Sama seperti hari-hari sebelumnya, Fia sedang mengocok adonan kue di dapur yang bersih-bersih. Hans baru saja keluar kerja, memberi ciuman cepat di dahinya tanpa melihat matanya. “Jangan tunggu aku malam ini ya, ada rapat,” katanya sambil memegang tasnya. Fia hanya mengangguk, seolah otak dia sudah diprogram untuk itu. Semua terasa normal—terus terang, terlalu normal sampai bikin jengkel.
Sore itu, dia mau cek rekening tabungan buat beli bahan masak minggu depan. Nah, disitu dia lihat angka yang bikin mata bengkak. Uang yang seharusnya ada, kurang setengahnya. Dia cek riwayat transfer—ada puluhan kali transfer ke dua nama yang dia tidak kenal: Mirna dan Tyas, keduanya di kota lain. Setiap bulannya, jumlahnya sama. Fia pun mulai nyari tahu, bertanya-tanya ke teman-teman Hans yang dia percaya. Hasilnya? Bikin dia mau pingsan.
“Dua orang, Fi. Mirna punya dua anak laki-laki dan perempuan, Tyas satu. Semuanya dari Mas Hans, dan ada satu nama juga yang dekat dengan mas Hans, yaitu Wina,” kata Wati, teman kantor Hans yang merasa kasihan.
Dunia Fia seketika runtuh. Dia duduk di lantai dapur, adonan kue yang sudah jadi tergeletak terbalik di meja. Air mata tidak keluar—hanya rasa kosong yang membanjiri dada. Seperti ada lubang besar yang tak terisi. Dia tidak marah, tidak sedih—hanya mati rasa. Malam itu, ketika Hans pulang, Fia sudah bersih-bersih dapur, tidur di kamar dengan posisi membalikkan badan.
“Fi, kamu udah tidur?” tanya Hans.
“Ya.”
“Kamu baik-baik saja?”
“Ya.”
Begitulah hari-harinya selanjutnya. Fia masih memasak, membersihkan rumah, mencuci baju—tapi semuanya tanpa jiwa. Seperti robot yang hanya mengikuti perintah. Dia tidak lagi ngobrol sama Hans, tidak lagi menunggu dia pulang, tidak lagi berbagi cerita hari. Hans merasa kedinginan yang menusuk di dada. Dia tahu dia salah, tapi tak berani menggali lebih jauh. Dia takut apa yang akan dia temukan.
Jarak itu segera terlihat sama teman-teman dekatnya: Rick dan Mulyadi. Dua orang yang selalu ada saat Hans butuh, tapi sebenarnya cuma mau mengambil keuntungan.
“Lihat deh, si Fia sekarang kayak hantu ya,” ujar Rick sambil menyipitkan mata. “Kesepian banget tu.”
“Lho, itu kan kesempatan kita dong,” jawab Mulyadi dengan senyum licik. “Dia lagi rentan banget. Kita kasih perhatian, dia pasti tergoda.”
Mulai dari situ, mereka mulai mendekati Fia. Rick sering dateng ke rumah dengan alasan “mau ngobrol sama Hans yang lagi sibuk,” lalu ngobrol sama Fia tentang betapa sulitnya hidup sebagai istri. “Kamu butuh orang yang ngerti dirimu, Fi. Bukan yang cuma bikin kamu kesepian,” katanya dengan nada simpati yang palsu. Mulyadi pun ikut, membawa bunga atau camilan, ngomong tentang betapa cantiknya Fia dan betapa sia-sianya dia kalau cuma dibiarin sendirian.
Fia, yang sudah lama tidak merasakan perhatian dari orang lain, mulai sedikit melepas batasnya. Dia berpikir, mungkin mereka benar. Mungkin dia butuh teman yang bisa dia andalkan. Tanpa sadar, dia mulai terisolasi dari lingkungan lain, cuma mau ngobrol sama Rick dan Mulyadi.
Sampai satu malam, Hans ada rapat di luar kota. Rick menelepon Fia. “Fi, aku dan Mulyadi lagi ada acara di rumahku. Ada makanan dan minuman. Kamu mau dateng? Biar nggak sendirian malam ini.”
Fia ragu, tapi akhirnya setuju. Dia butuh sesuatu untuk melarikan diri dari kesepian yang membanjiri rumah. Ketika dia sampai di rumah Rick, hanya mereka berdua di sana. Meja penuh makanan dan minuman keras. “Makan dulu ya, Fi. Laper kan?” ujar Mulyadi sambil menusuk makanan ke piringnya.
Fia makan dan minum sedikit. Tapi setelah beberapa teguk, dia merasa kepala pusing dan badannya lemas. Dia coba berdiri, tapi gagal. “Aku… aku mau pulang,” katanya dengan suara lemah.
Rick mendekatinya, memegang pundaknya. “Jangan buru-buru, Fi. Kita masih punya banyak hal yang mau kita bicarakan.”
Mulyadi juga mendekat, senyumnya semakin licik. “Kamu butuh rasa nyaman, kan Fi? Kita bisa berikan itu.”
Fia menyadari bahayanya, tapi badannya tidak bisa bergerak. Dia mencoba berteriak, tapi suaranya hanya bisikan. Dan pada malam itu, kedua pria yang dia anggap sahabat suaminya, menodai dia secara brutal.
Hari-hari setelah itu adalah neraka bagi Fia. Dia mengunci diri di kamar, tidak mau makan, tidak mau bicara. Dia merasa kotor, ternoda, tidak berharga sama sekali. Dia berpikir, ini pasti takdirnya. Karena dia sudah tidak sempurna lagi, karena Hans sudah mengkhianatinya, maka dia pantas mendapatkan ini.
Beberapa hari kemudian, dia melihat Hans yang sedang duduk di ruang tamu. Dia berani mengeluarkan diri dari kamar, berjalan dengan langkah lemah. Hans melihatnya dan berdiri cepat. “Fi, kamu baik-baik saja? Kamu sudah beberapa hari tidak keluar.”
Fia menatapnya dengan mata yang kosong. “Hans, aku… aku sudah tidak suci lagi. Aku sudah tidak layak jadi istri mu. Silakan cerai aku.”
Hans terkejut. Dia melihat wajah Fia yang hancur, dan menyadari bahwa ada sesuatu yang jauh lebih buruk dari perselingkuhannya. “Apa yang terjadi, Fi? Siapa yang melakukan ini padamu?”
Fia menangis, pertama kalinya setelah menemukan rahasia anak-anak haram. Dia cerita semua—tentang Rick dan Mulyadi, tentang malam itu, tentang rasa malu dan bersalah yang dia rasakan. Hans mendengarnya dengan tubuh yang gemetar. Kemarahan dan penyesalan membanjiri dirinya. Dia tahu, ini semua karena kesalahannya. Jika dia tidak mengkhianatinya, jika dia tidak biarkan jarak emosional itu tumbuh, maka Fia tidak akan terjebak.
“Maaf, Fi. Maaf yang sangat dalam,” katanya sambil memeluknya erat. “Aku tidak akan menceraikanmu. Aku akan membela mu. Aku akan menebus semua kesalahanku.”
Fia menangis lebih keras, merasakan perhatian yang dia cari selama ini. Akhirnya, ada orang yang mau melindunginya.
Mulai dari situ, Hans berubah total. Dia mengundurkan diri dari semua rapat yang tidak perlu, fokus pada Fia dan penyelidikan. Dia menyewa detektif swasta untuk mengumpulkan bukti. Dalam seminggu, detektifnya sudah mendapatkan rekaman keamanan dari rumah Rick, saksi yang melihat Fia masuk dan keluar dengan keadaan yang tidak normal, bahkan laporan medis Fia yang membuktikan pelecehan.
Setelah bukti cukup, Hans memanggil Rick dan Mulyadi ke taman kota yang sepi. Mereka datang dengan wajah sombong. “Apa ada masalah, Hans? Kenapa menelepon kita ke sini?” tanya Rick.
Hans meletakkan amplop di meja. “Lihatlah sendiri.”
Rick dan Mulyadi membuka amplop, wajah mereka berubah dari sombong menjadi ketakutan. “Ini… ini bohong!” teriak Mulyadi.
“Bohong? Coba kita tanya ke saksi yang ada di sana. Atau kita lapor ke polisi?” jawab Hans dengan nada dingin. “Kalian punya dua pilihan: mengaku dan pergi dari kota ini, atau aku bawa kasus ini ke pengadilan dan semua orang tahu apa yang kalian lakukan.”
Rick mencoba memanipulasi. “Kita temen dari lama, Hans. Kamu tidak akan melakukan itu padaku kan?”
“Temen? Temen yang menyakitkan istri ku? Temen yang menodainya? Bukan, kalian bukan temenku lagi,” katanya tegas. “Pergi! Dan jangan pernah muncul lagi di depan mata kita!”
Rick dan Mulyadi tahu mereka kalah. Mereka pulang dengan kepala tercurah. Beberapa hari kemudian, kebenaran tentang kejahatan mereka menyebar di kota. Istri-istri mereka mengajukan cerai, teman-teman mereka meninggalkan mereka, dan mitra bisnis mereka membatalkan kontrak. Terpaksa, mereka menjual aset mereka dan melarikan diri dari kota secara diam-diam.
Dengan pengkhianat diusir, Hans dan Fia mulai membangun kembali hidup mereka. Fia perlahan memaafkan Hans, fokus pada proses penyembuhan. Mereka berbicara tentang segalanya—perselingkuhan, anak-anak haram, trauma malam itu. Hans mengakui bahwa dia tidak bisa menghilangkan masa lalu, tapi dia berjanji akan selalu ada untuk Fia, selalu melindunginya.
Sampai sekarang, mereka masih berjuang. Anak-anak haram Hans masih ada di dunia ini—kadang-kadang, Hans menerima pesan dari Mirna atau Tyas tentang keadaan anak-anak. Fia tahu itu, dan terkadang dia merasa cemburu atau sedih. Tapi dia juga tahu, penebusan bukanlah akhir yang sempurna. Ini adalah perjalanan yang berkelanjutan, di mana mereka harus saling memahami dan mendukung satu sama lain.
Di malam hari, ketika mereka duduk berdampingan di teras rumah, Hans memegang tangan Fia. “Kamu masih sayang aku kan, Fi?”
Fia menatapnya dengan mata yang penuh cinta. “Ya, Hans. Aku masih sayang mu. Walau semua yang terjadi, aku masih sayang mu.”
Hans tersenyum, merasakan lega. Dia tahu, dia sudah mendapatkan yang paling berharga di hidupnya: cinta dan martabat yang dia temukan kembali di tengah luka yang dalam.
Akhir Kata:
Saling melengkapi,saling menopang, saling menerima, saling memaafkan sarta saling mengampuni adalah nafas yang paling penting untuk bisa menutupi celah di dalam bahtera keluarga. Kiranya, kisah nyata ini bisa memberikan manfaat bagi semuanya.
Kisah ini untuk mengikuti event di GC Rumah Penulis.
Daftar dewan juri:
1. @𝐇⃟⃝ᵧꕥ📴𝓗𝓪𝔂𝓾𝓻𝓪𝓹𝓾𝓳𝓲 (Juri Umum)
2. @Senja (Juri Umum)
3. @☕︎⃝❥⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘƳ𝐀Ў𝔞 ℘ℯ𝓃𝓪 🩷 (Juri Alur)
4. @☕︎⃝❥Mengareᕦ( ⊡ 益 ⊡ ) (Juri EYD)
#HaikalMengare
#GC Rumah Penulis