Hope

Setelah 1Jam lamanya di dalam kamar operasi, akhirnya operasi telah selesai. Waktu menunjukan pukul 23.15 perawat membawa Ayah menuju ruang pemulihan, aku dan ibu tetap menunggu di ruang tunggu sampai besok.

Sampai subuh menjelang aku terbangun dengan posisi tetap terduduk dan menjadi bantalan ibuku.

Sepertinya ibuku cukup letih selama menunggui ayah tidak ada yang menggantikannya. Karena aku merupakan anak tunggal. Sedangkan saudara ayah atau dari ibu pun tak mungkin dapat menggantikan menunggui ayah.

Aku membangunkan ibuku dan meminta untuk membersihkan diri, aku memilih untuk pergi mencari sarapan untuk kami berdua.

Saat kembali dari kantin kulihat ibuku tengah dipanggil suster, dan ibu membawa selembar resep.

"Nduk ada resep, kata suster bapak belum sadar jadi akan dipindahkan ke ICU untuk monitor." katanya, aku menganga tak percaya namun kucoba berekspresi tetap tenang, agar tidak membuat panik ibuku.

Kulihat ibuku seperti sedang menahan tangis, kuraih resepnya dan kuberikan sarapan untuknya.

"Yasudah biar Alin yang tebus obatnya yah bu, ini sarapan dulu biar tetap kuat jaga bapak." ucapku, ibuku mengangguk dan menerima bungkusan nasi.

Aku bergegas menuju apotik sesuai perintah dari suster, namun ada obat yang tidak ditanggung Asuransi. Beruntung aku masih punya tabungan jadi tidak ada masalah buatku.

Sambil menunggu racikan obat selesai, kucoba membuka HP sebentar. Setelah kuperiksa aku terkejut saat melihat notif panggilan tak terjawab dari mas Hanif.

"Ada apa sampek 5 panggilan." monologku, lalu kukirim pesan kepadanya.

Mas Hanif

"Ada apa mas telp Alin"

Terkirim

*

Lalu kudengar petugas apotik memanggil dan kumasukan HP ku, setelah menerima obat aku kembali ke ruang pemulihan ayah.

Sesampainya di ruang pemulihan aku memberikan obat-obatan yang sudah ku tebus, dan mencoba menanyakan kondisi ayahku.

"Ehmm sus, bagaimana kondisi ayah saya."

"Mari silahkan duduk mbak, saya jelaskan. Jadi nanti jam 7 akan dipindah ke ICU seperti yang sudah disampaikan ke Ibunya mbak."

"Kalau boleh tau, untuk biaya perawatannya bagaimana sus.??" tanyaku

"Sementara masih ditanggung Asuransi kerja Bapak namun ada beberapa obat yang mungkin tidak bisa djamin, terpaksa harus beli sendiri."

"Ohh gitu yahh sus, ehm baiklah terima kasih banyak yah sus."

"iyaa sama-sama."

Setelah bertanya banyak aku merasa lega, karena biaya perawatan ICU ayah dapat jaminan dari Asuransi, mengingat kamar perawatan di ICU pastilah butuh banyak biaya.

Aku menghampiri ibuku yang sudah selesai sarapan, ada waktu 30 menit sampai ayah dipindah ke ICU, kucoba nikmati sarapanku agar aku tetap bertenaga.

Satu jam kemudian

Setelah pemindahan ayahku menuju tuang ICU kini aku dan ibu berada ditempat khusus ruang tunggu keluarga pasien yang berada diruang ICU.

Kami mencari tempat yang masih kosong untuk ditempati.

Untuk melihat langsung kondisi ayah Jendela kamar ICU akan dibuka dijam tertentu, diluar itu kami hanya bisa menunggu dan fokus pada speaker pemberitahuan.

Kebetulan Hpku lowbatt jadi kuisi daya saat mendapat tempat untuk beristirahat.

Dilain tempat.

Setelah membaca pesan dari Alin, Dina terkejut dan bahkan mencoba untuk menghubunginya kembali namun tidak tersambung. Begitu juga pada Hanif yang sudah mencoba menghubungi Alin namun Hp Alin sedang tidak aktif.

Dia mencoba menyambungkan interkom ke ruangan Dina.

"Hallo Dina."

"Iya mas Hanif, ehh pak Hanif "

"Hemmmm."

"Hheheh maaf, Ada apa pak."

"Kamu tahu kabarnya Alin dari pagi gue hubungin kok gak aktif hapenya."

"Lahh iya dong mas, aku juga dari tadi gitu, itu anak ngilang entah kemana."

"Kamu juga gak tahu kemana Alin"

"Hemm, dia ngabarin kalau ayahnya kecelakaan trus semalem dioperasi pak, trus sampai sekarang gimana kondisinya belum tahu aku, coba pak Hanif tanya ke Divisinya mungkin dia sudah ijin ke PJ."

"Iyaa gue lupa kenapa gak kepikir kesana yasudah terima kasih."

"sama-sama"

Tuuuttt...

Saat akan menyambung interkom divisi keuangan, nyatanya justru interkomnya berdering.

"Yahh hallo, dengan Hanif bisa dibantu."

"Keruangan gue sekarang."

"Astaga belom juga dapet info udah panggilan alam, yasalammmm." monolog Hanif, lalu menuju ruang pak Bos.

Saat masuk kedalam ruangan bos, Hanif sudah menghela nafas kasar. Sekurang kerjaan dia sampai harus cari info sedang apa Alin.

"Apa boss, berkas gue masih numpuk sekarung."

"Kerjakan nanti Nif, perintah gue sudah elo laksanain." sahut Rei.

"Tuh bocah gak bisa dihubungin, bahkan teman sekosannya hilang kontak, tinggal nyariin posisi black box aja bos." ucap Hanif.

"Loe kira pesawat hilang."

"Yahh habisnya kerjaan gue gak kelar gara-gara nyariin Alin, lagiann...." ucap Hanif terpotong sambil menyorot matanya tajam ke arah sang boss.

"Apaaa..." sahut Rei tak kalah ketus.

"Ngapain loe sibuk cari tahu tentang Alin, loe gak ada maksud tertentu kan, atau jangan-jangan elo suka Alin yahhhh.." goda Hanif.

Rei tak bergeming, bahkan wajahnya tetap menampakan wajah dinginnya.

"Gue cuma punya firasat dia sedang tidak baik-baik saja, just it."

"Hemm okay gue percaya, dikit." jawab Hanif sambil menjentikan jarinya, lalu dia meraih gagang interkom milik sang bos.

"Hallo Vivi keruangan bos sebentar."

"Oke boss"

Setelah sekitar 10 menit orang yang ditunggu datang, dan mengetuk pintu sang boss.

"Bapak manggil saya." Ucap Vivi, lalu Hanif mengangguk dan mempersilahkan dia duduk.

"Apakah Alintha tidak bekerja hari ini Vi."

Vivi mengangguk santai, dia bahkan sudah melaporkan kepada HRD namun kenapa sampai pimpinan mempertanyakan keberadaan Alin.

"Saya sudah lapor HRD pak, dia sudah ijin lewat saya ada kepentingan keluarga."

Mendengar jawaban formal dari Vivi, dahi Rei mengernyit.

"Kepentingan yang seperti apa sampai tidak masuk kerja." ucap Rei sedikit tegas. Hanif menoleh kearahnya, menyunggingkan bibirnya.

Ada niatan untuk menggoda atasannya itu.

"Kalau cuma lamaran saja buat apa sampai tidak masuk kerja, ijin dadakan. Apa dia dinikahkan paksa oleh orang tuanya." ucap Hanif, bahkan Vivi dan sang bos pun sontak kaget.

Hanif melirik sang bos, ekspresinya berubah menjadi sedikit masam, dalam hatinya tertawa senang.

"Maksud pak Hanif Alin Lamaran gimana yah saya tidak paham." sahut Vivi sedikit bingung.

"Katamu Alin ijin kepentingan keluarga." jawaban dari Hanif membuat Vivi mengerti.

"Oww maksud saya bukan kepentingan keluarga yang seperti itu pak."

"Lalu apa Vi." potong Rei cepat.

"Dengerin dulu elahh, gak sabaran amat. Lagian biarin aja si Alin dinikahin paksa juga bukan urusan kita." Celetuk Hanif semakin membuat Rei tersungut emosinya.

Vivi memijat pelipisnya yang berkedut, entah ada apa sampai berita Alin terdengar ketelinga atasan.

"Tapi Alintha tidak sedang menikah pak Hanif, Ayahnya sakit mendadak dan dirawat dirumah sakit."

Rei yang mendengar penjelasan dari bibir Vivi akhirnya bisa melonggarkan pernafasannya yang tercekat.

Hanif meliriknya tersenyum simpul.

"Astagaa saya kira dia dinikahin secara dia pulang tiba-tiba." ucap Hanif sedikit mendramatisir.

"Tidak pak, ayahnya Alin kecelakaan dan harus dioperasi semalam, sampai sekarang saya belum bisa menghubungi dia." jelas Vivi.

"Baiklah Vivi terima kasih infonya." Balas Hanif, lalu Vivi meninggalkan ruangan bos nya itu.

"Puas loe ngerjain gue hahh." ucap Rei sedikit bernada tinggi.

"Hahhahahahh, belom sebelum Alintha benar-benar sudah nikah baru puas gue liat kebegokan elo."

"Ehemm." Reizan berdehem guna mengurangi kecanggungannya.

"Yah biarin aja dia nikah ngapain elo jadi puas ngerjain gue." lanjutnya sedikit terbata.

"Kalau cinta ngaku jangan sampai keduluan orang, entar nangis gulung-gulung." ceplos Hanif lalu merogoh Hapenya yang bergetar.

"Hallo mas hanif, gue udah dapat kabar dari Alin"

"Gimana Din"

"Ayahnya sudah selesai di operasi, sekarang masih di ICU karena belum sadar dari tadi malam."

"Okee makasih yah Dina infonya."

Klikkkk.

Mendapat kabar dari Dina entah mengapa dada Hanif serasa sesak, dia sudah menganggap Alin seperti adik kandungnya sendiri.

"Hallo Ma kamu siapkan pakaian kita dan anak-anak sepulang kerja kita langsung ke Malang."

"Horeee kita liburan"

"Jangan seneng, bukan liburan kita jenguk ayah Alin masuk ICU"

"Hahhh apaaa, innalillahi, tapi gak papa kan Pa"

"Makanya besok kita jenguk yah."

"Siapp pa."

Tuuuuut tuuut tuuut

Rei yang mendengar percakapan Hanif di telp bingung dan menunggu sang asisten menjelaskan kepadanya.

Hanif tersadar lalu dia menoleh kearah bosnya yang tengah bersendekap dada.

"Sooo."

"Entar gue kabarin, gue samperin Alin ke tempatnya karena gue juga ingin langsung lihat kondisinya." jelas Hanif.

"Bapaknya masuk ICU belum sadar sampai sekarang." lanjutnya karena masih melihat sang bos tak berekspresi, lalu dia meninggalkan ruangan bosnya.

Sementara itu Rei, yang ditinggalkan masih tercengang. Entah apa yang membuat dia begitu penasaran pada gadis itu. Dia berdiri didepan jendela dan berjalan mondar - mandir kebingungan.

Mencoba mengalihkan dengan mengerjakan pekerjaan namun tak bisa, pikirannya tetap berada pada bayangan wajah gadis yang sangat teduh dipandangnya.

Bahkan saat membayangkannya pun jantungnya bergejolak, berdegup kencang.

Seorang Reizan Danish kini begitu penasaran dengan seorang gadis, yang notabene merupakan karyawannya sendiri bukan dari kalangan orang elite.

Rei menanyakan dimana ayah Alin dirawat, dan langsung meninggalkan kantor meluncur ke tempat Alin berada.

My lovely Pak Bos

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!