Byur! Byur! Byur!
"Tolong! Tolong ...! Tolong ...."
Suara gadis kecil minta tolong, tetapi aku tak bisa apa-apa. Tubuhku tak bisa bergerak bagai terpaku. Aku tak bisa menolongnya. Aku hanya bisa menyaksikan gadis malang itu tenggelam perlahan.
Dor! Dor! Dor!
"Agharrr ....!"
Di belakangku, tampak sosok lelaki tinggi besar disiksa. Ia berteriak meminta tolong padaku. Namun, aku tak bisa menolongnya pula. Tubuhku bagai terpaku, meskipun aku memaksakan diri bergerak pun tetap tak bisa.
"Mayang .... bangun, Sayang ...."
Seketika kedua mata terbuka dan aku bangun dengan napas terengah-enggah. Kupandangi sekitar ruang, dunia bagai berganti. Ternyata semua hanya mimpi. Sungguh, aku tak habis pikir. Belakangan ini, aku selalu bermimpi buruk. Mimpi yang sama.
"Kamu enggak apa-apa?"
"Aku enggak apa-apa, Tante Reni," jawabku spotan menghapus keringat yang keluar dari pelipis.
"Kamu mimpi buruk lagi?" tanya Tante Reni mengusap punggungku.
"Iya, Tante. Sejak aku tinggal di rumah dinas ini," jawabku angkat lutut kemudian kupeluk erat. "Aku takut,Tante ...."
Tante Reni tersenyum lalu duduk di sampingku. Ia memelukku, sepertinya pikiran mulai tenang. Aku tahu, beliau mencoba menguatkanku. Aku mempunyai trauma waktu kecil. Ya, sebab itu, Tante Reni menutup mata batinku. Walau tak semuanya tertutup.
"Apa enggak sebaiknya, kita pindah ke rumah utama saja, Tan?" Aku sudah tidak tahan dengan mimpi ini.
"Rumah utama, jauh dari sini," ucap Tante Reni menghela napas kemudian bangkit dari duduknya. "Kamu bersabar dulu, setelah tugas orang tuamu selesai baru minta pindah."
***
_Abdi teh ayeuna gaduh hiji boneka.
Teu kinten saena sareng lucuna.
Ku abdi di erokan, erokna sae pisan.
Cing mangga tingali boneka abdi_
_Saya sekarang punya sebuah boneka.
Tak terkira bagus dan lucu.
Saya pakaikan rok, rok nya pun bagus.
Ayo silahkan lihat boneka saya_
Kunyanyikan lagu 'Abdi Teh' diiringi dengan musik piano. Rasanya sudah lama sekali, aku tak menyanyikan lagu ini. Semasa aku kecil, Ibu juga sering menyanyikannya sebelum tidur.
Tap! Tap! Tap!
"Siapa itu?" lirihku.
Sejenak mataku melirik ke arah jam dinding menunjukan pukul 21.00 malam. Aku bangkit dari kursi kemudian berjalan menuju tangga. Sontak, aku terkejut bukan main. Aku melihat sosok wanita berwajah pucat menatapku di atas tangga. Ia berdiri tegap lalu menghilang.
Aku berlari dan cepat-cepat menelepon Tante Reni. Dengan tangan gemetaran aku angkat gagang telepon rumah sambil menekan tombol. Pikiranku dipenuhi rasa ketakutan yang luar biasa. Jantungku berdebar-debar dan napas tak beraturan. Ketegangan dalam diri semakin menjadi-jadi.
"Ayo angkat, Tan ...." Aku menoleh ke kanan dan kiri masih dihantui rasa cemas.
"Halo, Mayang!"
"Tante ada di mana?" tanyaku.
"Tante lagi di jalan," jawabnya.
"Tante ... cepat pu-lang." Belum selesai bicara telepon terputus.
Tak sengaja, aku membiarkan gagang telepon rumah tergantung. Aku masih bisa mendengar suara Tante Reni mengatakan 'halo' berulang kali. Namun, aku tak bisa meraih gagang telepon itu, karena tubuh seperti ditarik dan leher terjerat.
"To--long!"
"Mayang, kamu kenapa?" Suara Tante Reni perlahan semakin jauh.
Aku terus mencoba memberontak, tetapi jeratan leher ini bertambah kuat. Dengan sekuat tenaga aku berusaha meminta tolong. Karena rumah jauh dari tetangga, sepertinya tidak ada yang mendengar suaraku.
"Jangan ... ganggu aku!" teriakku dengan leher tercekik. "Le-paskan ...."
Aku kehabisan tenaga dan tak berdaya untuk berteriak atau pun memberontak. Tubuhku seperti terseret keluar rumah dan pada akhirnya, aku tercebur kolam renang.
Byurrr!
"To-long ....!"
Aku mencoba melambaikan tangan, tetapi kaki bagai ditarik ke dalam. Kepalaku nyaris tenggelam, aku memaksa untuk tetap naik. Namun, kepalaku seperti ditekan kuat.
"Mayang ...." Tante Reni menceburkan diri kemudian menolongku.
Di tepi kolam renang, aku duduk dengan napas terengah-engah. Ketakutan masih merajai pikiranku. Sekarang, aku bernapas lega karena adik papa sudah pulang.
Menurutku memang sebaiknya, kami pindah dari rumah ini. Aku hampir saja mati karena tinggal di rumah ini. Aku merasa penghuni halus, tak berkenan ada orang yang menempatinya.
***
"Hampir saja, aku mati Tante," ucapku sembari meneguk sedikit teh hangat.
"Maafkan, Tante karena pulang malam," balasnya sembari mengeringkan rambutku.
"Rumah ini semakin aneh," ujarku meletakkan cangkir teh di atas meja.
Tante Reni meletakan handuk dan hairdrayer di atas kursi. Dia seperti mencoba menetralisir rumah. Setelah itu, ia menawariku untuk masuk ke dunia mereka. Maka, aku akan kembali ke masa sebelum rumah ini dibangun.
"Kamu mau tahu asal mula rumah ini?"
"Enggak terlalu juga, Tante," jawabku.
"Bukannya, kamu penasaran dengan penghuninya?" tanya Tante Reni lagi.
"Iya, aku penasaran."
Tante Reni mengajakku ke ruangan keluarkan. Ia mematikan lampu ruangan lalu menyiapkan sebuah lilin yang menyala di atas meja kecil. Dia membuka mata batinku. Kami memulai saling memejamkan mata.
Aku melihat cahaya berwarna merah. Dunia seperti berubah sunyi. Aku melihat sosok gadis kecil bermain dengan ayahnya. Ia terlihat bahagia. Tak lama setelah itu, kebahagiaan mereka sirna.
"Papa ...." Gadis kecil yang malang itu dipisahan oleh orang jepang.
"Bella ...." Ayahnya juga dibawa paksa.
Di depan mataku, gadis itu diceburkan ke sungai. Tentara jepang itu, membiarkannya tenggelam. Ayahnya tewas tertebak kemudian kepalanya dipenggal. Beberapa orang menemukan gadis jasad gadis itu mengambang. Begitu juga dengan ayahnya dibawa ke rumah sakit dengan tubuh dan kepala terpisah.
"Tolong aku," katanya.
Gadis itu menghampiri dan tersenyum padaku. Ia menceritakan tentang '1890 Huis' rumah ini dibangun pada tahun 1890. Kala itu, bangunan ini adalah rumah sakit korban pembantaian jepang.
"Maaf, aku selalu hadir dalam mimpimu," katanya lagi sembari mengenggam tanganku. "Aku tahu kamu terganggu dan ketakutan. Kamu nyaris tenggelam, tetapi bukan aku yang membuatnya."
"Aku hanya minta makamku dan papa, dibersihkan. Makhluk yang menenggelamkanmu itu perempuan jahat sebaiknya kamu berhati-hati ...." Kemudian ia menghilang.
"Mayang ...."
"Siapa kamu?" tanyaku dengan nada tinggi.
Aku berusaha melawan ketakutan ketika perempuan rambut panjang menghampiri dengan wajah yang semakin mengerikan. Aku berjalan mundur dan ingin lari. Namun, Tante Reni melempar sebilah pisau ke arahku.
"Mayang! Cepat tusuk ubun-ubunnya sekarang!"
Spontan aku menusuk kepalanya dengan pisau. Perempuan itu menjerit lalu menghilang.
Pusaran waktu seperti berjalan cepat. Aku membuka kedua mataku. Begitu juga dengan Tante Reni. Kami melihat lilin sudah mati. Sekarang aku sudah tahu kenapa tempat ini angker.
***
Pagi harinya, aku dan Tante Reni membersihkan makam di belakang rumah. Sejak peristiwa itu, aku tak pernah lagi berjumpa dengan mimpi buruk.
Minggu kemudian, aku bersama Tante Reni meninggalkan rumah dinas papa. Ya, kami kembali ke rumah utama. Sebelum mobil melaju, aku melihat gadis kecil bernama Bella melambaikan tangannya padaku. Aku pun membalasnya dan mengatakan selamat tinggal.