Anindya Khansa Ramadhani. Wanita berusia 26 tahun yang sudah menikah dengan dosen muda di salah satu universitas swasta terbaik di kota M. Hujan deras turun sejak sore. Ia berusaha menghangatkan tubuhnya, namun usaha itu tidak berhasil karena perasaan nya belakangan ini sangat kacau. Ia sendiri pun tak memahami perasaan nya.
Kurang lebih lima tahun ia mengarungi bahtera rumah tangga dengan laki-laki bernama Maheswara Candra Sanjaya. Ia merasa rumah tangga yang selama ini ia jalani sangat sempurna. Maheswara tidak selingkuh, tidak kasar dan tidak pelit. Namun, akhir-akhir ini ia merasakan ada tembok yang berdiri kokoh diantara mereka. Namun, tembok itu seolah tersamarkan.
Akhir-akhir ini, Maheswara sibuk dengan rutinitas nya sebagai dosen di kota N. Ia lebih sering pulang malam karena ada kegiatan diklat, penelitian, dan membimbing mahasiswa akhir. Sedangkan Anin, ia bekerja sebagai seorang pustakawan di perpustakaan daerah. Pekerjaan keduanya seolah pekerjaan impian. Namun, sebenarnya kepala mereka sangat berisik dengan masalah-masalah yang sedang menimpa mereka.
Di meja makan sederhana di rumah mereka, hanya ada denting jam dinding yang menemani Anin. Saat itu, pekerjaan Anin sudah selesai. Jadinya tak perlu pulang larut.
"Mas, kenapa baru pulang? Di jalan macet ya?" Sapa nya pada suaminya sambil mencoba meraih punggung tangan Maheswara untuk dikecup sebentar.
Maheswara tersenyum simpul melihat kelakuan istrinya. "Iya, tadi macet dan hujan lebat tadi, Adek."
Mendengar respon suaminya, Anin hanya mengangguk. Kemudian ia memeluk erat tubuh suaminya. Banyak pertanyaan yang ingin ditanyakan pada suaminya. Namun, Anin berusaha senyap karena ia tidak mau mengganggu istirahat suaminya.
"Mas, makan dulu ya. Hari ini, adek masak sup daging kesukaan mas."
Ditunggu beberapa menit, tidak ada jawaban dari Maheswara. Anin penasaran ingin melihat apa yang dilakukan suaminya sampai-sampai ia mengabaikan nya.
"Mas, ayo makan. Adek udah laper tadi karena Adek nunggu mas pulang," rengeknya dengan suara sedikit manja dan memelas.
Mendengar suara manja disertai nada memelas dari istri kecilnya, Maheswara luluh. Ia berjalan ke dapur mendekati istrinya yang sedang menyiapkan makanan untuknya.
Keduanya pun makan dengan lahap. Sebenarnya, ada yang ingin Anin sampaikan pada suaminya. Akan tetapi, rasanya mulutnya seolah sedang dibungkam.
Menyadari perlakuan aneh istrinya, Maheswara dengan lembut bertanya, "Adek kenapa? Kenapa adek kelihatan pucet banget?"
Anin menggeleng, "Nggak kok mas. Adek cuma kecapean aja. Mas udah selesai makannya? Hehehe. Bisa bantuin adek cuci piring mas?"
Maheswara langsung beranjak dari tempat duduknya dan membantu Anin untuk membersihkan piring kotor bekas mereka makan.
"Adek, istirahat dulu ya. Mas mau ngerjain sedikit lagi."
"Boleh, tapi mas harus ditemenin sama adek. Mas ngerjainnya di kasur aja ya. Nanti adek temenin," entah kenapa hari itu Anin merasa ingin terus berada di dekat suaminya. Maheswara langsung luluh dan mengiyakan kemauan Anin. Anin pun bahagia ketika suaminya melakukan apa yang diharapkannya.
Dan malam itu, setelah Maheswara menyelesaikan pekerjaannya, ia langsung tidur menyusul istrinya yang sudah tidur sejak tadi.
*****
Akhir-akhir ini ada yang berbeda dengan Anin. Bukan soal kesepian lagi, melainkan ia sering mendengar langkah di malam hari. Padahal, suaminya disampingnya dan mereka hanya berdua saja di rumah itu, kadang juga ia mendengar orang memanggilnya padahal suaminya sedang tidak ada dirumah dan masih banyak lagi. Anin akhir akhir ini dihantui dengan perasaan was-was.
Awalnya, Anin berpikir bahwa itu hanya akumulasi stress saat ia bekerja. Ditambah lagi, suaminya sering pulang malam juga. Tapi, lama kelamaan rasa takut itu semakin menguasai dirinya sendiri.
Ingin sekali Anin menceritakan keluh kesahnya kepada suaminya, namun entah mengapa seolah ada lem di mulutnya ketika ia ingin menceritakan semuanya kepada suaminya. Ia bingung, bagaimana ia harus menjelaskan sesuatu yang bahkan ia sendiri pun tidak meyakini nya?
Pagi itu hari libur, tapi Maheswara ke kampus karena diminta mengisi seminar. Alhasil, Anin pun kembali sendirian. Karena bosan, ia memutuskan untuk membereskan rumah. Ketika sedang asik membereskan rumah, tiba-tiba telepon rumah berbunyi. Ia berpikir mungkin suaminya lupa membawa sesuatu jadinya ia menelepon ke rumah menggunakan telepon rumah. Meskipun itu agak aneh. Maheswara tak pernah menghubungi Anin menggunakan nomor telepon rumah.
"Selamat pagi, Bu Anin?" Ternyata bukan suaminya yang menelepon, melainkan suara perempuan di ujung telepon.
"Iya ada apa ya?"
"Kami dari rumah sakit. Ingin mengingatkan jadwal kontrol ibu dengan dokter Raihan, spesialis Kejiwaan." Jawabnya sopan.
"Mungkin anda salah nomor mbak."
Anin langsung mematikan telepon tersebut setelah mendengar nama dokter nya. Tangannya kembali bergetar, hingga gelas kaca yang berada di samping telepon itu jatuh dan pecah.
Siapa yang mendaftarkan nya ke dokter spesialis Kejiwaan? Apa dia melupakan sesuatu?
*****
Malam itu, Anin tidak bisa tidur. Diluar hujan deras disertai dengan petir yang menyambar-nyambar. Anin hanya bolak-balik di ruang tamu sambil terus memandangi pintu kamar. Dan kembali lagi, Anin mendengar suara langkah kaki pelan dari lantai atas. Padahal rumah Anin itu hanya satu lantai, tidak bertingkat.
Anin berusaha menenangkan hatinya sendiri dengan menutup mata dan telinga nya.
"AKU MOHON BERHENTI," suara Anin berteriak kencang. Pada hari itu, Maheswara tidak bisa kembali ke rumah. Alhasil, Anin sendirian dirumah dengan segala ketakutannya.
Akhir pekan pun datang. Sudah menjadi rutinitas keluarga Maheswara untuk berkumpul bersama dan makan-makan bersama.
"Anin belum isi juga?" Salah satu Tante Maheswara membuka obrolan dengan menanyakan hal sensitif.
Anin menggeleng pelan, "Belum Tante. Doakan saja ya. Semoga segera isi," respon Anin pelan.
Ini sudah lima tahun. Memangnya kamu nggak mau gendong anakmu sendiri?" Timpal kakak ipar Anin, yaitu Rani yang sedang menyuapi anaknya.
"Belum diamanahi Tante, kakak," Maheswara menggenggam erat jemari istrinya seolah-olah sedang menguatkan istrinya.
"Mungkin Anin mandul. Sudah pernah periksa ke dokter kandungan, Nin?."
"Sudah Tante. Dan rahim Anin baik-baik saja."
Anin terpaksa tersenyum meskipun hatinya sakit.
Sepulang dari rumah orangtua Maheswara, Anin hanya terdiam.
"Adek marah?"
"Enggak. Adek biasa aja mas. Mas nggak perlu khawatir," Anin memperlihatkan senyuman manisnya di depan Maheswara supaya suaminya tidak khawatir.
"Maaf, mas hanya bisa membela kamu sebatas itu dek."
"Santai mas. Mas nggak perlu selalu membela adek. Adek kan udah biasa dikatain mandul, Mas.
"Mulai sekarang, kita kurangi aja jadwal setiap weekend ke rumah mama ya."
"Nggak perlu mas. Memangnya kenapa?"
"Mas mau Adek sehat, Adek bahagia, dan adek tenang. Mas cuma mau Adek disisi mas. Adek ngerti kan maksudnya mas?"
Maheswara menangkup kedua pipi Anin. Seketika, mata Anin mulai memerah dan akhirnya pecahlah tangis Anin di mobil itu. Dipelukan suaminya, ia merasa aman untuk menumpahkan keluh kesahnya tanpa harus memakai topengnya.
*****
Beberapa hari setelah Anin meraung di pelukan Maheswara, suara-suara itu semakin mengusik ketenangan hidupnya. Saat sedang masak di dapur pun, Anin mendengar seperti ada langkah seseorang menggunakan sepatu hak tinggi mendekat ke arahnya. Waktu Anin lihat, tidak ada siapa-siapa.
Namun, saat akan mematikan kompor. Dari ujung matanya ia melihat seolah ada bayangan seseorang melesat cepat. Seketika itu, pisau yang dipegang Anin pun jatuh mengenai sendal crock nya. Tubuhnya lemas dan akhirnya ia kembali meraung. Kali ini, tidak bersama suaminya. Melainkan ia sendirian.
Anin pun menceritakan semuanya kepada suaminya ketika ia sudah sampai dirumah. Maheswara pun khawatir dan memutuskan untuk mengambil cuti dari kampus untuk menemani istrinya.
Maheswara pun mengambil cuti dan akan mengantarkan Anin berobat.
"Adek, kita ke rumah sakit yuk," katanya sambil mengambil kunci mobil yang terletak di laci.
"Ada apa mas. Mas nggak enak badan?" tanya nya lugu.
"Bukan mas, tapi adek."
Anin terhenyak. Apa jangan-jangan dia akan dibawa suaminya ke dokter jiwa itu?
"Jadi, mas bersimpulan bahwa adek gila? Adek nggak gila mas," bentak Anin. Baru kali ini Anin membentak suaminya.
"Mas nggak bilang adek gila. Mas takut, adek tersiksa menghadapi semuanya sendirian ketika mas nggak ada dirumah."
Kalimat tersebut berhasil meluncurkan bulir bening hangat dari sudut mata Anin. Maheswara pun dengan sigap memeluk dan menenangkan istrinya.
*****
Sesampainya di rumah sakit. Anin menjalani serangkaian tes psikologi. Dan hasilnya memang benar. Anin mengalami depresi berat setelah keguguran.
Anin tidak menyadari hal itu. Namun, bagi Maheswara itu adalah pukulan berat dalam hidupnya. Ia memang tidak mengatakan hal sejujurnya pada Anin karena takut Anin akan lama sembuhnya dari trauma berat itu.
*****
"Adek. Mas boleh cerita?"
"Boleh dong mas. Mas mau cerita apa nih sama adek?" Anin masih dengan nada manja dan centilnya yang membuat Maheswara kembali tersenyum.
"Adek ingat, dulu diperut adek pernah ada baby," Maheswara memancing ingatan Anin tentang bagaimana serunya ia menjalani kehamilan nya dulu.
"Memangnya adek dulu pernah hamil? Kan selama ini adek belum pernah hamil mas," dengan nada polosnya Anin merespon pertanyaan Maheswara.
Seketika, Maheswara bingung harus menjelaskan darimana lagi. Istrinya ternyata memang belum pulih dari trauma memilukan itu.
Kembali, Maheswara menunjukkan foto-foto kehamilan Anin dulu yang dia abadikan di buku album berwarna coklat muda.
Anin sedikit terkejut melihat suaminya memegang buku itu. Dengan tangan bergetar, Anin kembali membuka buku itu dan tetes demi tetes air mata pun jatuh membasahi buku itu. Maheswara tidak tega, ia langsung merebut buku itu dan memeluk Anin kembali. Dan untuk kesekian kalinya, Anin kembali meraung mengingat calon buah hatinya yang tidak selamat karena kecerobohan nya sendiri.
*****
Beberapa bulan kemudian, Anin duduk-duduk di ayunan yang berada di kamarnya. Maheswara pun ikut bergabung dengannya di ayunan itu.
"Mas," bisik Anin. "Terima kasih sudah menemani adek ketika adek lagi di fase terendah di hidup adek."
Maheswara mendekatkan mukanya dengan muka Anin. Hingga menyebabkan tak ada jarak diantara keduanya.
"Mas juga terima kasih sama adek. Karena adek terus berjuang meskipun mas tau itu sangat amat berat. Mas malu jika mas menyerah. Karena melihat adek berjuang begitu besar. Masa mas harus ninggalin adek. Nggak boleh kek gitu. Namanya mas jahat sama adek, iya kan dek?" Goda Maheswara.
Sejak saat itu, suasana rumah menjadi lebih tenang. Rumah itu masih sama. Yang berbeda adalah Anin sekarang tidak perlu takut jika suara-suara itu memanggilnya bahkan mengganggu nya. Karena ia mempunyai pahlawan sangat hebat di hidupnya, yaitu Maheswara Candra Sanjaya.
Definisi rumah bukan hanya sebuah bangunan dan kekokohan. Melainkan, perjalanan menerima ruang kosong yang pernah ditinggalkan sesuatu yang sama berharga nya dengan hidup kita.
TAMAT
Cerpen ini aku dedikasikan untuk GC Rumah Menulis.
Semoga suka dan terima kasih🙏