Bangkitnya Legenda: Ramalan Pertama
Puluhan ribu pasukan berbaris rapi bersiap menyambut kematian atau kemenangan. Kilauan tombak dan pedang menyilaukan ditimpa cahaya pagi. Padang rumput yang begituluas di bawah kaki gunung yang menjadi medan perang akan menjadi sesak dalam sekejap mata.
Aku duduk di atas pelana badak. Bukan kuda. Memang badak. Dia buka hanya binatang tunggangan, tapi juga seorang kawan.
Tangan kiriku memegang tali kekang, sedangkan tangan kananku memegang pedang. Busur dan anak panah diselempangkan di punggung. Baju zirah tipis hanya melindungi bahu, dada, siku, lengan, paha, lutut, dan betis.
Tujuh ribu pasukan penunggang berdiri di belakangku, bersiap sebagai serangan tahap ketiga. Aku ditugaskan memimpin mereka sebagai pasukan kavaleri yang menunggangi berbagai jenis hewan buas. Pertanyaannya kenapa tidak ada kuda? Karena kuda tidak akan mampu bertahan dari tunggangan musuh kita kali ini. Tunggangan mereka bukan berasal dari alam manusia, tapi dari alam jin. Itu sebabnya mustahil menggunakan kuda yang nantinya akan kalah dimangsa makhluk itu. Lebih baik memberikan perlawanan yang setidaknya seimbang daripada langsung mati tertekam lawan kami.
Jantungku berdegup kencang. Tubuhku gemetar. Bahkan pedangku hampir jatuh dari genggaman tanganku. Maklum, ini peperangan pertamaku. Aku pernah bertempur sebelumnya, tapi bukan berperang. Kuyakin seluruh pasukan juga mengalami hal serupa. Lawan kali ini kemampuannya jauh melebihi manusia.
Matahari terus meninggi. Semakin tinggi matahari itu, bersamaan datangnya awan hitam yang jelas tak masuk akal. Bagaimana mungkin matahari yang baru saja naik tiba-tiba didampingi oleh gumpalan awan hitam. Di bawah naungan awan hitam itu, satu pasukan besar telah tiba. Lawan terbesar umat manusia telah kembali lagi. Pasukan dengan wajah mengerikan yang belum pernah sekalipun umat manusia mengetahui kebeadaanya.
Seorang penunggang kuda berlari cepat dari perbukitan dari utara ke arah kami dengan wajah ketakutan dan napas yang memburu. Seperti melihat sesuatu yang mengerikan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Walaupun aku tahu, dia termasuk prajurit senior berpangkat letnan dan banyak ikut dalam berbagai pertempuran, namun kali
ini pasti sangat berbeda. Ketakutannya tak boleh dilihat oleh prajurit yang lain. Itu bisa menjatuhkan mental para prajurit.
Prajurit itu berlari ke arah jendral perang yang berada di atas kudanya. Ia sedikit merubah raut wajahnya agar terlihat tegar. Agar sang jendral tidak merasa cemas. Tapi sang jendral jelas lebih berpengalaman, terutama dalam menanggapi pasukannya. Termasuk hal seperti ini.
Sang jendral menyambutnya dengan tetap tegar di atas punggung kudanya. Dia begitu tegap tubuhnya. Beberapa lapis baja pelindung melindungi tubuhnya, termasuk helm perang. Kilatan dari zirahnya memancarkan keberanian pada pasukan yang ia pimpin. Ia berjalan mendekat ke prajurit yang telah berlari jauh dari arah perbukitan didepan sana.
“Jumlah...mereka..” Ucap si penuggang tanpa basa-basi. “Lebih dari 100 ribu. Jumlah mereka tiga kali lipat dari kita.”
Jendral menepuk pundak si prajurit. “Jangan takut!” ucapnya pelan. “Sembunyikan rasa takutmu dari pasukan yang lain. Tetaplah tegar seperti kau berperang biasanya.” Bisik si jendral pada prajuritnya sambil berlalu ke depan seluruh pasukan. Bisa gawat jika pasukannya tahu musuh seperti apa yang akan mereka hadapi. Walaupun ketakutan si prajurit hanya diketahui lima orang saja. Mungkin empat orang tidak akan memberitahu kawan-kawannya yang lain. Tapi sisa satu orang itu bisa menyebarkan pada lima orang yang lain. Dan lima orang yang lain bisa menyebarkan pada prajurit yang lain. Maka bisa dipastikan sangat berbahaya, teruatam ketika si jendral tahu musuhnya tiga kali jumlah pasukan kita. Walaupun memang tidak bisa dipungkiri jika si prajurit ridak bisa menyembunyikan rasa takutnya.
Sang jendral berjalan ke depan pasukannya sambil mengangkat pedangnya yang berkilau tinggi-tinggi. Baju zirah dan pedangnya menyilaukan tertimpa cahaya matahari pagi.
“Wahai umat manusia!” Dia mengawali orasinya untuk membakar semangat prajuritnya. “Jangan takut! Buanglah rasa takit dari dada kalian jauh-jauh. Tinggalkanlah hal tak berguna itu di medan perang yang menetukan seluruh nasib umat manusia ke depannya.” Sang jendral memutar ke arah pasukan yang lain. “Ketahuilah, perang ini menentukan seluruh nasib umat manusia. Nasib keluarga kita, teman-teman kita, semua orang terdekat kita berada di tangan kita semua.” Teriaknya lantang. “Angkat senjata kalian tinggi-tinggi!” Teriaknya keras sambil mengangkat pedangnya ke udara.
“Angkatlah!” Serunya.
Seluruh pasukan mengikuti seruannya. Ikut mengangkat senjata masing-masing sambil berteriak kencang.
“ANGKAT SEMUANYA!”
“HHHAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!” Seluruh pasukan berteriak menggetarkan seluruh padang rumput oleh suara mereka. Membuatnya menyaksikan pertumpahan darah paling besar dalam abad ini. Tanah ini akan menjadi darah persaksian suatu saat nanti. Sebuah persaksian di masa mendatang.
Puluhan ribu pasukan mendekat dari jarak pandang sejauh mata memandang. Pasukan hitam dengan bendera perang hitam pekat tanpa lambang apapun yang keadaannya seperti telah terkoyak. Tombak-tombak hitam mereka telah diacungkan ke arah musuhnya. Siap melibas siapapun yang berani mendekati lautan tombak itu. Berbaris-baris pasukan mereka bergerak meninggalkan bekas kerusakan di belakangnya.
Tiga baris pasukan mereka di depan mengacungkan tombak ke depan. Beberapa baris di belakangnya bersiap dengan busur dan anak panah. Pedang-pedang mereka terselipkan di pinggang mereka. Di belakang pasukan pemanah, pasukan penunggang makhluk buas yang dikatakan bisa melumat apapun dengan rahang dan cakarnya. Grugwolf, makhluk bertubuh serigala liar dengan ukuran sebesar beruang coklat. Dengan kemapuan tiga kali lipat dari serigala biasa. Dengan kemapuan seperti itu, mustahil bisa dikalahkan dengan mudah hanya dengan pedang, tombak, atau anak panah. Untuk itu kami punya senjata yang lebih besar.
Gelombang pertama serangan musuh mulai dilancarkan. Ribuan pasukan bergerak maju dengan tombak teracung kedepan. Wajah mereka yang bengis dan menakutkan menambah kesan menyeramkan peperangan ini.
Pergerakan mereka sangat cepat. Pasukan infateri bertombak dan panah sudah berjarak satu hingga dua kilometer. Genderang perang dari pasukan kami mulai ditabuh. Menambah kesan dramatis dalam peperangan. Namun bukan itu intinya, fungsi lain yang sangat berpengaruh dari genderang perang adalah menandakan serangan macam apa yang akan dilancarkan. Untuk serangan pembuka ini, jendral jelas memilih serangan ringan karena melihat lawannya yang tidak begitu kuat. Namun juga perlu perhitungan untuk tak boleh meremehkan lawan.
Tiupan terompet dari pengawal jendral sudah tiup. Lalu disusul oleh tiupan terompet-terompet lainnya yang jaraknya ratusan meter di belakang hingga sampai ke tempat genderang perang ditabuh. Ritme dari tabuhan genderang perang berubah menjadi alunan nada cepat dan menggunggah semangat.
Gelombang pasukan pertama mulai maju dipimpin komandan masing-masing. Dua jenis pasukan langsung maju; infanteri dan kavaleri berkuda. Pasukan infanteri maju dengan tombak dan pedang. Tubuh mereka di tertutupi oleh zirah. Derap langkah mereka menggetarkan bebatuan di bawah kaki mereka. Derap langkahnya menyamai tabuhan genderang perang kematian.
Dalam hal jumlah, pasukan infanteri memang kalah. Bisa jadi lawannya berjumlah dua kali lipat. Namun yang menjadi keunggulan dari kami adalah kemenangan strategi. Strateginya adalah adalah dalam lima puluh orang prajurit akan membentuk sebuah persegi dengan perisai besi persegi panjang. Dalam setiap formasi akan diberi jarak sepuluh meter. Setiap prajurit yang di tepi luar formasi akan menggunakan perisainya sebagai pelindung dari luar. Sedangkan prajurit yang ada di dalam formasi akan mengangkat formasi di atas kepala mereka untuk mencegah serangan dari atas kepala, termasuk tembakan anak panah. Namun kelemahannya adalah mereka tidak bisa bergerak cepat.
Dari bagian belakang pasukan infanteri, pasukan kavaleri membantu dengan tembakan anak panah sambil berlari di antara formasi pasukan infanteri. Memberikan perlindungan sekaligus merepotkan strategi pasukan musuh dengan tembakan anak panah dan merepotkan dangan kepulan debu yang menutupi mata pasukan musuh. Sebenarnya, pasukan infanteri juga tidak bisa melihat karena pandangan mereka terbatas karena tertutup oleh perisai dan kepulan debu. Tapi sesuai strategi, mereka hanya perlu berjalan ke depan ke tempat yang ditentukan untuk serangan pembuka.
Serangan dari pihak musuh semakin bertambah ganas. Namun dengan keadaan lawan yang tidak punya pemimpin,mereka menyerang membabi buta. Mulai tembakan anak panah yang menyasar pasukan infanteri yang justru tidak membuat kerusakan yang berarti karena formasi yang baik. Serangan jarak dekat dengan tombak dan pedang yang dilancarkan juga mustahil. Tombak dan pedang mereka tidak bisa menembus perisai yang tebal itu. Justru tombak dari pasukan infanteri yang berada dalam formasi mampu melumpuhkan musuh dengan cepat. Keunggulan dari pihak kami semakin terlihat pada serangan pertama ini. Tembakan bantuan dari kavaleri berkuda juga cukup banyak melumpuhkan pasukan musuh.
Jendral mengetahui posisi pasukan infanteri sudah dekat dengan posisi yang diharapkan. Walau keadaan medan perang tertutup oleh kepulan debu, ia bisa tahu dengan pasti dengan bantuan angin. Iya, angin. Ia pengendali angin, juga pengendali api, air, tanah, tidak untuk petir.
Jendral menyarungkan pedangnya ke pinggang. Merentangkan kedua tangan, lalu menepukkan tangannya sekali. Gelombang hembusan angin bagaikan badai, menyingkap kepulan debu. Itu adalah pertanda bagi pasukan infanteri untuk memecah formasi menjadi satu. Tidak sampai lima menit, formasi mereka kini menjadi formasi lima baris. Barisan pertama menggunakan perisainya sebagai pelindung. Baris kedua dan ketiga menggunakan perisainya sebagai pelindung di atas kepalanya. Baris keempat dan kelima menyerang musuh yang melompat ke atas mereka. Baris pertama juga bertahan dan menyerang dengan pedang mereka pada lawan yang mendekati perisai mereka.
