Episode 3

Kami berdua pamit kepada Pak Haji, setelah semuanya jelas dan bisa kupahami. Rona dan aku lantas berpisah tepat di titik pertengahan dari batas rumah kami. Tak lupa ia menyunggingkan senyuman khas yang hampir saja menyeretku kembali. Kembali ke hadapannya dalam mode lamban dan tak terkendali.

Ah, aku hanya bisa geleng-geleng setelah ini. Karena sepertinya, aku mulai gila sendiri.

Nasiblah, Pak Polisi ...!

...***...

Satu minggu kemudian, kucoba mengirim pesan padanya melalui nomor kontak yang sempat ia berikan pada saat terakhir kami berjumpa. Bukan maksud untuk memberikannya langsung padaku, namun karena aku sendiri yang memintanya. Jika kalian mengira aku sedang meluncurkan jurus modus atau sejenisnya ... aku tak bisa menafikannya. Karena aku memang sengaja meminta nomor ponselnya agar bisa perlahan mendekatinya.

Lanjut!

^^^Mbak, lagi apa?^^^

Begitulah kalimat pembuka yang aku kirimkan padanya. Untuk beberapa saat, tak ada balasan apa pun darinya. Terang saja, ini sudah jam 11 malam, mungkin ia sudah melanglang buana di alam mimpinya.

Setelah beberapa kali kuputar rotasi ponselku hingga pusing--mungkin, getaran indah berisi pesan balasan itu menghinggapinya. Dengan sigap kutarik layarnya lurus menatap wajahku, lalu membuka pesannya.

^^^Lagi tiduran aja.^^^

^^^Maaf, ini siapa, ya?^^^

Bahasanya sopan sekali, Kawan!

Jangankan dibalas dengan bahasa yang santun seperti itu, dimaki mati-matian pun aku tetap bahagia tiada tara.

Lebay, ya?

Tapi memang begitulah kenyataannya. Sampai-sampai aku mengubah posisi dari berbaring hingga terduduk sempurna, saking girangnya.

^^^Ini saya ... tetangga baru.^^^

Ah, aku ini. Masih saja bermain teka-teki. Bagaimana jika setelah ini ia tidak mau membalas pesanku lagi? Bisa-bisa aku tidak tidur malam ini.

Drrrt ... Drrrt ....

Ternyata terkaanku salah lagi. Ia masih memberikan perhatian pada jurus pertamaku kali ini.

^^^Maksudnya, tetangga yang mana?^^^

^^^Maaf, saya lupa.^^^

Waduh!

Ia sudah melupakanku dalam tenggang waktu satu minggu.

Hem ... tak apalah, itu karena aku masih saja berlagu. Terlalu banyak basa-basi hingga berminggu-minggu. Dan hal itu ... pastinya tidak baik jika dilakukan dalam masa P.D.K.T terhadap calon istriku.

Haha! Aku mulai ngehalu!

Spontan ibu jariku mengetik nama dalam balasan pesanku. Ia pun lantas membalasnya dengan hitungan waktu yang tak lama setelah itu.

Ternyata benar!

Wanita itu lebih menyukai kejelasan, ketimbang omong kosong yang selalu didewakan.

Baiklah!

Sepertinya aku harus membuka diri setelah ini. Jangan ada lagi yang ditutup-tutupi. Jika aku tak ingin kehilangannya--sebelum sempat memiliki.

...***...

Lama kami menjalin komunikasi, namun tak pernah berjumpa sama sekali. Walaupun tempat tinggal kami hampir menempel dalam bangunan rumah sewa ini, tak membuat kami bertemu setiap hari.

Aku yang sibuk dengan pekerjaan, sementara ia sibuk dengan urusan kampus yang katanya--sedang menuju sidang skripsi.

Namun, ada yang berbeda. Sudah hampir satu minggu ia mengabaikanku--pesanku tak pernah dibalasnya. Apa ada yang salah dengan bahasaku sebelum-sebelumnya?

Aku harus menanyakannya!

Kucoba menghubunginya melalui panggilan suara. Namun, tetap saja, ia masih tak menjawabnya. Sehingga ... ketika aku menghadiri kegiatan resmi yang dilaksanakan di area Polda, tiba-tiba saja ... ada pesan singkat yang aku terima.

Di ponselku maksudnya!

Setelah kubuka, ternyata ... pesan itu dikirim oleh Rona.

Sungguh!

Setelah membaca untaian kalimat sarkasnya, aku lantas bergegas memasuki mobil dan menuju kampusnya. Terang saja, nasibku serasa di ujuk tanduk dalam satu tarikan nyawa. Bisa dipastikan, jika aku tak menemuinya saat ini juga, sepertinya aku akan kehilangan kesempatan kedua.

Dengan masih mengenakan seragam polisi lengkap dengan segala atributnya, aku percaya diri saja melewati lorong yang terdapat banyak sekali mahasiswa. Semua pasang mata kini mulai terseret ke arahku begitu saja--tanpa diminta.

Apa yang salah denganku? Apakah seorang polisi di larang memasuki area pendidikan calon para penyair jitu? Aku bahkan tidak tahu tentang hal itu.

"Huda ...!"

Setelah berkeliling hingga pusing seperti orang yang sedang tersesat, akhirnya aku bisa menemukannya.

"Kenapa tidak memberitahuku terlebih dahulu jika kamu mau ke sini?"

Tanpa menunggu jawaban dariku lagi, ia sontak menarik lenganku--menjauh dari bangunan itu. Sekarang kami berdua sedang duduk berhadapan di sebuah taman dengan beralaskan kursi kayu.

"Aku mau minta maaf. Sungguh, aku tak bermaksud membohongimu." Aku masih tak berani menatap wajah teduhnya di saat berada dalam posisi salah seperti ini. Debaran jantungku seakan tak mau berhenti--lincah sekali. Bahasa formal dengan panggilan 'saya' pun tak mau mengisi ruang dialogku lagi.

Tuhan ... tolong aku kali ini ...!

Jelas saja ia marah padaku. Ternyata ia sudah mengetahui profesiku--jauh sebelum aku membuka jati diriku.

"Sudahlah, semua itu tidak penting. Sekarang aku sudah tahu siapa sebenarnya kamu." Ia membuang wajah ketika mengatakan dua kalimat pedih itu. Aku rasa, ia sedang menyindirku.

"Sekali lagi, kumohon jangan membenciku, Rona. Semua itu kulakukan dengan alasan tertentu." Aku masih berusaha mendapatkan kepercayaannya. Entah, ia akan memberikannya atau tidak, aku pun belum bisa memprediksinya.

Ia lantas tersenyum masam sekaligus berkata, "Aku tak perlu mendengarnya. Sebaiknya kamu pulang saja."

Oh, tidak!

Ia beranjak dari kursi, lalu membelakangiku. Niatnya mungkin ingin mangkir dari hadapanku. Namun, sepersekian detik kemudian, ia kembali merotasikan tubuhnya ke arahku. "Aku tak membenci, hanya tidak suka dibohongi."

Ah, gadis ini ...!

Misterius sekali ...!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!