KETIKA SUAMIKU BERUBAH HALUAN
"Ibu capek dengan semua ini pak..!!" ucapku lirih ketika kami baru saja merebahkan tubuh di atas dipan kayu yang sudah tua
"Harus bagaimana lagi bune.. kita tidak punya jalan lain..?" jawab suamiku
"Kenapa sepertinya, sekeras apapun kita bekerja tetap saja tak pernah cukup..?? kapan kita bisa hidup enak pak..? ibu juga pingin seperti orang orang itu pak , seperti para tetangga.. punya perhiasan, punya motor bagus..??!!" tanpa terasa air mata ku mengalir membasahi pipi. ku pejamkan mata demi menahan rasa perih di dada.
kilasan kilasan semua perjalanan sepanjang pernikahan kami hadir di depan mata, berputar satu persatu seperti sebuah slide film yang di putar di bioskop
Delapan belas tahun yang lalu, awal perjalanan pernikahan ku dengan suamiku yang hingga kini masih menemani hidupku ini.
semua terasa indah , semua terasa mudah, walaupun kami hanya petani , tetapi hidup kami tak pernah kekurangan.
apalagi setelah kelahiran anak pertama kami, suamiku yang juga bekerja sebagai buruh tani, setiap hari selalu mendapat kan pekerjaan. hingga dapur kami tetap mengepul tiap hari
Satu satunya yang kurang dari kami adalah karena kami masih tinggal dengan orang tuaku,. setiap hari selalu adaaa saja pertengkaran di antara kami. entah memang benar atau kah hanya perasaanku saja , aku selalu merasa ibu tak pernah menyayangimu, perlakuan ibu pada ku sungguh jauh berbeda dengan perlakuan nya pada dua saudara lelaki ku. aku tak tahu apa sebabnya, mungkin juga karena aku yang terlahir tak sesempurna dua saudara ku. walaupun anggapan ku itu terkadang bertolak belakang dengan hati nurani ku. bahwa tak mungkin ada di dunia ini seorang ibu yang tak menyayangi anaknya. apapun keadaan anaknya.
Di tahun kedua usia anak ku, aku memilih mengikuti suamiku yang mengajakku pulang kerumahnya kedua orang tua nya, dengan dalih semua garapan orang tua suamiku ada di sana, sawah dan kebun. yang katanya sekarang menjadi tanggung jawab suamiku.
aku pun lebih menurutinya, karena sejujurnya saja aku ingin menghindari lebih banyak bertengkar dengan ibuku, ibuku yang bicaranya selalu nyelekit, dan aku yang tidak bisa mengendalikan emosi diri, seringkali terlihat seperti api dan bensin.
sejujurnya saja aku juga masih takut dosa, terlebih aku takut terlewat membenci ibuku dan akhirnya menjadi durhaka.
Rumah mertuaku sangat kecil, bahkan masih terbuat dari bambu, walau kalau aku melihat sebenarnya itu adalah rumah yang bagus kalau dilihat dari kayu yang digunakan sebagai penyangga bangunan rumah tersebut. Hanya orang yang matanya jeli saja yang bisa melihat itu, dan aku segai seorang anak yang ayahnya bekerja sebagai tukang kayu jelas bisa membedakan hal itu
tapi kalau di lihat dari luar memang kurang layak jika aku dan suamiku serta anakku ikut tinggal di sana. rumah yang sebenarnya luas tampak sangat sempit dengan segala macam tetek bengek yang dimasukkan oleh ibu mertuaku kedalamnya.
mungkin juga karena mereka berdua memang sudah renta dan tak lagi bisa menata rumah agar terlihat rapi .
Tak masalah, aku yang akan merapikan nya nanti. bukankah itu juga gunanya suamiku membawaku ke sini. agar bisa ikut merawat ayah mertuaku yang tak lagi bisa bekerja.
Aku sungguh ikhlas dengan apa yang akan aku lalui dalam hidupku setelah ini.
dan aku juga berdoa supaya anakku kerasan tinggal di rumah ini, walaupun keadaannya, dan juga lingkungan sini yang jauh berbeda dengan keadaan dan lingkungan di daerah tempat tinggal orang tuaku.
Sore itu dengan diantarkan oleh ayahku, aku berangkat mengikuti kehendak suamiku, yang sebenarnya juga menjadi kehendak ku sendiri, sungguh aku tak ingin lagi ada ketidak cocokan antara aku dan ibu, mungkin dengan seperti ini ibu akan merindukan ku.
hah aku jadi teringat kala aku masih bekerja sebagai pembantu rumahtangga di Surabaya. dulu sekali , sebelum aku menikah dengan suamiku. aku bahkan pernah menulis dalam buku diary *.jika segala yang ada di dunia ini bisa di beli dengan uang, Ibu ... ingin ku beli kerinduan mu..!!* yaah karena waktu itu aku bisa mendapatkan uang setiap bulan yang sebagian selalu kukirimkan ke rumah.
Sesampai di rumah mertuaku, sungguh aku sebenarnya sangat malu pada ayah yang mengantarku, begitu turun dari sepeda motor , ayah bahkan tak langsung masuk ke dalam, aku menoleh padanya, ada yang menggantung di sudut matanya, seakan tak rela jika harus membiarkan ku tinggal disana
"Ayo masuk yah.. ." aku menggandeng tangannya , sambil juga menggendong anakku. iya aku sangat ingat, ayahlah paling menyayangimu, melebihi rasa sayangnya pada dua adik lelaki ku. ayah juga yang sebelumnya paling keras menolak kepindahan ku ke rumah mertua.
Hanya saja ayah merasa tak lagi berhak untuk menahanku, karena ayah sadar aku telah menikah, dan seluruh tanggung jawab atas diriku sudah berpindah pada suamiku.bahkan ayah sempat berpesan " Ikutlah dengan suamimu nduk, ayah merelakan mu, tapi jika suatu saat kau merasa tidak kerasan tinggal bersama mertua mu, ingatlah , pintu rumah ayah tetap terbuka lebar untuk mu, jangan pernah ragu atau takut untuk kembali.! " begitu saat aku berpamitan tadi, tak pelak air mata mengucur deras di pipiku, aku memeluk ayah erat, aku mengangguk dalam dekapannya, "Tentu saja yah.. aku sangat menyayangi ayah , terimakasih untuk seluruh kasih sayang ayah selama ini !" ucapku sesenggukan.
" ayo berangjat nduk suamimu sudah menunggu ..!" ucap ayah sambil menyeka air matanya,
"Iya yah.. Jangan menangis lagi yah.. Ayah harus yakin aku bisa bahagia , aku anak ayah yang ayah didik untuk menjadi kuat, dan aku pasti akan membuat ayah bangga !" ujarku sambil tersenyum bwrharap ayah akan melepasku dengan ikhlas, setelah itu barulah ayah mengantarku tadi.
"Yah...!" aku menggamit tangan ayah. membuatnya seolah tersentak dari lamunan.
"Iya nduk kita masuk..!" jawabnya lalu mengikuti langkah ku.
di dalam kedua mertuaku sudah menunggu sambil duduk di tikar pandan yang terlihat sudah usang. lengkap sudah rona kekecewaan di wajah ayah. Ayah memang pernah datang kesini dulu pada saat hendak acara tujuh bulanan kehamilanku. tapi tentu saja ayah tak pernah menyangka bahwa akan melepaskan untuk tinggal di rumah ini.
Apalagi dulu yang berhajat menikahlah suamiku bukan lah mertuaku , melainkan kakak kedua suamiku, dengan alasan mertua sudah tua dan tak mampu mencukupi biaya, itupun acara pernikahan kami yang di adakan di rumah kakak sangatlah sederhana, sangat jauh berenda dengan uang digelar ditempat orang tuaku
"Monggo di unjuk pak e Mia..!" (silahkan diminum ayahnya Mia) ibu mertuaku menyuguhkan segelas teh hangat untuk kami
"Matur suwun (terimakasih) Mbah " jawab ayahku. setelah itu kamipun terlibat obrolan basa basi, dan setelah itu ayahku berpesan yang intinya menitipkan aku pada mertuaku, ayah bahkan meminta mereka untuk menyayangimu seperti anak mereka sendiri. sebelum akhirnya ayah berpamitan pulang.
"Ingat pesan ayah nduk..!!" ucap ayah saat sudah duduk di atas sepeda motornya
"Iya yah.. jangan khawatir, !!" jawabku sambil mencium tangannya takzim
"Ini jalan yang sudah kau pilih nduk, ayah tidak menahanmu, kedepannya hadapilah apapun dengan tegar, ayah hanya bisa berdoa yang terbaik untukmu, hanya saja ingat pesan ayah kapanpun kau dalam kesulitan, ingatlah kau masih punya ayah .!!" ucapnya sambil menyeka setitik butiran kristal di sudut matanya
"Iya yahh.. iya.. Mia ingat , terimakasih yahh.. dan jangan lupakan Mia dalam doa ayah.." punyaku
"Ya sudah ayah pulang yaa..?" ucapnya kemudian menstarter sepeda motornya
"Hati hati di jalan yah.., sudah hampir maghrib.!" pesanku. setelah itu ataupun berlalu
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 18 Episodes
Comments