Musuh Kecil
Panas terik matahari menerpa kulit. Bukan hanya aku saja yang kini berteduh di bawah pohon rindang kala menyelesaikan lari lima putaran lapangan bola basket. Para cewek-cewek di kelasku misuh-misuh karena guru olahraga dengan kejam meninggalkan kami di sini.
Pelajaran olahraga kali ini sedikit berbeda, dua kelas digabung untuk melakukan jadwal pelajaran secara bersamaan. Apalagi kelas itu adalah kelas IPS yang digadang-gadang sumber masalah. Pasalnya mereka selalu mencari ribut dengan anak IPA, apalagi IPA-5 (kelasku). Sederhananya karena di sana ada Zen yang selalu memicu keributan.
Aku bersandar di pundak Yuna kemudian memejamkan mata, menghilangkan lelah. Sesaat kemudian kembali membuka mata ketika mendengar sorakan demi sorakan. Banyak murid cewek yang menyoraki dua tim yang sedang bermain basket.
"Tunggu! Bukankah itu Wafi? Dia melawan Zen?" kataku memicing heran.
"Itu memang dia, aku kasihan pada Wafi karena harus melawan Zen. Cowok itu licik sekali," kata Yuna. "Aku juga heran kenapa dia selalu mencari masalah dengan anak IPA-5."
Aku terdiam untuk sesaat, mengenai alasan Zen selalu mengganggu anak IPA-5, mungkin saja ada sangkut pautnya denganku. Mau bagaimanapun aku adalah musuhnya! Otomatis orang yang dekat denganku pasti terkena imbas. Hanya saja aku tidak sedekat itu dengan anak IPA-5.
"Jangan berpikir terlalu keras, ini bukan salahmu. Dia saja yang terlalu berandalan-tidak terdidik." Yuna bisa berbicara sangat pedas jika bersangkutan dengan Zen. Tampaknya cewek ini tidak menyukai Zen.
Kami terdiam cukup lama, aku tidak tahu harus menjawab seperti apa. Di satu sisi membenarkan perkataan Yuna. Di sisi lain, bukankah Yuna terlalu berburuk sangka?
"Lupakan masalah cowok berandalan. Ayo ke lapangan untuk memberikan air mineral, ini titipan dari bendahara." ujar Yuna kemudian bangkit. Sekotak air mineral ia angkut bersama seorang cewek dan aku mengikuti dari belakang.
Kuraih botol mineral yang dingin, kemudian melangkah menuju ke arah Wafi. Cowok itu sedang duduk bersama timnya. Melihat kebelakang, Yuna membawa beberapa air mineral dan diberikan kepada cowok-cowok IPA-5.
Dengan inisiatif, kusodorkan botol mineral. Memalingkan wajah, berkata, "Ini untukmu..."
Tidak ada jawaban dan suasana hening, aku menghela nafas hendak menoleh saat tiba-tiba botol mineral direbut dengan paksa. Menyadari siapa pelakunya, aku menjerit tertahan. Zen sialan!
"Apa? Tidak senang, aku kan hanya ingin minum. Lagipula dia tidak menerimanya jadi aku saja yang mengambil, lumayan air mineral gratis." kata Zen menggoyang-goyangkan botol dan tersenyum sinis.
Aku tidak peduli, mataku memandang sayu ke arah Wafi yang sedari tadi diam. Apa dia tidak suka jika aku memberikan air mineral.padanya? "Maaf untuk itu." kataku.
Wafi mengulas senyum, mengibaskan tangan dengan gerakan lambat. "Bukan masalah. Padahal sebenarnya aku hanya sedikit ragu untuk meraih botol tersebut, mungkin kamu hanya bercanda," katanya. "Aku yang seharusnya meminta maaf karena membuatmu kecewa."
Aku lega dia tidak seperti yang kupikirkan. Aku tersenyum dan mengangguk, mengabaikan umpatan khas Zen.
"Canggung sekali. Jangan berdebat hanya karena hal sepele, lebih baik saat ini kuganti air mineral tersebut," kata Yuna memberikan Wafi sebotol. Wafi menerima dengan baik.
"Sebentar lagi istirahat, jadi kalian bubar saja. Babak ke duanya dimulai setelah istirahat. Ini perintah Pak. Bian." kata Yuna.
Setelah mengatakan itu aku dan Yuna lekas menuju kantin, guna memesan gorengan sebagai camilan untuk dimakan di kelas. Dari kantin, kami kembali ke kelas dengan jalur lapangan basket.
