Dan Dwini hanya tersenyum mendengar komitmen yang menurutnya konyol itu. Karena seolah menganggap hubungan mereka tidak serius.
Tak sekali Dwini kerap protes dengan cara pikir Dista dalam menjalani hubungan pacarannya dengan Langit, yang begitu tampak dekat tetapi saling mengaku tidak serius.
"Kalo memang ga pake hati ngapain buang waktu untuk bersama?" tanya Dwini pada Dista suatu hari saat mereka tampak santai menunggu cake yang mereka buat bersama setelaah membedah resep di sebuah chanel youtube.
"Santai aja Dwi... yang penting selama kami pacaran ga ada kontak fisik yang berlebihan. Soalnya itu yang lebih penting dari semuanya. Pacar bertebaran itu biasa dan ga dosa, yang penting bisa jaga diri. Dan tetap bisa mempertahankan kesucian kita untuk suaami kita kelak." Dista membela diri.
"Iya... itu memang utama, tetapi dengan kamu pacaran kan bisa saja hal itu terjadi."
"Nah, justru itu. Jika kita ga berpengalaman dan ga punya banyak waktu untuk saling mengenal pasangan kita mungkin saja itu akan terjadi. Asal di rayu cowok sedikit udah klepar-klepar Ge-Er ga karu-karuan, trus di puji dikit lemah, di ajak jalan sebentar dah goyah..., lama-lama khilaf deh. Karena terlalu terbuai. Kalo aku sama mas Langit justru lebih ke berteman baik aja sih, jadi misal besok dia dapat cewek yang ternyata bisa bikin jantungnya berdegub lebih kencang dari saat bersamaku. Ya silahkan saja dia tinggalin aku. Begitu juga sebaliknya."
"Komitmen yang konyol, gimana tumbuh cinta kalo ga di rawat begitu." Seloroh Dwini mendengar pernyataan Dista.
"Dwi... setiap orang memiliki cara mencinta dengan berbeda. Saat kamu bingung dengan hubunganku dan mas Langit, sesungguhnya aku lebih bingung dengan caramu mencintai mas Bimo. Bagaimana jika ternyata selama pendidikan dia kepincut cewek di sana. Atau jika besok pas udah kerja dia di tugaskan di mana gitu,terus kepincut gadis desa. Ngenes ga sih nasib mu."
"Aku lebih percaya Allah, sebab sejak dulu yang aku minta hanya dia yang akan menjadi jodohku. Masa kan Allah ga kasih, jika permintaanku cuma satu itu saja."
"Subhanallah. Semoga Allah benar-benar mengabulkan doamu Dwi." Peluk Dista mendengar jawaban Dwini yang terdengar sangat jujur dan mengiba itu.
Hari berlalu dengan begitu cepat dan sempurna mengantarkan Dwini dan Dista pada semester akhir perkuliahan mereka. Kini mereka memasuki masa KKN yang selanjutnya akan melakukan penelitian proposal dan penyusunan skripsi sebagai tugas akhir.
Namun, ada sesuatu yang lumayan membuat keduanya heran di kala tiap hari selalu mendapati kiriman buket bunga, kadang coklat, kadang juga cemilan dan pernah juga buku penunjang pelajaran jurusan mereka. Kiriman itu nyata di tujukan untuk Dwini namun selalu pengirimnya tidak memberikan keterangan. Hanya tertulis pemuja rahasia.
Kadang Dwini dan Dista ingin mengali informasi tentang siapa pengirim paket itu, tetapi sang pemuja rahasia itu tampak sudah sangat lihai dalam bermain waktu, sehingga ia seperti sudah tau kapan keduanya itu akan meninggalkan rumah, sehingga pemuja rahasia itu tiidak pernah tertangkap basah.
Kadang pernah Dista iseng bertanya pada tetangga, mungkin saja mereka pernah memergoki orang yang mengantar paket tersebut.
Tetapi, tetangga bilang orang yang mengantar selalu berganti-ganti. Dan kemungkinan itu memang orang bekerja sebagai kurir.
Awalnya Dista dan Dwini tidak ingin memakannya, tetapi lama-kelamaan semua itu menumpuk. Jadi mereka bersepakat mengumpulkannya kemudian membagikan cemilan itu pada teman-teman di ruangan mereka.
Masa KKN sudah berlalu, proposal mulai di garap. Dosen pembimbing pun sudah di bagi untuk membantu mereka menyusun tugas akhir. Dista tampak tenang dan lancar jaya setiap pulang berkonsultasi dengan Dosen pembimbingnya yang kebetulan berbeda dengan Dwini.
Dan itu sangat mempengaruhi respon keduanya saat pulang berkonsultasi.
Dwini selalu memasang wajah cemberut, kala selesai bertemu dosennya Pa Irwan Bakhtiar. Beliau merupakan dosen termuda di kampus itu, tetapi walau di usianya yang baru kepala tiga telah menyandang gelar Doktor. Beliau terkenal sebagai dosen yang dingin, sulit untuk di dekati, jarang senyum juga pelit nilai.
Menurut mereka hanya mahasiswa yang apes saja yang bisa menjadi mahasiswa bimbingannya. Termasuk Dwini.
Dwini sedikit iri pada Dista, sebab rancangan bab milik Dista telah semakin maju. Sedangkan miliknya selalu saja bagai jalan di tempat.
"Dis... apa aku harus ganti judul saja ya? lama-lama aku bosan di coret melulu oleh pak Irwan. Belum lagi jika aku berkonsultasi dengan dengan bu Nurlaila, beliau selalu bertanya apakah sudah menemui pa Irwan. Jika ku katakan sudah lalu beliau, melihat coretan pena pak Irwan. Lalu memintaku untuk pulang memperbaikinya. Dan jika ku bilang belum, di minta agar sebaiknya aku bertemu pa Irwan terlebih dahulu. Aku lelah Dista." Curhat Dwini di suatu sore saat mereka tengah nongkrong di suatu pantai. Sekedar untuk mencari suasana baru untuk melepas penat mereka dari segudang aktivitas kampus.
Tiga bulan berlalu Dista tidak dapat menutupi kegirangannya karena skripsinya telah benar benar selesai, hanya tinggal menunggu waktu ujian. Namun, Dista tidak bisa serta merta tertawa lebar, mengingat skripsi Dwini masih jalan di tempat.
"Dwi... menurutku kamu harus mengubah metode pendekatanmu dengan pa Irwan deh..." Saran Dista.
"Caranya...?"
"Kendala mu apa?"
"Pa Irwan terlampau sibuk Dis. Sehingga ia jarang punya waktu untuk memeriksa drafku. Beliau sering tidak menepati janji temu, karena mendadak ada jadwal masuk ngajar. Jika bertemu pun pekerjaanku sudah di coret. Karena tidak sesuai, bahkan hanya soal EYD saja, beliau teliti sekali."
"Ya... itu bukan soal sepele. Tapi fatal."
"Tapi itu dulu pas baru-baru konsul. Sekarang sudah tidak. Di coret juga jarang. Tapi... lama di koreksinya."
"Gimana kalau pendekatannya coba dari hati ke hati aja Dwi...?" Dista masih memikirkan cara lain untuk membantu Dwini.
"Maksudnya...?" Dwini langsung parno jika mendengar kata bermain hati.
"Maksudku, sekali-kali kalian jalan tanpa membahas tentang skripsi. Usahakan obrolan itu hanya tentang kegiatan masing-masing, sehingga beliau tidak sadar bahwa kamu sedang mengorek jadwal kerjanya. Jadi, kamu akan dapat dengan mudah mengetahui jadwal kerja yang sesungguhnya."
"Sehingga tidak ada alasan baginya untuk menolak ajakan bertemu atau tidak memeriksa pekerjaanku. Begitu maksudmu?"
"Nah ... tuh. Pinter." ujar Dista.
"Boleh juga sih ide mu. Tapi aku harus mulai dari mana...?" Dwini kembali meragu akan memulai saran Dista sahabatnya itu.
"Chat saja dengan kata-kata yang sopan." Saran Dista yang sangat mendukung Dwini untuk memulai hubungan dengan seorang pria.
"Dis... bantuin. Aku ga pandai merayu." Ucap Dwini sambil menunduk dan mengulurkan ponselnya pada Dista.
...Bersambung......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments
bumade
halo kak jejak ku udah sampai...🤗
2021-08-12
1
Bambang Setyo
Wah dista salah kasih saran nie..
2021-08-09
0
Suharti Antek
lanjur
2021-08-04
1