"Hah, Ibu benar-benar menyesal karena sudah menuruti keinginan mendiang Ayahmu, Dodi. Andai Ibu tahu dia mandul, Ibu pasti menolak perjodohan kalian mentah-mentah! Sudah hidup di desa, miskin, sekolah cuma lulusan SMP, mandul pula! Lengkaplah sudah!" umpat Bu Nining kepada anak dan menantunya pagi-pagi sekali.
Ya, saat itu Bu Nining, Arini dan Dodi baru saja menikmati sarapan pagi mereka. Namun, belum habis makanan itu masuk ke dalam perut mereka, tiba-tiba sebuah pesan chat ke nomor ponsel milik Bu Nining yang mengatakan bahwa salah satu anak teman arisannya baru saja melahirkan.
Mendapatkan kabar itu, Bu Nining kembali meradang. Setiap kali teman-temannya membahas tentang cucu-cucu mereka, Bu Nining hanya bisa tersenyum kecut karena hingga saat ini dirinya belum juga memiliki seorang cucu.
Jika sudah seperti itu, Bu Nining tidak akan segan-segan melampiaskan kemarahannya dengan mencaci maki Arini. Wanita yang sudah menjadi menantunya selama 6 tahun belakangan ini, tetapi belum juga memberikan seorang malaikat kecil untuknya.
"Sudahlah, Bu. Jangan keras-keras, malu kedengaran tetangga-tetangga sebelah," sahut Dodi sambil merangkul pundak Arini yang sejak tadi hanya terdiam sambil menundukkan kepalanya menghadap lantai.
Hati siapa yang tidak sakit saat berada di posisi Arini. Ia terus dikatakan mandul oleh ibu mertuanya, padahal Dokter saja tidak pernah memvonis dirinya mandul. Dokter bahkan mengatakan bahwa kondisi rahimnya baik-baik saja. Namun, sepertinya Tuhan memang belum bersedia menitipkan seorang malaikat kecil ke dalam rahimnya.
"Biarkan! Biarkan saja para tetangga mendengarnya! Lagi pula semua orang di sini juga sudah tahu bahwa istrimu itu mandul!" sahut Bu Nining dengan bertolak pinggang di hadapan Dodi dan Arini.
"Ehm, sebaiknya aku ke kamar dulu ya, Mas. Ada yang harus aku kerjakan," ucap Arini yang sudah tidak sanggup mendengar ocehan Bu Nining. Ia segera bangkit dari posisi duduknya kemudian berjalan dengan kepala tertunduk menuju kamar.
"Ya, pergilah! Menangislah di sana seperti yang biasa kamu lakukan!" umpat Bu Nining dengan setengah berteriak.
"Bu, sudahlah!" ucap Dodi dengan wajah sendu menatap Bu Nining.
Dodi tidak bisa berbuat apa-apa. Di satu sisi Bu Nining adalah Ibu kandungnya dan di sisi lain ada Arini, wanita yang sudah enam tahun menemaninya dalam suka maupun duka. Dodi tidak bisa memilih salah satu dari wanita itu karena menurutnya baik Bu Nining maupun Arini sama-sama penting baginya.
Arini masuk ke dalam kamarnya kemudian duduk di tepian tempat tidur. Untuk kesekian kalinya ia terisak di sana sambil merenungi nasibnya. Bibir Arini bergetar hebat dan ia memegangi dadanya yang terasa sesak. Sesekali terlihat Arini menyeka air mata yang terus jatuh dan mengalir dari pelupuk matanya.
"Ya Tuhan, sampai kapan aku harus begini? Mengapa Engkau terus menguji kesabaranku? Aku tahu bahwa Engkau tidak akan menguji hamba-Mu di luar batas kemampuannya, tetapi ...." Arini menghentikan ucapannya. Ia menggigit bibir bawahnya yang terus bergetar hebat tanpa henti.
Tidak jarang Arini berpikir untuk menyerah dengan pernikahannya. Namun, cinta dan kasih sayang yang diberikan oleh Dodi kepadanya, membuat Arini sanggup mempertahankan hubungan itu hingga sampai saat ini.
Selain itu, ada yang membuat Arini harus berpikir ulang jika ingin menyerah pada pernikahannya. Ya, seperti yang selalu dikatakan oleh ibu mertuanya, Arini hanya seorang gadis kampung yang tidak berpendidikan.
Ketika di desa, ia tinggal bersama paman dan bibinya yang kini sudah menjadi almarhum dan almarhumah. Kemiskinan yang mendera kehidupan mereka, membuat Arini hanya bisa mengenyam pendidikan hingga di bangku Sekolah Menengah Pertama saja.
Jika ia memilih menyerah, itu artinya ia harus siap hidup luntang-lantung sendirian karena ia sudah tidak memiliki siapapun lagi di dunia ini. Kedua orang tuanya sudah meninggal karena sebuah kecelakaan ketika Arini masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
Sedangkan paman dan bibi yang selama ini menggantikan posisi kedua orang tuanya pun sudah meninggal dua tahun yang lalu karena memang faktor usia mereka yang sudah tidak lagi muda.
Mendiang paman dan bibinya tidak memiliki seorang anak dan orang-orang kamupung menyebut salah satu di antara mereka ada yang mandul. Sebab itulah Bu Nining yakin bahwa Arini mandul karena menurun dari mereka.
Di tengah kegalauannya, tiba-tiba Dodi menyusul masuk ke dalam kamar mereka. Tatapan lelaki itu langsung tertuju pada Arini yang masih sesenggukan di tepian tempat tidur. Menyadari bahwa suaminya berada di ruangan itu, Arini segera menyeka air matanya kemudian dengan menyunggingkan sebuah senyuman hangat meski hatinya terasa perih saat itu.
"Mas? Mas hari ini kerja, 'kan?" tanya Arini dengan mata yang masih sembab menatap Dodi.
Dodi menganggukkan kepalanya pelan dan duduk di samping Arini. Ia meraih wajah wanita itu kemudian menyeka air mata yang masih membasahi kedua pipinya yang tampak kemerahan.
"Sayang, maafkan aku," lirih Dodi dengan tatapan sendu menatap Arini. Setelah menyeka air mata istrinya itu, kini Dodi mulai merapikan rambut Arini yang terlihat sedikit berantakan.
"Maaf kenapa, Mas?" tanya Arini dengan alis yang saling bertaut.
"Maafkan aku karena tidak bisa menjadi suami yang baik. Aku bahkan tidak mampu membelamu ketika Ibu terus menghakimimu," sahut Dodi dengan mata berkaca-kaca. Dodi meraih pundak Arini kemudian memeluknya dengan erat dan melabuhkan ciuman hangatnya di puncak kepala wanita itu berkali-kali.
Arini tersenyum getir. Inilah yang membuat dirinya mampu mempertahankan biduk rumah tangga mereka hingga saat ini. Kasih sayang yang Dodi berikan kepadanya menjadi penyemangat ketika ia harus menghadapi setiap hinaan dan cemoohan yang keluar dari mulut ibu mertuanya.
"Mas, aku boleh minta sesuatu padamu?" tanya Arini sambil mendongak menatap Dodi yang masih memeluk tubuhnya dengan erat. Masih terdengar dengan jelas suara sesenggukan Arini, walaupun air mata wanita itu sudah tidak merembes lagi.
"Apa itu? Katakan saja," sahut Dodi. Lelaki itu melerai pelukannya dan kini menatap kedua iris mata berwarna cokelat terang tersebut dengan lekat.
"Jangan pernah tinggalkan aku ya, Mas. Aku tidak memiliki siapapun lagi saat ini selain dirimu. Hanya kamulah harapanku satu-satunya," lirih Arini. Buliran bening itu kembali menggenang di pelupuk bola mata Arini, tetapi tidak sampai merembes keluar.
"Ya, Arini. Aku berjanji padamu bahwa tidak akan pernah meninggalkanmu hingga maut memisahkan kita berdua," jawab Dodi.
Dodi kembali memeluk tubuh Arini dengan erat. Begitu pula Arini, wanita itu segera membalas pelukan suaminya untuk beberapa saat sebelum ia melerai pelukan mereka.
"Sebaiknya Mas segera bersiap-siap. Nanti Mas terlambat," ucap Arini sambil melemparkan senyuman hangatnya kepada Dodi.
"Ya, kamu benar. Mana hari ini aku ada meeting lagi," jawab Dodi.
Dodi pun segera bersiap-siap, sementara Arini membantu suaminya dengan mempersiapkan tas, sepatu dan lain-lainnya.
...***...
"Apapun yang dikatakan oleh Ibu, dengarkan saja. Tidak usah ditanggapi, ya!" ucap Dodi sembari melabuhkan ciuman hangat di puncak kepala Arini.
"Ya, Mas. Tentu saja," jawab Arini seraya tersenyum hangat kepada suaminya itu.
Dodi bergegas melangkahkan kakinya keluar dari kamar bersama Arini yang mengikutinya dari belakang. Ketika melewati ruang depan, Dodi dan Arini sempat berpapasan dengan Bu Nining yang baru saja selesai menyiram tanaman kesayangannya.
Bu Nining menekuk wajahnya sambil membuang muka ketika bertatap mata dengan Arini. Rasa kesalnya kepada menantunya itu sudah berada di puncak ubun-ubun. Sedangkan Arini, sesakit apapun hatinya saat itu. Ia tetap mencoba menyunggingkan senyuman hangat untuk Bu Nining. Wanita yang sudah ia anggap sebagai seperti Ibunya kandungnya sendiri.
Dodi mengelus tangan Arini yang sedang memeluk lengannya. Ia menatap wanita itu sambil berucap. "Sabar ya, Sayang."
Arini tersenyum. "Mas, tenang saja. Aku baik-baik saja, kok."
Setibanya di depan rumah mereka. Dodi segera menghampiri mobilnya yang sudah siap untuk dikemudikan menuju sebuah perusahaan, di mana ia bekerja sebagai seorang Manager Personalia.
"Mas Dodi," ucap Arini sebelum Dodi memasuki mobilnya.
"Ya?" Dodi berbalik kemudian kembali menatap Arini yang kini tengah menatapnya dengan wajah sendu.
"Ada apa, Sayang?" tanya Dodi heran.
"Hari ini 'kan Mas Dodi gajian. Bolehkah aku minta sedikit dari uang itu untuk membeli baju baru? Bajuku yang lama retsletingnya sudah rusak, Mas. Boleh, ya?" kata Arini dengan wajah memelas, berharap Dodi bersedia mengabulkan permintaannya.
"Ya, ambillah. Nanti bilang sama Ibu bahwa kamu sudah meminta izin padaku," sahut Dodi sambil membelai pipi Arini.
Mata Arini tampak berkaca-kaca. Ia sangat senang karena Dodi bersedia mengizinkannya membeli baju baru. "Terima kasih, Mas."
"Ya, sudah. Mas berangkat dulu, ya!" sambung Dodi yang kemudian segera masuk ke dalam mobilnya. Lelaki itu melambaikan tangannya kepada Arini, sebelum ia melesat pergi bersama kendaraan beroda empat tersebut.
"Dah, Mas! Hati-hati di jalan, ya!" ucap Arini dengan setengah berteriak sambil melambaikan tangannya kepada Dodi yang sudah keluar dari pekarangan rumah mereka.
Bu Nining mencebikkan bibirnya melihat aksi Arini saat itu. Ia memperhatikan gerak-gerik menantunya itu dari balik tirai kaca rumah mereka.
"Heh, apa dia tidak malu menampakkan wajahnya ke tetangga-tetangga sebelah rumah? Menikah selama enam tahun tidak juga hamil. Coba lihat menantu para tetangga sebelah, baru nikah beberapa bulan aja mereka sudah hamil," gerutu Bu Nining.
Arini tersenyum semringah sambil melangkahkan kakinya memasuki rumah. Ia begitu bahagia karena Dodi mengizinkannya membeli baju baru untuk ia kenakan di hari pernikahan salah satu temannya minggu depan.
Selama enam tahun berumah tangga bersama Dodi, Arini tidak pernah sekalipun merengek untuk minta belikan barang keperluannya. Bu Nining selalu mengingatkan dirinya untuk tidak boros dalam menggunakan uang. Bahkan termasuk untuk membeli pakaian serta barang-barang keperluan pribadinya.
Namun, hari ini ia memberanikan diri untuk memintanya karena baju yang biasa ia gunakan untuk kondangan sudah rusak. Lagi pula ia pun malu jika harus mengenakan baju itu-itu lagi. Sampai semua orang pun hapal dengan warna serta model bajunya tersebut.
"Apa kamu tidak malu sama tetangga sebelah rumah, Arini?" ucap Bu Nining ketika Arini melewatinya.
Arini yang tidak menyadari keberadaan Bu Nining di ruang depan, segera menghentikan langkahnya kemudian berbalik menghadap wanita paruh baya tersebut.
"Maksud Ibu apa?" tanya Arini heran dengan alis yang saling bertaut.
"Coba kamu lihat mereka!" Bu Nining menunjuk ke arah rumah yang berdiri kokoh tepat di depan rumah mereka. Terlihat sepasang suami-istri yang sedang asik menemani bayi mungil mereka.
"Usia pernikahan mereka belum ada satu tahun, tetapi mereka sudah mendapatkan momongan. Sedangkan dirimu, heh!" Bu Nining tersenyum sinis menatap Arini.
Arini menghembuskan napas berat. "Arini pun ingin, Bu. Arini sudah berusaha semampu Arini agar bisa hamil. Tapi mau bagaimana lagi? Tuhan belum bersedia memberikan kesempatan kepada Arini untuk menjadi seorang Ibu."
"Halah, banyak alasan! Bilang aja kalau sebenarnya kamu itu memang mandul, benar 'kan? Tidak usah mengelak lagi karena buktinya sudah nyata. Coba lihat mendiang paman dan bibimu di desa! Bahkan hingga mereka meninggal pun, mereka tetap tidak memiliki seorang anak," kesal Bu Nining.
Hati Arini terasa tercabik-cabik saat mendengar penghinaan dari Ibu mertuanya itu. Namun, ia tetap mencoba tabah dan menuruti apa kata suaminya. Biarkan Bu Nining berkata apa, hanya cukup dengarkan dan jangan ditanggapi.
"Ya, sudah. Arini permisi dulu ya, Bu. Arini masih ingin beberes kamar," jawab Arini yang kemudian melenggang pergi dari ruangan itu dan membiarkan Bu Nining menggerutu di sana tanpa henti.
"Hhh, amit-amit jabang bayi! Semoga saja Dodi terbuka hatinya dan tidak akan bernasib sama seperti mendiang pamanmu itu," gerutunya dengan setengah berteriak agar suaranya kedengaran hingga ke telinga Arini.
Arini tetap diam dan akhirnya ia tiba di depan kamarnya. Ia masuk ke dalam ruangan dan seperti apa yang diucapkannya kepada Bu Nining, ia pun segera beberes kamarnya yang masih terlihat sedikit berantakan.
Tak terasa, matahari sudah meninggi dan berada tepat di atas kepala dan itu artinya waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 siang. Pekerjaan Arini sudah selesai, wanita itu memilih diam di dalam kamar sambil sesekali memainkan ponselnya.
Tiba-tiba benda pipih itu bergetar, sebuah notifikasi pesan chat masuk ke nomor ponselnya. Arini segera membuka pesan chat yang ternyata dari suaminya, Dodi. Perlahan Arini mulai membaca pesan chat tersebut kemudian tidak lama setelah itu, tersinggung sebuah senyuman hangat yang melengkung di wajahnya.
"Syukurlah," gumamnya.
Di dalam pesan itu Dodi mengatakan bahwa gajinya sudah masuk dan sudah diambil oleh Bu Nining. Dengan hati riang, Arini keluar dari kamarnya. Ia ingin menemui Bu Nining dan meminta jatah yang sudah dijanjikan oleh Dodi kepadanya untuk membeli baju baru.
Ya, selama ini uang gaji Dodi semuanya dipegang dan dikendalikan oleh Bu Nining. Ia beranggapan uang milik Dodi sepenuhnya adalah hak miliknya. Lain halnya jika Dodi dan Arini memiliki anak, maka ia pun akan memberikan hak penuh uang itu kepada Arini.
Arini pun tidak mempermasalahkan hal itu. Ya, walaupun sebenarnya ia agak kesulitan jika ingin membeli barang-barang kebutuhannya. Seperti saat ini, di saat ia ingin membeli pakaian untuknya, ia harus meminta dulu kepada Bu Nining.
Arini mencari keberadaan Bu Nining dan akhirnya ia menemukan wanita paruh baya itu sedang duduk di ruang santai sambil menonton televisi. Wanita itu tampak serius menyaksikan acara yang sedang berlangsung. Wanita itu bahkan sampai tidak menyadari bahwa Arini sedang berada di dekatnya.
"Bu," sapa Arini.
Bu Nining terkejut dan ia segera menoleh kepada Arini. "Ya, ada apa?"
"Ehm, Bu. Sebenarnya aku ...."
