Cerpen Action–Romance
Perutku keroncongan setelah berlari hampir sepuluh menit menembus keramaian kota. Begitu melihat sebuah resto kecil dengan aroma makanan yang menggoda, aku langsung masuk, duduk, dan melahap makananku tanpa peduli sekitar.
Setiap suapan terasa seperti oksigen. Baru setelah setengah piring habis, aku sadar ada seseorang yang berdiri di samping mejaku.
Seorang gadis.
Cantik, cerah, dan tersenyum malu-malu. “Kak… boleh minta nomor? Aku suka sama kakak dari tadi…”
Aku membeku. Sumpit hampir jatuh dari tanganku.
Hah? Dia suka sama siapa? Sama aku?
“E-eh?” Aku menunjuk diriku sendiri.
Dia mengangguk cepat. “Iya! Kakak itu… cool banget.”
Aku menelan ludah. Masalahnya hanya satu: aku perempuan.
Aku bisa saja jujur dan bilang aku bukan cowok. Tapi melihat wajahnya yang berbinar-binar membuatku tidak tega menghancurkan hatinya. Jadi aku hanya mengangguk kikuk dan menjawab dengan suara sedikit direndahkan.
“I-iya… terima kasih. Maaf ya, aku harus pergi sekarang.”
Aku bangkit dan bergegas menuju pintu keluar. Derap langkah gadis itu terdengar mengikuti. Panik, aku mempercepat langkah.
Dan di luar resto—
Tiga pria tampan berdiri menungguku.
Tatapan mereka rumit… tajam… penuh sesuatu yang sulit kujelaskan. Seperti sedang mencoba membaca kebohonganku.
Aku tersentak. Mereka lihat aku pura-pura jadi cowok di depan gadis tadi?
Ketiga pria itu saling menatap lalu menatapku, seolah berkata:
Jadi kamu menipu gadis baik-baik barusan?
“A-aku bisa jelaskan…” bisikku.
Tapi sebelum aku sempat bicara, salah satu dari mereka melangkah maju. Wajahnya dingin dan mengintimidasi.
“Kenapa kabur?”
“Sudah menipu orang, lalu lari?”
“Berani juga kamu.”
Kata-kata mereka membuatku pucat. Aku tidak tahu apa urusan mereka—tapi tatapan itu… benci, dendam, kecewa… membuatku otomatis berbalik dan lari.
“Aku tidak menipu! Aku cuma—”
Tidak ada waktu menjelaskan.
Keramaian malam menjadi tempat pelarianku. Aku berdesakan, menabrak banyak orang.
“Maaf! Maaf!”
“Astaga, lihat jalan dong!”
Tapi aku tidak berhenti.
Aku yakin mereka mengejarku—aku bisa mendengar langkah cepat dan suara orang yang protes setelah ditabrak oleh mereka.
Aku menyelinap masuk ke area food court sebuah mall, lalu merangkak ke bawah meja panjang, berusaha menahan napas dan gemetar.
Ayolah… semoga mereka kehilangan jejak.
Tapi harapanku dipatahkan oleh suara berat yang muncul tepat di atas kepalaku.
“Dia di sini.”
Aku membeku.
Seorang pria berjongkok, menyibak kain penutup meja, dan mata kami bertemu. Mata coklat gelap yang dalam dan terlalu tajam untuk dianggap aman.
Dialah yang menjadi pusat perhatian dari ketiga pria itu — jelas ketua mereka.
Kael.
Dia tidak bicara banyak. Hanya meraih tanganku dan menarikku keluar dari bawah meja seakan aku tidak punya pilihan.
“Lepas! Aku tidak salah apa-apa!” seruku.
Kael menatapku tanpa emosi. “Kamu membuat gadis itu sedih.”
“Aku hanya—”
“Kamu berpura-pura jadi lelaki. Itu kebohongan.”
Aku terdiam. Ya… itu memang benar. Tapi…
Kael mendekat, wajahnya hanya beberapa sentimeter dari wajahku.
“Sesuatu tentangmu… mengganggu,” bisiknya. “Aku tidak suka dipermainkan.”
“Aku tidak mem—”
“Mulai sekarang,” katanya pelan namun menekan, “kamu jadi pacarku.”
“A-APA?! SEKARANG KAMU GILA?!”
Dua pria di belakangnya hanya menghela napas panjang, seolah sudah terbiasa dengan sifat dominannya.
Kael mencengkeram pergelangan tanganku lebih erat, tapi tidak menyakitkan. Lebih seperti… mengklaim.
“Dengan begitu, aku bisa memastikan kamu tidak menipu siapa pun lagi.”
“Itu alasan yang paling absurd yang pernah aku dengar!”
Senyum miring muncul di wajahnya — senyum yang justru membuat jantungku berjalan tidak stabil.
“Dan ada alasan kedua.”
Dia mendekat lagi, hingga napasnya menyentuh pipiku.
“Kamu… menarik perhatianku.”
Aku terpaku.
“Jadi terima saja,” katanya tenang. “Aku tidak pernah mundur dari keputusan.”