Ini peristiwa buruk. Tiba-tiba kepalaku dihantam bola basket, rasanya sangat sakit dan aku langsung jatuh seperti menubruk batu kecil. Sekarang bukan kepalaku saja yang sakit, hidungku juga.
Sayub-sayub kudenger perdebatan,
"Zen sialan! Kau ingin membunuh Laura?" Itu suara Yuna.
"Aku tidak sengaja! Temanmu yang mendorongku!"
"Tidak usah melemparkan kesalahan kepada orang lain. Dasar pengecut!"
Lalu kemudian semuanya menjadi gelap. Aku tidak lagi dapat mengetahui apa yang nereka katakan hingga malan menjelang baru aku terbangun. Rupanya aku pingsan.
Kuperhatikan seseorang yang sedang tertidur dengan posisi duduk, tepat di brankar tempatku berbaring. Aku hendak bangkit, kepalaku masih berat, alhasil aku tidak dapat menyeimbangkan langkah.
"Aduh..." Aku meringis karena terjatuh.
"Laura!" Suara pekikan berasal dari arah samping, kulihat Yuna dengan panik berjalan ke arahku. Memapahku untuk kembali duduk.
"Apa yang kaulakukan? Jika membutuhkan sesuatu bangunkan aku. Aku tahu kepalamu masih berat, apalagi hidungmu yang sempat mimisan," ujar Yuna. "Kamu harus lebih hati-hati pada kesehatanmu!"
Aku tersenyum canggung, kemudian menunduk karena merasa bersalah. Sesaat kemudian aku tertegun merasakan elusan di kepala. "Cowok itu benar-benar berengsek! Bisa-bisanya dia dengan wajah tak bersalah mengatakan tidak sengaja? Dia pikir lemparan bola basket tidak sakit?" kata Yuna.
Yuna tampak kesal, begitu juga dengan aku. Walaupun tidak tahu bagaimana bisa bola itu melayang. "Ngomong-ngomong bagaimana dengan Wafi?" kataku.
Yuna terdiam sesaat kemudian memalingkan wajah dan berkata, "Dia pergi ke ruang BK, membawa Zen untuk ditindak oleh guru BK. Wafi sangat baik ya!"
Selanjutnya Yuna menoleh dan memberikan senyuman manis. Aku tidak tahu kenapa, senyuman itu mengandung banyak makna yang tidak dapat kuartikan. Sekarang aku takut, di kemudian hari akan ada hal yang lebih buruk.
"Aku merasa curiga pada seseorang," kata Yuna.
"Curiga tentang apa?" kataku.
"Ini tentang si pengagum rahasia. Bukankah menurutmu Wafi tampak memiliki banyak rahasia?" kata Yuna. "Dia selalu menjadi orang pertama yang khawatir kala terjadi sesuatu padamu."
Yuna berpikir seperti itu, aku juga merasakan hal yang sama. Namun, benakku masih meragukan hal tersebut.
"Jika kamu ragu, kamu dapat mengujinya, firasatku mengatakan itu memang dia," ujar Yuna. "Oh ya, aku tinggal sebentar! Ingin menemui Wafi, membicarakan hal penting."
Aku hanya mengangguk, membiarkan Yuna melangkah keluar dari ruang UKS. Duduk termenung memikirkan pendapat Yuna, benar juga tidak ada salahnya jika aku menduga pengagum rahasia adalah Wafi. Aku akan mencari tahu kebenarannya!
Ketika aku ingin kembali merebahkan diri, pintu yang semula tertutup sebagian, kini terbuka lebar. Di ujung pintu aku melihat seorang cowok yang menjadi pelaku kekerasan terhadap kepalaku. Aku menjadi marah!
"Kenapa kamu ke sini? Mau menambah luka di bagian mana lagi? Kepala sudah, hidung sudah... jangan-jangan selanjutnya lenganku?" tudingku tajam. Dia tidak menjawab semakin mendekat ke arah brankar.
Aku kepalang kesal, hendak berdiri dan sedetik kemudian tubuhku terjatuh karena tidak seimbang. Payah sekali!
"Aku bantu," Dengan terpaksa aku menerima bantuan Zen untuk kembali duduk di brankar. Lidahku terasa aneh setelah mencicipi sesuatu. Rasanya, rasa darah. Ah, aku tidak sengaja menggigit lidah.
Terdiam sejenak, aku memandang Zen dari bawah sampai atas. Sorot matanya melemah dan sayu kemudian sepatah kata terlontar begitu saja, "Maaf."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Mona
lanjut kakkkk
2024-02-20
0
Shinn Asuka
Tidak bisa menunggu untuk membaca karya baru dari author yang brilian ini.
2024-02-19
1