Kami berempat semakin masuk jauh ke dalam hutan. Menghindari pertempuran sejauh dan sebaik mungkin. Dua puluh kelompok dengan masing-masing kelompok beranggotakan empat orang, harus bertarung memperebutkan gulungan dan mempertahankan gulungan miliknya. Setengah dari kelompok membawa gulungan langit dan setengah lagi membawa gulungan bumi. Tak ada yang tahu setiap kelompok mereka membawa gulungan apa, Yang terpenting adalah merebutkannya dari kelompok lain. Kami diberikan waktu 120 jam untuk merebut gulungan kelompok lain. Tak ada waktu untuk diam, atau kelompok lain akan menemukan kita, dan berusaha merebut gulungan kita.
Luas area yang digunakan dalam pertandingan berada dalam alam liar yang dipenuhi oleh berbagai macam hewan liar yang menjadi predator alami. Dengan luas area yang mencakup dua puluh kilometer. Agar mencegah para petarung keluar arena dan hewan-hewan yang ada tetap dalam tempatnya, maka dibuatlah penghalang di lima sisi arena yang membuat area menjadi area pertarungan pentagonal. Tak ada jalan keluar lagi selain jalan masuk, itupun harus menunggu waktu berakhir.
Dalam peraturannya yang sangat simpel namun berbahaya jika orang itu atau kelompok mengetahui celah kesalahan dalam katanya. Pertama, tak ada yang terbunuh, hanya sampai lawannya menyerah, dan jika telah menyatakan menyerah, maka tidak boleh lagi menyerang lawannya. Kedua, hanya menyisakan sepulu kelompok yang membawa dua gulungan langit dan bumi. Mereka lalu masuk ke babak selanjutnya.
Sudah lima jam kami masuk ke dalam hutan sejak turnamen di mulai. Jika total keseluruhan waktunya sampai tujuh jam. Masih terlalu pagi, namun banyak ledakan di dalam hutan karena pengguna elemen api. Matahari belum tampak, tapi situasi sudah sangat mencekam. Begitu mencekamnya sampai tidak tahu aku antara fajar dan api.
“Hei, Artras, sampai kapan kita menghindari pertempuran?” Tanya Yundan. Remaja yang mudah marah karena hal sepele dan selalu tertarik dengan perkelahian. Ia lebih kuat dari aku. Postur tinggi dan tegap badannya membuat banyak disukai oleh cewek di akademi, namun ia hanya menyukai satu orang saja. Dan ia belum pernah mengungkapkan perasaannya.
Aku tak menjawab pertanyaannya. Mataku terlalu fokus pada rerumputan yang terdapat bekas injakan kaki berlumpur. Ada kelompok lain di sini.
“Artras!” Nada Yundan meninggi. Dia kesal karena aku tak kunjung menjawabnya. Namun segera ia diam setelah aku mengangkat tangan sambil mengepal.
“Penyergapan.” Ucapku lirih. Mataku menengok ke atas. “Ada kelompok lain di sini.”
“Wah, ternyata kau cakap juga, ya, Artras.” Puji Zanas. Adik kembar Yundan. Ia yang paling ramah dan bisa diandalkan dari pada adik kembarnya yang mudah marah. Kemampuan mereka sama, tipe petarung jarak dekat.
“SERANGAN!!!” Teriak Jana. Satu-satunya perempuan dalam kelompok kami. Ia juga lebih hebat dalam pengendalian elemen dari pada aku. Ia yang terbaik di akademi. Namun selalu menyembunyikan kemampuan terbaiknya di hadapan semua orang. Ia tidak mau dipuji orang. Hanya kami berempat yang tahu tentang kemampuannya terbaiknya.
Memang benar dari seperti perkataan Jana. Empat bongkahan batu melesat dari empat arah mata angin. Kami berempat merapat. Yundan dan Zanaz merapat kami. Mereka berdiri paling depan.
“Serahkan pada kami.” Ucap Zanas bersemangat.
“Ayo, lakukan, Zanas.” Yundan balas berteriak pada adiknya.
Tangan mereka terangkat ke depan. Lalu mengeluarkan hembusan angin pemotong. Mereka pengendali angin. Mengendalikan angin agar sesuai dengan proporsi yang dibutuhkan, yaitu sebagai pemotong yang tajam. Mampu memotong jenis benda apapun, tergantung kemampuan si pengguna.
Empat batu itu hancur berkeping-keping. Tapi dari dalamnya muncul hal yang tak kami duga sebelumnya. Sebuah dinamit. Musuh memancing kami dengan lemparan batu yang di dalamnya berisi dinamit yang sudah terbakar sumbunya. Kami hancurkan atau tidak batunya, dinamit itu tetap akan meledak. Tujuan dari kita menghancurkan batu itu, agar dinamit itu meledak tepat mengenai kami
“Yundan, Zanaz, merapat!” Teriakku.
