Aku turun dari dalam mobil dan tadinya hendak masuk ke dalam cafe bersama dengan Sena. Namun Sena mendapat panggilan dari Warda dan mengatakan padanya untuk mengambilkan barang di mobil perusahaan yang terparkir tidak jauh dari mobil yang digunakannya untuk menjemputku.
“Maafkan aku, Asha.”
“Aku mengerti. Aku bisa masuk sendiri.”
“Benar tidak apa-apa??” Sena melihatku dengan tatapan sedikit khawatir.
“Tenang saja, ini hanya melewati penggemar Arata saja. Seseorang sepertiku yang sebelumnya tidak dikenal, mereka tentu tidak akan mengenaliku dan membiarkanku lewat begitu saja.”
Sena kemudian meraih tasnya dan mengambil name tag. Sena kemudian mengalungkan name tag itu di leherku.
“Ini??” Aku melihat ke arah name tag yang bertuliskan staf penerbit.
“Kak Warda memintaku untuk memberikan ini kepadamu. Dengan ini. . . harusnya pihak keamanan akan membiarkanmu masuk ke dalam melewati penggemar Arata yang menggila itu.”
“Terima kasih. Kalau begitu aku masuk dulu. Cepat ambil barang yang diperintahkan oleh Warda dan segera masuk ke dalam.”
“Baik.”
Setelah berpisah dengan Sena, aku berjalan menuju ke pintu masuk cafe yang dipenuhi oleh penggemar Arata yang berteriak-teriak memanggil nama Arata. Karena acara belum dimulai, pihak cafe sepertinya masih belum memperbolehkan penggemar dan peserta dalam tanda tangan buku untuk masuk ke dalam cafe. Beberapa pria dengan seragam keamanan berdiri di pintu cafe dan memblokir penggemar Arata yang memaksa masuk ke dalam ketika acara belum masuk.
Huft. Aku menghela napas panjang melihat banyaknya penggemar Arata yang terlihat di depanku saat ini. Bisakah aku melewati mereka? Pertanyaan itu muncul di dalam benakku ketika aku melihat kumpulan penggemar yang tak bisa kuhitung jumlahnya itu. Mungkin ratusan jumlahnya.
Drttttt. . . . ponsel di dalam saku jasku bergetar dan membuatku tersentak kaget karena rasa gugupku. Aku mengambil ponselku dan melihat nama Warda muncul di layar.
“Halo,” kataku menerima panggilan itu.
“Halo Asha, kau sudah tiba??”
“Ya, aku sudah tiba. Aku ada di depan cafe dan hendak berjalan masuk. Kenapa??”
“Di depan?? Aduh Sena itu bagaimana sih??? Tadi aku sudah berpesan itu lewat pintu belakang karena kau tidak suka keramaian, kenapa dia membawamu ke pintu depan sih??” Jelas kudengar, Warda sedang mengomel.
“Tidak apa-apa, Warda. Karena sudah ada di pintu depan, aku akan lewat pintu depan. Memutar ke belakang sepertinya cukup jauh juga.”
“Ya. . . maka dari itu aku meminta Sena untuk membawamu lewat pintu belakang. Apa Sena memberikan name tag staf kepadamu?”
“Ya, dia memberikannya, Warda.” Aku menatap name tag yang berada di leherku itu.
“Bagus. Aku akan menjemputmu lewat pintu depan. Tunjukkan name tag itu kepada petugas keamanan di pintu depan. Dengan itu mereka pasti akan membiarkanmu lewat dan aku akan meminta petugas yang menjaga di dalam untuk membuka pintunya.”
“Aku mengerti.”
Panggilan Warda berakhir dan sekali lagi, aku menghela napas panjang. Huft. Setelah memantapkan niatku, aku mulai melangkahkan kakiku dan berjalan menuju ke lautan manusia yang menggila karena Arata.
“Permisi. Permisi.”
Aku berusaha untuk menembus kerumunan itu dengan bersikap sopan. Namun menembus kerumunan lautan manusia itu tidaklah mudah. Beberapa kali aku kembali ke belakang. Beberapa kali aku terombang-ambing ke sana kemari hingga kesulitan untuk bernafas. Meski sulit, aku terus berusaha untuk bergerak ke depan.
Namun. . . sepertinya stok kesialan dalam hidupku ini jumlahnya cukup banyak. Hingga sekalinya aku keluar dari apartemenku setelah satu tahun lamanya hanya untuk mendatangi acara tanda tangan bukuku, kesialan datang padaku. Entah apa yang terjadi, aku tidak tahu dengan jelas. Tapi sepertinya para penggemar Arata itu mendengar Arata yang akan datang dari pintu depan. Aku yang berusaha untuk masuk ke dalam toko buku dan berada di tengah-tengah kerumunan mereka, terbawa arus. Aku bergerak ke arah sebaliknya ketika aku berusaha untuk masuk ke dalam toko. Alhasil. . . aku kehilangan keseimbangan tubuhku dan kemudian terjatuh ketika akhirnya aku berhasil melepaskan diri dari lautan manusia penggemar Arata itu.
Buk. Aku jatuh terduduk di belakang para penggemar Arata. Di saat yang sama pintu toko buku terbuka dan aku melihat Warda di balik pintu itu.
“Ya Tuhan, Asha!!!” Warda berteriak ketika melihatku jatuh terduduk dengan penampilan berantakan karena terbawa oleh arus kerumunan penggemar Arata. Kurasa tadinya. . . Warda ingin berlari ke arahku tapi seketika dia ingat bagaimana perutnya yang membuncit itu telah membuat langkahnya yang lincah menjadi lebih lambat.
Aku mengangkat tanganku dan memberi isyarat pada Warda untuk tetap di tempatnya dan tidak bergerak.
“Aku baik-baik saja,” ucapku dengan pelan. Aku yakin Warda akan mampu membaca gerakan bibirku dari jarak yang memisahkan kami berdua.
Aku berusaha untuk berdiri dengan usahaku sendiri, ketika secara tiba-tiba seseorang menarik lenganku dan membantuku berdiri.
“Kau baik-baik saja, author Wallflower?”
Aku menatap pemilik tangan itu dan mengenali wajah yang selama ini selalu diidolakan oleh editorku-Warda. Mengenali wajah Arata, si aktor terkenal yang jadi bintang tamu dalam acaraku ini, aku langsung menundukkan kepalaku karena tidak berani menatap matanya secara langsung. Rasanya. . . tatapan matanya seolah berkata menginginkan sesuatu dariku. Dengan gugup aku berusaha melepaskan tangan Arata dari lenganku, tapi Arata menolak melepaskan lenganku dan justru menguatkan genggamannya.
“A-aku baik-baik saja. Bisakah kau melepaskan tanganku?”
“Aku akan membantumu berjalan, author Wallflower. Ini adalah bentuk rasa bersalahku karena ulah penggemarku padamu. Padahal aku sangat mengidolakanmu, tapi mereka justru membuatmu terjatuh dengan penampilan seperti ini di hari tanda tangan pertamamu, author Wallflower.”
“Me-mereka tidak sengaja melakukannya. Me-mereka tidak mengenaliku karena selama ini aku menolak untuk menunjukkan diri. Keadaan tadi benar-benar tidak disengaja dan kau tidak perlu meminta maaf, Arata.”
Arata mengabaikan ucapanku dan justru berbalik menghadap ke lautan kerumunan penggemarnya yang sedang membeku karena melihat Arata yang menyebut nama penaku-Wallflower.
“Mohon untuk berhati-hati. Aku tahu kalian semua adalah penggemarku. Tapi kalian tahu bahwa aku adalah penggemar berat dari author Wallflower. Aku mohon tolong perlakukan dengan baik author Wallflower, seperti kalian yang selalu memperlakukanku dengan baik. Bisakah kalian melakukannya untukku??”
Penggemar Arata yang tadinya bertindak gila, dalam sekejap berubah menjadi patuh begitu melihat dan mendengar ucapan Arata. Teriakan kegilaan mereka yang memanggil-manggil nama Arata, berubah menjadi tatapan terpesona yang sedang mengarah kepada Arata. Berdiri di samping Arata, secara tiba-tiba membuatku risi karena semua perhatian yang mengarah pada Arata dan aku yang ada di sampingnya.
“Mohon maafkan kami, author Wallflower.” Penggemar Arata dengan serentak meminta maaf kepadaku.
“A-aku tidak apa-apa. Aku tahu kalian tadi tidak sengaja,” ucapku dengan nada sedikit gugup.
“Terima kasih, author Wallflower.”
Setelah itu, Arata berkata beberapa kalimat kepada penggemarnya. Masih dengan menggenggam lenganku dan menolak itu melepaskan lenganku, Arata membuatku terus berada di sampingnya. Melihat bagaimana Arata terus menggenggam lenganku dan menolak untuk melepaskannya, aku merasa bahwa aku tidak menyukai Arata. Dia adalah tipikal pria yang ingin kuhindari dalam hidupku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments