P3K
Jadwal seleksi sudah di umumkan. Tanggal itu juga langsung pada tancap gas. Apalagi ini waktunya, untuk yang terakhir kali. Kalau tidak lolos, bakalan keluar. Keluar dari pekerjaan, keluar dari instansi, yang tidak ada dana untuk menggaji yang tidak ikut. Walau ada selentingan, kalau semua bakalan di terima, karena Desember itu, mesti semua beres. Tapi kok begini. Kok, sulit. Kenapa ini? Apakah orang yang di atas tak paham, kalau di bawah sini sudah pada kelimpungan? Apa mereka juga pusing? Itu yang membuat kita pontang-panting. Keputusan atasan, selalu membuat yang di bawah penuh kebingungan. Apalagi usia sudah tidak memungkinan untuk kerja demikian berat. Mudah lupa, serta mudah untuk melupakan sesuatu. Tapi tidak untuk urusan hati, sampai tua juga tetap ingat. Ingat hati. Hati.
Pengumuman seleksi pada tanggal 30 September, yang semestinya untuk bendera setengah tiang. Dan itu nyata. Kita banyak yang tidak lolos. Termasuk aku. Setengah tiang, oh akhirnya nyata.
Pendaftaran seleksi. Mendaftar saja sudah kesulitan. Mulai masuk dengan hanya modal muka, alias urun rai. Tapi yang tidak bisa bakalan sulit. Entah itu masalah sinyal, atau memang dari sananya. Yang jelas memang tengah berebut. Itulah makanya menunggu bisa, dengan komputer yang mesti lancar. Besar sinyal, dan mesti tepat. Dan itu sulit sekali. Sehingga mesti menunggu esok atau lusa. Toh masanya masih panjang. Namun bagi yang mengalami, bikin trauma. Begini benar kisah bujangku. Tapi bagaimana lagi, kalau belum waktunya. Akhirnya di rumah mencoba, ternyata bisa. Di sana sinyal yang tak besar, tapi tengah tidak berebut. Membuat semua mampu di lakukan. Walau dengan susah payah. Susah sinyal. Semua bisa di unggah. Walau dengan mem-foto semua berkas dengan HP. Maklum laptop ikutan ngadat. Sudah beberapa bulan sih. Namun untuk memperbaikinya tak ada dana. Dananya di perlukan untuk lain soal. Jadi begitulah, mangkrak. Tapi semua bisa di lakukan. Sepanjang bisa. Tinggal minta yang bagian akhir, dan penting, yang tak membuat lulus. Nyatanya di situ yang menjadikan demikian. Makanya sedikit mangkel. Perjalanan terhambat. Kawan tak bisa membantu. Akhirnya kebingungan sendiri. Mana kita menginginkan untuk hal itu. Nyatanya memang kesulitan. Tidak bisa.
Seleksi administrasi terus berlanjut. Dari hari demi hari. Selalu melihat dan menunggu. Karena butuh tanda tangan dari atasan. Yang jauh di kota sana. Sementara kita di sini harap-harap cemas. Takut gagal, takut tertinggal. Jika gagal maka usaha bertahun-tahun bakalan mubazir. Mana kita selalu mengharap, dan kali ini kesempatan yang pertama, dan mungkin terakhir. Kesempatan sudah tak ada, juga usia yang semakin berjalan terus. Itu yang bikin kendala. Tapi yang di tunggu tak jua datang. Kita hanya bilang mungkin. Mungkin terlalu banyak yang minta. Mungkin sana terlalu sibuk. Mungkin banyak acara. Mungkin anaknya wudunen. Atau mungkin … mungkin dan mungkin.
Pengumuman hasil seleksi administrasi. Gagal total. Akhirnya. Walau kurang tanda tangan yang tak masuk dalam kompres. Padahal sudah di format dengan benar. Bahwa setelah di gabungkan dua berkas itu melalui I love pdf, terus di kompres karena lebih dari 1 mb. Di buat yang sekitar 900. Nyatanya ada bagian yang tidak terbaca. Dan itu milik kepala dinas. Bakalan gawat. Kita tak menyadarinya. Dan langsung saja di unggah. Akhirnya demikianlah. Tidak lolos. Aduh. Sangat mengerikan. Soalnya itu sangat fatal. Bagaimana lagi.
Masa sanggah. Karena tak lolos. Mesti sanggah. Sementara kawan yang sudah sukses, pada senang. Pesta-pesta. Sekaligus tertawa ceria. Kita enggak. Kita memang mesti menyanggah. Mengapa sampai begitu hasilnya. Sehingga perlu di sanggah. Namun atasan rupanya juga berupaya membantu kita, walau mesti membaca alasan apa yang menyebabkan hal itu terjadi.
Jadwal sanggah. Masa dimana kita harus menjawab. mengapa ini terjadi. Mengapa semua tidak terbaca. Dan kalau perlu mengirim ulang. Kenyataannya bisa. Dan berhasil, namun bagaimana lagi, semua tidak bisa di unggah ulang. Walau sudah mencoba di ulang dengan banyak kali, tetap tak berhasil. Mengulang sampai sepuluh kali yang berhasil Cuma satu. Itu saja di bawah 500 mb. Takutnya kekecilan, dan tidak terbaca lagi, seperti yang sudah-sudah. Makanya kita pun mencoba mengulang lagi. Hasilnya tetap. Siapa yang sambat, waktunya saja yang belum tepat. Kita terus mengulang lagi. Nyatanya semua telah tertutup. Hanya bisa menjawab sanggah. Yang beberapa kata saja. Dan itu bukan secara detail kala mengungkapkannya. Tapi tak mengapa. Walau hati tetap berdebar, takut alasannya tidak tepat.
Pengumuman pasca sanggah. Ini mesti di umumkan. Soalnya sudah lama kita menginginkan itu. Nyatanya lama sekali. Bahkan mundur hingga satu minggu. Dari hari ke hari, waktu demi waktu selalu menunggu. Siapa tahu ada kabar menggembirakan. Nyatanya tidak muncul-muncul. Dan itu berlangsung terus menerus. Lama sekali. Sampai satu waktu, di saat kita Tengah latian olah vocal yang bakalan di pergunakan saat upacara hari penting di mana semua menjadi pahlawan tanpa tanda jasa, di situ yang lain pada bersuka. Lolos semua. Katanya. Kita juga demikian. Bahkan membuka juga lupa paswordnya. Makanya mesti membuka berkas. Dan untung bisa. Dan nyatanya memang berhasil. Semua ikut tes. Tinggal urusan sendiri-sendiri. Dimana sudah tak bisa di bantu atasan. Mesti berjuang sendiri.
Penarikan data final. Kali ini. Untuk menunjukkan kalau semua bisa ikut tes.
Penjadwalan seleksi kompetensi. Dengan masa yang sudah di tentukan, dengan masa yang seringkali mundur. Entah karena apa. Jawaban yang sering di dengar sih akibat banyaknya peserta. Jadi sulit mengaturnya.
Pengumuman daftar peserta waktu dan tempat seleksi kompetensi. Kita berharap bisa berbarengan. Dengan demikian, bakalan memudahkan sesuatu, juga mestinya bisa sedikit ngirit. Pasalnya kalau sendiri-sendiri tentunya mahal. Bagaimana mesti naik travel, lalu nginep di penginapan yang murah meriah dengan pemandangan alam yang begitu Istimewa, dan kamar yang sendiri-sendiri, supaya bisa belajar dengan khusuk. Dan nuansanya jernih. Itulah mengapa sangat mahal. Beda dengan berbarengan. Satu kamar bisa lima atau enam. Yang semestinya paling sejuta, di bagi sepuluh, kan murah. Atau kalau tidak tidur di terminal atau stasiun dengan pura-poura menunggu kendaraan. Yang jelas asal bisa ikut saja, toh akhirnya bisa di loloskan, yang penting ikut. Karena yang di ambil hanya satu, sisanya ikut part time. Itu sudah lumayan, daripada Nasib terus terkatung-katung. Iya, enggak. Gini atau gitu. Dan terus berada dalam suasana di gantung. Seperti Nasib yang di tinggal istri. Di gantung. Iya, enggak…
Pelaksanaan seleksi kompetensi di adakan di Gedung itu. Gedung yang super gede. Dan menyeramkan buat kami yang bakalan menjalani tempur. Yang snagat menentukan. Di sini. Pada ruang yang menyeramkan ini. Luas gede. Diam. Itu yang bikin hati berdebar.
Saat soal di bagikan.
“Lo kok gini?” Terasa ada yang aneh. Di buka sana sini tetap saja soalnya begitu saja. Mana mengoperasikan computer juga sedikit rumit. Apalagi nanti kalau gagal unggah tidak terbaca. Atau lupa mengeklik di akhir, bakalan kacau. Nyatanya begitu. Soalnya belibet.
“Hayo, jangan berisik ya!“ ujar sang pengawas.
Dia sih nampaknya biasa saja. Pakaian rapi. Bahkan masih muda-muda. Tak ada viri-ciri kebotakan, kumis tebal, dan membawa senjata mengerikan. Namun di depan kami semua terasa mengerikan. Membuat panas dingin. Untuk berbuat apa. Takut salah. Begini salah, begitu salah. Salah paham. Padahal kita sudah membawa setip dan pensil. Tapi tetap saja berpengaruh. Tidak bagus. Tidak baik. Yang di ambil Cuma satu, tapi saingannya banyak banget. Itu yang mebuat panik.
“Pak, ini….“
“Diam…..“