Sosok makhluk tinggi, kurus dan berkepala plontos memasuki area indekos. Rona menaruh curiga kepada makhluk bukan manusia itu. Langkah sosok itu begitu cepat. Dari puncak tiang listrik Rona memperhatikan pergerakan sosok itu dengan seksama. Sosok jangkung itu menuju ke bangunan kos sahabatnya. Ia menuju ke kamar Amelia di lantai dua. Tanpa membuang waktu Rona langsung menyerang makhluk berperawakan tua itu. Pertarungan sengit terjadi. Kekuatan mereka berdua hampir seimbang. Si rubah berhasil menggiring sosok pengganggu itu menjauh dari tempat indekos temannya. Duel yang cukup singkat itu berakhir dengan masing-masing mengundurkan diri. Baik Rona mau pun lawannya sama-sama kelelahan kehabisan tenaga. Mereka sadar diri dan tidak ingin mati percuma. Tapi bagi Rona pertempuran itu meninggalkan bekas luka di tubuhnya yang cukup serius. Ia membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk kembali pulih dan kembali mendapatkan kekuatannya.
Itulah cerita Akbar kepada Amelia. Dua hari yang lalu Rona sudah berjumpa dan berhadapan dengan sosok jangkung yang kemarin malam datang mengunjunginya. Rona jugalah yang menghubungi Akbar untuk datang melindungi Amelia. Si rubah berprasangka bahwa sosok itu akan kembali datang untuk kedua kalinya.
Sosok Akbar memang tidaklah banyak berubah setelah ia memperkenalkan dirinya kepada Amelia. Dua hal yang paling mencolok yang membedakannya adalah kini ia merawat kumisnya hingga lebat serta warna kulitnya yang nampak lebih gelap. Pantas saja saat pertama kali Amelia melihatnya ia tidak langsung mengenalinya. Kini Akbar tidak datang seorang diri. Adalah sahabat baiknya Guntur yang kini turut berpetualang bersamanya. Sosok tambun yang tersungkur setelah mendobrak pintu kamar kos Amelia dan orang yang terkena lemparan sebungkus roti itulah Guntur.
Amelia bertanya dimana sekarang Rona? Akbar menjelaskan kepadanya kini kodamnya itu sedang dalam masa penyembuhan dari luka-luka pertarungannya dengan sosok jangkung. Rona berada di tempat yang aman dan akan segera kembali setelah sembuh dari lukanya.
“Kok bisa kebetulan sekali om berdua bisa berada di kota ini?”, tanya Amelia.
“Kamu tahu sendirilah”, jawaban andalan Akbar jika ia tidak ingin urusannya diketahui orang lain.
“Tahu sendiri? Aku nggak tahu om”, tegas Amelia.
“Hei bocah. Jangan panggil aku om lagi”, jawab Akbar dengan nada mengancam.
“Jangan panggil aku bocah lagi”, Amelia membalas sambil membusungkan dadanya.
Muka Guntur memasam. Ia sedikit geli melihat reuni antara sahabatnya dengan Amelia. Guntur ingat betul kata-kata Akbar di perjalanan menuju ke tempat indekos Amelia. Temannya itu berkata jangan terlalu berharap banyak tentang gadis yang akan ditemuinya ini. Ia juga melontarkan kata-kata tambahan yang tidak mengenakan tentang seperti apa dan bagaimana sosok Amelia yang akan mereka temui. Kini lihatlah Amelia. Mata lelaki siapa yang tidak akan berpaling ketika melihat dirinya. Perempuan berkulit putih dengan postur tubuh yang ideal dengan rambut panjang yang dikuncir. Dan sebuah kacamata yang menegaskan kegelisahan wajah gadis sunda itu. Kini lihatlah Akbar. Dia tidak hanya menelan ludahnya sendiri. Terlihat gelagat Akbar yang sedikit gugup menghadapi pertemuannya dengan Amelia.
“Ayo kita ke kos aku dulu”, ajak Amelia.
“Kamu gila”, sahut Akbar.
“Badan kami masih sakit dengan ulah teman-temanmu itu”, kata Guntur.
Amelia kembali ke kamar kosnya untuk mengambil perbekalannya. Sementara Akbar dan Guntur menunggu di bangku di depan minimarket bersama kopi dan rokok mereka. Sebuah kesalahan Amelia meniggalkan roti dan selai yang baru saja dibelinya dengan kedua orang itu.
Tidak berselang lama Amelia kembali datang menghampiri Akbar dan Guntur. Gadis itu dibuat terkejut dengan tabiat dua orang om-omnya itu. Roti gandum yang dibelinya untuk sarapan kini telah surut. Dari jumlah 10 lembar roti yang ada di satu bungkus roti itu mereka hanya menyisakan satu lembar saja untuknya.
“Ayo berangkat”, ajak Akbar yang berdiri dari duduknya.
“Makasih ya rotinya. Kebetulan belum sempat sarapan”, kata Guntur.
“Itu jangan lupa dibawa. Masih sisa. Ayo ke mobil”, lanjut Guntur.
Amelia berdiam diri mematung melihat dan merasakan kelakuan kurang ajar kedua orang itu. Ia yakin mereka sengaja. Sementara Akbar dan Guntur tersenyum-senyum melihat ekspresi Amelia. Ini untuk membayar kelakuan brutal penghuni kos yang menyerang mereka dengan melempar apa saja kepada mereka.
Guntur menyetir mobil. Akbar duduk di depan disampingnya. Sementara Amelia duduk di bangku belakang. Sebuah mobil sedan tua yang sedari tadi terparkir di halaman minimarket yang akan mengantar perjalanan mereka. Akbar dan Guntur setia menghisap batang-batang kesukaan mereka dengan membuka penuh kaca jendela di samping mereka. Sementara itu Amelia yang masih kesal dengan kelakuan mereka memakan sisa satu roti dengan menghabiskan satu wadah selai strawberry yang untung tidak dihabiskan oleh Akbar dan Guntur.
Amelia memandang keluar jendela. Ia tersenyum-senyum. Baginya ini seperti nostalgia empat tahun yang lalu. Bedanya dulu dua orang yang didepannya yang selalu berusaha untuk menjalin keakraban dengannya. Tapi situasi kali ini justru Amelia yang supel yang terus-menerus berusaha menjalin komunikasi dengan dua orang yang berada di depannya. Ia kini cerewet dan ia tahu jika banyak bicaranya itu sedikit mengganggu Akbar dan Guntur. Tapi itu tetap dilakukannya untuk membalas kejahilan kedua orang itu.
Kedatangan Akbar bukan hanya karena Rona yang telah memperingatkan dan meminta bantuannya untuk menolong Amelia. Tapi kedatanganya juga membawa pesan dan sebuah ajakan. Sosok jangkung yang mencoba melukai Amelia juga bukan datang tanpa sebuah alasan. Gadis cantik itu dijadikan sasaran. Kedatangan makhluk itu untuk mengambil sesuatu yang teramat berharga pada diri Amelia. Bola mata. Kedua bola mata yang diinginkan oleh seseorang yang telah mengutus sosok jangkung itu untuk mengambilnya. Alasan dibalik penyerangan terhadap Amelia adalah kemampuan Amelia yang begitu spesial sekaligus berbahaya yang bisa mengancam tuan si pesuruh.
“Kita mau kemana?”, tanya Amelia.
“Kita ke Jogja”, jawab Akbar.
Mereka berhenti di stasiun kereta api Stasiun Bandung. Dari sana mereka akan menuju ke Yogyakarta naik kereta. Hanya Akbar dan Amelia yang turun dari mobil sementara Guntur tetap berada di dalam mobil kemudian berlalu begitu saja setelah menurunkan kedua kawannya di stasiun.
“Guntur tidak ikut sama kita?”, tanya Amelia kepada Akbar.
“Dia nanti malah jadi beban”, jawab Akbar malas.
“Dia berat sih, tapi...”, kata Amelia.
“Bukan itu yang aku maksud”, Akbar dengan cepat menyanggah pernyataan lawan bicaranya.
“Iya om. Aku juga cuma bercanda. Habis omnya tidak pernah senyum sih”, kata Amelia yang langsung ditimpali dengan senyum tiga jari oleh Akbar.
Itulah alasan yang dikemukakan Akbar kepada Amelia kenapa Guntur tidak ikut dalam perjalanan mereka selanjutnya ke Jogja. Itu adalah akal-akalan Akbar yang tidak mau menyebutkan alasan yang sebenarnya kemana dan apa yang hendak Guntur kerjakan. Tidak heran dengan sikap Akbar Amelia pun tahu memang itulah kebiasaan kawan lama dan tuanya itu. Bagi Amelia mungkin lebih baik jika ia memang tidak harus tahu kemana kawan barunya itu pergi dengan misinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments