Sebagai orang baru di kota ini, tak banyak yang aku tahu. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk menyewa sebuah rumah yang terletak tidak jauh dari kantorku.
Kalian tahu?
Tuhan memang Maha Bijak, mengatur semua alur dalam hidup setiap hamba-Nya sesuai dengan harapan kalbu. Satu minggu bertugas di kota ini cukup membuatku sadar bahwa aku adalah manusia yang paling beruntung sedunia halu.
Kenapa bisa begitu?
Akan kuberitahu!
Sore itu aku bertamu ke rumah Pak Haji--pemilik rumah kontrakan yang aku sewa. Tentu saja aku mempunyai beberapa tujuan, sehingga memutuskan untuk menemuinya. Kebetulan beliau juga sedang berada di kediamannya.
"Begini, Pak ... saya masih bingung tentang pembayaran listrik dan airnya," ungkapku setelah Pak Haji menanyakan--hajat apa yang membawaku bertamu ke rumahnya.
"Listrik dan air itu ... satu rekening dengan rumah sebelah, Huda. Kamu bisa menanyakannya kepada mereka. Ada tiga orang mahasiswi yang tinggal di sana," jelas lelaki paruh baya itu dalam sekali tarikan nyawa.
Tolong, jangan dipraktikkan, ya!
Aku tentu saja menanggapinya dengan senyuman, sebelum akhirnya bertanya, "Maksudnya ... rumah yang terletak tepat di belakang tempat tinggal saya, Pak?"
Beliau hanya mengangguk, lalu beranjak dari peraduannya. Aku sedikit bingung, kenapa ia meninggalkanku begitu saja?
"Hira ... Almahira ...!" serunya kemudian, setelah tubuhnya berdiri sempurna di teras rumahnya. Sepertinya ia sedang memanggil salah satu penyewa rumah, yang ia maksud sebelumnya.
Beberapa detik kemudian, bisa kudengar suara seorang gadis--merdu sekali--di telinga. "Iya, Pak Haji ... ada apa?" tanya gadis itu ketika tubuhnya menyembul dari pintu rumah berlantai dua. Aku bisa melihatnya samar-samar dari balik jendela.
"Oh, Rona!"
DEG
RONA ...? Hatiku bergetar seketika mendengar namanya. Apakah dia Rona yang aku cinta?
"Almahira kemana?" Pak Haji masih saja kekeuh menanyakan nama orang yang pertama dipanggilnya.
"Kak Hira sedang pergi, Pak Haji. Sedangkan Lika ... dia sedang menerima tamu di dalam."
Kuharap gadis ini memanglah Rona yang biasa melintas di depan Polresta. Jika benar adanya, maka ... Tuhan memang sedang mengulurkan tangan-Nya.
"Ya, sudah ... kamu aja yang ke sini. Ada tetangga baru yang menempati rumah depan." Pak Haji lantas masuk kembali dan duduk di sofa yang tadi ditempatinya.
"Sebentar ya, Huda. Nanti Rona akan menjelaskannya padamu." Aku merespon beliau dengan anggukan kepala.
...***...
Beberapa menit kemudian
"Assalamu'alaikum ...," tutur gadis itu di saat tubuh idealnya memasuki mulut pintu.
"Wa'alaikumsalam ...." Pak Haji dan Aku kompak sekali menjawab salamnya dalam satu waktu.
DEG DEG DEG
MasyaAllah!
Dia memang gadis yang memenuhi isi kepala dan hatiku dalam satu minggu. Satu minggu pertama yang cukup mampu membuat jantungku menciptakan detakan merdu.
"Rona ... perkenalkan ini Huda. Tetangga baru yang bapak bilang tadi sama kamu," ucap Pak Haji ketika gadis berpipi bening itu duduk sempurna--tepat di hadapanku.
Sungguh, aku tak bisa menafikan pesonanya. Dia benar-benar memiliki kecantikan yang luar biasa. Apalagi, ketika memandangnya dalam jarak pandang seintim rasa.
Oh, Rona!
Ia tersenyum padaku sekaligus mengedikkan dagu tumpulnya yang berbelah itu--tanda penghormatan. Kutangkap senyumannya dalam bayangan tangan, lalu mendekapnya ke dalam pelukan.
Aaaah, sepertinya tubuhku sedang melayang!
Tentu saja, aku juga melakukan hal yang sepadan. Membalas senyumannya dan memadukan pandangan.
"Sudah kerja atau masih kuliah, Mas?" tanyanya padaku kemudian.
Aku agak terkesiap, karena sebelumnya masih tenggelam dalam senyuman bodoh yang hampir saja membawaku dalam kondisi yang memalukan.
"Ehm ... saya ... saya masih kuliah, Mbak."
Bohong!
Aku sedang menipunya. Kenapa?
Lain waktu akan kuberitahu alasannya.
"Oh, dimana? Semester berapa?" Ternyata ia masih melanjutkan interogasinya.
Sebenarnya aku ingin terpingkal-pingkal ketika melihat wajah seriusnya. Namun, tentu saja aku menahannya di dalam sana. "Di Universitas Negeri dekat sini, fakultas ekonomi, semester tiga."
"Oh, berarti kita satu universitas dong." Dia tersenyum lebar, menampilkan ekspresi wajah yang sanggup meluluhkan jiwa para pria. "Tapi ... fakultas kita beda."
Aduuuh, barisan gigi putihnya itu!
Aku sampai melupakan satu hal--jika Pak Haji masih duduk anteng di sana. Namun, sepertinya beliau tidak masalah menjadi racun nyamuk bagi kami berdua.
Haha!
Setelah itu, Pak Haji menimpali dengan beberapa kata. Meminta Rona untuk menjelaskan sesuatu yang ingin aku ketahui sebelumnya. Gadis itu pun menjelaskan bagaimana sistem pembayarannya.
Aku bahkan tak peduli dengan apa yang ia sampaikan. Pandanganku hanya fokus pada ekspresi dan gaya bicaranya yang begitu tegas dan memukau hingga sukses menambat perasaan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments