"Dasar pria sombong! Seenaknya saja memperlakukan anak saya seperti itu. Anya … pokoknya kalau kau bertemu dengan pria tersebut, kau harus menagih hutangnya. Kalau begini terus, bisa-bisa usaha kita bangkrut," tampak wanita paruh baya itu mengomel.
Anya hanya bisa diam mendengar omelan ibunya itu. Sesaat ia menarik napas dan mengelus dada wanita paruh baya tersebut.
"Ibu … tenanglah, jangan emosi begini. Aku janji akan menagih hutang itu jika bertemu pria sombong tersebut, Bu, sekarang Ibu istirahatlah. Biar aku yang melanjutkan menyetrikanya," ujar Anya.
Sebenarnya, di dalam hati ia benar-benar menyimpan dendam kepada pria sombong itu. Meskipun wajahnya sangat tampan jika tidak memiliki attitude sama sekali semua takkan berarti apa-apa.
"Kau juga harus banyak istirahat, jangan kau paksa terus untuk membantu Ibumu ini, ya?"
"Ibu … ini sudah menjadi kewajibanku membantu Ibu. Jadi Ibu tak perlu mengkhawatirkan aku, sudah ya Ibu istirahat saja."
Tampak wanita paruh baya itu tersenyum melihat putrinya. Sejak kecil Anya telah banyak membantu wanita itu. Meskipun dirinya sudah tau bahwa ia bukan putri kandung wanita itu. Akan tetapi, Anya tetap menyayangi wanita itu layaknya Ibu kandungnya.
Di dalam Rumah, Gavin telah siap dengan pakaian kemeja dan jeans berwarna Navy. Entah mengapa, sejak kecil ia menyukai warna tersebut. Menurutnya warna tersebut memiliki arti tersendiri.
Kelly, Ibu tirinya duduk di depan televisi. Matanya menatap ke arah Gavin. Ia mendengkus napas dan meletakkan majalah yang dibacanya.
"Kau mau ke mana, Gavin?" tanya wanita itu.
Gavin berjalan menuju pintu, matanya melirik ke arah Kelly.
"Memangnya kalau saya mau pergi, harus bilang dulu kepada Mama?" sahut Gavin dengan wajah datar.
"Gavin … kau ini lancang sekali bicara sama Mama. Aku ini Mamamu, Gavin .…"
Gavin menatap sinis.
"Kau itu tidak pantas menggantikan Ibuku. Kau itu hanya menginginkan harta dari Papaku, iya kan?"
"Gaviin ….!" seorang pria berbadan gempal tinggi, berjalan sambil membenarkan kacamatanya. Ia menatap Gavin dengan tajam.
"Papa …." ujar Gavin.
"Lancang sekali kau bicara dengan Mamamu. Dia itu Mamamu, pengganti Ibumu. Kau harus menghormatinya, Gavin …!" tegas pria itu bernama Jeff.
Mendengar ucapan itu Gavin hanya diam dan tersenyum kecut.
"Pa … sudahlah. Biarkan saja Gavin seperti itu. Mungkin dia perlu waktu untuk menerima kehadiranku," ucap Kelly dengan menghela napas.
"Dasar Munafik!" cetus Gavin.
"Gaviin ….!" gertak Jeff kepada Gavin.
Pria itu tampak tidak bisa menahan amarahnya. Emosinya tampak meluap-luap ketika mendengar ucapan putranya.
"Kenapa Pa? Ha … Papa selalu saja membelanya, karena dia istri Papa, kan? Dia juga jauh lebih cantik dari Ibu, tapi aku tak pernah bisa menerima kehadirannya. Dia tak pantas menggantikan Ibu, Papa ngerti?!"
Usai berkata demikian, Gavin berlalu pergi meninggalkan pangan itu. Kelly berdiri dari duduknya dan menghampiri Jeff. Matanya menatap sinis ke arah Gavin yang telah berada di luar sana.
"Pa, sudahlah. Jangan dengarkan perkataan Gavin. Mama tidak apa-apa kok, Mama juga mengerti, sikap Gavin tidak sama persis dengan Bian," ucap Kelly dengan tenang.
Pria itu mendengkus napas dan duduk di sofa. Kelly menyodorkan segelas teh hangat kepada suaminya itu.
"Minum dulu Pa, tehnya,"
Jeff menerimanya dan meneguk teh itu.
"Gavin ini memang dari dulu tidak pernah berubah, Papa sudah lelah memperingatkannya, Ma. Tolong Mama jangan ambil hati ya perkataan Gavin,"
Kelly menatap ke arah Jeff.
"Mama juga mengerti, Pa. Lagipula Mama sudah biasa mendapat perlakuan seperti itu."
Tampak Kelly memeluk tubuh suaminya. Ia memasang wajah memrlas, berharap suaminya dapat mengerti perasaannya.
***
Di sebuah Cafe yang cukup jauh dari rumahnya, Gavin berjalan masuk ke dalam. Sepasang matanya menatap seluruh penjuru ruangan tersebut. Ia tersenyum menatap wajah gadis cantik yang tengah meneguk minuman dalam gelas.
Mawar Jingga, calon tunangannya yang telah membuat janji temu kepada Gavin. Wanita itu menatap ke arah Gavin dengan pandangan datar. Rambutnya yang terurai panjang sebahu itu membuatnya terlihat cantik.
"Duduklah." pinta Mawar kepada Gavin.
Dengan segera, Gavin pun menghempaskan pantatnya dan duduk di kursi. Kini posisi mereka tampak berhadapan.
"Maaf, ya? Aku sedikit terlambat," ucap Gavin.
"Tidak papa, aku mengerti." balas Mawar santai.
Gavin mencoba mengatur napasnya, ia menatap ke arah gadis itu.
"Mawar … Sebenarnya kau mau bicara hal penting apa?" tanya Gavin.
Sesaat gadis itu mengalihkan pandangannya ke arah luar. Bibirnya melukis senyum tipis pada bibir sexynya itu.
"Sebenarnya … aku hanya ingin mengetahui satu hal, kurasa kau mau berkata jujur padaku," jawab gadis itu lalu memandang Gavin.
Gavin mengernyitkan alisnya. Ia telah menduga-duga bahwa Mawar akan bertanya tentang berita yang beredar di media kemarin lusa.
"Bicaralah, aku akan menjawabnya,"
"Siapa Cecilia itu?" tanya Mawar.
Gavin menarik napas dan membenarkan posisi duduknya. Kedua matanya menatap ke arah gadis tersebut. Perlahan tangannya menggenggam tangan gadis itu.
"Mawar, kau harus percaya padaku. Cecilia itu hanya mantan, berita yang sempat beredar itu hanya hoax. Hubunganku dengan Cecilia hanya mantan, kami sudah lama putus," jawab Gavin mencoba untuk membuat Mawar percaya padanya.
Seketika, gadis itu tersenyum kecut dan melepas genggaman itu.
"Omong kosong! Kau tidak perlu berbohong, Gavin. Aku ini calon tunanganmu, apakah layak kau membohongiku?!" tegas Mawar dengan nada tinggi.
"Mawar, tolong percaya. Aku tidak berbohong. Aku berkata jujur padamu,"
"Apa kau punya bukti? Kalau kau sudah putus dengan Cecilia? Berikan bukti itu padaku, Gavin,"
"Aku memang tidak mempunyai bukti, tapi aku sudah putus dengannya. Aku jujur, Mawar. Cecilialah yang mengejarku,"
Mawar tampak bangkit dari duduknya. Terlihat semua pelanggan cafe menatap keduanya. Gavin tak memperdulikan itu.
"Aku tidak percaya! Jika kau tak memberikanku bukti, aku tak akan bisa mempercayaimu."
Lalu Mawar pun beranjak pergi dan meninggalkan Gavin. Sementara Gavin hanya menghela napas dan beranjak bangkit.
"Mawar. Please! Jangan keras kepala." teriak Gavin sambil menatapi kepergian Mawar.
Ia sendiri merasa bingung harus melakukan apa? Apa yang harus dibuktikan kepada Mawar supaya dia mempercayainya? Pertanyaan itu terus melambung-lambung di dalam otaknya. Pikirannya diselimuti oleh rasa bingung yang kian meronta.
"Cecilia …." ungkapnya.
Sesaat itu kedua matanya berbinar, sepertinya ia mempunyai ide yang cemerlang. Ide apa itu??
###
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments