Aku memecahkan celengan ayamku. Ada banyak lembaran uang kertas bernilai seratus ribu rupiah berserakan di lantai. Kuhitung jumlah tabunganku selama setahun itu. Sepuluh juta tujuh ratus ribu nilainya. Uang di tabungan bank ada sekitar dua puluh juta. Itu hasil dari gaji bulananku selama dua tahun sebagai salah satu karyawan bengkel terbesar di kotaku. Jika digabungkan kedua tabunganku itu, maka totalnya sekitar tiga puluh jutaan. Masih kurang dua puluh juta lagi untuk bisa membahagiakan seseorang.
Untungnya, bos di tempat kerjaku mau meminjamkan sisa uang yang kurang itu. Aku membuat kesepakatan dengannya, gaji bulananku tak akan kuambil selama dua tahun ke depan.
Semua ini kulakukan untuknya. Azalea namanya. Gadis yang sehari-hari berjualan bunga di trotoar. Wajahnya secantik bunga Azalea. Aku menjulukinya si pemilik mata yang indah. Sayang, ia penyandang tuna netra. Matanya tak bisa melihat apapun. Ia hanya berjalan dengan bantuan tongkat.
Pertemuan pertama kami cukup unik. Waktu itu aku yang baru saja pulang kerja, tak sengaja melihat seseorang membayar bunga jualannya dengan uang mainan. Terang saja, aku yang naik pitam langsung memukul orang itu. Bisa-bisanya dia menipu seorang penyandang tuna netral!
"Terima kasih. Untung aja ada Abang, kalau tidak, mana saya tahu dia mau menipu," ucap gadis itu dengan tatapan lurus ke depan.
Aku memandangnya. Lama. Ini pertama kali aku terpesona akan keagungan Tuhan. Ini pertama kali jantungku terasa meronta-ronta dari rongganya. Dan ini pertama kali, aku jatuh cinta pada pandangan pertama.
"Abang? Abang sudah pergi?" tanyanya sambil mencoba meraba-raba ke depan.
Saat tangannya meraih wajahku, dengan pelan ia membelai pipiku, menelusuri lekuk wajahku. Aku bergeming sambil menatap lekat wajah ayunya. Merasakan sapuan lembut telapak tangannya.
"Maaf ...." Dia menurunkan tangannya dari wajahku.
Sejak itu, kami menjadi akrab. Setiap pulang kerja, aku selalu menyempatkan mampir ke lapaknya. Kadang-kadang membantunya kabur dari penertiban Satpol PP. Kami makin dekat. Cintaku pun makin bersemi.
"Azalea, Abang suka ma kamu. Abang mau nikahi kamu. Kamu mau gak?"
Dia terdiam. Matanya menjadi sayu. "Abang gak malu menikah sama orang buta?" tanyanya lirih.
Aku menggenggam tangan mungilnya. "Enggaklah. Abang gak peduli, Abang sudah cinta mati kamu."
"Abang tahu enggak apa keinginan terbesar aku?"
"Apa itu?"
"Aku pengen banget lihat wajah Abang. Walau hanya sedetik. Aku penasaran seperti apa wajah pria yang melindungiku selama ini."
"Gak usah lihat. Abang enggak secakep artis-artis."
"Beneran, Bang. Aku pengen banget lihat wajah Abang walau hanya sedetik. Sayangnya, kayaknya itu gak akan pernah terwujud."
Melihat wajahnya yang sedih, membuat hatiku tersentuh. Kugenggam kembali tangannya sambil berkata, "Kamu serius mau lihat wajah Abang?"
Dia mengangguk cepat dengan segaris senyum.
"Kalau begitu kamu harus operasi mata dulu."
"Yah, itu sih mimpi kali, Bang. Operasi transplantasi kornea mata 'kan mahal. Sudah nasibku kali Bang hidup dalam kegelapan. Tapi, meskipun begitu ... aku tetap bersyukur. Setidaknya, sejak ada Abang, hidupku lebih berwarna. Kamu seperti cahaya bagiku." Wajahnya memelas, ada sebuah genangan air mata yang sedang berusaha ia tahan agar tak mengalir.