Mereka berdua segera merapat. Aku dan Jana segera memukul tanah tempat kami berpijak. Lalu muncul tembok tanah dari bawah, mengelilingi kami. Membuat tembok pelindung dari ledakkan dinamit.
DUAARRR!!!!!!
Dinamit nya meledak sedetik kemudian. Telat sedetik kami pasti langsung kalah. Namun kejutan dari pihak lawan kembali membuat kami terpana. Mereka bisa menghancurkan dinding batu kita tanpa serangan elemen lain. Dengan kata lain, mereka melawan tanah dengan tanah. Mereka bahkan bisa menghancurkannya tanpa melemparkan bongkahan batu lain, tapi justru mereka yang merontokkan dinding batu kami dengan teknik yang sama seperti kami memunculkan dinding batu. Mereka justru mengembalikan dinding batu kembali ke bawah tanah. Mereka lawan yang patut diperhitungkan.
“Hebat sekali kalian bisa meruntuhkan elemen tanah dengan elemen tanah. ”Puji Yundan.
Empat orang musuh mengepung kami dari atas pepohonan. Mereka semua menggunakan penutup wajah. Jadi kami tidak tahu kelompok siapa yang menyerang.
“Kalian langit atau bumi?” Tanya seorang dari mereka.
“Kalian mau yang mana?” Tanya Zanas dengan bercanda.
“Kami bumi.”
“Kalau begitu, kalian tahu milik kami apa.”
Empat orang itu saling bertatapan. “Langit?” Ucap seorang dari mereka.
Jana tersenyum. “Kalau begitu, mari kita saling merebutkan gulungan.” Tangannya mengepal ke arah lawan yang bertengger di atas ranting pohon.
Empat orang itu mundur dari dahan tempat mereka berpijak, lalu dua dari mereka meniupkan angin kencang. Hanya angin kencang, tapi debu-debu menutupi pandangan. Aku berpikir keras. Mereka hanya menggunakan angin saja? Mustahil. Sebuah perangkap besar.
Aku meninju tanah kembali, memunculkan dinding tanah di hadapan kami. Sisi samping dan belakang tidak masalah. Depan perlu penjagaan lebih baik.
“Jana, Zanas, bersiap dengan elemen air.” Perintahku sambil tetap pada posisi meninju tanah agar lawan tidak bisa merobohkan kembali dinding yang aku buat.
Mereka mengeluarkan dua galon air dari tas kulit di punggung mereka berdua yang berisi satu galon setiap tas. Mereka berdua bersiap menggunakannya. Namun sepertinya butuh lebih dari dua galon. “Jana kita kekurangan air.” Ucapku sambil memikirkan rencana musuh selanjutnya.
“Kurang? Memang kita mau membuat pemandian?” Tanya Yundan sedikit penasaran dengan nada kesal sambil beringsut di balik tembok batu yang aku buat.
“Kau akan lihat serangan berikutnya.” Kataku memperingatkan.
Jana segera merentangkan kedua tangannya, lalu berputar di tempat. Dengan kemampuan pengendalian airnya yang ditingkatkan, ia bisa menyerap air dari tumbuhan yang efisiensinya sama dengan air biasanya. Bedanya, hanya dia bisa mendapatkan air dimanapun asalkan ada tumbuhan. Namun faktor lainnya adalah tumbuhan itu akan mati seketika jika seluruh airnya diserap habis. Namun Jana adalah Jana, siswi terbaik di akademi sebagai seorang pengendali air. Ia bisa mengambil air dari tumbuhan dengan hanya menyerap sepertiga air dari sana. Tidak lebih. Dengan itu tumbuhan bisa tetap hidup untuk bertahan di waktu berikutnya.
Gumpalan air mulai berkumpul di sekitar telapak tangan Jana. Tumbuhan di sekitar kami juga sedikit kering. Itu air yang cukup untuk menahan serangan selanjutnya.
Suasana menegang dengan cepat setelah lawan menyemburkan lidah api pada pusaran angin yang mereka ciptakan. Bergabungnya angin dan api membuat serangan api bertambah empat kali lipat dari serangan api biasa.
Semburan api yang besar bahkan sampai bisa terlihat dari jarak tiga kilometer. Jago merah mulai melahap pepohonan, rumput, ranting, dan semua yang dilaluinya. Kami masih bertahan di balik dinding batu. Serangan mereka tidak berdampak pada kita, namun hawa panasnya benar-benar membuat kami harus bertahan sekuat mungkin.
Untuk membuat kami bertahan lebih lama. Jana dan Zanas membuat dinding air di sisi kanan dan kiri kita agar udara tetap dingin. Berbeda dengan dinding batu yang ku gunakan sebagai penghalang kami dengan serangan langsung mereka, rasa panasnya saat bersentuhan dengan dinding batu membuat kulit kami terasa terbakar. Juga uap panas yang dari terbakarnya tanah dihasilkan juga lebih berbahaya saat kami menghirupnya.
Air dan api mengeluarkan suara mendesis begitu dua elemen itu bertemu. Kabut asap putih yang berasal dari pertemuan dua elemen itu, membuat hutan lebih gelap. Walaupun matahari hampir terbit dan terlihat fajar keemasan di ufuk timur, tapi dengan adanya kabut asap itu membuat daerah sekitar kita menjadi gelap.
Kami saling berdempetan. Bersiaga dengan serangan jarak dekat dari lawan.
Aku merasakan gerakan dari kanan, tempat asal Zanas. Namun gerakan lain yang tak terduga dari atas kami, ia turun tepat di tengah-tengah kami berdiri.
Pria itu, begitu ia mendarat di tengah-tengah kami, ia membuat tanah di sekitar kami bergelombang dan melempar kami ke berbagai arah.
Aku terjungkal sambil berusaha menerka apa yang akan terjadi berikutnya. Sebuah tendangan mendadak mendarat di dadaku. Membuatku terjungkal sekali lagi menabrak pohon pinus di belakangku. Rasa sakit menjalar di dadaku. Punggungku juga merasakan sakit setelah menabrak pohon pinus tadi.
“Tak kusangka kau berhasil mengelabui rencana kita.” Pria yang menendang ku berjalan mendekat keluar dari kabut. Perlahan menampilkan sosok di balik wajahnya.
Aku masih terduduk diam menahan rasa sakit.
“Lebih baik kau diam, kau hanya serangga kecil yang mengganggu kehebatan seluruh kawan-kawanmu.”
Pria itu mencabut pedangnya dari punggungnya.
“Serahkan gulungannya.” Dia mengacungkan pedangnya padaku. Ucapannya benar-benar menggambarkan kalau dia seorang yang hanya besar kepala saja.
Ada satu masalah pada dirinya, meremehkan kemampuan orang lain. Hal yang belum pernah dilihat orang lain dari diri seseorang bukanlah suatu hal yang menjijikan, melainkan sebuah rahasia yang harus dijaga dan diasah untuk membungkam orang sombong seperti dia.
Aku terkekeh. “Aku memang pandai strategi dan tak pandai bertarung sepertimu. Namun itulah gunanya ahli strategi.”
Tanganku terkepal, lalu menggerakkan tanah yang bergerak ke udara berbentuk runcing seperti tombak berjumlah puluhan menghadap ke arahnya.
“Aku tak berniat membunuhmu, itu saja. Mungkin kau akan terluka dengan perkiraan luka berat yang pernah kau terima seumur hidupmu.” Ucapku memperingatkan sambil tetap bersiap jika pria sombong di hadapanku menyerang.
Pria di hadapanku tetap berdiri tenang. Ingin mempengaruhi pikiranku jika ia lebih kuat dariku. Itu tidak akan terpengaruh padaku yang menguasai peran strategi.
Aku tersenyum. “Ini bukan hanya untukmu.” Mataku melemparkan pandangan ke arah lain, tepatnya arah tiga kawannya berada. Aku melemparkan tiga tanah runcing ke tiga arah yang berbeda, lalu memecah tiap tanah runcing yang ku lemparkan pada tiga arah menjadi bagian yang lebih kecil lagi. Tak lama kemudian teriakkan kesakitan terdengar. Aku tersenyum mendengar berbagai teriakkan itu.
“Kau dengar itu?” Tanyaku pada pria di depanku dengan tersenyum penuh kemenangan.
Sebuah hempasan angin kencang menghembuskan kabut asap yang menghalangi pandangan kini telah menghilang dari pandangan. Terlihat Yundan dan Zanas mengacungkan pedang pada lawan mereka yang berhasil mereka rebut, pada lawan yang terkena serangan tanah runcing ku yang lebih kecil mengenai kaki, bahu, lengan, perut, itu tidak melukai organ vital mereka, hanya cukup untuk menghentikan pergerakkan mereka dengan memberikan rasa sakit yang menembus ke dalam daging mereka.
Jana juga selesai mengalahkan lawannya yang sama-sama perempuan. Hidung dan mulutnya berdarah. Tangannya mengusap darah di mulutnya. Dengan senyum lebar di wajahnya ia bangga berhasil mengalahkan lawannya.
“Kau sudah kalah. ” Ucapku pada pria itu.
Dia menggeleng. “Selama aku berdiri, kami tidak akan kalah.” Dia terlihat keras kepala.
Baik, cukup menjadi keras kepala. Kami akan memberikannya sebuah serangan hebat yang selama ini kami pelajari.
“Formasi B.!!” Aku berseru.
Dengan cepat aku berdiri, lalu mengunci kedua kakinya dengan cengkeraman tanah yang membuatnya tidak bisa bergerak. Dengan cepat kami mengepungnya dari empat sisi. Aku di depannya, Zanas dan Yundan dari kanan dan kiri, Jana dari belakang. Kami menyerang dengan kekuatan satu elemen oleh setiap masing-masing dari kami. Aku menyerangnya dengan lontaran batu-batuan kecil yang runcing, Yundan meniupkan angin badai, Zanas menyemburkan api dari mulutnya, Jana menyiramkan air dari kantong air dari kulit hewan yang ia bawa dan dari milik Zanas.
Serangan yang kami lancarkan bukan serangan sembarangan. Setiap serangan memiliki tingkat tersendiri. Tingkat satu, adalah menggabungkan dua elemen menjadi satu untuk sebuah serangan baru. Dan tingkat ini bisa dilakukan oleh banyak orang karena hampir semua orang bisa melakukannya karena semua orang dari suku ku punya kekuatan dua elemen, namun sekali lagi, tidak semua orang bisa, jika ia bisa, maka yang bisa menyempurnakannya hanyalah sedikit.
Tingkat kedua, adalah penggabungan tiga elemen. Kali ini teknik ini butuh minimal dua orang untuk membuat satu serangan baru. Yang sekali lagi, semakin tinggi tingkatnya, semakin sulit pula menggabungkan ketiga elemen. Jika berhasil, maka tingkat kesulitan penyempurnaannya lebih tinggi lagi.
Tingkat ketiga, kali ini teknik ini butuh minimal tiga orang untuk membuat satu serangan baru. Bisa dengan dua orang dengan setiap dari mereka tidak memiliki kesamaan elemen oleh orang lain. Yang sekali lagi, semakin tinggi tingkatnya, semakin sulit pula menggabungkan keempat elemen. Jika berhasil, maka tingkat kesulitan penyempurnaannya lebih tinggi lagi. Bisa pula hanya satu orang jika orang itu menguasai empat elemen, dan itu mustahil. Hanya dua orang yang bisa menguasai empat elemen itu di masa saat ini.
Tingkat empat, adalah penggabungan lima elemen sekaligus yang hanya bisa sempurna dengan hanya satu orang saja dan hal itu sungguh mustahil. Pengendali empat elemen saja hanya ada dua, sedangkan elemen terlangka adalah petir. Pengguna elemen petir ada empat, namun mereka tidak termasuk dalam pengguna empat elemen utama; tanah, udara, air, api. Termasuk ayahku pengguna elemen petir. Ia menguasai dua elemen utama dan elemen petir.
Sebuah serangan besar yang mengguncang tanah tempat kami berpijak. Hujan deras turun selama beberapa saat. Angin berhembus kencang menggoyangkan pepohonan, rerumputan, menerbangkan debu
dan daun-daun melintasi langit. Percikan api terlontar dari bekas serangan kami, membuat api-api kecil kecil yang membakar beberapa benda di sekitar kami.
Serangan kami tadi yang tidak sempurna juga berefek pada kami, untuk sementara kekuatan elemen kami tidak berfungsi. Aku juga tidak tahu kenapa hal itu terjadi. Kami juga sempat terlempar beberapa meter karena ledakan empat elemen yang mengakibatkan guncangan pada elemen di sekitar kami karena ketidaksempurnaan.
Yundan bangkit dari jatuhnya. Beberapa ranting pohon menimpanya. Ia menyingkirkan dari tubuhnya. Ia berjalan mendekati pria itu. Mengecek tubuhnya, mungkin gulungan bumi ada pada mereka. Ia menemukannya. Ia melemparkan gulungan itu padaku. Aku menangkapnya.
“Ayo kembali!!” Ucap Yundan santai.
“Tentu. Tapi ini akan memakan waktu yang lama.” Sahut Zanas sambil berdiri berpegangan tangan pada pohon di belakangnya.
“Kurasa tidak akan ada kelompok yang akan mengganggu pembawa dua gulungan.”
“Itu benar!” Aku menambahi sambil membantu Jana berdiri, karena ia terjatuh di sampingku. “Kita punya waktu berlatih selama seminggu jika kita bisa kembali dari sini pada hari ini juga.”
Kami berbalik kembali ke benteng suku. Empat orang tadi akan baik-baik saja. Tim medis akan datang setelah kami melapor ke pos satu yang jaraknya satu jam dari sini. Peraturannya mengharuskan meninggalkan musuh. Itu untuk melatih kami agar tidak sembarangan menolong musuh yang terluka. Untuk itu kami harus meninggalkan mereka dan membiarkan tim medis yang mengurusnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments