Aku berdiri di bawah langit yang kelabu, gerimis tipis menyapa kulitku seperti bisikan rahasia dari alam. Suasana di sekeliling sunyi, hanya denting rintik hujan yang jatuh pelan dan aroma tanah basah yang harum memenuhi udara. Aku menunggu sosoknya, lelaki dengan kehadiran yang selama ini saja mengisi ruang kosong dalam pikiranku.
Di kejauhan, siluet hitam mulai tampak samar di balik kabut tebal yang mengambang rendah. Payung hitam itu bertaut rapi di tangannya, memotong kabut dengan bayangan yang dingin namun memikat. Dia melangkah mendekat dengan langkah stabil, matanya yang dalam menyimpan kisah yang tak terucap. “Ayo pergi,” suaranya lirih namun tegas memecah keheningan.
"Pergi kemana?" tanyaku, suara bergetar oleh perasaan yang sulit kubendung, antara takut dan rindu.Dia berhenti, lalu menatapku dengan tatapan yang seolah menembus jiwaku. "Ke suatu tempat di mana semua dimulai... dan berakhir," katanya penuh makna.
Kami berjalan melewati jalan setapak yang hanya diterangi redup kilatan petir di langit, perasaan asing menyelimuti setiap langkahku. Angin dingin membawa bisikan-bisikan halus dari masa lalu. Aku merasa seperti menyusuri waktu dan ruang yang tak nyata, terikat pada sesuatu yang jauh lebih besar dari kami berdua.
Akhirnya, kami tiba di sebuah makam tua yang terbenam oleh rerumputan liar dan bunga hitam legam yang bergoyang pelan ditiup angin. Sebuah prasasti batu yang hampir pudar berdiri tegak—nama lelaki itu terpahat dengan huruf-huruf yang kini terasa sangat berat dalam hati.Dia memandang makam itu, kemudian menunduk dengan senyuman suram yang menyayat hati. "Ini tempat aku beristirahat... dan di sini cerita kita dulu dimulai," ucapnya lirih, seolah mengucapkan sebuah perpisahan yang abadi.
Aku menyadari, di balik payung hitam itu bukan hanya sosok lelaki yang kukenal, tapi bayangan masa lalu yang tersimpan dalam dunia penuh misteri dan cinta yang tak dapat disentuh. Rintik hujan yang terus turun seakan menjadi irama dari kisah yang belum selesai.
Dalam keheningan itu, aku merasakan kehadiran sesuatu yang lebih dari sekadar kenangan , sebuah janji yang tak lepas meskipun waktu memisahkan.
Aku berdiri membelakangi gerimis yang semakin deras, menatap nisan itu dengan pandangan kosong. Hening menyelimuti, hanya suara hujan yang menggema pelan di antara pepohonan tua. Di sana, di balik batu nisan dingin itu, tertulis namanya—namanya yang selama ini memenuhi nafasku, meski ia sudah tiada.
Dengan suara bergetar, aku mulai bercerita, seperti melantunkan doa yang tak pernah selesai.“Kau ingat bagaimana kita berjanji tak akan pernah berpisah?” Suaraku nyaris tak terdengar, tersapu oleh angin dingin. “Tapi, semua ini... belum selesai. Ada begitu banyak yang belum kita ucapkan, belum kita pahami.”
Bayangan saat itu terulang di kepalaku—tawa, bisikan cinta, dan janji-janji yang pernah terlafalkan di bawah langit yang sama, yang kini hanya menjadi saksi bisu di antara tetesan hujan ini.
“Kenapa kau pergi begitu saja, meninggalkan aku dalam setengah kisah yang menggantung?” tanyaku lalu, walau hanya nisan itu yang membalas dengan keheningan.
Dia muncul di sampingku, seperti bayangan yang menyatu dengan kabut dan hujan, payung hitam masih melindungi dirinya dari rintik gerimis. Dia mengangguk, mata yang dulu penuh hangat kini membawa kesedihan yang sama dalam diam.“Janji itu,” suaranya lirih, “mungkin bukan hanya untuk kita, tapi untuk sebuah waktu yang belum tiba. Suatu saat nanti, aku akan kembali, dan kita akan mengerti semuanya.”
Aku menunduk, merasakan dingin yang lebih dalam daripada hujan yang membasahi tubuh. Namun dalam kesunyian itu juga ada kehangatan tak terucapkan, janji yang tetap hidup di antara luka dan misteri.
Di tengah keheningan itu,Dia menunduk perlahan dan mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya. Sebuah semanggi hitam, dengan daun-daun gelap berkilau basah oleh gerimis, terselip di antara jemarinya yang dingin.Dia mengulurkannya padaku, matanya menatap dalam penuh makna.
"Ini," katanya pelan, "Semanggi hitam — simbol dari kisah kita yang tak pernah selesai. Harapan di tengah bayangan, janji yang belum terhapus waktu."
Aku menerima semanggi itu dengan tangan gemetar, merasakan dingin dan beratnya beban yang tersimpan di dalamnya. Seolah di balik setiap helai daun yang gelap itu, tersembunyi cinta, rindu, dan rahasia yang belum terungkap.
“Kita mungkin terpisah oleh dunia ini,” kata lelaki itu, “tapi semanggi ini akan selalu mengikat kita, selamanya.”
Hujan tetap turun pelan, membasahi semanggi hitam di tanganku sekaligus menghidupkan lagi kenangan yang tak pernah pudar, sebuah cerita cinta yang terus berlanjut dalam keheningan dan misteri. Malam itu, di bawah payung hitam yang meneduhkan, cinta dan duka bersatu menjadi satu cerita yang tak lekang oleh hujan dan waktu.
Setelah dia menyerahkan semanggi hitam, ia membalik dan mulai melangkah pergi, payung hitamnya menutupi tubuhnya yang perlahan menghilang dalam kabut malam. Aku berdiri terpaku, melihat sosoknya mengecil dalam jarak, suara langkahnya terseret oleh gemuruh guntur yang bergema di langit.
Hujan gerimis semakin deras, membasahi wajah dan rambutku yang tak lagi bisa menahan tetes air mata yang jatuh tanpa sadar. Di dada ini, ada kosong yang menusuk, seperti semanggi hitam itu—indah tapi penuh luka yang belum sembuh.
Aku terdiam, tak mampu bergerak, hanya terpesona dalam diam dan sepi. Nisan di depanku seperti saksi bisu betapa hati ini terluka sekaligus berharap. Setiap dentuman guntur memecah hening, seakan mengusik keheningan dan membuka kembali luka lama yang belum terobati.
Saat langkahnya mulai menjauh,Ia berbalik dengan perlahan, menatap mataku penuh arti di bawah gerimis yang semakin deras. Di balik tatapan itu, tersungging senyum tipis—senyum yang menyimpan kehangatan sekaligus kesedihan yang dalam.Kemudian, sesuatu yang ajaib terjadi.
Tubuhnya mulai memudar, bukan lenyap dalam gelap, melainkan berubah menjadi untaian cahaya yang berkilauan seperti semanggi hitam yang ia berikan. Cahaya-cahaya kecil itu berputar perlahan, naik ke udara dan menyebar, menerangi malam yang kelam dengan kilau lembut yang penuh harapan.
Di tengah gemuruh guntur dan hujan yang semakin deras, cahaya semanggi itu menjadi penanda bahwa kisah kami belum benar-benar selesai—melainkan berubah bentuk, hidup dalam kilau misteri yang abadi.
Aku berdiri terpaku, menyaksikan kepergiannya yang bukan sebuah perpisahan, melainkan janji yang tersimpan dalam sinar semanggi hitam, menunggu waktu untuk sebuah akhir yang belum tiba.
~♥~ Black Clover ~♥~