Aku pernah percaya, luka itu seperti angin yang bisa kuhindari. Namun, ternyata luka bukan sekadar angin yang bisa kulalui dengan langkah pelan. Ia seperti bayangan yang selalu setia mengikuti, merayap di sudut-sudut jiwa tanpa pernah benar-benar pergi.
Setiap pagi aku bangun dengan harapan hari ini akan lain. Kutatap cermin, mencari wajah yang bebas dari bekas luka, tapi yang kulihat hanyalah mata lelah yang menyimpan cerita pilu. Aku mencoba berlari, meninggalkan kenangan dan derita, namun selalu saja luka itu yang merangkulku dalam pelukan dingin.
Kadang aku bertanya pada diri sendiri, apakah aku memang ditakdirkan untuk terus diselimuti oleh luka? Apakah benar suratan ini tak bisa diubah? Tapi di tengah gelap, ada suara kecil yang berbisik, “Luka bukan akhir dari perjalanan, tapi bagian dari manusia yang terus berjuang.”
Aku belajar bahwa melepaskan luka bukan berarti melupakan, tapi menerima bahwa luka itu adalah guru yang mengajarkan arti ketabahan dan harapan. Meski luka tetap memeluk, aku memilih untuk menari di bawah hujan kesakitan, berharap suatu saat pelukan itu berubah menjadi kehangatan yang membebaskan.
Di balik pintu kamar yang selalu ku kunci rapat, ada ruang sunyi yang menjadi pelabuhan terakhirku. Kamar itu bukan sekadar ruang kecil dengan dinding dan jendela, tapi tempat yang secara ajaib mendekapku dalam diamnya, menenangkan dadaku yang gemuruh oleh rasa takut, kehampaan, putus asa, dan sesak yang tak terucap.
Di dalam kamar itu, aku boleh menanggalkan topeng kesatria yang selama ini ku pakai di luar. Aku boleh lemah, menangis, atau hanya diam menatap langit-langit, berharap ada sesuatu yang mengerti suara hati yang tersiksa ini. Kamar sunyi itu seolah-olah memelukku dengan hangat, meski di dalamnya hanya ada bayang-bayang kesendirian yang setia menemani.
Namun, di luar sana dunia lain. Orang-orang, entah tanpa sadar atau sengaja, terus menghantamku dengan tombak-tombak luka,kata-kata pedih, pengabaian dingin, dan tatapan hampa yang menusuk. Luka-luka itu datang dari berbagai arah, tak berhenti menghajar jiwa yang sudah lelah bertahan.
Aku sering bertanya, mengapa dunia begitu kejam padaku? Mengapa aku harus melawan badai yang sepertinya tak akan pernah reda? Namun, dalam kamar yang sunyi ini, aku menemukan kekuatan kecil untuk bertahan, untuk berharap, dan untuk percaya bahwa luka ini mungkin memang suratan, tapi bukan akhir cerita
Meski luka terus merangkul dan dunia luar seolah tanpa ampun, di balik semua itu aku masih memimpikan kebahagiaan. Mimpi itu datang seperti angin lembut di tengah badai, membawa harapan yang rapuh tapi tetap kupelihara.
Aku tahu, mungkin kebahagiaan itu hanyalah sesuatu yang semu.Bayangan jauh yang sulit kucapai dengan tangan kosong ini. Namun, malam hari di kamar yang sunyi, aku membiarkan diriku bermimpi. Mimpi tentang tawa yang tulus, pelukan yang hangat, dan damai yang tak terjaga oleh rasa takut.
Meskipun semua itu terasa seperti fatamorgana di padang pasir luka, aku tak berani melepasnya. Karena dalam mimpi itulah aku menemukan alasan kecil untuk bertahan, alasan agar aku terus berjalan meski kaki ini lelah ditempa kepahitan.Luka mungkin selalu memelukku, tapi mimpi itu adalah bisikan lembut yang mengatakan bahwa di balik segala kesedihan, ada kemungkinan untuk bahagia, walau hanya sekali, walau hanya untuk sekejap.
Aku merasa terkurung dalam sangkar waktu yang tak terlihat, di mana setiap detik bergerak lambat membawa kembali kepingan-kepingan luka yang tak pernah pudar. Waktu, yang seharusnya menyembuhkan, bagiku malah menjadi penjara—tempat semua kenangan dan sakit terus berputar tanpa akhir.
Di dalam sangkar itu, aku terdiam, terjerat oleh bayang-bayang masa lalu yang tak kuasa kuputar kembali. Aku mencoba membuka pintu, tapi kunci seolah hilang entah ke mana, dan waktu terus mendesakku dengan suara denyut yang melelahkan.
Aku tahu, luka ini tak akan hilang begitu saja. Ia seperti bayangan yang tak pernah pupus, misterius dan tak terduga, menyelinap di antara detik-detik hidupku. Tapi aku juga tahu, aku tak harus terperangkap dalam gelap itu selamanya.
Di ujung lorong sunyi ini, aku merasakan sedikit cahaya—harapan yang perlahan terbuka seperti kelopak bunga yang malu-malu menampakkan warna. Aku tak tahu apa yang menantiku di luar sana, tapi untuk pertama kalinya aku siap membuka pintu itu, melangkah dengan getir sekalipun.
Mungkin luka akan selalu menjadi bagian dari ceritaku, tapi aku memilih untuk menulis bab berikutnya dengan tinta harapan. Luka itu misteri yang tak terpecahkan, tapi aku percaya, di balik misteri itulah hidup masih menyisakan keindahan yang perlu kujalani.
Aku berdiri di persimpangan antara rasa sakit dan asa, dan aku memilih berjalan ke arah yang memberi ruang untuk tersenyum lagi. Suratan untuk luka memang tertulis, tapi aku yang menentukan bagaimana kisah ini akan berakhir.
Suratan ini mungkin tak bisa kuhapus, tapi aku bisa memilih cara menuliskannya ulang—bukan sebagai penjara, tapi sebagai jalan menuju kebebasan.