...***...
"Kamu mau apa lagi? Mau uang lagi, iya?" tanya Bu Nining yang sepertinya mengerti apa yang diinginkan oleh Arini menemuinya saat itu. Mungkin saja Dodi sudah menyampaikan keinginan kecil istrinya itu kepada Bu Nining.
Arini menganggukkan kepalanya pelan sambil menatap wanita paruh baya tersebut dengan wajah sendu. Entah kenapa setelah melihat ekspresi wajah Bu Nining saat itu ia yakin bahwa Ibu mertuanya itu tidak akan pernah bersedia memberikan uang itu kepadanya.
Melihat Arini yang mengangguk, Bu Nining tersenyum sinis. "Memangnya uang itu untuk apa, ha?" tanya Bu Nining lagi.
"Bu, minggu depan salah satu temanku akan menikah dan aku ingin membeli baju baru untuk digunakan ke acara tersebut. Bajuku yang lama retsletingnya sudah rusak dan tidak bisa aku gunakan lagi," tutur Arini.
Bu Nining memutar bola matanya. Ia merogoh saku baju yang ia kenakan sambil menekuk wajahnya. Bu Nining mengeluarkan sebuah dompet kemudian mengambil selembar uang kertas berwarna biru.
"Nih!" Bu Nining menyerahkan uang itu ke hadapan Arini, masih dengan wajah menekuk. "Ganti retsleting saja ke tukang jahit! Tidak usah beli baju baru. Lagi pula tidak lama lagi Dodi pasti akan membelikanmu beli baju baru pas lebaran nanti," lanjutnya.
Dengan gemetar, Arini menyambut uang tersebut dari tangan Bu Nining. Walaupun ia tahu hal ini pasti terjadi, tetapi tidak bisa ia pungkiri hatinya tetap terasa kecewa dan sakit.
"Tapi, Bu ...." Arini menatap sedih uang kertas berwarna biru tersebut. Hampir saja ia tidak bisa mengontrol buliran bening yang ingin merembes keluar dari pelupuk matanya.
"Kenapa, kamu tidak mau? Ya, sudah kalau begitu kembalikan!" kesal Bu Nining yang ingin merebut kembali uang itu dari tangan Arini.
"Ah tidak, Bu. Bukan begitu maksudku," ucap Arini sembari mundur beberapa centi ke belakang dan mencoba mempertahankan uang yang ada di tangannya agar tidak kembali ke genggaman wanita kejam itu.
"Bukankah kamu sudah tahu, Arini! Aku sudah sering katakan bahwa Dodi itu punya banyak tanggungan yang harus ia bayarkan setiap bulan. Angsuran rumah ini, angsuran mobil, belum lagi bayar listrik, air dan lain-lainnya! Dan sekarang kamu malah ingin minta jatah beli baju, dasar istri tidak berguna!" umpat Bu Nining.
"Maafkan Arini, Bu. Baiklah kalau begitu, biar Arini ganti retsletingnya ke tukang jahit saja," sahut Arini dengan kepala tertunduk. Inilah kelemahan Arini selama ini. Setiap kali ia meminta uang untuk keperluan pribadinya, Bu Nining selalu menjawab dengan jawaban yang sama, yang membuat Arini tidak dapat berkutik lagi.
Bu Nining mencebikkan bibirnya kemudian kembali fokus pada layar televisi berukuran besar itu. Melihat Bu Nining yang sudah tidak mempedulikan dirinya lagi, Arini pun segera beranjak dari ruangan itu dan kembali ke kamarnya.
Setibanya di kamar, Arini meraih pakaian yang akan ia bawa ke tukang jahit untuk diganti retsletingnya. Ia memasukkan pakaian itu ke dalam sebuah tas kecil. Namun, sebelum ia pergi membawa pakaian tersebut ke tukang jahit, Arini sempat duduk di tepian tempat tidurnya sambil menitikkan air mata.
"Ya, Tuhan! Semoga aku selalu diberikan kesabaran yang tiada batas karena aku tahu Engkau tidak akan menguji kesabaran setiap hambamu di luar batas kemampuannya," gumam Arini sambil menitikkan air mata.
Arini meraih ponselnya kemudian membuka sebuah aplikasi belanja online berwarna orange. Ia mengecek keranjang di akunnya kemudian menghapus satu list belanjaan yang sudah sejak lama ia idam-idamkan. Sebuah dress cantik dengan harga yang cukup terjangkau. Namun, sekarang harapannya ingin memiliki dress cantik itu pupus sudah.
Wanita berusia 25 tahun tersebut menghembuskan napas berat kemudian segera bangkit dari posisinya dan berjalan keluar dari kamar. Ketika melewati ruang bersantai, Bu Nining sempat melihat ke arahnya dengan tatapan datar. Wanita paruh baya itu tampak tidak peduli apapun yang dilakukan oleh menantunya tersebut.
"Bu! Bu Nining!" Tiba-tiba terdengar suara seseorang dari luar yang memanggil-manggil nama Bu Nining. Bu Nining yang tadinya asik memperhatikan Arini, segera bangkit dengan wajah semringah. Dengan langkah cepat, Bu Nining mendatangi ke arah asal suara.
"Hei Jeng, pesananku sudah datang, ya?" tanya Bu Nining dengan wajah semringah kepada wanita yang sedang berdiri di depan pintu rumahnya.
"Iya, donk! Coba lihat ini!" Wanita itu tersenyum lebar sambil memperlihatkan sebuah kresek hitam besar yang sedang ia pegang kepada Bu Nining.
"Ah, senangnya!" pekik Bu Nining. Saking bahagianya, Bu Nining sampai bertepuk tangan kegirangan.
"Sini, sini! Mana, aku mau lihat." Bu Nining mengulurkan tangannya ke hadapan wanita itu. Sedangkan wanita itu membuka kantong kresek tersebut dan mengeluarkan sebuah bungkusan transparan berisi pakaian berwarna cream.
Dengan tergesa-gesa, wanita itu membuka bungkusan plastik transparan tersebut dan kini tampaklah sebuah gamis dengan payetan nan indah yang berjejer di setiap sisinya.
"Lihatlah, Bu Nining! Cantik 'kan? Secantik Bu Nining. Saya yakin Bu Nining akan semakin cantik jika mengenakan gamis ini," goda wanita itu.
"Ya, Tuhan! Cantik sekali," pekik Bu Nining sembari menenteng gamis cantik itu ke tubuhnya.
"Apa aku terlihat cantik?!" Bu Nining tampak menari-nari dengan gamis tersebut.
"Ya, tentu saja, Bu Nining!" jawab wanita itu.
Arini hanya bisa terdiam melihat Bu Nining yang ternyata membeli baju baru lagi. Padahal baru minggu kemarin Ibu mertuanya itu membeli sebuah kaftan dengan harga yang cukup mahal bagi seorang Arini. Arini melirik tas kecil yang berisi pakaian miliknya yang akan ia bawa ke tukang jahit. Ia sedih, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa.
"Eh, itu masih ada satu. Punyanya siapa?" tanya Bu Nining kepada wanita itu.
"Ini? Bukan punya siapa-siapa, Bu. Saya sengaja membeli lebih, ya siapa tahu ada yang naksir, 'kan?!" jawabnya sambil terkekeh pelan.
"Coba deh buka, aku ingin lihat yang itu!" titah Bu Nining dan segera dituruti oleh wanita itu.
Wanita itu menenteng gamis cantik dengan model yang hampir sama, tetapi dengan warna yang berbeda. Sama-sama cantik dan sama-sama mahal tentunya.
"Wah, cantik sekali!" pekik Bu Nining lagi. Ia melepaskan gamis berwarna cream tersebut kemudian meraih gamis berwarna hijau botol yang dipegang oleh wanita itu.
"Berapa harganya, Jeng?" tanya Bu Nining sambil melenggak-lenggok dengan gamis tersebut.
"Khusus buat Bu Nining, biar disamain aja, deh. Bu Nining 'kan langganan saya," sahut wanita itu.
"Lima ratus juga? Kalau dua jadi satu juta, ya? Bisa kurang gak, Jeng? Aku ambil keduanya deh," ucap Bu Nining sambil menggoda wanita itu.
"Jangan lagi lah, Bu Nining. Itu sudah murah banget, Bu. Saya jual ke orang lima ratus lebih, loh!" jawab wanita itu.
"Baiklah, aku ambil keduanya," ucap Bu Nining mantap.
"Oke deh, Bu Nining!" jawab wanita itu dengan wajah semringah. Akhirnya barang dagangannya habis dibeli oleh Bu Nining.
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!