Jonathan lahir tepat di hari Natal. Ia anak kedua dari tiga bersaudara, selalu dikelilingi cinta dari orang tua dan kakak-adiknya.
Sejak kecil, ada tradisi unik di keluarganya. Setiap tahun, setiap hari ulang tahunnya, ayahnya selalu memberinya satu buah mangga.
"Mangga itu simbol kemurnian dan kesabaran," kata ayahnya. "Buah tropis ini butuh perawatan agar tumbuh matang. Sama seperti kamu, Jo, dirawat dengan baik agar bisa tumbuh dewasa dan bijaksana."
Anak laki-laki itu selalu tersenyum menerima mangga itu. Baginya, buah itu lebih dari sekadar makanan—ia adalah doa, pengingat bahwa setiap pertumbuhan butuh waktu, kesabaran, dan cinta.
Tahun demi tahun berlalu. Jonathan mulai menginjak SMA. Pada suatu Natal, saat keluarga berkumpul di ruang tamu, aroma kue dan pohon cemara yang dihiasi lampu-lampu kecil memenuhi ruangan.
Orang tua dan kedua saudaranya tertawa, saling bertukar hadiah, sementara Jonathan menatap mangga yang ayahnya letakkan di tangannya.
Namun, tahun itu berbeda. Mata ayahnya tampak sayu, senyum yang biasanya hangat terasa berat. Ia menggenggam tangan Jonathan sedikit lebih lama dari biasanya. "Jo, jaga mangga ini," katanya lirih. "Dan ingat... setiap musimnya, buah itu matang dengan caranya sendiri. Sama seperti hidupmu nanti."
Jonathan menelan ludah. Ia tak tahu mengapa hatinya tiba-tiba terasa sesak. Malam itu, ia merasa bahwa Natal kali ini bukan sekadar perayaan, tapi pelajaran tentang waktu, kehilangan, dan kematangan.
Ia menatap mangga itu di tangannya, terasa hangat. Hatinya berbisik: aku akan tumbuh matang, seperti yang ayahku harapkan... dan seperti mangga yang ia berikan setiap tahun.
Beberapa bulan setelah Natal itu, dunia Jonathan runtuh.
Kecelakaan itu terjadi di jalan tol, saat hujan turun tanpa jeda. Mobil keluarga mereka tergelincir, menghantam pembatas, lalu berputar sebelum akhirnya diam dalam sunyi yang panjang. Jonathan selamat—ia hanya pingsan, terjepit sabuk pengaman. Ayah, ibu, dan kedua saudaranya tidak pernah bangun lagi.
Hari itu, Natal kehilangan maknanya.
Rumah yang dulu penuh tawa berubah menjadi bangunan kosong dengan gema langkahnya sendiri. Meja makan tetap berdebu, foto keluarga di dinding tak pernah diturunkan, dan pohon Natal yang biasanya dirakit bersama kini tersimpan di gudang, tak pernah disentuh lagi.
Jonathan tinggal sendiri.
Ia masih remaja saat itu, tapi hidup memaksanya tumbuh terlalu cepat. Ia belajar memasak untuk dirinya sendiri, mencuci pakaiannya sendiri, dan tidur dalam keheningan yang kadang terasa lebih menyakitkan daripada tangisan.
Orang-orang berkata ia kuat. Mereka memuji caranya bertahan.
Padahal, Jonathan hanya bertahan tanpa benar-benar hidup. Ia menjadi dingin. Senyumnya jarang muncul. Percakapan ia batasi seperlunya. Ia tidak lagi percaya pada perayaan, apalagi Natal. Setiap Desember datang, dadanya mengeras, seperti ada sesuatu yang ingin keluar tapi tertahan oleh tembok tebal bernama ingatan.
Mangga terakhir yang diberikan ayahnya masih ia simpan—bukan buahnya, tapi bijinya. Sudah mengering, disimpan dalam kotak kecil di laci meja belajar. Ia tak pernah menanamnya. Ia takut melihat sesuatu tumbuh sementara semua yang ia cintai justru pergi.
Tahun demi tahun berlalu.
Jonathan kuliah, hidup sederhana, datang dan pulang tanpa banyak bicara. Malam-malamnya diisi tugas dan kesunyian. Tidak ada panggilan pulang, tidak ada pesan "sudah makan?". Ia terbiasa.
Namun, ada satu pertanyaan yang terus mengganggunya, semakin keras seiring waktu.
Suatu malam, hujan turun pelan. Jonathan berdiri di jalanan sepi, menatap lampu jalan yang remang. Dadanya terasa sesak, dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia berbicara—bukan kepada manusia.
"Tuhan," suaranya serak.
"Kenapa aku masih hidup... kalau aku hidup sendirian?"
Tidak ada petir. Tidak ada jawaban. Hanya hujan yang terus turun membasahi tubuhnya, seolah dunia sedang menangis bersamanya.
Keesokan harinya, udara pagi dingin. Jonathan berangkat kuliah seperti biasa. Jaket hitamnya tertutup rapat, headphone terpasang, ia berjalan tanpa ingin terhubung dengan apa pun.
Di perempatan jalan dekat kampus, tiba-tiba terdengar teriakan.
"Maling! Maling!"
Seorang tukang bakso tua tersandung, gerobaknya hampir terbalik. Seorang pemuda berlari membawa dompetnya. Tanpa benar-benar berpikir, Jonathan berlari. Langkahnya cepat, napasnya berat, tapi kakinya tak berhenti sampai ia berhasil menarik kerah jaket si penjambret.
Dompet itu kembali ke tangan sang tukang bakso. Pria tua itu gemetar, matanya berkaca-kaca.
"Terima kasih, Nak," katanya berkali-kali. "Kalau nggak ada kamu, entah gimana nasib saya hari ini."
Jonathan hanya mengangguk, lalu pergi. Tapi langkahnya terasa berbeda—lebih ringan, entah kenapa.
Hari berikutnya, hujan semalam menyisakan genangan. Di dekat selokan, terdengar suara mengeong lemah. Jonathan berhenti. Seekor anak kucing terjebak di antara lumpur dan sampah, tubuhnya basah dan gemetar.
Ia ragu sesaat, lalu berlutut. Tangannya kotor, sepatunya basah, tapi ia mengangkat anak kucing itu dengan hati-hati. Binatang kecil itu mengeong pelan, lalu diam di dadanya.
Jonathan membersihkannya sebisanya, lalu menitipkannya ke warung dekat situ.
"Biar saya rawat," kata ibu warung. "Kasihan kalau ditinggal."
Jonathan mengangguk. Saat pergi, ia menoleh sekali lagi. Anak kucing itu tidur tenang.
Malam itu, Jonathan teringat ayahnya. Tentang kesabaran. Tentang merawat.
Besoknya lagi, saat berjalan pulang, seorang anak kecil berlari mengejar bola ke pinggir jalan. Sebuah motor melaju kencang. Jonathan refleks menarik tubuh kecil itu ke belakang. Motor itu lewat dengan klakson keras.
Si anak menangis ketakutan. Ibunya datang, wajahnya pucat.
"Terima kasih... terima kasih banyak," katanya sambil memeluk anaknya.
Jonathan hanya berkata, "lain kali, Hati-hati."
Namun di dadanya, ada sesuatu yang berdenyut—bukan sakit, tapi hangat.
Hari berikutnya, di depan minimarket, Jonathan melihat seorang ibu dan anak duduk di trotoar. Anak itu memegang perutnya, wajahnya pucat.
"Ibu, aku lapar..."
Jonathan berhenti. Ia masuk ke minimarket, membeli nasi kotak, susu, dan roti. Ia duduk di samping mereka, menyodorkan kantong plastik itu.
"Silakan."
Ibu itu terkejut, lalu menangis sambil berulang kali mengucap terima kasih. Anak itu tersenyum, matanya berbinar.
Jonathan memandang mereka makan. Untuk pertama kalinya setelah lama, ia merasa... utuh.
Hari itu, kalender menunjukkan tanggal 24 Desember. Malam Natal datang perlahan. Lampu-lampu kota menyala, lagu-lagu lama terdengar dari kejauhan.
Jonathan duduk di kamarnya, membuka laci meja. Ia mengeluarkan kotak kecil. Biji mangga itu masih ada di sana.
Kata-kata ayahnya kembali terngiang: setiap musimnya, buah itu matang dengan caranya sendiri.
Jonathan menatap biji itu lama, lalu berdiri. Ia mengambil pot kecil, tanah, dan perlahan menanamnya.
"Kali ini... aku akan mencoba percaya," bisiknya.
Di malam Natal itu, Jonathan tidak merasa sendirian. Ia teringat wajah tukang bakso, anak kucing, anak kecil di pinggir jalan, dan ibu yang kelaparan.
Ia teringat rasa hangat yang muncul setiap kali ia menolong— sesuatu yang selama ini ia kira telah mati bersamaan dengan keluarganya.
Ia menatap langit dari jendela.
"Tuhan," katanya pelan.
"Aku mengerti sekarang." Ia menarik napas dalam. "Mungkin aku masih hidup... karena aku masih dibutuhkan."
Di luar, hujan turun ringan. Di dalam pot kecil itu, sebuah biji mangga berdiam—menunggu waktunya tumbuh.
Dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Jonathan tidak membenci Natal.
Ia menerimanya. Sebagai awal yang baru.
***
Hari-hari setelah Natal terasa berbeda bagi Jonathan.
Ia mulai menyadari hal-hal kecil yang dulu luput dari perhatiannya—sapaan satpam kampus yang selalu mengangguk ramah, tukang fotokopi yang menghafal namanya, bahkan suara burung pagi yang dulu hanya dianggap kebisingan.
Dunia tidak berubah. Tapi cara ia memandangnya, perlahan berbeda.
Setiap pagi, hal pertama yang ia lakukan adalah mengecek pot kecil di sudut jendela. Tanahnya masih basah, gelap, belum menunjukkan tanda kehidupan.
Namun Jonathan tidak lagi merasa cemas. Ia teringat kata-kata ayahnya—tentang kesabaran.
Suatu sore, ia duduk sendirian di bangku taman kampus. Matahari condong ke barat, langit berwarna jingga pucat. Sekelompok mahasiswa tertawa di kejauhan, membawa sisa-sisa hiasan Natal. Dulu, pemandangan seperti itu akan membuat dadanya sesak.
Kini, ia hanya menarik napas panjang.
Ia teringat masa kecilnya—Natal dengan meja makan penuh, suara kakak dan adiknya berdebat soal hadiah, ibu yang selalu memotret momen-momen kecil, dan ayah yang tersenyum sambil menyelipkan mangga ke tangannya.
Ia menutup mata.
"Ayah," bisiknya, "aku belum sepenuhnya dewasa... tapi aku sedang belajar."
Malam itu, Jonathan kembali bertanya pada Tuhan—bukan dengan amarah, melainkan dengan nada yang lebih tenang.
"Kalau aku masih dibutuhkan," katanya pelan, "tolong ajari aku caranya tetap bertahan."
Jawaban itu tidak datang dalam bentuk suara. Tapi keesokan harinya, Jonathan kembali melihat ibu dan anak yang pernah ia bantu. Mereka melambaikan tangan dari seberang jalan. Anak kecil itu tersenyum lebar, berteriak memanggil namanya.
Jonathan terkejut—ia bahkan tak sadar pernah menyebutkan namanya.
Ia membalas lambaian itu.
Di kamarnya, seminggu setelah Natal, sesuatu berubah. Retakan kecil muncul di permukaan tanah pot. Jonathan terdiam, lalu berjongkok, menatapnya seolah takut ia hanya berhalusinasi.
Tunas kecil itu muncul perlahan—hijau pucat, rapuh, tapi nyata.
Jonathan tertawa pelan. Tawa yang canggung, nyaris asing, tapi jujur.
"Jadi begini rasanya," gumamnya, "melihat sesuatu tumbuh."
Ia menyadari satu hal: hidupnya memang penuh kehilangan, tapi bukan berarti kosong. Setiap bantuan kecil yang ia berikan, setiap tangan yang ia genggam, perlahan mengisi ruang yang dulu hanya berisi duka.
Jonathan tidak lagi bertanya kenapa ia selamat. Ia tahu jawabannya.
Karena hidup bukan hanya tentang siapa yang pergi— tapi tentang siapa yang masih bisa ia jaga.
Ia menyiram tunas mangga itu dengan hati-hati, seperti ayahnya dulu merawatnya. Di luar jendela, matahari pagi menembus tirai, hangat dan lembut.
Natal mungkin telah merenggut keluarganya. Namun dari puing-puing itu, Jonathan belajar satu hal: Ia masih hidup, bukan untuk mengingat kehilangan, melainkan untuk menjadi alasan agar orang lain tidak merasa sendirian.
Dan di sanalah, ia akhirnya tumbuh matang.