"Abang akan berusaha, Dek. Mulai sekarang Abang akan lebih giat lagi bekerja," ucapku meyakinkannya.
Singkat cerita, sejak saat itu aku bertekad lebih giat bekerja mencari uang untuk mengumpulkan biaya transplantasi kornea mata pacarku. Aku juga mencari pekerjaan sampingan sebagai tukang Ojek. Tentu saja agar pujaan hatiku bisa melihat luasnya dunia, dan menatap wajahku yang pas-pasan ini.
Aku juga sering membawanya berkonsultasi ke dokter mata. Oh, iya, kebetulan dokter itu sangat baik dan ramah. Ia juga tak bosan untuk menjelaskan prosedur operasi yang kurang kupahami. Hingga akhirnya semua biaya operasi telah terkumpul dan dokter telah menjadwalkan tanggal operasinya.
Hari itu aku sungguh takut, gelisah, was-was, dan panik. Aku menunggunya di pintu ruang operasi. Masih sempat dia meraba wajahku seraya tersenyum riang.
"Terima kasih ya, Bang. Bentar lagi aku bakal bisa melihat. Pokoknya, aku mau Abang jadi orang pertama yang kulihat," ucapnya seraya menelusuri lekuk wajahku.
Aku hanya mengiyakan ucapannya. Saat itu, lidahku tiba-tiba menjadi keluh. Tak banyak kata yang kuucapkan, tapi tak lupa sebuah doa dan kata-kata semangat kulontarkan untuknya. Aku menggenggam erat tangannya, sebelum akhirnya tangan itu terlepas dari genggamanku dan dia dibawa masuk ke ruang operasi.
"Selamat, ya? Operasinya berhasil!" ucap dokter menjabat tanganku usai keluar dari ruang operasi. "Kalau boleh tahu, apa Anda suaminya?"
Mendapat pertanyaan dokter, aku hanya tertawa bodoh. "Bukan. Aku hanya donatur yang membantunya agar bisa melihat lagi."
Entah kenapa, tiba-tiba kata-kata itu keluar dari mulutku. Ya, aku hanya mengaku sebagai donatur yang membantu pasien mendapatkan transplantasi kornea mata. Bukan karena tak mau mengakui dia sebagai kekasihku. Bukan. Namun, aku justru kehilangan kepercayaan terhadap diriku. Bagaimana wanita secantik dia bisa mendapatkan pasangan Upik abu. Ya, aku minder.
"Anda sangat mulia. Semoga Tuhan membalas kebaikan Anda," puji dokter tersebut. Dokter itu masih muda dan tampan. Sebagai seorang pria, aku iri pada ketampanannya.
Aku melangkah ke ruang rawat Azalea. Di sana, dia duduk dengan mata yang masih di perban. Aku mendekatinya. Kubelai rambut panjangnya. Dia tersenyum. Aku turut bahagia, setidaknya aku bisa mewujudkan mimpinya untuk melihat dunia. Dan juga, menatap wajahku.
"Sedikit lagi perbannya dibuka, ya? Tolong ambil obat ini di apotek terdekat," kata suster padaku.
Aku mengangguk, kemudian memutuskan segera beranjak mengambil obat yang diresepkan dokter. Baru beberapa langkah, tak sengaja aku mendengar perbincangan antara Azalea dan suster tadi.
"Suster lihat pria tadi, enggak? Menurut suster, dia keren gak?"
Langkahku terhenti seketika. Aku berbalik, sementara suster tersebut menatap sungkan ke arahku.
Dengan memasang wajah tak enak, suster itu menjawab, "Kau akan segera tahu setelah perbanmu dibuka."
Aku keluar dari ruangan itu. Tiba-tiba tubuhku merosot dan mengecil seperti liliput. Lagi-lagi, aku kehilangan kepercayaan diri. Bagaimana tidak, Azalea sudah berekspektasi tinggi dengan tampangku. Mungkin dipikirnya wajahku setampan Pasha Ungu, kenyataannya hanya "Pas-pasan".
Aku menitipkan obat yang telah kubeli di apotek pada suster. Kulihat pintu ruangan di mana kekasihku di rawat. Tiba-tiba kaki ini berat melangkah. Aku takut, dia akan kecewa melihat wajahku yang tak sesuai bayangannya. Benar-benar takut.
Aku memundurkan langkahku. Makin jauh dari ruangan itu. Hingga benar-benar keluar dari gedung Rumah Sakit. Aku belum siap menemuinya. Aku butuh persiapan, setidaknya perlu memperbaiki gaya rambutku, membeli baju yang bagus, dan mencerahkan kulitku. Tidak seperti sekarang. Kusam dan bau oli. Aku butuh waktu untuk memantapkan diri berdampingan dengannya.
Hari demi hari berlalu, aku mulai memperbaiki penampilanku. Rambutku dipotong ala kekinian dan membeli beberapa produk perawatan yang katanya dapat mencerahkan dalam waktu seminggu. Ini memang lucu, tapi demi memantaskan diri pada orang kucinta, hal konyol ini kulakukan.
Tiba saatnya aku merasa sudah siap untuk bertemu dengannya. Aku berdiri di ujung jalan. Menerawang dari kejauhan ke tempat biasa ia berjualan. Sepi. Ternyata dia belum berjualan di sana. Ah, mungkin dia masih perlu waktu untuk istirahat pasca operasi.
Esok hari, aku kembali ke tempat itu. Masih kosong. Hanya ada sisa-sisa kembang yang mengering. Apakah dia baik-baik saja? Sempat meragu, aku mencoba berpikir positif kembali.
Hingga sampai sebulan, Azalea masih tak berjualan di tempat biasanya. Aku mulai was-was. Ada apa dengannya?
Aku mencoba mendatangi Rumah Sakit tempat ia melakukan transplantasi mata. Di sana, kebetulan aku bertemu dengan dokter yang menanganinya.
"Dokter!" panggilku sambil berlari ke arahnya.
Dia menoleh. Dahinya berkerut karena tampaknya dia lupa denganku. Namun, segera kujelaskan bahwa aku adalah donatur dari pasien transplantasi kornea mata bernama Azalea.
Begitu nama itu kusebut, dia langsung tersenyum semringah sambil merangkulku.
"Kebetulan sekali ...."
Aku hanya bisa bertanya-tanya dalam hati maksud kata-kata yang tak selesai itu.
"Pertama-tama, saya ingin mengucapkan banyak terima kasih pada Anda karena telah berbaik hati menjadi donatur untuk pasien tersebut. Kedua, berkat Anda pula, saya dan pasien itu bertemu hingga kami saling tertarik satu sama lain. Dan, bulan depan kami memutuskan akan menikah."
Mendengar satu persatu kata yang keluar dari mulut dokter itu, membuatku terlonjak seketika. Tiba-tiba aku mendengar suara petir menggelegar di siang hari. Dadaku seperti di terjang ombak besar. Jantungku seakan dijatuhi meteor. Aku seolah berada di ruangan minim oksigen, tak bisa bernapas.
Aku menelan ludahku berkali-kali. Namun, masih mencoba menelaah maksud perkataannya. Saling tertarik satu sama lain? Menikah?
Setelah benar-benar menyadari maksud perkataannya, aku langsung berbalik meninggalkan dokter tampan tersebut. Berjalan gontai dengan penglihatan gamang di sepanjang koridor Rumah Sakit. Hatiku hancur berkeping-keping. Batinku menangis. Tubuhku melemah. Inikah alasan mengapa dia tak lagi berjualan bunga di trotoar usai operasi mata?
Aku terus berjalan. Bukan salah dokter itu, bukan salah Azalea juga. Ini salahku. Ya, aku yang salah. Andaikan waktu itu aku tak melarikan diri, pasti tidak akan seperti ini. Aku hampir menangis dalam keramaian. Untungnya, air mata masih berkompromi pada diriku. Jari-jemariku menjambak rambutku sendiri, menyesali betapa bodohnya aku.
Gadis yang kucintai telah diambil orang. Lebih buruknya lagi, dia tak akan pernah tahu bagaimana wujud si pria bodoh ini. Pria yang mencintainya.