Pagi ini seperti biasa Anya membantu sang Ibu menyelesaikan pekerjaan laundrynya. Mulai dari mencuci, menyetrika dan mengantar pakaian.
Meski berkali-kali ia mendapat hujatan dan hinaan yang tidak enak oleh pelanggan, ia tetap semangat dan pantang merah. Dalam hatinya ia tulus melakukan pekerjaan itu demi mendapatkan biaya tambahan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari bersama sang Ibu.
Lumayan!
Kali ini hasil laundrynya cukup banyak, kebanyakan pakaian para pria. Wajar saja, pria kan banyak yang pemalas. Anya bangkit dari duduknya dan menjemur pakaian yang sudah ia keringkan di mesin cuci.
Langkahnya menuju ke luar di halaman samping rumah. Di sana ia menjemur pakaian tersebut sambil sesekali menghirup udara segar di waktu pagi.
"Anyaaa!" terdengar suara seorang pria yang memanggil namanya.
Anya menatap ke arah suara tersebut. Dilihatnya seorang pria berbadan sedikit kurus tidak terlalu tinggi. Pria itu tampak menyandang tasnya dan tersenyum menyapa Anya.
Kedua mata Anya terbuka lebar seakan terlepas dari kelopaknya.
"Kauuu … Radit?? Kapan kau kembali?" ujar Anya pada pria itu.
Ternyata pria tersebut adalah teman lamanya saat ia sekolah dulu. Kebetulan juga jarak rumah mereka tak begitu jauh. Hanya beberapa kilometer saja.
Raditya Rahman, seorang photografer di kecamatan Tanah Abang. Selain ia pintar, ia juga memiliki sikap rendah hati kepada sesama. Banyak yang menjulukinya sebagai Bos Muda Tampan.
Karena dirinya telah membangun sebuah studio khusus untuk para model indonesia. Banyak wanita model yang terpesona dengan ketampanannya.
"Aku baru saja kembali dari Korea. Sepertinya, suasana di sini sangat cerah ya? Berbeda dengan di sana, Korea lebih sering musim hujan salju," tutur Radit sambil menatap Anya.
Kini keduanya duduk di teras depan rumah. Anya kagum terhadap temannya itu yang kini telah telah sukses. Berbeda dengan dirinya, yang saat ini masih saja seperti dulu, tak pernah membawa perubahan sedikit pun.
Selain itu, Anya juga terkesan kampungan dan polos. Bukan hanya penampilannya yang polos, sikapnya juga sangat lugu. Meskipun begitu ia tak pernah peduli dengan keadaan dirinya. Yang terpenting adalah ia merasa tenang dengan dirinya saat ini.
"Wah! Ternyata kau Radit?? Kapan kau pulang, Nak?" tiba-tiba saja wanita paruh baya itu muncul dan menghampiri mereka.
Diana, Ibunya Anya. Wanita itu tersenyum dan menyambut kedatangan Radit. Pria itu bergegas menjabat tangan Diana.
"Baru saja tiba, Bi …." ucap Radit.
"Yasudah, kalau gitu masuklah dulu. Kau pasti capek kan?" pinta Diana, sembari mempersilahkan Radit untuk masuk.
"Tidak perlu, Bi. Saya di sini hanya ingin bertemu Anya, oh iya. Ini ada sedikit oleh-oleh untuk Bibi dan Anya, semoga suka ya?"
Radit tampak menyodorkan sebuah bagpaper yang ia keluarkan dari dalam tas, kepada Diana. Wanita itu menerimanya dengan mata berbinar.
"Astaga, Radit. Kau tidak perlu repot-repot begini. Melihat kau pulang saja Bibi sudah senang,"
"Iya, Radit. Kami juga sudah menganggap kau seperti keluarga sendiri, jadi kau tidak usah repot-repot,"
"Tidak apa-apa, Anya, Bi. Lagipula hanya sesekali saja,"
"Terima kasih, ya …."
"Terima kasih, Radit,"
"Sama-sama. Oh, ya Bi, Anya. Saya pamit pulang dulu, ya? Sampai jumpa,"
"Ya, hati-hati, ya. Sampai jumpa."
Kedua wanita itu tersenyum menatap kepergian Radit. Pria itu berjalan menuju mobil yang terparkir di pinggir jalan. Setelah mobil itu berlalu, Anya dan Ibunya kembali masuk ke dalam rumah.
***
Gavin tampak berjalan menuju pintu masuk gedung perusahaannya itu. Langkahnya tampak tegap dengan kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celananya.
Dengan postur tubuh yang lumayan tinggi, sekitar 178cm membuatnya sangat terlihat tampan. Ditambah lagi setelan jas yang ia kenakan sangat sepadan.
Semua mata memandang ke arahnya, karyawan-karyawan tersebut tak henti-hentinya menyaksikan kedatangan CEO tampannya.
"Wah! Tampan sekali,"
"Tuan Muda CEO tampan, tapi sayang beliau akan segera menikah,"
"Benar, berita mengenai undangan pertunangannya sudah menyebar di media,"
"Wah! Sayang sekali, aku terlambat,"
Segala pujian dan sapaan hanya ia anggap sebagai angin lalu. Ia tak begitu merespon walau hanya sekedar menyapa karyawannya. Wajahnya tampan, akan tetapi sikapnya sangat sombong dan jutek.
"Tuan Muda CEO. Apa Tuan Muda yakin dengan berita seperti ini dapat menyingkirkan masalah anda dengan Nona Cecilia?" ujar Hans asistennya, ia tampak penasaran dengan Bos besarnya itu.
"Saya tidak tau pasti, yang jelas ini merupakan bukti bahwa saya sangat mencintai Mawar. Saya hanya berharap dengan begini, Mawar akan memberikan kepercayaannya padaku," balas Gavin lalu masuk ke dalam ruangannya.
"B-baiklah, Tuan Muda. Semoga kau berhasil membuat Nona Mawar mempercayai anda,"
Gavin mengangguk pelan. Ia tampak menghempaskan pantatnya di kursi dan menatap berkas-berkas di atas meja. Kemudian ia mengambil salah satu dokumen tersebut dan memberikannya kepada Hans.
"Dokumen apa ini, Tuan Muda?" tanya Hans sambil menerimanya.
"Itu adalah surat perjanjian mengenai pembangunan proyek di desa Bendungan Hilir. Kau harus menyerahkan surat perjanjian itu kepada kelurahan di sana," jawab Gavin seraya menjelaskan.
"Baik, Tuan Muda. Kalau gitu saya permisi dulu."
Gavin mengangguk pelan. Usai kepergian Hans, Gavin tersenyum mengamati sebuah desain undangan pertunangan itu di dalam laptopnya.
Sungguh! Ia sudah merasa bosan dengan kabar isu mengenai hubungannya dengan Cecilia. Karena dalam hatinya ia telah menyerahkan seluruh jiwa dan raganya hanya untuk Mawar, calon tunangannya.
Seorang wanita cantik, datang dan berjalan masuk menghampiri Gavin. Wajahnya sangat berbinar menatap pria itu. Mawar Jingga, wanita itu tersenyum lalu memeluk tubuh Gavin.
"Gaviin … kau serius kan akan melangsungkan acara tunangan kita? Aku rasa kau tidak berbohong padaku," ujar gadis itu.
Gavin menghela napas sesak. Ia melepas pelukan itu dan menatap wajah gadis itu.
"Kau harus percaya padaku. Aku hanya mencintaimu, dan aku sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan Cecilia," jelas Gavin.
Mawar mengulum senyum manja dan menggenggam tangan Gavin.
"Gaviin, kali ini aku percaya padamu. Kau harus bisa melakukan yang terbaik untukku, ya?"
"Aku janji …."
Lalu Mawar mendekap tubuh Gavin. Di saat itu seseorang datang mengetuk pintu.
Tokkk tookkkk!
"Masuk." pinta Gavin.
Ia melepas pelukan itu dan melihat asistennya telah kembali. Gavin mengernyitkan alisnya. Sementara Hans hanya mendehem pelan melihat Bos besarnya tengah bermesraan.
"Gavin, sepertinya aku harus kembali. Terima kasih," ujar Mawar lalu mengecup pipi Gavin.
Hal itu membuat Hans hanya bisa mengalihkan pandangannya.
"Ehemmm!" Hans mendehem pelan.
Mawar menatapnya, lalu pergi meninggalkan Gavin dan asistennya itu.
Sepeninggal Mawar, Hans menghampiri Gavin dan menyerahkan selembar kertas.
"Tuan Muda, kelurahan di desa tersebut telah menolak proyek ini. Beliau mengatakan, lahan tersebut telah dilakukan pembangunan rumah beberapa bulan yang lalu," ujar Hans.
Gavin terkejut dan bangkit dari duduknya. Ia merasa tidak terima dengan hal itu.
"Apaa?! Bukankah dulu telah memberikan surat pernyataan mengenai pemindahan lahan? Bagaimana bisa sekarang ditolak untuk pembangunan proyeknya? Ini tidak bisa dibiarkan. Mau tidak mau perusahaan harus menuntutnya," tegar Gavin.
"Tapi Tuan Muda, apakah dengan menuntut kelurahan desa tersebut dapat mengembalikan semuanya?"
"Hanya ada satu cara, jika beliau tidak mau menanda tangani surat perjanjian ini, kita harus melakukannya secara paksa. Dengan menggusur rumah tersebut."
Hans tampak bingung, ia menghela napas dalam.
"Kita harus kembali menemui kelurahan tersebut besok, jangan sampai perusahaan kehilangan semuanya. Ini merupakan proyek yang direncanakan oleh Papa. Pokoknya perusahaan akan tetap menjalankan proyek ini,"
"B-baiklah, Tuan Muda CEO,"
"Kau jangan lupa sampaikan kepada Manajer Fan. Lakukan meeting untuk masalah ini,"
"B-baik, Tuan Muda, laksanakan."
Gavin menggenggam tangannya dan berpikir sejenak. Ia merasa tidak terima jika proyek yang akan dijalankannya berhenti di sini saja. Dengan segala cara dan usaha, ia akan tetap menjalankan proyek tersebut.
###
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments