Gerimis tipis menyambut langkahku saat tiba di Stasiun Senja. Namanya memang indah, tapi stasiun ini lebih pantas disebut angker. Bangunan tua itu tampak usang dengan cat mengelupas dan jendela-jendela yang sebagian besar pecah. Aku terpaksa singgah di sini karena kereta terakhir menuju kota sudah lewat dua jam lalu.
Hanya ada satu petugas stasiun yang duduk di balik loket, seorang pria tua dengan wajah keriput dan mata sayu. Ia tampak tidak terkejut melihat kedatanganku, seolah sudah terbiasa dengan orang-orang yang tersesat di stasiun ini.
"Kereta selanjutnya jam berapa, Pak?" tanyaku.
Pria itu mengangkat bahu. "Besok pagi. Mungkin."
Aku menghela napas. Tidak ada pilihan lain selain menunggu. Aku mencari tempat duduk di ruang tunggu yang remang-remang. Bangku-bangku kayu tua itu berderit setiap kali aku bergerak. Suara tetesan air dari atap yang bocor menambah kesan suram di ruangan itu.
Karena bosan, aku memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar stasiun. Aku melewati lorong panjang yang menghubungkan ruang tunggu dengan peron. Lorong itu gelap dan pengap. Hanya ada beberapa lampu redup yang tergantung di langit-langit, memberikan penerangan yang minim.
Semakin jauh aku berjalan, semakin dingin udara di sekitarku. Aku merasakan bulu kudukku meremang. Tiba-tiba, aku mendengar suara langkah kaki di belakangku. Aku menoleh, tapi tidak ada siapa-siapa.
"Mungkin hanya perasaanku saja," gumamku.
Aku melanjutkan langkahku, mencoba mengabaikan perasaan tidak nyaman yang semakin kuat. Namun, suara langkah kaki itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas dan lebih dekat. Aku menoleh lagi, dan kali ini aku melihat sesuatu.
Di ujung lorong, berdiri sosok hitam tinggi dengan mata merah menyala. Sosok itu tidak bergerak, hanya menatapku dengan tatapan yang mengerikan. Aku terpaku di tempatku, tidak bisa bergerak atau bersuara.
Sosok itu mulai bergerak mendekatiku. Langkahnya pelan tapi pasti. Aku bisa merasakan hawa dingin yang menusuk tulang saat sosok itu semakin dekat. Aku berusaha untuk berteriak, tapi suaraku tercekat di tenggorokan.
Tiba-tiba, lampu di lorong itu padam. Aku berada dalam kegelapan total. Aku bisa mendengar suara napas sosok itu di dekat telingaku. Aku tahu, ajalku sudah dekat.
Kemudian, aku mendengar suara petugas stasiun memanggilku. "Nak! Nak! Bangun!"
Aku membuka mataku. Aku masih berada di ruang tunggu, duduk di bangku kayu tua itu. Petugas stasiun berdiri di depanku dengan wajah khawatir.
"Kamu ketiduran," katanya. "Kereta sudah datang."
Aku menghela napas lega. Ternyata, semua itu hanya mimpi. Aku berdiri dan mengikuti petugas stasiun menuju peron. Saat melewati lorong, aku menoleh ke ujung lorong itu. Tidak ada siapa-siapa. Hanya kegelapan yang menyelimuti lorong tua itu.
Tapi, aku tidak bisa menghilangkan perasaan tidak nyaman yang masih menghantuiku. Aku tahu, sesuatu yang mengerikan telah terjadi di lorong gelap itu. Dan aku, entah kenapa, merasa terlibat di dalamnya.
Sampai saat ini, setiap kali aku melewati stasiun tua, aku selalu teringat akan lorong gelap dan sosok mengerikan yang pernah kulihat di sana. Dan aku selalu bertanya-tanya, apakah itu hanya mimpi ataukah kenyataan yang tersembunyi di balik kegelapan.