..."Apabila Allah mencintai seorang hamba, maka akan diperbanyak kesedihannya. Jika Allah membenci seorang hamba, maka dilapangkan dunia baginya."...
..._Fudhoil bin Iyadh_...
Malam semakin terjaga. Sang dewi malam kini menggantikan semburat jingga yang sempat bertahta. Segala pernak-pernik yang berada di alam semesta mengedip pada sang penghuni bumi. Seolah-olah tengah menyapa.
Di atas sajadah panjang, dengan tubuh yang masih terbalut mukena, Aida tergugu seraya menggigit erat mukena miliknya. Air matanya bercucuran membasahi mukena yang masih dikenakan. Di keheningan malam, hanya terdengar isak pilu Aida yang ditemani oleh suara jangkrik dan serangga kecil.
Aida tak dapat menghentikan hujan, sama seperti tangisannya yang pecah pada malam ini. Kali ini, rembulan menjadi saksi atas kesedihan dan suasana hatinya. Entahlah, padahal malam ini tidak ada gerimis ataupun badai. Namun, cairan bening itu seperti tidak mau berhenti. Ilahi, apakah ini karena perjodohan itu? Apakah perjodohan itu membebani Aida?
Gelap gulita menjadi teman bagi Aida. Tidak ada pelita. Sinar rembulan masuk lewat celah jendela yang memang sengaja tak Aida tutup rapat. Namun, sinar rembulan itulah yang mampu menerangi di setiap celah-celah waktu yang hampa. Seperti hatinya saat ini.
"Aida." Suara ketukan pintu disertai dengan suara lirih dari wanita paruh baya mencairkan suasana.
Semenit kemudian, terdengar suara keryitan pintu pertanda bahwa pintu telah terbuka. Aida mengelas jejak air matanya, gadis itu menutup seluruh wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang terbungkus mukena.
"Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." Suara itu? Suara serak dari rahim kehidupan selalu berhasil membuat hatinya sedikit lebih tenang.
"Masih ingat dengan kata-kata itu?" Aida mengangguk lesu. Kedua matanya sembab akibat terlalu lama menangis. Telapak tangan selembut sutera itu membelai lembut puncak kepala Aida, tak tega rasanya melihat sang buah hati terus-menerus bersedih seperti ini.
"Bunda, Aida tidak mau dijodohkan sama santri pilihan Ayah sama Bunda." Aida terus merengek. Mencoba untuk membujuk bundanya agar perjodohan ini tidak benar-benar terjadi.
"Kenapa, Nak?" Aida masih belum bergeming. Gadis itu memilih untuk diam.
"Apakah seseorang bisa jatuh cinta walaupun tidak pernah jumpa?" tanyanya. "Aida tidak mencintai santri itu, Bunda. Ketemu saja Aida tidak pernah." Imbuhnya dengan suara tercekat.
Bunda Aida hanya bisa tersenyum simpul. Ia bingung harus bagaimana lagi caranya untuk membujuk Aida agar ia mau dijodohkan dengan santri pilihan mereka.
"Aida sudah punya pacar Bunda, Aida cinta sama dia." Gadis bermata bulat itu terus-menerus merengek. Sedetik kemudian, ia bangun dari pangkuan bundanya. Ia duduk seraya menatap dalam manik indah sang sumber kebahagiaan. Mencari celah agar ia berhasil membujuk sang ibunda.
"Apa yang menjadi takdirmu pasti akan mencari jalannya sendiri untuk menemukanmu. Jodoh itu rahasia Ilahi--"
"Tapi ... apakah pantas seorang santri menikah dengan Aida? Aida bukan ahli qur'an, Bunda."Aida memangkas perkataan sang ibunda dengan sangat cepat.
"Tidak harus menjadi ahli qur'an dulu untuk menjadi istri seorang gus." Bunda Aida menjawab setiap pertanyaan putrinya secepat kilat.
"Jodoh itu cerminan diri sendiri--"
"Jodoh terbaik adalah jodoh yang berasal dari lauhul mahfudz." Seperti tak ingin memberi kesempatan untuk Aida berbicara, sang ibunda selalu memangkas perkataannya secepat kilat.
Kembali. Telapak tangan yang mulai keriput itu mengusap pelan pipi kemerahan Aida. Menghapus jejak air mata putri semata wayangnya. Di dunia ini tidak ada orang tua yang menginginkan anak mereka hidup sengsara. Semua orang tua di dunia pasti menginginkan anak mereka hidup bahagia. Bahkan, mereka tak ingin sedikitpun diberi imbalan atas kerja keras mereka. Cukup dengan senyum simpul yang terbit dari bibir manis anaknya, itu lebih dari kata cukup.
"Nduk."Tanpa terasa setetes demi tetes mulai berjatuhan dari pelupuk mata bunda Aida.
"Mau ya, Nduk?" Aida mencoba untuk merenungkan pertanyaan dari sang ibunda. Namun, beberapa menit kemudian dengan berat hati Aida menganggukkan kepala pelan. Isak pilu itu kembali terdengar. Namun, dengan telapak tangannya, Aida menutup mulutnya rapat-rapat mencoba menyembunyikan isak pilu itu agar tidak sampai terdengar oleh sang ayah. Aida berhambur ke pelukan hangat rahim kehidupannya. Sontak, tangis itu pecah dalam dekapan wanita yang telah mengandung ia selama sembilan bulan.
"Hamasah ya, Nduk. Bismillah." Rasanya berat sekali untuk menerima semua kenyataan ini. Seperti mimpi, namun nyata. Ya Rabb, jika ini yang terbaik untuk Aida, maka berikanlah ia keikhlasan agar Aida bisa menerima semua ini dengan lapang dada.
***
Bau embun pagi yang berkecamuk dengan tanah begitu kentara. Udara segar di pagi hari menyapa kulit wajahnya. Sang fajar masih malu-malu untuk menampakkan sinarnya. Kicauan burung terdengar di mana-mana. Bahkan, tak sedikit ayam yang berlomba-lomba dalam menyuarakan suaranya. Membangunkan penghuni bumi untuk bersiap menjalankan aktivitas seperti biasanya.
Gadis yang mengenakan satu set piyama dipadukan dengan blazer rajut oversize nampak berjalan menyusuri sepinya jalan. Pagi ini tak seramai biasanya. Tidak ada kendaraan yang lalu lalang, bahkan udara masih sejuk tak tercemar asap knalpot.
Nanti siang Bima dan keluarganya akan main ke rumah. Jangan pergi kemana-mana ya, Nduk.
Gadis itu duduk termenung memikirkan perkataan sang ibunda. Apakah benar hari ini ia akan bertemu dengan santri itu? Apakah dia sama seperti yang teman-teman Aida katakan? Ya Rabb, rasanya ia ingin menghilang dari bumi saja. Sungguh.
"Astagfirullah Azim." Suara klakson membuat lamunan itu buyar. Hanya berjarak lima centi saja, mungkin Aida akan tertabrak.
Dari dalam mobil, keluar sesosok pemuda dengan sarung hitam dipadukan dengan kemeja putih. "Afwan, Ukhti. Apakah kamu baik-baik saja? Apakah ada yang terluka?" Atensi Aida fokus pada paras tampan pria itu. Tidak ada tanggapan. Oh Allah, apakah Engkau dapat mendengar detak jantung ini? Mengapa berdetak begitu kencang?
"Oh ... iya sa--saya baik-baik saja." Semakin lama suara itu semakin melemah.
"Baiklah kalau begitu. Maaf saya harus pergi, assalamualaikum." Tanpa memperkenalkan diri, pria itu meninggalkan Aida dengan segudang pertanyaan yang bersarang di benaknya.
Aida terus menatap mobil berwarna silver yang melaju dengan kecepatan tinggi hingga mobil itu tak terlihat lagi. Dari saku celana piyamanya, benda pipih berwarna hitam itu berdering. Tanpa menunggu waktu lama, Aida meraba gawai miliknya dan segera mengangkat panggilan yang ternyata dari sang ibunda.
"Assalamualaikum, Aida. Kamu di mana, Nduk?" Suara yang selama ini menjadi penyemangat hidupnya terdengar seperti gelisah, khawatir. Entahlah, semua itu tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata.
"Waalaikumus salam, Bunda. Aida tadi habis joging. Kenapa, ya?"
"Pulanglah, Nduk. Ada seseorang yang beberapa menit lalu sudah menunggu kehadiranmu." Aida mengernyitkan dahinya sehingga membuat kedua alisnya menyatu. Seseorang? Siapa yang telah menunggunya?
"Aida ... Aida!" Suara terakhir terdengar begitu melengking membuat Aida tersadar dari lamunan singkatnya.
"I--iya, Bunda. Sebentar lagi Aida akan sampai di rumah." Suaranya terbata-bata. Ia takut bercampur bingung. Ah, sudahlah. Tidak ada gunanya, semua ini hanya membuat kepalanya terasa pecah.
Aida mematikan teleponnya setelah mengucap salam. Kemudian gawai itu kembali disimpan pada saku celana piyamanya. Gadis itu mempercepat langkahnya. Disisi lain, seorang pria telah menunggu kehadiran Aida. Tak pernah bertemu bahkan bertegur sapa, pertama kalinya pria itu memberanikan diri untuk menghadap kedua orang tua Aida secara langsung, berniat untuk meminta gadis lugu itu dari ayahnya. Tanpa ia sadari bahwa ia telah bertemu dalam ketidaksengajaan.
Bersambung ....
Senin, 15 Januari 2023
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments