia berbalik dan melihat keterkejutan brayan.

Sheila teringat peringatan brayan. Di malam hari, dia dengan patuh tidur bersamanya.

......................

Keesokan harinya, sheila membuka matanya dan melihat brayan sedang membaca buku di dekat jendela.

Seluruh tubuh nya di tutupi cahaya matahari pagi, seolah dia bukan dari dunia ini, dia sangat tampan.

"Ada sarapan di luar." Brayan bahkan tidak mengedipkan mata. namun, hanya ada mereka berdua di ruangan itu. Sheila segera menyadari bahwa brayan berbicara dengannya.

Sheila segera bangkit dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Ada sarapan lezat yang di sajikan di atas meja aula.

Tempat jatuhnya orang kemarin sudah dibersihkan. Kalau bukan karena luka di lehernya yang masih terasa sakit, sheila pasti mengira kemarin hanyalah sebuah mimpi.

Setelah sarapan, brayan menghampiri sheila.

"Lusa akan sepi di luar. Beberapa hari ini kamu bisa melukis dengan tenang di sini." Brayan mengendalikan kursi roda keluar.

"Baiklah." Sheila tidak bertanya lagi dan dengan patuh menjawab.

Di tempat sepert ini semakin sedikit yang di tahu, semakin aman!

Sheila saat ini patuh dan brayan sangat puas dengan dia saat ini.

Minggu adalah waktu semifinal. Sheila melihat rancangan di komputernya. Tidak ada yang mengganggunya. Dia menghabiskan satu setengah hari untuk menyelesaikan rancangannya.

Hanya tinggal satu atau dua hari lagi. Sheila melihat gambarnya yang belum selesai dan teringat gambarnya yang di pesawat.

Dia hanya menggambar brayan sambil tersenyum saat itu. Kalau bisa di warnai pasti lebih indah.

Sheila memikirkannya dan mulai menggambar.

Setiap kali sheila menggambar dia pasti akan terpesona.

Bahkan saat brayan berada di belakangnya dia bahkan tidak menyadarinya.

"Ah." Ketika sheila sedang memegang secangkir air, dia berbalik dan melihat sosok di belakangnya.

"Kamu...kapan kamu datang?" Sheila menoleh dengan keterkejutan.

"Saya datang ketika kamu menggambar garis besarnya." Brayan menatap apa yang sedang sheila gambar.

Orang dalam lukisan itu sangat mirip dengannya, tetapi juga sangat asing.

Dia mengenakan setelan kasual, dia dengan malas bersandar di pohon dan membaca buku. Lingkungan sekitar juga hijau yang membuatnya terlihat sangat energik.

"Bagaimana lukisanku?" Sheila berkata dengan penuh semangat.

Dia seperti seorang anak kecil yang minta di puji karena mendapatkan nilai bagus.

"Siapa yang memberimu hak untuk menggambar ku?" Brayan tampak marah.

Sheila membeku.

"Hancurkan lukisan itu!" Brayan dengan dingin mengatakan itu.

Sheila menatap brayan dengan mengepalkan tinjunya.

Dia sangat serius saat menggambarnya, tetapi brayan dengan sangat mudah mengatakan bahwa dia akan menghancurkannya?

Sheila merasa brayan menyukai lukisannya, namun mengapa jadi begini?

Sheila tidak mengerti, tapi ekspresi marah brayan sepertinya tidak palsu.

Sheila melampiaskan emosinya dan merobek lukisan itu menjadi beberapa bagian dan membuangnya ketempat sampah.

Jika dia tidak menginginkannya, maka dia tidak akan menggambarnya. Ada banyak orang yang memintanya menggambar.

Pada hari terakhir, sheila mengurung dirinya di ruang kerja sepanjang hari dan menggambar desain yang tak terhitung jumlahnya.

Keesokan harinya brayan keluar dari kamar.

"Besok adalah hari kompetisi mu. Benar?" Brayan sepertinya bertanya dengan santai.

Sheila mengangguk, hanya saja dia tidak kelihatan bahagia dia masih sangat kecewa terhadap brayan.

Baginya, dia telah berusaha keras untuk setiap lukisan yang di gambarnya.

Namun, dia tidak menyangka bahwa reaksi brayan begitu emosional.

"Berhati-hati lah besok." Sheila merasa aneh saat brayan mengatakan itu.

“Bukankah kamu bilang kamu datang ke negara S untuk mempersiapkan pengobatan? Apa kamu sudah berjanji pada dokter?” Sheila bertanya.

Mereka datang dengan alasan berbeda.

Sheila tidak mengira brayan akan datang ke negara S untuknya.

Menurut yang dia tahu negara S sangat lah berbahaya, tapi itu tidak akan semenarik saat brayan ada di sini.

"Besok kamu akan ikut kompetisi. Lusa saya akan melakukan pengobatan. Saya perkirakan akan memakan waktu sekitar sepuluh hari. kamu bisa kembali terlebih dulu." Brayan melihat arlojinya dan mengatakan itu.

"Aku tidak ada urusan apa-apa saat kembali, aku akan menemanimu sepuluh hari ke depan. Tapi, mau kah kamu datang ke tempat kompetisi DK?" Sheila memikirkannya. Saat mereka berkompetisi, mereka juga akan mengundang penonton. Sebagai kontestan, mereka bisa membawa keluarga.

"Saya tidak bisa berjanji." Nada acuh tak acuh brayan membuat sheila segera menyadari bahwa ini mungkin penolakan yang halus.

"Akan bahaya jika tinggal di kota M satu hari lagi. Apakah kamu tidak takut mati?" Sheila bertanya.

Mata Brayan menyembunyikan emosi yang tidak dimengerti Sheila.

Sheila melihat sekeliling dan mengingat kejadian beberapa hari yang lalu.

"Kamu tidak akan membiarkanku melakukan ini. Benar kan?" Mata Sheila menatap ke arah brayan, "Lagipula, kamu tidak menganggap aku lemah kan?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!