Di Kerajaan Re.
“Ayah!” Samadara menyapa ayahnya yang baru saja kembali dari istana bertemu dengan Sultan Jamal. “Ayah, baru pulang?”
“Ya.” Lamera duduk di kursinya, menghela napas sejenak dan diam sejenak.
Melihat ayahnya diam, Samadara merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam benak ayahnya. Setelah menunggu beberapa saat, Samadara akhirnya membuka mulutnyan untuk bertanya. “Apa ada yang mengganggu, Yah? Wajah Ayah sepertinya cukup tertekan??”
Lamera menganggukkan kepalanya. “Ya, memang ada.”
“Apa ini masalah mengenai Bangsa Gis yang datang dan mengajukan kerja sama dengan Kerajaan Re dan Kerajaan Na?” Samadara berusaha menebak.
“Ya.” Lamera mengangguk lemah lagi.
“Apa Sultan menolak kerja sama itu, Ayah??”
Kali ini … Lamera menggelengkan kepalanya. “Sultan sebenarnya berpikir untuk menerima kerja sama itu. Hanya saja Bangsa Gis sepertinya lebih menyukai Kerajaan Na, bahkan dari informan yang kita kirim ke Kerajaan Na, mereka sudah membangun benteng di Kerajaan Na.”
“Apa kali ini kita sepertinya gagal bekerja sama dengan Kerajaan Na, Yah??” Samadara mencoba bertanya dengan sedikit dugaan setelah mendengar penjelasan Lamera-ayahnya.
“Kemungkinan besar. Tapi Sultan masih berusaha untuk mendapatkan hati Bangsa Gis.”
Samadara melihat wajah Lamera lagi. Berdasarkan jawabannya, Lamera harusnya sudah merasa sedikit lebih baik karena Sultan Jamal tidak menyerah untuk mendapatkan kerja sama dari Bangsa Gis. Tapi wajah Lamera berkata lain. Wajahnya masih terlihat tertekan seolah ada yang masih mengganggunya.
“Apa masih ada yang mengganggu, Ayah? Wajah Ayah masih terlihat tertekan.” Samadara mencoba bertanya lagi.
“ … “ Lamera tidak menjawab pertanyaan Samadara dan memilih untuk diam karena tidak ingin membuat putra tunggalnya merasa khawatir padanya.
Tapi sikap diam dari Lamera justru membuat Samadara merasa semakin khawatir saja. Samadara berusaha melihat apa yang sedang mengganggu Lamera hanya dari raut wajahnya saja. Samadara kemudian berpikir sejenak dan membuat dirinya berada dalam posisi Lamera dan hanya ada satu hal yang mampu membuat Lamera merasa tertekan seperti ini.
“Apa Ayah khawatir dengan pernikahanku dengan putri Kapita Lao dari Kerajaan Na?”
“Bagaimana bisa kamu-“
Samadara menebak dengan tepat kekhawatiran ayahnya hanya dengan memperhatikan raut wajahnya dan memosisikan dirinya sebagai Lamera.
“Ayah, aku ini anakmu! Tidak mungkin aku tidak tahu apa yang mengganggu Ayah!!” Samadara bicara dengan nada sedikit membanggakan dirinya. “Kali ini … apa yang membuat Aysh khawatir??”
Lamera melihat ke arah langit dan kepalanya mengingat sejarah tentang Kerajaan Re yang dijaganya selama ini dan hubungannya dengan Kerajaan Na. Lamera menjelaskna hubungan tak terlihat Kerajaan Re dan Kerajaan Na yang terlihat baik di luar tapi sebenarnya sedang bermasalah di dalamnya. Hubungan saudara yang berusaha dijaga semenjak jaman pendiri Kerajaan Na dan Kerajaan Re, kini mulai terlihat retak dengan persaingan keduanya. Dan Lamera sebagai panglima perang, bisa melihat arah yang sedang menunggu di depan nanti jika hubungan Kerajaan Na dan Kerajaan Re tidak segera diperbaiki.
“Ayah takut jika pernikahanku nantinya akan jadi masalah??” Samadara berusaha menebak arah kekhawatiran yang mengganggu benak Lamera saat ini.
“Mungkin kekhawatiran Ayah berlebihan, jangan dipikirkan, putraku.” Lamera berusaha untuk tidak menyebarkan rasa khawatir yang mengganggunya pada Samadara.
“Ya, Ayah.”
Samarada memilih untuk mengiyakan ayahnya karena tidak ingin membuat ayahnya lebih khawatir lagi. Tapi jauh di dalam benaknya, Samadara setuju dengan kekhawatiran ayahnya. Jika suatu hari perang benar-benar terjadi dan Samadara benar-benar menikah dengan Irapanusa, keluarganya akan berhadapan langsung dengan Ayah Irapanusa yang tidak lain adalah Kapita Lao dari Kerajaan Na.
Aku harap hal itu hanya sekedar kekhawatiran semata.
Samadara menghapus kekhawatirannya sendiri dengan mengucapkan kalimat itu sebagai harapan kecilnya. Dag, dig, dug! Jantung Samadara berdetak lebih kencang karena beban pikirannya dan di saat yang sama, benak Samadara memikirkan pertemuan kecilnya dengan Irapanusa yang akhirnya membuatnya benar-benar jatuh cinta.
Enam bulan yang lalu.
“Ayah mau ke mana??” Samadara melihat pakaian ayahnya dan melihat ayahnya sedang menyamar dengan menggunakan kumis palsu. Samadara juga melihat ayahnya menggunakan pakaian khas pedagang. Dari pengamatannysa, Samadara tahu ayahnya berniat untuk menyusup dan mengumpulkan informasi. “Apa Ayah ingn menyusup? Kali ini mau ke mana? Kenapa tidak mengajakku?”
Huft!! Lamera mendesah kesal karena tahu bahwa hal ini akan terjadi di mana dirinya membesarkan Samarada-putra tunggalnya sebaga prajurit dan dirinya tidak akan bisa membuat alasan karena sekarang putra tunggalnya itu memiliki lebih dari separuh kemampuannya sebagai Kapita Lao di Kerajaan Re.
“Kerajaan Na. Ada obat yang dibutuhkan oleh Sultan dan kebetulan stok obat itu di kerajaan kita sedang habis.”
“Apa Ayah harus pergi menyusup ke sana sendiri?? Bukannya kita punya informan yang berada di Kerajaan Na? Kenapa tidak menyuruh mereka untuk mendapatkannya, Ayah??” Samadara yang merasa khawatir dengan Ayahnya, merasa lebih baik jika Ayahnya tidak pergi menyusup ke Kerajaan Na.
“Itu terlalu lama. Akan lebih cepat jika Ayah datang sendiri ke sana karena Ayah tahu di mana menemukan obat itu.”
“Kalau begitu biarkan aku ikut, Ayah!”
Lamera melihat wajah bersikeras dari Samadara. Dirinya tahu jika Samadara sudah bertekad, maka Samadara tidak akan pernah menyerah. Dia memang anakku, anakku yang terbaik! Lamera memuji tekad Samadara karena dirinya sendirilah yang mengajarkan hal itu pada Samadara.
“Ayah!!” Samadara mendesak meminta jawaban.
“Beri aku satu alasan kenapa aku harus membiarkanmu ikut, putraku??” Lamera masih menguji tekad Samadara dan kali ini sedikit menguji cara berpikir Samadara. Lamera berpikir sebaga seorang pemimpin pasukan apalagi panglima perang, tidak boleh mudah terbawa perasaan. Di masa depan mungkin akan ada saat, situasi di mana dirinya sebagai pemimpin diharuskan untuk memilih antara keluarga dan kerajaannya. Dan itu yang sedang berusaha diajarkan Lamera pada Samarada saat ini: membuat keputusan bukan dengan perasaan melainkan dengan logika.
“Pengalaman!” Samadara menjawab dengan tegas dan penuh dengan keyakinan. “Di masa depan … mungkin saja aku akan mendapatkan tugas menyusup ke kerajaan lain dan akan lebih baik jika aku punya pengalaman, Ayah. Ditambah lagi … aku bisa memetakan kerajaan Na dalam otakku jika kelak aku diharuskan untuk menyusup ke sana lagi. Apa itu cukup, Ayah??”
Lamera tersenyum puas mendengar jawaban Samadara dan berkat jawaban itu pula, Samadara akhirnya berhasil ikut menyusup ke Kerajaan Na untuk pertama kalinya. Beberapa kali Samadara memang pernah berkunjung ke Kerajaan Na sebagai tamu, tapi gerakannya tidak leluasa karena selalu diikuti oleh orang-orang dari Kerajaan Na dan ada banyak tempat yang sebenarnya menarik perhatian Samadara.
“Minggir semua!!”
Begitu tiba di pusat Ibu kota Kerajaan Na, Samadara yang menyamar sebagai pedagang bersama dengan Ayahnya diminta untuk minggir oleh beberapa orang prajurit Kerajaan Na. Samadara yang merasa penasaran dengan keadaan itu kemudian bertanya kepada pedagang lain di Kerajaan Na.
“Mohon maaf, kenapa kita harus menyingkir dari jalan? Apa ada bangsawan yang akan lewat di sini??” tanya Samadara.
“Kamu pasti pedagang baru ya?” Pedagang yang ditanya oleh Samadara berbalik bertanya pada Samadara.
“Ya, saya pedagang baru di kota ini.”
“Itu … “ Pedagang itu menunjuk kuda yang terlihat berjalan melewati jalanan pasar ibu kota Kerajaan Na. “Dia putri Kapita Lao, Nona Irapanusa. Setiap kali hendak berkunjung ke istana, dia akan mengendarai kuda sendiri dan setiap kali hal itu terjadi, prajurit di dekat sini selalu meminta kami menyingkir dari jalanan karena Nona Irapanusa selalu menunggang kudanya dengan sangat cepat! ”
Samadara melihat ke arah kuda yang melaju melintas di hadapannya dan menemukan penunggangnya adalah seorang wanita. Momen itu harusnya hanya berlangsung selama beberapa detik saja. Tapi dalam pandangan Samadara, momen itu berlangsung cukup lama hingga … Samadara dapat mendengar suara angin berembus dan langkah kaki kuda milik Irapanusa yang terkesan lambat.
Dia cantik sekali, batin Samadara.
“Lihat kan!! Nona Irapanusa menunggang kudanya dengan sangat cepat!! Maka dari itu setiap kali dia lewat, jalanan selalu dikosongkan kalo tidak mungkin … akan ada orang yang terluka karena cara menunggang Nona Irapanusa yang sudah mirip dengan ayahnya.”
Dalam momen singkat itu, Samadara benar-benar sudah jatuh hati pada Irapanusa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments