"Hai, aku Nico. Maukah ikut denganku?"
Seketika aku mendongakkan kepala melihat ke arah asal suara. Dengan tangan penuh luka dan debu, aku mengusap kedua pipiku dari cairan bening dan hangat yang meleleh keluar dari kedua bola mataku.
"Jangan bersedih. Ikutlah denganku. Kamu akan bahagia." ucapnya lagi sambil tersenyum. Tangannya terulur ke arahku. Aku mengangguk. Ku raih tangannya yang bersih dan halus, lembut seperti kapas. Entah apa yang membuatku begitu menjadi penurut. Bahkan dengan orang asing yang boaru saja ku temui pertama kali pun aku langsung mengikutinya. Aku pasrah, dia menjanjikan akan membuatku bahagia. Aku sudah lelah terluka. Lihatlah, bahkan tubuhku saja sudah penuh dengan luka dan debu, kumal, bau, bahkan sangat menjijikan.
"Kita mau kemana?" tanyaku pada pria muda tersebut.
"Jangan banyak tanya, kamu pasti akan suka." ucapnya lembut di iringi dengan senyuman.
Aaahhhh ... lagi-lagi aku hanya mampu diam dan mengikutinya. Kami berjalan cukup lama dan kurasa juga sangat jauh. Anehnya aku tak merasa lelah sama sekali.
"Nih." ucapnya sambil tersenyum sambil menyerahkan sebuah gulali berwarna warni yang lucu dan menggemaskan berbentuk kepala boneka.
"Terimakasih." ucapku sambil menerima gulali itu dengan mata berbinar.
"Makanlah, maka kamu akan bahagia." lagi-lagi kata itu yang ia janjikan padaku.
Segera aku memasukan sedikit demi sedikit gulali itu ke dalam mulut. Entah perasaan apa ini, tiba-tiba rasa sakit di tubuhku berangsur berkurang. Luka-luka di tangan, kaki, bahkan sekujur tubuh mengering. Bahkan dalam sekejap aku melupakan segala kesedihanku.
"Bagaimana? Apa kamu sudah tenang?" tanyanya kemudian. Aku mengangguk, dengan mata berbinar ku dekap tubuhnya. Dia hanya tersenyum mendapat perlakuanku seperti itu.
"Apa kami bersedia ikut denganku?" tanyanya kemudian. Masih dengan nada lembut dan senyuman yang hangat.
"Kemana?" tanyaku penasaran.
"Tentu saja ketempat yang indah. Tempat dimana tidak akan ada lagi kesedihan yang menghampirimu." ucapnya memberiku janji.
"Benarkah?" tanyaku penuh harap. Ia mengangguk.
"Ta ... tapi, bagaimana dengan Ibuku?" tanyaku ragu-ragu. Aku teringat ibuku, bukan ibu sebenarnya. Karena beliau di nikahi oleh ayahku setelah empat puluh hari Ibu kandungku meninggal.
"Jangan khawatir. Kamu akan bertemu ibumu disana. Ibumu yang asli." ucapnya kemudian, seolah-olah mengerti semua isi hati dan pikiranku.
"Benarkah? Ta ... tapi Ibuku sudah di surga." ucapku dengan mata berkaca.
"Sudah ku bilang kan? Kamu akan bahagia disana. Jadi apa yang kamu takutkan?" ucapnya lagi.
Aku mengangguk. Ku ikuti langkahnya. Sebuah cahaya putih terlihat di depan mata, sangat menyilaukan. Seketika aku mengarahkan telapak tanganku untuk menahan pantulan cahaya putih itu.
"Bukalah matamu." ucap lelaki itu. Perlahan ku turunkan tangan yang menutupi mataku. Seketika rasa takjub melihat apa yang ada di depan mata. Sebuah taman penuh dengan permen dan juga gulali bertebaran disana sini. Aku melepaskan genggamanku pada pria yang bernama Nico tersebut dan berlarian bahagia kesana kemari. Terlihat banyak anak kecil seusiaku bahkan lebih kecil juga berlarian kesana kemari bermain dengan binatang-binatang kecil yang lucu dan imut.
"Hai, aku Maria. Maukah kau berteman denganku?" tanyaku pada salah satu anak yang sedang asyik memakan sebuah permen lolipop. Dia tak menjawab, hanya memandang ke arahku sebentar dan kembali menjilati lolipopnya. Merasa aku tak di pedulikan aku kembali berjalan dan menemui salah satu anak lagi yang sedang duduk sambil memainkan kupu-kupu yang sangat lucu.
"Hai, aku Maria. Maukah kamu menjadi temanku?" tanyaku pada gadis itu. Dia tersenyum, namun tak menjawab. Dia meraih tanganku dan mengajakku bermain ayunan. Benar kata Nico, disini aku merasa bahagia. Tak ada lagi kesedihan bahkan makian dan perlakuan Ibu sambungku terhadapku. Aku bisa tertawa bersama mereka teman-teman baruku. Bahkan aku bisa makan permen dan gulali sebanyak yang ku mau. Bahkan aku menempati sebuah ruangan yang begitu indah dan berwarna warni layaknya permen dan manisan.
"Maria, kamu senang berada disini?" tanya Nico saat aku sedang duduk di sebuah ayunan. Aku mengangguk semangat.
"Kamu bisa tinggal disini selamanya kalau kamu mau. Asal kamu berjanji satu hal." ucapnya.
"Apa?" tanyaku penasaran.
"Jangan pernah kamu sentuh apalagi memakan coklat yang ada di taman itu." perintahnya.
"Mengapa begitu?" tanyaku penasaran.
"Tak usah bertanya, turuti saja kataku." ucapnya masih dengan senyuman yang lembut.
Aku menjadi penasaran, apalagi coklat yang dimaksud oleh Nico ada salah satu makanan yang sedang ku incar. Selain bentuknya yang unik, coklat juga merupakan makanan kesukaanku. Hanya saja kemarin-kemarin aku belum berani mendekat karena tak kulihat satu anak pun mendekati coklat itu.
Beberapa hari setelah Nico memperingatkan aku soal larangan menyentuh bahkan memakan coklat tersebut, membuat aku semakin penasaran dan ingin mencobanya. Setiap hari ku pandangi tempat yang tumbuh subur dengan aneka coklat bentuk unik dan lucu. Kali ini aku tak tahan untuk tak mendekat kesana. Ku lihat kesana kemari memastikan tak ada satupun orang yang memperhatikan aku. Perlahan aku berjalan mendekati ke arah taman coklat tersebut. Ku pandangi coklat itu dari jarak dekat.
"Aku?" aku bertanya pada salah seorang anak yang melambaikan tangannya padaku. Ia mengangguk, lalu kembali melambaikan tangannya ke arahku.
"Itu ada anak lain disana." gumamku. Kaki ku melangkah perlahan memasuki tempat yang di larang Nico padaku. Gadis cilik itu memberikan sebuah coklat berbentuk kupu-kupu padaku.
"Makanlah." perintahnya.
"Ta ... tapi, Nico melarangku memakan coklat ini." jawabku ragu-ragu.
"Tak apa, dia hanya tak mau kamu bahagia terlalu lama." ucapnya lagi.
"Mak ... maksudnya?" tanyaku tak mengerti.
"Hahahaha ... tak ada maksud apa-apa. Makanlah." ucapnya. Perlahan aku mendekatkan bibirku ke arah coklat tersebut. Baru saja satu gigitan aku masukan ke dalam mulut, coklat itu benar-benar mengalihkan segalanya. Rasanya aku seperti melayang.
"Maria, apa yang kamu lakukan?" pekik Nico dari arah seberang.
"Ni ... Nico. Ma ... maafkan aku." ucapku merasa bersalah. Entah mengapa aku melihat sosok mengerikan di belakangku. Anak kecil yang memberiku sebuah coklat tertawa terbahak. Wajahnya berubah mengerikan. Entah apa yang terjadi kemudian, taman permen milik Nico juga meleleh. Seperti di terpa panas yang amat sangat satu persatu gulali dan permen milik Nico berubah menjadi air. Begitu juga Nico, semakin lama semakin mengecil.
"Hahahaha ... bodohnya kamu Maria. Kamu akan kembali ke dunia asalmu." ucap gadis mengerikan itu.
"Apa maksudmu?" tanyaku.
"Aku tak pernah suka ada kebahagiaan anak-anak disini. Aku mau kalian pergi dari sini." ucap gadis itu dengan suara yang menyeramkan. Terlihat banyak anak-anak berlarian kesana kemari sambil teriak-teriak ketakutan. Aku merasa bersalah dengan Nico dan yang lainnya. Tiba-tiba pandanganku gelap. Sesaat kemudian aku tak ingat apa-apa lagi.
Tut ... tut ... tut ...
Samar ku dengar suara yang menggema. Seperti di sebuah ruangan. Perlahan aku membuka kedua mataku.
"Ayah." panggilku lemah pada sosok laki-laki yang selama ini begitu ku sayangi.
"Maria, maafkan ayahmu ini, Nak." ucapnya sambil menangis dan menggenggam erat jemariku.
"Ayah kenapa menangis? Dimana aku sekarang?" tanyaku bingung melihat banyak selang menempel di tubuhku.
"Kamu di rumah sakit, Nak. Maafkan ayah yang terlalu sibuk. Sehingga ayah tak pernah tahu perlakuan Ibu padamu." tangis ayah semakin menjadi.
"Maaf, Pak. Saya periksa dulu kondisi Maria." tiba-tiba seorang pria berdiri di belakang ayah. Aku termangu melihatnya.
"Baik, dokter." jawab ayah sambil bergeser.
"Ka ... kamu?" aku menatap ragu pada dokter yang sepertinya aku pernah melihatnya. Dengan senyumnya yang hangat dia meletakkan telunjuknya di depan bibir dan mengedipkan sebelah mata.
"Anak baik, kondisimu sudah membaik. Tak lama lagi boleh pulang." ucapnya lembut.
"Terimakasih, dokter." ucapku lemas. Dia mengangguk dan tersenyum.
"Oh iya, ini buat kamu anak manis." ucap Dokter itu sambil menyerahkan sebuah permen warna warni indah sekali. Aku menerimanya dan menyimpannya.