Secara bertahap, mereka bergerak ke strategi selanjutnya dengan posisi bagian tengah bergerak mundur dan bagian sayap kanan dan kiri bergerak sedikit ke depan hingga membentuk seperti huruf ‘C’. Setelah terbentuk formasi selanjutnya, mereka tetap mundur hingga pihak musuh menjauh dari posisi pasukan inti. Pasukan infanteri musuh semakin menjauh dan tidak menyadari keadaannya sendiri.
Setelah dirasa sudah cukup jauh, pasukan infanteri segera menutup satu-satunya akses jalan keluar. Sedangkan kavaleri berkuda menembakan anak panah dari luar formasi. Menghabisi seluruh pasukan infanteri musuh dalam formasi.
Melihat keadaan kawannya dibantai, terompet perang pasukan musuh kembali terdengar. Teriakan ganas mereka terdengar bersahut-sahutan. Formasi pasukan bergerak mundur secara teratur. Kavaleri berkuda tetap menembakan anak panah secara bertahap hingga membuat musuh semakin dekat dengan posisi pasukan inti.
Setelah menunggu pasukan infanteri dan kavaleri mundur. Jendral meniup terompet miliknya. Sahut-sahutan terompet terdengar hingga barisan belakang. Serangan kedua dimulai. Artileri berat menembakan senjatanya. Puluhan batu api seukuran sapi melayang di atas kepala kami. Mendarat keras ke arah pasukan musuh yang mendekat. Sebagian pasukan musuh telah mati, namun sebagian yang lain tetap merengsek maju. Ditambah dengan bantuan pasukan infanteri lagi dari pihak musuh. Kini mereka cukup banyak jika akan dihabisi dengan trebuchet.
“Tembakan meriam!” Seru Jendral.
Terompet pengawalnya kali ini yang berbunyi. Dengan cepat pesan itu diterima. Puluhan artileri terkuat milik kami harus dikerahkan. Meriam plasma ciptaan Suku Techno. Suku dengan satu-satunya peradaban modern di seluruh dunia. Dan tidak berniat mengembangkan teknologinya hingga ke luar wilayahnya.
Pasumkan artileri yang berada di atas bukit di belakang kami, termasuk trebuchet pelontar batu api. Meriam plasma mulai mengisi tembakan. Cahaya biru mulai menampakkan diri di moncong meriam. Lima detik kemudian senjata ditembakkan. Efek dari pelepasan tembakan membuat tanah bergetar dan menerbangkan debu-debu. Plasma biru melesat jauh ke arah target. Kecepatan jauh melebihi kecepatan suara. Bahkan suara tembakannya benar-benar memekakkan telinga. Efek dari tembakan menyebabakan ledakan bersifat area dengan radius 20 meter. Tembakan-tembakan lain juga dilesatkan. Ledakan-ledakkan beruntun mengenai wilayah musuh. Tapi itu jelas belum selesai. Meski banyak lawan yang telah mati dalam dua serangan tadi. Musuh masih berjumlah lebih banyak dari kita. Peperangan ini pasti akan memakan banyak waktu.
Tembakan dari meriam-meriam plasma telah berhenti. Menyisakan kepulan asap dan debu yang jadi satu. Dari dalam sana, sisa-sisa pasukan musuh terlihat. Tidak terlalu banyak, memang. Tapi aku yakin jendral tidak akan mengerahkan satu pasukan infanteri untuk menghabisinya.
Kini anak-anak panah dilesatkan menembus awan. Jatuh ke sisa-sisa pasukan musuh. Menembus tubuh mereka, menancap di kepala mereka, mengembalikan nyawa mereka ke neraka sekali lagi. Kemenangan beruntun dari pihak manusia. Aku tidak begitu yakin dengan Kemenangan ini. Seharusnya mereka menjadi lawan yang kuat, bahkan untuk serangan pertama tadi. Serangan gabungan infanteri dan kavaleri berkuda, seharusnya itu menjadi kemudahan mereka melibasnya dengan pasukan penunggang grugwolf mereka.
Pertempuran berhenti sejenak. Semuanya hening. Walaupun ada kebahagiaan di hati para pasukan akan kemenangan pertama ini. Tapi aku yakin jendral musuh memikirkan strategi serangan selanjutnya. Walaupun, kita telah rapat sebelumnya tentang serangan apa saja yang akan kita lancarkan dan membalas dengan serangan apa
jika mereka menyerang lebih dulu. Dia tetap memiliki rencana cadangan yang tidak diketahui kepala siapapun.
Jumlah pasukan musuh telah berkurang banyak. Itu membuat pemimpin mereka semakin geram. Walaupun tidak terlihat bagaimana wajahnya karena terlalu jauh dan kami tidak peduli bagaimana reaksi mereka, kami hanya peduli untuk menang. Kami hanya kehilangan beberapa puluh pasukan saja di pertempuran pertama tadi dari pihak infanteri saja. Aku mengagumi rencana jendral, benar-benar hebat.
Tiba-tiba genderang perang dari pihak musuh berbunyi. Sebelumnya kami tidak menyadari mereka membawa genderang perang karena sedari tadi mereka hanya menggunakan terompet perang yang suaranya menggema sampai ke arah kami. Tak kalah dengan genderang perangnya yang ikut menggetarkan perbukitan di belakang kami dan pegunungan di belakang mereka. Suara genderang mereka membuat kami seakan mengalami peperangan mental. Sebuah suara menakutkan yang mungkin saja sengaja dibuat untuk menghancurkan mental seseorang. Sebuah ritme kehancuran bagi siapa saja yang mendengarkan. Sebuah nada kematian. Kali ini pasukan lawan tidak akan bermain-main.
Satu pasukan besar infanteri musuh mendekat dengan persenjataan lengkap dengan tubuh terlapisi armor perang yang tebal, menutupi seluruh tubuh mereka. Mereka tidak menggunakan pedang, namun kapak, gada, tombak, sebuah persenjataan berat untuk satu pasukan besar. Ditambah dengan postur tubuh mereka yang satu setengah lebih besar dari tubuh manusia pada umumnya. Ditambah dengan raut muka mengerikan mereka menambah kesan menakutkan pada mereka. Sebuah pasukan yang sengaja dikeluarkan diakhir pertandingan adalah sebuah kunci kemenangan. Awan hitam di atas mereka ikut mengiringi perjalanan pasukan perang itu. Bagaikan hendak turun rintikan hujan darah membasahi tanah ini.
Hentakan kematian mulai menjalari setiap dada manusia yang iktu berperang di tanah ini. Rasa ini lebih kuat daripada peperangan sebelumnya. Rasa cemas juga meliputi jendral. Dia bingung hendak mengirim pasukan macam apa yang cocok untuk menghadapi monster mengerikan semacam itu. Juga karena tidak catatan yang mengatakan adanya makhluk semacam itu. Itu karena umat manusia belum pernah berperang melawan mereka lagi.
Kebimbangan juga menyelimuti jendral. Ia tidak mengira pihak lawan masih punya pasukan menakutkan lain. Ia pikir ia telah memenangkan seluruh panggung pertunjukan ini. Tapi ternyata belum.
“Berapa lama meriamnya terisi penuh?” Tanya jendral pada ajudannya yang memakai armor tebal. Wajahnya tertutup masker kain hitam.
“Sekitar 10 menit lagi. Tapi mereka akan mendekat sebelum waktunya,” Ujar sang ajudan.
“Kita ulur waktunya.” Ucap jendral tegas
“Para penunggang?”
“Tidak!” Ucap jendral tegas. “Kita masih butuh mereka. Kita tidak ingin kehilangan pasukan terbaik dengan cepat.”
“Tapi itu satu-satunya kesempatan kita.” Ajudannya tetap ngotot.
“Tetap tidak.” Jendral menatap ajudannya dengan marah. Si ajudan beringsut diam gemetar.
Aku memacu badak ku mendekatinya. Berhenti tepat di depannya. “Biarkan aku yang maju.” Usulku tegas. Walaupun sebenarnya itu membuatku takut.
Jendral menggeleng. Dia sudah memutuskan sesuatu. “Jangan bilang karena aku adikmu kau melarang ku maju ke medan perang, Atlas!” Seruku marah. Dia mendadak menatapku tajam dengan raut marah. Seharusnya aku tidak memanggil namanya karena peraturan militer melarang seseorang memanggil atasan dengan namanya. Tapi kurasa bukan itu alasannya. Tidak punya alasan marah karena hal seperti itu.
“Selama ini kau di alam liar belajar apa, hah!?” Dia membentak ku. Matanya merah padam. “Alasanku melarang pasukanmu maju, karena aku tak mau kalah dalam peperangan ini dengan cepat. Setidaknya kita berusaha, bodoh,”
“Jendral,” Panggil ajudannya, “Mereka mendekat.”
Kami memalingkan pandangan ada sepasukan monster itu. Mereka sekarang berjarak sekitar dua kilometer kurang lebih. “Keluarkan kavaleri berkuda dan bantu mereka dengan tembakan anak panah.” Perintah Atlas, atau jendral yang sebenarnya kakakku.
Ajudannya mengangguk. Lantas menunggangi kudanya menuju pasukan kavaleri yang dimaksud untuk segera maju. Juga memerintahkan pasukan pemanah untuk maju ke barisan depan. Guna memberikan tembakan perlindungan pada kavaleri berkuda.
Kavaleri berkuda yang satu ini berbeda dengan kavaleri pemanah sebelumnya. Mereka pasukan khusus bersenjata berat, sedangkan kavaleri sebelumnya adalah pasukan gerak cepat yang tidak dibekali zirah berat, hanya zirah tipis, busur dan anak panah, dan pedang. Seluruhnya untuk tidak memberatkan gerakan kuda dari penunggangnya.
Pasukan kavaleri mulai berderap maju. Langkah kudanya menerbangkan debu-debu. Seluruh pasukannya berteriak keras ke medan pertempuran. Berharap ini bukan peperangan terakhir mereka. Mereka masih ingin berperang di pihak manusia selamanya. Hingga makhluk seperti mereka enyah dari alam ini.
Dentang besi dari kedua pasukan saling ber hantaman. Satu persatu potongan tubuh mulai tercerai berai di atas tanah. Darah-darah membasahi tanah ini. Rerumputan yang tadinya hijau berubah sekejap menjadi merah darah. Tak ada yang memperdulikan sekitarnya. Para manusia itu, mereka hanya berharap bisa memenangkan perang ini.
Para monster itu, mereka menang dalam segi kekuatan dan jumlah. Mereka benar-benar tangguh. Bahkan para penunggang kuda dan kudanya bisa mereka tebas dalam sekali tebasan. Mereka benar-benar unggul. Setiap pasukan kaveleri akan menebas, mereka akan menangkisnya dengan tangan mereka sendiri, walaupun pada akhirnya mereka kehilangan satu anggota tubuhnya, namun seakan mereka tak peduli. Mereka hanya peduli untuk memenangkan perang ini. Membuat pihak manusia terdesak. Bahkan komandan pasukan kavaleri yang notabene seorang pengendali tanah tak bisa berkutik sedikitpun. Ia hanya bisa bertahan, padahal sebelumnya, ia sanggup menolong setiap anggota pasukannya terdesak, namun sekarang, menolong diri sendiri saja tak mampu.
“Komandan,” Teriak salah seorang pasukan di depannya yang sedang meminta tolong sedang menghadapi tiga monster sekaligus dari atas kudanya. Tak lama setelah itu, ia mati dengan tubuh terbelah dua bersama kudanya. Komandannya sendiri tak mampu membantunya, ia sibuk sendiri di kancah peperangan yang tidak seimbang ini.
“Komandan,” Teriak lagi seorang pasukannya yang berhasil menerobos musuh demi menghampirinya saja. “Pergilah kembali! Aku akan melemparkanmu dengan pengendali tanah. Mintalah dikirim serangan batu api.”
Seorang musuh mendekat. Mereka berdua bersusah payah menebas kepalanya dan berhasil.
“Tidak!" Tolak sang komandan. “Kau yang akan pergi,”
Belum sempat si prajurit menegaskan penolakannya, si komandan sudah melemparkannya dengan teknik pengendalian tanah dengan sebongkah batu di bawah tubuhnya yang jadi penopang dirinya dan kudanya. Ia mendarat tepat di hadapan jendral. Dia segera memacu kudanya mendekati jendral.
“Siapa yang mengirim mu? Bukannya kau tahu di peperangan seseorang tak boleh mundur?” Ucap tegas Atlas.
“Maafkan saya, jendral, tapi pasukan di sana telah terdesak. Tidak Lama lagi mereka akan binasa. Komandan mengirim saya untuk meminta dikirim serangan bola api cincin mengelilingi lokasi peperangan. Ia akan melakukan serangan bunuh diri. ”
“Tidak mungkin! Serangan itu berpotensi gagal.” Tegas Atlas.
Kecemasan kuat melanda Atlas selaku pimpinan tertinggi pasukan. Namun ia tak ingin pihak manusia kalah. Apalagi ini belum waktunya meriam plasma ditembakkan. Masih ada beberapa menit lagi. Serangan tidak akan maksimal.
“Aku yang akan maju.” Usulku.
“Sudah kubilang aku tak akan membiarkan pasukan terhebat hilang dalam satu pertempuran,” Bentak Atlas.
Aku berbalik melenggang pergi. “Orang bodoh mana yang membiarkan satu pasukan kalah, kakak. Akan kuberikan pertempuran terbaik kami.” Atlas menatapku tajam. Keinginannya memang tak membiarkanku pergi setelah kematian ayah dan hilangnya ibu. Dia sengaja menempatkan ku di pasukan khusus agar aku bisa selamat. Tapi bukan itu yang kuinginkan. Aku ingin berjuang. Aku hanya ingin berjuang.
“Jendral,” Teriak ajudannya ketakutan. “Pasukan grugwolf musuh maju.”
Atlas menatap ke arah medan perang. Benar, pasukan grugwolf maju. Belum lagi satu ketakutan hilang, kini ditambah lagi. Satu serangan besar dari dua pasukan terbaik musuh akan membinasakan seluruh pasukan kavaleri di dalam sana. Setelah itu, mereka akan menembus pertahan pasukan infanteri terdepan, walau pasukan infanteri yang ini terkenal kuat akan pertahanannya. Tapi itu hanya berlaku pada musuh manusia, melawan para monster itu, mereka hanya terlihat seperti mainan, apalagi dihadapan pasukan grugwolf.
“Kakak, hei, dengarkan aku!” Aku turun dari badak ku, mendekatinya. “Kau sudah melihat mereka. ” Telunjukku mengarah ke arah pasukan musuh yang telah menghabisi pasukan kavaleri dan bergerak cepat ke arah kami. “Jika kau tidak memutuskan sesuatu, kita akan tamat. Dalam segi jumlah dan kekuatan, pasukanku unggul melawan para penunggang itu. Waktumu tak banyak.” Aku kembali menunggang badak, melenggang kembali ke pasukanku. Aku hanya berharap Atlas tak mengambil keputusan yang salah.
Para penunggang grugwolf semakin mendekat. Ditambah pasukan besar di belakangnya yang akan membantu melumat pasukan kami setelah para penunggang grugwolf menerobos pertahanan.
Genderang perang berubah cepat. Strategi di luar rencana telah dimulai. Atlas telah mengambil keputusannya. Strategi pasukan pemanah dan penembak suku Techno menembaki dari atas perbukitan. Pasukan ditarik mundur untuk menghindari jatuh korban lebih banyak, dan pasukanku maju membendung pasukan grugwolf. Sebelum itu juga, lemparan trebuchet melontarkan batu api ke arah pasukan grugwolf, menahan mereka sementara. Lalu pasukan kami menyerang pasukan yang berhasil menerobos. Itu strateginya.
Lemparan batu api dimulai, apinya membakar seluruh daratan. Asap hitam tebalnya menjunjung tinggi ke angkasa. Dari balik asap hitam itu, para grugwolf masih bisa bertahan dan keluar dari kepungan api.
Para pemanah dan penembak di atas bukit yang telah siap menembaki mereka yang berhasil keluar. Banyak diantara mereka yang langsung mati, kembali ke neraka. Namun masih banyak lagi yang selamat dari kepungan api dan menerobos keluar, maju ke arah kami.
Aku meniup terompet perang. Pasukan penunggang mengangkat senjatanya, berteriak keras mengikuti teriakanku. Singa, harimau, badak, cheetah, banteng, serigala, babi hutan, bahkan elang dan rajawali yang bertengger di pundak-pundak para tuannya juga merentangkan sayapnya bersiap mencabik-cabik musuhnya.
“Majulah para penunggang!!!” Teriakku sambil memacu badak tungganganku.
Mereka mengangkat senjatanya masing-masing ke angkasa, diiringi teriakan buas para tunggangannya. Para tuannya juga tidak mau kalah, mereka ikut berteriak hingga serak. Membuktikan kegigihan mereka dalam perang ini.
Para penunggang lainnya mengikuti langkahku. Langkah-langkah berderap kuat, menerbangkan gumpalan harapan baru. Pasukan terbaik yang ku sarankan pada Atlas, dan aku yang memilih mereka langsung dari suku suku terbaik.
Ditembakkan anak panah ke udara. Itu adalah sebuah pertanda akan sebuah formasi penyerangan. Biasanya sebuah tanda akan berbentuk tembakan anak panah, suara terompet, tabuhan genderang, dan hal-hal lain yang bisa dilihat oleh banyak orang dan didengar dengan jelas. Jelas tidak akan menggunakan sebuah teriakkan yang jelas-jelas tak akan terdengar karena bisingnya peperangan.
Formasi kami berubah, yang tadinya bergerak satu pasukan memanjang ke belakang, kini dipecah menjadi dua pasukan. Mengepung dari sisi kanan dan kiri musuh. Dengan cepat para penunggang mengahadapi lawan mereka yang seimbang. Walaupun ukurannya, grugwolf sulit ditaklukan. Tapi nyatanya sekarang tidak terlalu sulit. Sedikit demi sedikit musuh ditumbangkan. Para penunggang grugwolf sudah terdesak dan kehabisan daya gerak karena terhimpit di kedua sisi.
Namun ada yang satu tidak kita ketahui, awan hitam itu. Benda itu yang seakan mengikuti iring-iringan pasukan musuh. Bukanlah seperti yang kami kira sebelumnya. Di saat kami masih terus menghabisi sisa para penunggang grugwolf, hal yang tak terduga datang. Bukan dari pasukan monster yang ukurannya tak masuk akal yang telah menghabisi pasukan kavaleri. Namun dari awan hitam itu sendiri. Itu bukanlah awan, namun sekelompok naga yang mengeluarkan asap hitam dari hidungnya untuk menyembunyikan keberadaan mereka.
Dengan cepat sekelompok naga itu menukik menyerang kami, para penunggang. Dengan cakar dan mulut mereka yang penuh taring tajam, mereka menukik sambil mencabik-cabik kami. Beberapa dari kami juga dibawanya terbang lalu dijatuhkan dari ketinggian. Tak peduli juga ada pasukan grugwolf, mereka juga menyemburkan nafas api dari mulutnya. Membakar kami yang di bawah. Kali ini kami bukan hanya terdesak, tapi sekarat.
Aku hanya bisa mundur sambil melempari para naga itu dengan batuan besar menggunakan teknik pengendali tanah. Tapi itu tak berefek besar pada mereka. Konon, kulitnya sangat keras, sekeras batuan gunung di pegunungan Senyap. Sebuah semburan api mengarah padaku. Aku hanya menatap kobaran napas api itu hingga mengenai diriku. Mungkin ini akhirnya. Aku tak percaya secepat ini akhir diriku. Karena masih ada seseorang yang menungguku. Seseorang yang kucintai. Perempuan yang selama ini membantuku hingga titik ini. Ia juga berjanji untuk tidak mati dalam peperangan ini, tapi apa janjiku juga berlaku pada dirinya. Kuharap ada sebuah keajaiban yan terjadi. Aku tak ingin mati langsung, ada bangsa yang akan ku lindungi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments