..."Sungguh, percayalah bahwa rasa cinta ini milik Allah, maka tuan rumah terbaik hanyalah Allah. Serahkan semuanya kepada Allah, karena Allah tidak akan membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya."...
Suasana hari ini cukup tenang. Tidak panas dan tidak pula turun hujan. Gumpalan sutera bercampur dengan biru menaungi tempat berpijak.
Gadis dengan piyama tidurnya itu masih menyusuri setiap jalan. Terdengar suara langkah kaki yang beradu menyerang aspal. Napasnya mulai tak beraturan, peluh mengucur di dahinya yang tak sedikitpun membuat Aida terusik. Kerudung cokelat muda yang dikenakannya sedikit tersingkap akibat tertiup oleh angin. Sesekali ia tersenyum ketika berpapasan dengan orang-orang yang lalu lalang di sekitarnya.
"Alhamdulillah. Sedikit lagi sampai." Napasnya terpongah-pongah. Punggung telapak tangannya mengusap peluh yang bercucuran membasahi sebagian wajahnya. Di hadapannya telah terpampang bangunan tua berwarna hijau dengan pagar hitam yang di sekeliling rumahnya ditumbuhi tanaman hias.
Selangkah dari pagar rumahnya, Aida terkejut saat ia melihat beberapa mobil yang sudah terparkir di halaman rumahnya. Apakah itu mobil dari seseorang yang telah menunggunya?
Namun, sesaat ketika ia akan masuk ke dalam rumah, Aida seperti tak asing dengan salah satu mobil yang terparkir di halaman rumahnya. Ya, sepertinya ia pernah melihat mobil silver itu, tapi di mana?
"Aida." Belum mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang bersarang di benaknya, suara bariton dari pria paruh baya itu menyadarkan Aida dari lamunan singkatnya. Aida menoleh pada sumber suara tersebut. Tak lama, senyum simpul terbit dari bibir manis Aida.
"Ayah." Zulkifli. Ya, ialah pria yang menjadi cinta pertama bagi Aida. Pria yang tak pernah kasar bahkan membentaknya. Pria yang penuh kasih dan selalu membela Aida. Bahkan, ketika Aida mengetahui bahwa ia akan dijodohkan, Aida merasa sungkan kepada sang ayah untuk menolaknya. Takut akan setiap hal yang diambil membuat kecewa serta sedih kedua orang tuanya.
"Kenapa berdiri di situ saja? Masuklah!" titahnya seraya berjalan menghampiri putri semata wayangnya. Sedetik kemudian, tangan keriput yang telah dimakan usia itu menggamit telapak tangan Aida dan membawa ia masuk ke dalam.
"Assalamualaikum." Aida dan ayahnya berdiri tepat di ambang pintu. Pasangan suami istri itu? Oh, ya. Mereka adalah orang tua dari mas santri yang akan dijodohkan dengannya. Bagaimana ia bisa lupa, wajah mereka selalu terbayang-bayang dalam benaknya.
"Waalaikumus salam, Nak Aida." Umi Salamah mengulum senyum ramah kepada Aida. Namun, pemuda yang duduk di sebelah uminya itu, sepertinya Aida tak asing dengan postur tubuh itu. Tunggu. Tidak salah, sepertinya Aida pernah melihat postur tubuh dan pakaian itu beberapa menit yang lalu. Ya, benar. Namun, apakah ini hanya dugaannya saja? Ah entahlah, Aida juga belum melihat langsung wajah calon suaminya.
Untuk memastikan, lagi-lagi gadis itu mengernyitkan keningnya. Berpikir keras, seperti ada yang mengganjal di otaknya. Aida mencoba untuk mengingat-ingat kembali postur tubuh yang tak asing itu. Perlahan, pemuda itu menoleh ke arahnya. Sontak Aida terperanjat saat menatap wajahnya. Mulutnya sedikit ternganga, kornea matanya membulat sempurna. Oh Allah, jantungnya seperti telah berhenti berdetak. Tidak. Tidak mungkin, semua ini hanyalah mimpi. Sadar Aida, sadar!
"Assalamualaikum, Ai--." Wajah tampan itu seperti menghipnotis Aida. Tubuhnya membeku. Keduanya sama-sama membatu. Tak kunjung bergeming. Sedangkan Aida masih berdiri di ambang pintu, tak kunjung melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam rumah.
"Ka--kamu." Sayup-sayup mulut Aida mengeluarkan kata-kata walaupun kaku dan kelu.
"Kamu?" Begitu juga dengan pria itu, ia memasang wajah terkejut saat pertama kali menatap Aida. Bagaimana tidak, gadis yang akan dijodohkan dengannya adalah gadis yang hampir saja ia tabrak. Telapak tangan Aida perlahan meremas pelan piyama tidur yang dikenakannya. Gadis itu mencoba untuk menetralkan napasnya, menghilangkan kegugupan yang menghampirinya.
"Loh, kalian sudah saling mengenal?" Tidak ada tanggapan. Mereka masih terpaku satu sama lain. Seperti tak percaya akan semua ini. Memori akan kejadian pagi tadi terputar kembali. Wajah lugu itu? Oh Allah, rasanya malu sekali.
Pria itu? Jadi pria yang hampir menabraknya adalah calon suaminya? Lantas, apakah degup kencang itu ialah pertanda?
Perlahan, terasa telapak tangan sang ayah mendorong pelan Aida dari belakang sehingga kaki mungil itu selangkah demi selangkah maju ke depan. Bunda Aisyah menyambutnya dengan mengulum senyum manis, tangan itu mengambil alih lengan Aida dan membawanya duduk pada sofa empuk di sebelahnya.
Jantung ini? Ya, tidak berhenti berdetak. Rasanya seperti pacuan kuda. Telapak tangan sang bunda menggenggam erat tangan sang putri. Memberikan sedikit semangat kepada Aida. Ketika atensi itu beradu pandang dalam beberapa detik, manik indah Bunda Aisyah mengedip. Ilahi, jika memang ini adalah suratan takdir untuk Aida, maka ia akan mencoba untuk menerimanya dengan lapang dada.
Aida memutuskan pandangan itu secara sepihak. Sepanjang percakapan, gadis itu hanya menyimak pembicaraan antara ayahnya dan kedua orang tua calon suaminya. Tunggu. Kenzo, bagaimana dengan nasib pacarnya? Apakah ia sudah mengetahui bahwa gadis yang dicintainya akan menikah dengan pria lain?
"Bagaimana Nak Bima, apakah kamu setuju dengan perjodohan ini?" Bima menunduk, pria itu menautkan jemarinya satu sama lain. Sedetik kemudian, pria itu menatap dengan tegas wajah ayah Aida.
Setelah menghela napas panjang, Bima menjawab pertanyaan simpel tersebut dengan tegas."Bismillah, Pak. In syaa Allah Bima siap."
Sontak semua orang yang berada di ruangan sepetak tak cukup besar maupun kecil itu serempak merapalkan hamdalah.
"Jika memang Aida adalah jawaban dari doa Bima selama ini ... Bima menerima perjodohan ini Abah, Umi."Imbuh Bima membuat semua orang mengangguk-anggukan kepala, kecuali Aida.
Aida meremas kencang piyama tidurnya. Ah entahlah, bagaimana bisa gadis ini menghadap calon mertua dan calon suami hanya dengan mengenakan piyama tidur saja? Kemana gamis dan kerudung pemberian Umi Salamah? Sudahlah, ia pun tak tahu jika mereka akan datang sepagi ini. Aida tak sempat untuk bersolek, bahkan sebatas mengganti baju pun Aida tak sempat.
"Aida, kalau kamu bagaimana, Nak?" Aida tersentak. Bibirnya kelu, seakan-akan kamus dalam otaknya telah kehabisan kosa kata. Ia bingung harus menjawab apa. Allah, bantulah ia. Mantapkan hatinya atas jawaban yang akan ia pilih.
Berulang kali telapak tangan rahim kehidupannya menggenggam erat telapak tangan Aida. Tak kunjung menjawab, Aida memilih untuk menunduk dalam.
"Aida," panggil ayahnya dengan pelan. Telapak tangan yang selalu menghapus air matanya jika ia bersedih kini mengelus belakang puncak kepalanya.
Lehernya terasa kaku. Namun, Aida tetap memaksakan diri untuk mendongak, lalu ia tersenyum kecut. Ketahuilah bahwa berpura-pura agar tetap terlihat ceria itu tidaklah mudah. Di sisi lain ada hati yang berat untuk melakukan sandiwara ini. Ya Rabb, kapan semua ini akan berakhir? Apakah jika ia menerima perjodohan ini, maka seumur hidup ia harus pura-pura bahagia di depan mertua dan orang tuanya?
Setah merenung cukup lama. Aida menghembuskan napas berat. Dengan mengucap bismillah, gadis itu yakin bahwa keputusannya adalah yang terbaik. Pun dengan Allah, ia telah menyiapkan segudang kebahagiaan untuk Aida.
"Aida ... Aida." Mengapa sulit untuk mengatakannya?
"Bismillah, Nduk!" Suara lirih itu menjadi benteng kekuatan untuk Aida. Jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Apakah kalian bisa mendengar detak itu?
Atensi Aida menatap lekat Abi Nur dan Umi Salamah. Terkadang, ujung matanya juga melirik ke arah Bima, calon suaminya. Gadis itu tak kunjung melanjutkan kalimatnya yang menggantung. Kalimat itu dibiarkan mengambang di udara, membuat orang yang mendengar menjadi penasaran akan kelanjutannya.
Belaian lembut itu masih mengiringi Aida dalam mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan jawabannya. Kembali Aida menghembuskan napas lelah, lalu menjawab. "Maaf ... Aida tidak bisa."
Bersambung ....
Pasuruan, Rabu 18 Januari 2023.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments