Ártica mendesah pelan, mencoba memejamkan mata. Ia berdoa dalam hati agar neneknya segera pulih. Ia tak tahu harus bagaimana jika sampai kehilangannya.
Neneklah yang membuatnya mengerti siapa dirinya, yang mengajarkannya mengendalikan insting, dan tentang tanda lahir di bahunya—yang kini mulai terlihat jelas sebagai bentuk seekor serigala.
Ia teringat saat pertama kali menyadari siapa dirinya. Kala itu ia baru pulang mencari makan, ketika mendapati seekor puma mengintai neneknya yang terpojok di belakang rumah. Sesuatu di dalam dirinya tersulut. Ada panas yang membara dari perut dan menyebar ke seluruh tubuh.
Dengan amarah, ia menatap si puma, yang kemudian tampak menyusut dan mundur sambil menggeram. Ia pun membalas dengan geraman, kebiasaan lamanya untuk menakuti hewan liar.
“Ártica… dia sudah pergi,” suara neneknya memanggil dari sudut rumah, menatapnya dengan mata terbuka lebar, tubuhnya tak bergerak, seolah menahan napas.
“Ini aku… hanya nenekmu. Kita sudah aman sekarang,” lanjutnya tenang. Ártica menatap ke arah si puma berlari, masih ingin mengejarnya, namun neneknya berkata,
“Sudah cukup. Ayo bantu nenek siapkan makan malam.”
Perlahan, rasa panas dalam tubuhnya memudar. Ia menggeleng, menarik napas, lalu menolong neneknya berdiri. Sang nenek tersenyum, menenangkan ekspresinya.
“Terima kasih… kamu anak serigala yang baik. Jangan pernah lupakan itu,” ucap neneknya, menggenggam tangannya.
Saat mereka duduk makan malam, neneknya bertanya pelan, “Ártica, apa yang kamu rasakan saat menghadapi binatang tadi? Apakah kamu merasa berubah?”
“Entahlah… seperti ada panas yang meledak dari perut. Aku cuma ingin melindungimu,” jawabnya sambil berpikir.
“Itu saja?”
“Iya… kenapa?”
“Kamu berubah… menjadi serigala putih raksasa.”
“Apa?! Bagaimana bisa?!”
“Orang tuamu mungkin tidak pernah menceritakannya, agar kamu merasa seperti anak-anak lain… Tapi coba pikirkan. Apa yang sering mereka lakukan? Apa yang bisa memberimu petunjuk tentang siapa dirimu sebenarnya?”
“Ibuku sering mengajakku nonton acara tentang hewan. Dia selalu bilang serigala itu dihormati karena hidup berkelompok… karena keluarga penting… Tapi dia tidak pernah bicara tentang keluarganya sendiri. Aku bahkan tak pernah kenal kakek-nenekku. Setiap aku tanya, dia selalu bilang, nanti… saat aku cukup umur.”
Neneknya mengangguk. “Kamu belum percaya? Mari ikut aku ke luar. Berdirilah di dekat kolam, coba rasakan kembali sensasi itu. Lihatlah pantulanmu di bawah cahaya bulan.”
Ártica menuruti. Ia berdiri di pinggir kolam, sementara sang nenek menunggu dari kejauhan. Ia mencoba memusatkan diri, tapi tak terjadi apa-apa.
“Aku tidak merasakan apa-apa,” ujarnya kecewa.
“Konsentrasi, Nak… kamu harus belajar mengendalikannya. Jika nanti kamu kembali ke kota dan tinggal bersama orang tuamu, kamu tak bisa membiarkan bentukmu keluar begitu saja… apalagi saat marah atau ketakutan.”
Ártica menarik napas dalam-dalam. Perlahan ia mendengar angin, suara binatang malam, dan aroma yang dibawa udara. Ia mencium bau puma itu lagi—masih dekat. Matanya menyala.
“Kucing itu masih di sekitar sini,” katanya cepat.
“Konsentrasi, Ártica…” ujar neneknya.
Tiba-tiba tubuhnya bergerak sendiri. Ia berlari, lalu berhenti menatap permukaan air. Di sana, ia melihat pantulannya: seekor serigala putih besar dengan mata abu-abu kebiruan.
“Apakah… itu aku?” bisiknya. Ia teringat rambut ibunya, hitam dengan sehelai putih di tengah. Sesaat kemudian, tubuhnya kembali ke bentuk manusia.
"Aku harus belajar mengendalikan ini. Aku tidak bisa muncul di depan teman-temanku seperti ini… Dia pasti akan ketakutan," batinnya.
Ia melangkah kembali ke rumah. Heran, karena tak sadar ia sudah berlari sejauh itu.
“Ártica, kamu baik-baik saja?” tanya neneknya, melihatnya kembali dengan kepala tertunduk.
“Tidak… aku tak pernah membayangkan jadi serigala,” jawabnya pelan.
“Jangan merasa seperti itu. Kamu tidak sendirian. Nenek juga sama sepertimu… hanya saja nenek adalah serigala abu-abu,” ujarnya lembut.
Ártica terkejut.
“Aku tak lagi punya tenaga untuk berubah… dan aku berhenti melakukannya karena orang-orang takut… dan memburuku. Itulah sebabnya kamu harus hati-hati kepada siapa kamu menunjukkan dirimu yang sebenarnya.”
“Tapi… keluargamu? Bukankah serigala selalu hidup dalam kelompok?”
“Aku diusir… Mereka menganggapku tak berguna karena tak bisa berubah dengan cara normal—dari manusia menjadi serigala. Tapi kamu berbeda. Kamu unik. Kamu punya aura yang membuat orang lain menghormatimu. Perubahanmu alami… Kamu hanya perlu belajar mengendalikannya. Kamu bisa membentuk keluargamu sendiri. Ingat… serigala selalu menjadi simbol pemimpin di dalam kawanan.”
Mendengar ucapan neneknya, Artica teringat pelajaran dari ibunya tentang sosok Alfa—pemimpin kawanan yang kuat, dihormati, dan ditaati semua anggota. Alfa dipilih karena kekuatan dan ketegasannya menjaga ketertiban.
"Pria berotot tanpa isi," pikirnya, teringat komentar ayahnya yang tampaknya tak terlalu menyukai sistem itu.
Namun, ayahnya juga pernah berkata bahwa yang terpenting bukan kekuatan, melainkan kerendahan hati, kecerdasan, dan kebijaksanaan untuk menjadi pemimpin sejati. Dulu Artica tak sepenuhnya memahami kata-kata itu tapi sekarang, perlahan, semuanya mulai masuk akal.
Saat merenungkan masa depannya, Artica akhirnya tertidur. Tapi tak lama kemudian, dia terbangun kaget saat merasa ada seseorang melompat ke arahnya.
“Hei!” teriaknya, melonjak dari tempat tidur. Di depannya berdiri seorang anak laki-laki berambut pirang, terpaku menatapnya.
“Siapa kamu?! Kenapa kamu tidur di tempat tidurku?” serunya kesal.
Tiba-tiba, Nyonya Leticia dan suaminya masuk tergesa, menyalakan lampu.
“Ada apa ini?” tanya Leticia cemas. Begitu melihat anak laki-laki itu, keduanya terbelalak.
“Luciano?! Apa yang kamu lakukan di sini? Kenapa tidak memberi tahu kalau kamu akan pulang?” tanya Tuan Gutierrez.
“Dan pakai baju, Nak!” sahut Leticia, melemparkan celana ke arahnya. Artica spontan membalikkan badan saat menyadari anak itu hanya memakai pakaian dalam. Wajahnya memerah saat Luciano buru-buru mengenakan celananya.
“Sejak kapan aku harus melapor? Ini rumahku juga. Aku baru saja selesai bekerja dan memutuskan pulang. Ponselku mati,” jelas Luciano dengan gugup, sesekali mencuri pandang ke arah Artica yang masih mengenakan jaketnya.
“Artica, ayo ikut. Biar dia ganti baju. Malam ini kamu tidur denganku,” kata Leticia sambil menarik tangan Artica keluar dari kamar.
“Siapa dia?” tanya Luciano cepat begitu mereka pergi.
“Haha!” tawa ayahnya meledak sambil duduk di tempat tidur. “Wajahmu itu... cocok banget difoto! Kaget lihat cewek cantik di tempat tidurmu. Bukankah kamu yang suka pamer soal cewek?”
“Jangan bercanda. Serius, siapa dia?” ulang Luciano.
“Dia tamu kita. Akan tinggal sementara selama neneknya dirawat di rumah sakit. Aku menyelamatkannya saat patroli di area yang banjir. Jadi bersikaplah baik. Dia bukan gadis biasa yang kamu kenal,” jawab ayahnya tegas, sambil mengangkat telunjuk sebagai peringatan.
Luciano menghela napas, mengenakan kemeja, lalu berjalan ke dapur untuk mengambil segelas air, berusaha menenangkan diri dari kekacauan barusan.
Di benaknya, terbayang kembali sepasang mata berkilau yang menatapnya dalam gelap—sungguh mengejutkan, sampai ibunya menyalakan lampu dan menampakkan sosok gadis pucat dengan rambut seputih kertas, tinggi badannya nyaris sepadan dengan bahunya.
“Halo, Nak. Aku sudah menenangkan Artica. Kamu membuatnya ketakutan. Tadi dia tidur di tempat tidurku bersama José. Aku nggak sadar kapan dia pindah ke sana,” ujar Leticia saat masuk ke dapur.
“Aku cuma rebahan, lalu tiba-tiba ada yang mendorongku. Matanya berkilau dalam gelap... aku yakin warnanya seperti cahaya putih atau kuning,” gumam Luciano.
“Benarkah? Matanya memang unik dan indah. Tapi tolong, bersikaplah baik. Dia sedang dalam masa sulit,” kata Leticia lembut.
“Aku mau tidur,” sahut Luciano dengan nada kesal.
“Jangan seperti itu... istirahatlah,” jawab ibunya pelan, menatap punggung anaknya yang mulai berjalan pergi.
Melihat tempat tidurnya telah ditempati Luciano dan Artica, Tuan Gutierrez memilih untuk tidur di kamar anak-anaknya. Ia duduk di ranjang José, dan ketika Luciano melihatnya, ia hanya menggeleng pelan.
"Aku temani kamu malam ini," ujar sang ayah sambil memejamkan mata.
Luciano menghela napas dan duduk di tempat tidur. Saat menyentuh bantalnya, ia mencium aroma lembut yang tertinggal—bau harum Artica.
Sedikit kesal, ia membalikkan bantalnya dan mencoba tidur.
Sementara itu, Nyonya Leticia berbaring memeluk José, matanya mengawasi Artica yang tertidur di ujung ranjang, tak bergerak sedikit pun.
***
Pagi-pagi sekali, seperti biasa, Luciano bangun untuk jogging. Saat menoleh ke luar jendela, matanya menangkap sosok serigala putih besar yang sedang berlari di trotoar. Ia menggosok matanya cepat-cepat.
Ketika melihat lagi, ia hanya melihat seorang gadis berambut panjang yang berlari menjauh, rambutnya berkibar di punggung.
"Aku berhalusinasi," gumamnya. "Sudahlah, waktunya olahraga."
Ia memasang earphone, keluar rumah, dan mulai berlari. Tak lama, ia melihat sosok gadis itu berlari mengelilingi blok. Ia mempercepat langkah, mencoba menyusulnya. Napasnya memburu ketika akhirnya berhasil sejajar.
“Kamu suka olahraga?” tanyanya sambil berusaha menarik perhatian.
“Ya,” jawab Artica, yang sebenarnya sudah menyadari kehadirannya sejak tadi dan diam-diam telah kembali ke wujud manusianya.
“Kamu lihat serigala putih tadi? Kayaknya aku melihatnya.”
“Enggak... aneh kalau ada serigala di kota,” jawab Artica berpura-pura tak tahu.
“Mungkin anjing ras. Tapi biasanya mereka berisik, suka menggonggong. Ini tadi sepi banget,” gumam Luciano sambil menoleh ke arah rumah tetangga. Ia melihat Great Dane yang biasa menggonggong padanya kini meringkuk ketakutan di pojok halaman.
“Aneh... biasanya dia galak,” lanjutnya.
“Mungkin dia lagi sakit,” sahut Artica tenang. Mereka tiba di depan rumah. Saat Artica masuk, Luciano memerhatikannya.
“Kamu pakai baju olahragaku,” komentar Luciano, menatap jaket yang dipakainya.
“Aku akan balikin... aku belum punya pakaian sendiri,” ucap Artica, sedikit malu.
“Selamat pagi, anak-anak. Kalian jogging ya?” sapa Tuan Gutierrez yang bersiap berangkat kerja.
“Iya, Pa, sekalian olahraga,” jawab Luciano.
“Artica, ibumu Leticia bilang soal orang tuamu. Kamu punya info? Mungkin aku bisa bantu mencarinya.”
“Di ranselku... seharusnya ada nomor kontak dan alamat,” jawab Artica cepat, lalu berlari mencari tasnya.
“Apa yang kamu pikirkan, Nak?” tanya ayahnya, melihat Luciano termenung.
“Ada yang aneh sama anjing tetangga. Biasanya dia menggonggong tiap aku lewat. Tapi tadi... dia kelihatan takut.”
“Mungkin dia udah terbiasa lihat kamu,” sahut ayahnya sambil menepuk bahunya.
“Ini ranselnya,” kata Artica sambil menyerahkan tas itu. Ia menunjuk bagian dalam tempat ia menyimpan dokumen.
“Alamatnya agak buram... tintanya luntur. Tapi nomor teleponnya masih bisa dibaca,” kata Gutierrez sambil mencatat. “Nieves Lobos... itu nama ibumu?”
“Ya! Dan ayahku bernama Julio!” jawab Artica penuh harap.
“Baik, dengan ini aku bisa mulai mencari. Kamu ingat nama daerah tempat tinggalmu?”
“Orang tuaku menyebutnya Padang Rumput Hijau... begitu biasa disebut.”
“Oke, itu cukup untuk petunjuk. Aku akan cari tahu. Sampai nanti ya.”
Luciano menoleh. “Bukannya kamu tinggal sama orang tuamu?” tanyanya penasaran.
Namun Artica hanya menatapnya tajam, tak menjawab. Ia tak ingin berbagi apa pun dengannya, ia masih belum menyukai cara Luciano memperlakukannya.
“Artica, kamu mau sarapan apa? Ada sereal... atau susu,” tanya Nyonya Leticia dari dapur.
“Aku mau susu,” jawab Artica singkat.
“Oke, kita sarapan dulu. Habis itu kita ke pusat perbelanjaan, beli pakaian untukmu. Nanti siang, kita jenguk nenekmu di rumah sakit, ya.”
Artica mengangguk pelan. Ia merindukan neneknya dan tak sabar untuk menemuinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments