Kereta mereka berangkat pukul 09.00 pagi. Masih ada waktu satu jam lagi bagi mereka untuk menunggu. Di keramaian orang-orang yang berkerumun menunggu kedatangan gerbong yang membawa kursi-kursi mereka Akbar dan Amelia membaur sekaligus untuk bersembunyi. Akbar tertidur di pinggiran bangku yang hanya menopang sebelah pantatnya berhimpitan dengan orang yang duduk di sebelahnya. Sementara Amelia berdiri di sampingnya. Tak kuat berlama-lama berdiri gadis itu memilih untuk duduk bersila di lantai. Tidak ada teman untuk diajak berbicara ia memilih mendengarkan lagu-lagu dari walkman miliknya untuk mempercepat waktu.
Amelia begitu menikmati tiap-tiap judul dari kaset yang diputarnya. Sembari menyapu sekeliling dengan pandanganya mengamati sibuknya stasiun di waktu pagi itu. Matanya menangkap sesuatu. Amelia melihat dengan jelas si jangkung yang kemarin malam hendak mencelakainya tengah mengawasi keberadaannya dan Akbar dari dalam gerbong kereta kosong yang tidak bergerak. Amelia tersenyum melihatnya. Ia sedikitpun tidak ada rasa takut. Ia sadar bahwa keberadaan Akbar bersamanya membuat si jangkung itu enggan untuk mendekat kepada mereka.
Tiba-tiba pundak kanan Amelia terasa berat. Aneh rasanya. Bagaimana bisa sekarang kepala Akbar bersandar di bahunya. Duduk Akbar mulai merosot, kepalanya memiring tepat ke arah Amelia. Ini pasti akal-akalan si tua lajang Akbar saja batin Amelia. Ia lantas berdiri dengan cepat. Akbar tersentak dan tersungkur.
“Ada apa?”, tanya Akbar dengan tetap tenang meski kini ia terduduk di lantai.
“Keretanya tiba”, jawab Amelia bersamaan dengan datangnya kereta yang akan mereka tumpangi.
Gerbong ke 4 nomor kursi 13A dan 13B. Mereka duduk bersebelahan. Akbar duduk di dekat jendela. Sementara Amelia yang sudah memohon untuk bertukar tempat duduk supaya ia bisa melihat pemandangan luar hanya dijawab dengan tatapan sinis oleh Akbar. Membutuhkan waktu sekitar 10 jam lamanya dari Stasiun Bandung menuju ke Stasiun Lempuyangan.
Amelia baru saja terjaga dari tidurnya di tengah perjalanan. Ia kembali mengenakan kacamatanya yang sengaja ia lepas ketika hendak tidur. Ia melihat ke jam tangannya. Aneh rasanya ia merasa sudah cukup lama tertidur tapi waktu di jam tangannya tidak juga bergerak. Ia kemudian dibuat terkejut ketika ia menoleh ke sampingnya. Om-om teman seperjalanannya yang tidak mau dipanggil om itu tidak ada di bangku sebelahnya. Kejutan baginya tidak sampai di situ saja. Ketika ia melihat sekelilingnya Amelia dibuat ngeri. Ia paham betul bahwa ia masih berada di gerbong yang sama dan para penumpangnya pun masih sama dari sekilas rupa penampilan yang dari awal masuk ia melihatnya. Tapi kini semua penumpang itu menundukkan kepalanya. Jika ini adalah sebuah mimpi Amelia ingin segera terbangun. Aneh. Ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya sendiri untuk berdiri dan keluar dari gerbong yang sedang mengurungnya. Ia berkali-kali memaksakan dirinya untuk berdiri tapi tetap saja tidak bisa. Mereka berdiri serentak. Hal itu membuat Amelia makin takut. Mereka mendongakkan kepalanya. Wajah mereka semuanya sama. Putih pucat dan mata mereka berongga hitam lebar tanpa bola mata. Kemudian mereka tersenyum ngeri. Mereka melangkah perlahan menuju tempat duduk Amelia dengan tangan yang mereka julurkan. Gadis remaja itu mulai berteriak histeris. Para penumpang dengan rupa mengerikan itu kini sudah sampai di depannya. Mereka meraih Amelia dan mulai menggerayanginya. Tiba-tiba Akbar muncul di samping Amelia. Akbar sempat tersenyum melihat kondisi temannya yang mati ketakutan. Sebuah tamparan dari Akbar untuk Amelia berhasil membawanya kembali ke alam kesadaran.
Perempuan itu terjaga dengan keringat bercucuran dan nafas yang tersengal-sengal. Ia hendak bercerita kepada Akbar sebelum kawannya itu memotong pembicaraannya.
“Sudah minum dulu saja”, kata Akbar.
“Kamu barusan tertarik ke dimensi mereka”, lanjutnya.
“Terus kamu kenapa tidak langsung menolong aku? Lama banget”, kesal Amelia.
Akbar menunjukkan surat kabar yang sedang dibacanya. Yang artinya ketika Amelia masuk ke dimensi lain Akbar sedang asyik membaca berita. Ia menyelesaikan paragraf demi paragrafnya dulu sampai selesai baru setelah itu menolong teman seperjalanannya. Amelia merubah mimik wajahnya dengan amarahnya yang ia tunjukan kepada Akbar.
“Memang di gerbong nomor 4 di kereta ini terkenal angker. Kamu belum pernahkan mengalami yang seperti tadi? Hitung-hitung pengalaman”, jawab Akbar dengan santai sambil meneruskan membaca koran.
“Jadi kamu sudah tahu kalau gerbong ini seram?”, tanya Amelia.
Akbar hanya mengangguk mengiyakannya. Tiba-tiba Amelia mengambil secara cepat dan paksa apa yang sedang dibaca oleh Akbar. Lalu ia melempar dengan sekuat tenaga kertas-kertas itu tepat ke muka kawannya itu. Amelia sadar bahwa Akbarlah yang juga membeli tiket kereta serta memilih gerbong dan tempat duduk yang akan mereka naiki.
Dua kali tepukan ringan dibahu kirinya membangunkan gadis berkacamata minus itu. Akbar memintanya untuk bertukar tempat duduk. Amelia yang masih mengantuk bergeser lalu menempati tempat duduk Akbar yang berada di dekat jendela. Amelia sedikit kesal kawan tuanya itu selalu memaksa seenaknya kalau ada maunya. Ia mau melawan segan dan juga takut. Tapi setelah itu tiba-tiba gadis itu menoleh ke arah Akbar dan menatapnya dengan serius sembari tergurat senyum di bibirnya. Akbar merasa aneh dengan pandangan gadis yang masih dianggapnya bocah itu. Akbar mendorong pelan muka Amelia untuk kembali melihat ke arah luar jendela. Sebuah keelokan panorama. Persawahan dengan beragam warna. Gunung-gunung yang terlihat megah. Warna senja yang begitu indah. Amelia sungguh tidak menyangka Akbar yang dianggapnya kaku dan galak ternyata bisa berlaku romantis terhadapnya.
“Akbar tidak mau lihat?”, tanya Amelia dengan sedikit malu.
“Tidak. Terlalu silau buatku”, jawab Akbar datar.
Mendengar jawaban itu Amelia sedikit kecewa. Meski di dalam hatinya ia masihlah senang dengan apa yang dilakukan Akbar kepadanya.
Laju kereta memelan. Terdengar bunyi rem yang mengernyit. Setelah pintu-pintu dibuka para penumpang bergegas melangkah keluar. Begitu juga Akbar dan Amelia yang kini tengah sampai di kota tujuan mereka Yogyakarta. Orang-orang menyebar arah kemana mereka selanjutnya akan melangkah. Begitu pula dengan mereka berdua.
“Kita kemana?”, tanya Amelia yang mencoba mengimbangi Akbar yang berjalan dengan langkah cepat di depannya.
“Ikuti saja”, jawab Akbar sambil menoleh ke sekeliling keramaian.
“Kita tidak naik kendaraan?”, tanya Amelia melihat Akbar yang terus menuntunnya melewati jalan-jalan setapak.
“Kita jalan kaki. Tidak jauh”, terang Akbar perihal tempat yang akan mereka datangi.
“A...”, belum satu kata keluar dari mulut Amelia.
“Sudah nurut saja. Jangan banyak mengeluh. Nanti malah semakin lama kalau banyak bicara. Kalau diam saja jadi tidak terasa”, tegas Akbar kepada Amelia.
Amelia mengurungkan niatnya untuk berbicara. Bukannya terbalik apa yang disampaikan oleh Akbar? Kalau sambil ngobrolkan jadi tidak terasa waktu dan capeknya, batin Amelia. Tapi ia patuh saja. Ia tidak ingin mengganggu kawan tuanya itu yang nampak sedang serius.
Akbar memang mengenal betul daerahnya. Jadi tidak heran jika ia bisa membawa Amelia menyusuri jalan-jalan setapak melewati gang-gang yang berada di sana. Ia juga sudah mengenal dengan baik tempat yang akan mereka tuju.
Akhirnya mereka tiba juga di tempat tujuan. Dari stasiun mereka berjalan kaki menempuh waktu lebih dari 30 menit. Itulah lama waktu yang mereka perlukan yang diawal perjalanan Akbar bilang tidak jauh. Terang saja ini membuat Amelia geram. Lagi-lagi ia kena dikerjai kawannya itu.
“Tadi kamu mau bilang apa waktu di jalan?”, tanya Akbar.
“Aku tu mau pipis!”, bentak Amelia ke Akbar.
“O... pengen nguyuh (mau kencing)? Mau ra ngomong (tadi kenapa tidak bilang).
“Itu di belakang ada kamar mandi”, jawab Akbar santai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments