Flashback
Setelah makan siang di kantin dan memberikan sebungkus nasi kepada ibu, aku menyalakan Hape yang sedari tadi pagi dicharger. Agaknya sudah banyak notif di dalamnya.
Sambil menunggu Hape menyala aku mengobrol pada ibuku.
"Ada resep lagi nggak bu.??"
"Enggak nduk." jawabnya.
Bagaimana tidak setelah menjebol tabungan untuk membeli obat, habis sekitar dua juta enam ratusan, berharap obatnya bertahan sampai besok.
Kulihat sudah ada beberapa panggilan dari Dina, mbak Vivi, pak Heri bahkan mas Hanif. Kuhela nafas panjang sepertinya mereka khawatir denganku.
Aku mendial no Dina, karena jam segini mungkin dia masih makan siang.
"Hallo Lin, astagaa, dari subuh gak aktif hapenya."
"iyaa maaf yah baru sempet ngecharger setelah pindah ke ICU."
"Haaah gimana Lin, ICU..kenapa harus dimasukan ICU bukannya cuma Operasi tulang yahh."
"Sebenarnya memang awalnya cuma pergeseran tulang lutut, tapi kesadaran ayahku mendadak turun. Setelah diperiksa ada pembekuan darah dikepala jadi harus dioperasi."
"Ya ampunn yang sabar yah Lin, gue dan kawan-kawan bantu doa yah."
"Makasih ya Din."
"Iyaa sama-sama kalau butuh apa-apa telp gue langsung gak pake lama yah."
"Inshaalloh, pasti Din makasih banget."
"Okee makan yang banyak, jangan stres yah, bye."
"Hemm, bye bye.."
Setelah mendapat telp dari Alin, Dina segera menghubungi Hanif hanya sekedar berbagi informasi.
~•~••~
Flashback Off
"Telphon sapa nduk."
"Dina Buk, udah dari pagi telp Alin terus."
"Owhh iyaa."
"Ehhm ibu ijin kerja berapa hari." tanyaku.
"Sebenarnya ibu sudah lama dirumahkan Lin, karena umur ibu sudah hampir 45, sepertinya akan ada PHK."
"Enggak apa-apa ibu, nanti ikut ke surabaya saja ibu bisa buka warung."
"Ide bagus tuh Lin, tapi kan kalau ayah masih sakit gimana."
"Yah mana mungkin ayah bisa kerja bu, mending ayah pensiun ikut ke surabaya, gaji Alin juga lumayan."
"lihat bagaimana nanti yah nduk." jawab ibuku, akupun mengangguk.
Sore harinya.....
Sejam lagi Tirai kamar ruangan ayah dibuka, aku begitu menantikan saat itu karena hanya beberapa kali bisa melihatnya dalam kondisi terbaring lemah.
Namun saat aku terlarut dalam lamunanku, ada yang memanggilku. Suaranya begitu aku kenali sejak dua hari yang lalu bertemu.
Aku mengucek mataku siapa tau memang aku yang salah lihat, ternyata tidak berubah.
"Pak Rei,.kenapa bapak ada disini."
"Mau lihat kamu."
Mulut ku menganga tak percaya dengan apa yang aku dengar. Apakah bos ku itu habis kebentur tembok cina sehingga agak sedikit ngelantur.
"Ehhhm ibu ini Pak Rei atasan Alin." kukenalkan pak Rei pada ibuku yang sedari tadi memperhatikan kami.
"Walah pak kenapa repot-repot jenguk segala, mari duduk sini." ucap ibu sopan.
Pak Rei hanya tersenyum tidak bersuara.
Tampilan Rei kini sedikit berubah, pakai celana jeans pendek kaos polo hitam. Terlihat semakin Muaanisss bagiku.
"Ehh, apaan sihh." batin ku
Tak lama kulihat tirai kamar di ICU sudah dibuka, aku langsung berlari menuju tempat ayahku terbaring. Tak kuingat pada Bosku yang tiba-tiba datang.
Tapi saat tengah larut dalam pemikiranku, dia menghampiriku di depan kamar tersekat kaca.
"Kok menurun semua tanda vitalnya." ucapku lirih, tak ingin ibuku sampai mendengar.
Ternyata salah bahkan pak Rei mendengarnya. Kulihat ibu mendekat padaku.
"Gimana nduk, sudah baik kan ayah." tanyanya aku mengangguk pelan.
Tak lama suara speaker pengumuman berderit.
"Panggilan untuk keluarga Tn. Zulfikar mohon menuju ruang perawatan."
Aku menoleh kearah ibuku, dan pak Rei tetap mengawasi gerak gerik kami.
"Biar Alin aja yah paling ada resep." kataku dan ibu menyetujuinya.
Kemudian aku masuk keruang perawat, benar saja suster mengatakan kondisi bapak menurun, dan sudah lapor dokter besok pagi akan di foto kepala ulang untuk melihat hasil operasi.
Lalu suster memberiku resep untuk ditebus, aku secepat mungkin akan menebus obat supaya segera diberikan kepada ayah.
"Biar saya yang tebus obatnya kamu tunggui ibumu kelihatan ibumu sedih." potong pak Rei yang bahkan tidak aku sadari keberadaannya. Aku memberikan lembaran resep itu.
Setelah kurang lebih 20 menit kemudian dia kembali dan menyerahkan satu kresek obat-obatan, lalu kuberikan kepada suster.
Kebetulan jam kunjung keluarga untuk pasien ICU sudah selesai.
"Apa tidak ada ruangan khusus untuk kalian beristirahat." tanyanya padaku saat aku kembali dari ruang suster.
"Ya disini pak tempatnya,." jawabku.
"Lalu kalian juga tidur disini, maksudku secara terbuka." tanyanya dan akupun mengangguk.
Kulihat dia seperti memikirkan sesuatu, entah apa aku tidak tahu.
"Sebenarnya bapak ada urusan apa kesini, maaf jadi merepotkan." ucapku, yang tak sengaja membuat dia sedikit kecewa.
"Kamu mengusirku Alin."
"Bukan begitu pak, disini masih tidak ada tempat untuk menjamu tamu karena ruang ICU terpisah dari ruang keluarga. Saya tidak enak pada bapak." jelasku, dia sedikit tersenyum.
"Tak apa asal aku bisa melihatmu baik-baik saja."
"Hahh." ucapanku terpotong saat dia tiba-tiba menarik tanganku dan berpamitan pada ibu membawaku ke kantin. Aku pasrah mengikutinya.
"Pak tak seharusnya bapak begini, maaf." kataku sambil melepaskan tanganku.
"Kenapa memangnya."
"Bapak atasan saya, saya tidak enak."
"Kumohon saat diluar kantor kamu harus menganggapku seperti teman bukan atasan."
"Tapi kenapa pak, bahkan kita baru 2x bertemu."
"Entahlah aku merasa seperti selalu ada yang menarik kearahmu." ucapnya, aku sedikit bingung. "Sudah jangan banyak berfikir." lanjutnya
Aku menghela nafas panjang sekali, disatu sisi aku bingung kenapa dia tiba-tiba mendatangi ku, tapi disisi lain ada sedikit rasa senang melingkupi perasaanku.
"Tapi pak nanti orang tua bapak nyariin." kataku yang membuatnya menyorot tajam kepadaku.
"Sebenarnya orang ini kenapa sih"batin ku.
Kami menyelesaikan makan malam, aku membelikan sebungkus untuk ibuku.
"Bapak malam ini tidur di hotel mana."
"Disini lah bersama mu."
"Jangan bercanda pak."
"Bisa tidak untuk gak manggil bapak."
"Enggak, nanti didengar orang gak pantas."
"Justru itu kamu manggil aku bapak, dikira nanti aku ini nikah sama ibumu."
Aku menoleh kearahnya lalu, berfikir dan memang ada betulnya sih.
"Yaa tapi kan bapak atasan saya."
"Itu berlaku dikantor diluar,. bukan."
"Baiklah.. Mas aja yah gak papa kan." tanyaku, lalu dia tersenyum.
"Itu lebih baik."
"Jadi selama ini kamu sudah habis berapa untuk tebus obat bapakmu." Lanjut nya, aku menoleh antara ingin ku jawab dan tidak.
"Hampir 5jt an pak, beruntung kamar dan biaya operasi ditanggung Asuransi. saya juga masih ada tabungan kok." jelasku setelah berfikir cukup lama.
*
*
Keesokan harinya
Ternyata ucapan mas Rei bukan isapan jempol, dia ikut memilih tidur di ruang tunggu bersama kami dengan posisi terduduk. Sedangkan aku dan ibuku menggelar karpet dibawahnya.
Bayangkan seorang putra Reswara yang konglomerat tidur beralaskan lantai dingin rumah sakit, enggak banget kan.
Setelah membersihkan diri dan sarapan kudekati dia.
"Mas.. Kenapa mas Rei repot-repot kesini bahkan menginap disini, kita hanya sebatas rekan kerja."
Reizan menghentikan kunyahannya lalu memandang gadis disebelahnya.
"Entahlah, aku hanya ingin bersamamu dikantor pun pikiranku selalu kearahmu."
Aku meletakan telapak tanganku di dahinya.
"Kamu enggak sedang demam kenapa kok ngigau."
"Kamu pikir aku sakit gitu." jawabnya ketus.
Aku tertawa melihat dia sedikit masam.
"Baiklah, kita berteman kan sekarang."
Hari ini kulihat kondisi ayahku sudah lebih baik, meskipun tanda vitalnya masih belum normal setidaknya kata suster dari hasil foto rontgen sudah tidak ada pembekuan darah.
"Semoga ayah segera sadar, hasil fotonya bagus." kataku pada ibuku yang sedang memandangi ayahku.
Tak lama setelahnya, kami kedatangan tamu lagi. Mas Hanif dan keluarga. Mbak Eva memeluku, memberikan dukungan.
"Yang sabar ya dik."katanya.
"Loe ngapain udah dimari aja Rei." ucap mas Hanif.
"Hemmmm." Rei menyahut dengan geraman, sedangkan mas Hanif terlihat mengulum senyum.
"Gimana kondisinya Lin.?" tanya mas Hanif.
"Sudah lebih baik mas, tinggal menunggu sadar. Hasil fotonya sudah bagus."
"Syukurlah, semoga cepat pulih juga yah Lin."
"Iyaa mbak., ini anak-anak ikut mbak Alin beli jajan dikantin yuk." ajak ku pada anak mas Hanif dan mereka dengan semangat mengikutiku.
Aku memilih meninggalkan mereka, karena aku tak mau mendengar ocehan mas Hanif yang terkesan menggoda mas Rei.
Bukannya aku ke ge'eran tapi aku juga merasa senang ada mas Rei disini. Belum pernah ada lelaki yang sedekat ini padaku. Karena sebelum-sebelumnya aku memilih untuk tidak memiliki hubungan dengan makhluk yang namanya lelaki.
Bukannya trauma atau takut pada kaumnya, hanya saja aku ingin tetap fokus bekerja sambil kuliah. Dengan adanya lelaki aku yakin semuanya tidak akan pernah selancar ini.
Karena usiaku juga sudah cukup, aku ingin membuka hati pada lelaki. Bukan pada mas Rei juga, secara kasta kita berbeda. Aku pasrahkan jodohku pada Tuhan.
~
~
~
My Lovely pak Bos.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments