Sore itu di Pantai Wanchai, matahari perlahan-lahan menyerahkan takhtanya kepada senja. Cahaya keemasan yang semula menyilaukan berubah menjadi jingga lembut, lalu memerah, seperti secangkir teh yang meninggalkan bekas warna pada cangkir langit.
Ombak berdebur dengan ritme lamban, seolah enggan mengganggu kesunyian yang mulai merayap. Bau asin bercampur aroma ikan bakar dari warung-warung pinggir pantai memenuhi udara.
Di tengah panorama itu, Clara berdiri dengan sandal jepitnya terbenam sebagian di pasir yang masih hangat, mencoba menangkap sisa-sisa cahaya untuk bidikan kamera terakhir.
" Guys, coba lihat! Bagus nggak?" seru Tere dengan suara riang, mengacungkan ponselnya ke arah Clara dan Michel. Pipinya kemerahan terkena sinar matahari, helaian rambutnya yang dikepang longgar diterpa angin sore.
" Cantik! Tapi coba angle-nya lebih ke kiri sedikit, biar siluetnya lebih jelas," balas Clara, matanya masih menyipit menatap layar ponselnya sendiri.
Di sampingnya, Michel sibuk mondar-mandir mencari spot, lensa kameranya mengarah ke berbagai sudut. " Diem ya, aku cari angle yang epic buat sunset-nya!" ujarnya.
Jarinya tanpa sengaja menekan tombol shutter berulang kali, menangkap serpihan momen, tawa Clara, loncatan Tere, deretan perahu nelayan, deburan ombak yang membentuk busa putih, hingga ke arah cafe terapung yang berpendar dengan lampu-lampu lampion.
Tanpa disengaja, lensanya bergeser, menangkap dua sosok samar di balkon cafe. Mereka berpelukan. Michel membeku, lalu dia membesarkan gambar itu, jantungnya berdebar tanpa alasan yang jelas.
Dua sosok itu berpelukan erat, saling memandang sebelum akhirnya bibir mereka bertemu dalam sebuah ciuman. Pria itu… ada sesuatu yang sangat familiar dari potongan jas coklatnya, dari cara dia merapikan rambutnya yang mulai memutih di pelipis.
"Cla," panggil Michel, suaranya tiba-tiba kecil, seperti tertahan di kerongkongannya.
"Coba… coba lihat ini." Dia menghampiri Clara dengan langkah ragu-ragu. Darahnya terasa dingin meski udara masih hangat. "Aku tak sengaja motret… ini… bukankah ini papamu?" tanyanya dengan hati-hati.
Clara memandang Michel, senyumnya yang tadi mengembang perlahan memudar. Dia menerima ponsel itu, ujung jarinya yang dingin menyentuh layar yang hangat.
Udara seolah tersedot dari paru-paru Clara. Pasir di bawah kakinya terasa bergerak, menghisapnya ke dalam. Dia tak bisa mengalihkan pandangannya dari gambar itu, seolah mengharapkan sosok-sosok itu tiba-tiba berubah menjadi orang asing.
"Ini di mana?" tanyanya, suaranya serak.
"Di cafe ‘The Sunset Terrace’," bisik Michel, matanya penuh keprihatinan. "Cla, mungkin… mungkin aku salah lihat. Atau mungkin cuma…"
Tapi Clara sudah tak mendengar. Matanya menyapu detail-detail lain, gelas wine yang hampir habis di meja, tas tangan merk terkenal di kursi kosong, dan jam tangan ayahnya yang khas. Tidak salah. Ini ayahnya.
Dunia di sekelilingnya—deburan ombak, tawa riang, percakapan pengunjung pantai lain, dan desiran angin—seketika kehilangan suara. Hanya ada detak jantungnya sendiri yang berdebar kencang terdengar di telinganya.
Di layar, dalam bidikan yang agak blur namun tak terbantahkan, terpampang jelas wajah ayahnya, Adrian Adhitama. Dia memeluk erat seorang wanita muda dengan gaun maxi berwarna terakota.
Wanita itu mendongak, memandang ayahnya dengan sorot mata berbinar yang hanya pantas untuk kekasih. Ayahnya, yang tiga hari lalu berpamitan akan pergi dinas ke luar kota, tersenyum lembut—senyuman yang sama yang biasa dia berikan pada mamanya di meja makan—sebelum menunduk dan mencium kening wanita itu.
Dan wanita itu, dengan kulit mulus dan potongan rambut trendi, usianya mungkin tak jauh darinya sendiri. Rasa mual mendadak menyerang, naik dari ulu hatinya, asam dan pahit.
"Tolong," ucap Clara akhirnya, memaksa kata-kata keluar dari bibirnya yang kering. " Kirimkan foto ini ke aku, Chel. Dan… tolong hapus dari ponselmu." Tatapannya kosong, menatap jauh ke arah laut di mana matahari hampir sepenuhnya tenggelam, meninggalkan langit berwarna ungu memudar.
" Cla, aku…" Michel ingin menghibur, tetapi kata-kata itu menguap.
Tere, yang menyadari ada sesuatu yang salah, segera mendekat dan merangkul pundak Clara. Pelukannya hangat dan erat, kontras dengan dingin yang merayap di sekujur tubuh Clara.
"Kamu yang sabar ya, Cla. Mungkin ada penjelasannya," bisik Tere, meski nada suaranya sendiri tak yakin.
Namun bagi Clara, tak ada lagi penjelasan yang diperlukan. Gambar itu berbicara lebih lantang dari seribu kata. Sisa liburan mereka berakhir dalam senyap yang canggung. Sesi foto seketika dihentikan.
Keesokan harinya, selama perjalanan pulang yang panjang, Clara hanya menatap keluar jendela. Pemandangan hijau pegunungan dan sawah terhampar seperti lukisan tanpa jiwa.
Dia menyandarkan kepala di kaca yang dingin, mencoba memahami bagaimana pria yang selalu mengajarkannya tentang kejujuran dan tanggung jawab ternyata bisa membangun istana kebohongan sedemikian rapuhnya.
Pintu rumah mereka terbuka, dan di baliknya, senyum hangat Sheila, mamanya, menyambut. Aroma kue kering dan furniture polish yang familiar menyergap hidung Clara.
" Mama," gumam Clara sebelum tubuhnya tergesa-gesa masuk ke dalam pelukan mamanya. Dia menghirup dalam-dalam wewangian lembut sang ibu—campuran vanilla dan sabun mandi—rasa aman yang selama ini dia percaya.
Air matanya tumpah tanpa bisa dibendung, membasahi bahu kain katun ibu. "Cla kangen banget sama mama."
"Astaga, cantiknya mama," Sheila membelai rambut putrinya, suaranya berisi keheranan dan kelembutan. " Pulang liburan malah menangis? Ada apa, sayang? Apa liburannya tidak menyenangkan?"
Getaran suara mamanya yang penuh perhatian menyayat hatinya lebih dalam. Clara menarik napas pendek-pendek. " Ma, aku… aku ada yang ingin aku bicarakan dengan mama." Tapi kata-kata itu membeku di lidahnya.
Bagaimana caranya meruntuhkan dunia yang dibangun mamanya selama tujuh belas tahun ini?
Melihat kegelisahan putrinya, Sheila hanya mengusap punggung Clara. " Kamu istirahat dulu gih. Mama mau buatkan kue kesukaan kamu, nanti kalau kamu bangun supaya sudah matang." Sentuhannya seperti mantra yang sementara meredam badai dalam diri Clara.
Di kamarnya yang penuh boneka dan kenangan masa kecil, Clara akhirnya terisak dan menangis pilu. Dia memeluk gulingnya, tubuhnya terguncang oleh derai air mata yang tak terbendung.
Pikirannya berputar-putar, Mama yang selalu menyiapkan sarapan sebelum Papanya berangkat, mama yang dengan sabar mendengarkan cerita papa sepulang kerja, mama yang dengan bangga menunjukkan foto keluarga di dompetnya. Apa kekurangan mama? Apakah kesetiaan dan kasih sayangnya selama ini tidak cukup?
Dia tertidur karena kelelahan, dan baru terbangun saat senja sekali lagi menyapa. Kepalanya berat, matanya bengkak.
" Sayang, ayo bangun. Hari sudah gelap. Kamu bahkan melewatkan makan siang," suara Sheila terdengar lembut di telinganya, diiringi sentuhan lembut di bahu. "Ayo bersih-bersih, lalu turun. Papa dan Nathan sudah menunggu."
Clara memaksakan diri turun. Ruang makan terang benderang. Di sana, Adrian, papanya, sudah duduk di kepala meja. Dia sedang membuka tabletnya, wajahnya tenang, tak berdosa. Nathan, adiknya, asyik dengan ponselnya. Pemandangan biasa yang tiba-tiba terasa sangat palsu.
Clara duduk tanpa sepatah kata. Dia menatap piring di depannya, menghindari pandangan ke arah ayahnya. Bau ayam goreng dan sayur capjay yang biasanya menggugah selera kini terasa menusuk.
Setelah selesai makan malam bersama mereka kemudian berkumpul di ruang keluarga, untuk mengobrol ringan.
"Clara, bagaimana nilai ujianmu?" tanya Adrian tanpa mengangkat pandang dari tabletnya, suaranya datar seperti menanyakan laporan cuaca.
"Bagus," jawab Clara singkat, suaranya datar.
Adrian akhirnya menatapnya. Alisnya berkerut. "Kamu tidak sopan sekali. Ditanya jawabnya kayak gitu, dan tidak menatap papa pula!"
Amarah yang sudah Clara pendam sejak di pantai mulai mendidih. Dia mengangkat wajahnya, tatapannya langsung bertemu dengan tatapan ayahnya untuk pertama kalinya malam itu.
Di mata itu, dia mencari rasa bersalah, penyesalan, atau apapun. Tapi yang dia temui hanya kemarahan karena dianggap tidak dihormati.
"Baiklah, Tuan Adrian," ucap Clara, dengan intonasi datar dan formal yang sengaja dibuat dingin. " Maafkan atas ketidaksopanan saya. Nilai ujian saya bagus, Anda tidak perlu khawatir. Jika tidak ada lagi yang ingin Anda bicarakan, saya undur diri. Banyak tugas sekolah yang belum selesai." Dia berdiri, kursinya berderit di lantai marmer.
" Berdiri di sana, Clara Adhitama!" teriak Adrian, suaranya menggelegar memecah keheningan, udara ruang keluarga serasa pengap.
Nathan yang melihat itu hanya bisa terpaku.
" Apa-apaan ucapanmu tadi? Apa kamu tidak pernah diajari sopan santun?" Adrian marah karena tidak di hargai.
"Pa, udah, pa," Sheila mencoba menengahi, tangannya di udara seperti hendak meredakan. "Biar mama nanti yang bicara dengan Clara."
" Lihatlah hasil didikanmu!" Adrian membalikkan kemarahannya pada Sheila. Wajahnya memerah. "Jika anak melakukan kesalahan selalu kamu bela! Dia menjadi seseorang yang pembangkang dan tidak tahu sopan santun!"
Melihat mamanya diserang, benteng terakhir dalam diri Clara runtuh. Dia berbalik, tubuhnya tegak. "Jangan salahkan mama atas sikapku!" suaranya lantang, menggema.
"Aku tidak menghormati Anda, karena menurutku Anda tidak layak untuk dihormati!"Kalimat itu melayang di udara, tajam dan mematikan.
Waktu seakan berhenti. Sheila membeku, tangannya menutup mulutnya. Nathan terduduk kaku. Wajah Adrian berubah dari marah menjadi merah padam, lalu putih pucat. Emosi buta menguasainya. Sebelum siapa pun bisa bergerak, tangannya yang besar sudah melayang.
Plaak!
Suara itu keras, kering, dan mengiris. Kepala Clara tersentak ke samping. Pipinya langsung terasa panas, dan perih. Matanya berkunang-kunang. Di telinganya yang berdenging, dia mendengar teriakan histeris ibunya.
Clara tidak menangis. Dia hanya memandang ayahnya dengan tatapan hampa, seolah melihat orang asing. Lalu, dia berbalik dan berlari. Langkah kakinya menaiki tangga terdengar seperti derapan jantung yang patah.
Sheila, dengan wajah basah oleh air mata, segera menyusul. Nathan masih duduk diam, tangannya bergetar memegang ponselnya. Tatapannya kosong, beralih dari ayahnya yang terengah-engah ke pintu ruang keluarga tempat kakak dan ibunya menghilang. Lalu, tanpa sepatah kata, dia juga berdiri dan pergi.
Di kamar Clara, air mata baru saja tumpah. Sheila memeluk putrinya yang gemetar. " Sayang, ada apa? Kenapa kamu bersikap seperti itu? Tolong, jangan buat mama khawatir."
Clara menarik diri dari pelukan, menatap ibu yang wajahnya penuh kesedihan dan ketidakmengertian. "Ma, apapun yang terjadi, aku akan selalu bela mama. Jadi mama tak perlu sedih."
"Iya, sayang. Tapi cerita sama mama, ada apa sebenarnya?" Sheila menatapnya, matanya menembus, memohon kejujuran dari putrinya.
Melihat hal itu, Clara dengan suara tersendat dan mata yang tak lepas dari mamanya, Clara menceritakan segalanya. Tentang pantai, tentang foto, tentang wanita muda bergaun terakota. Setiap kata seperti batu berat yang dia gulingkan dari dadanya.
Sheila mendengarkan. Awalnya, napasnya tertahan. Tangannya mengepal erat di pangkuannya. Namun, tidak ada teriakan, tidak ada kejutan yang meledak.
Hanya ada air mata yang diam-diam mengalir di pipinya yang mulai berkerut. Dan ketika Clara selesai, dengan pandangan marah dan penuh harap bahwa ibu akan marah, akan mengambil tindakan, Sheila justru mengeluarkan kalimat yang membuat Clara merasa dunianya terbalik seketika.
"Mama… sudah tahu, Clara." suaranya tenang namun ketenangan itu bagai batu di pinggir tebing yang jatuh ke dalam lautan.
Clara terpana, mulutnya sedikit terbuka,
" Mama...Sudah… tahu?"
Sheila mengangguk perlahan, seperti orang yang sangat lelah. "Hubungan mereka… sudah tujuh bulan."
"Tujuh bulan?!" Clara terisak, rasa sakitnya berlipat ganda.
Bukan hanya karena pengkhianatan papanya, tapi karena penderitaan diam-diam mamanya. "Kenapa? Kenapa mama diam saja? Kenapa mama tidak marah? Minta cerai saja dari dia, tinggalkan dia, Ma!"
"Mama bisa saja bercerai dari papa, sayang," bisik Sheila, suaranya lirih namun jernih. "Tapi mama tidak bisa meninggalkan kalian berdua."
"Kami akan ikut mama! Kemanapun mama pergi!" protes Clara, menggenggam tangan mamanya.
Sheila tersenyum getir, membelai rambut putrinya. "Lalu bagaimana sekolah kalian? Mama bisa mencari kerja, dan menjual semua perhiasan mana. Tapi itu hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Biaya sekolah kamu dan Nathan? Mama tidak mau mempertaruhkan masa depan kalian hanya karena ego dan harga diri mama."
"Tapi…" Clara hendak kembali protes namun Sheila sudah menghentikannya.
" Sudah, Clara. Asal bisa bersama kalian, mama sudah bahagia." Sheila menenangkan putrinya.
Perdebatan mereka terhenti oleh ketukan pintu yang panik dan keras. "Nyonya! Nyonya, tolong! Tolong lerai Tuan Muda!"teriak Bi Asih, pembantu mereka, dari balik pintu.
Sheila dan Clara bertukar pandang cemas. Mereka bergegas membuka pintu. Bi Asih, wajahnya pucat ketakutan, berkata dengan gemetar, "Tuan Nathan… dan Tuan Besar… di ruang keluarga… berkelahi hebat!"
Sheila berlari, jantungnya berdebar kencang di dada. Clara mengikutinya dari belakang. Suara benturan, teriakan, dan raungan amarah sudah terdengar dari jauh.
Pemandangan di ruang keluarga membuat mereka membeku. Nathan, anak laki-laki berusia lima belas tahun yang biasanya pendiam, kini seperti singa muda yang mengamuk.
Dia menduduki tubuh ayahnya yang sudah terjatuh di karpet. Tinjunya menghujam, berulang-ulang, tanpa henti. Adrian, yang tak lagi bisa melawan, hanya bisa menangkis dengan lemah. Wajahnya sudah babak belur, hidungnya berdarah, bibirnya pecah.
"Nathan! Stop! Berhenti, Nathan! Mama mohon!" jerit Sheila, tubuhnya lunglai di ambang pintu.
Clara berusaha menarik adiknya, tetapi Nathan terlalu kuat. Matanya merah, penuh dengan kebencian murni yang mengerikan.
"Biar kubunuh bajingan ini, Kak!" raung Nathan, suaranya serak. "Jangan halangi aku! Aku dengar! Aku dengar semua! Dia selingkuh! Dia menyakiti mama dan kakak!"
Akhirnya, dengan bantuan Clara dan Bi Asih, Sheila berhasil menarik Nathan. Nafas Nathan tersengal-sengal, tinjunya masih terkepal, darah—darah ayahnya sendiri—menodai buku-buku jarinya. Adrian terbaring mengerang, tubuhnya lemas di atas karpet.
Nathan memandang mamanya, matanya masih berapi-api namun sekarang bercampur air mata. "Kita pergi dari sini, Ma. Sekarang juga segera Berkemas."
Sheila goyah. "Nathan, kita tidak bisa…"
"Sekarang, Ma!" teriak Nathan, suaranya pecah. "Atau aku yang pergi sendiri dari rumah ini! dan jangan harap mama bisa bertemu aku kembali!"
Ancaman dari anak bungsunya, ditambah dengan pandangan suaminya yang tak berdaya dan putrinya yang menatapnya dengan harap, mematahkan semua keraguannya.
Sheila menatap sekeliling ruangan—foto keluarga di atas perapian, vas kristal Lalique pemberian Adrian, sofa tempat mereka biasa berkumpul. Semua kenangan indah itu tiba-tiba terasa seperti set film yang rapuh.
Dia menarik napas dalam-dalam, menguatkan diri. Matanya yang tadi penuh kesedihan, kini berisi tekad yang keras.
"Baik," ucapnya, suaranya tegas meski masih bergetar. "Kita pergi dari sini."
Malam itu, tiga sosok meninggalkan rumah megah itu dengan hanya membawa beberapa koper. Mereka melangkah pergi tanpa menoleh ke belakang, meninggalkan seorang pria terluka yang terbaring di atas karpet, tenggelam dalam rasa sakit dan konsekuensi dari pengkhianatannya sendiri.
Pintu depan tertutup dengan suara gedebuk, mengakhiri satu babak kehidupan mereka, dan tanpa mereka sadari, membuka babak baru yang penuh perjuangan, namun juga kebebasan dan cinta sejati di antara mereka bertiga.
Sepuluh tahun kemudian
Perubahan seperti aliran sungai yang tanpa henti mengikis tebing dan membentuk delta baru. Pada suatu sore yang kelabu, di mana aroma hujan yang menggantung di udara, Sheila dan Clara melangkah masuk ke lobi Yayasan Chungsam.
Tujuan mereka sederhana, menyerahkan sumbangan pakaian dan kebutuhan di sana. Suasana hening itu tiba-tiba pecah oleh sebuah keheningan yang lebih dalam, menyergap dari sudut ruangan.
Di sana, dari balik tumpukan kotak donasi, muncul sepasang mata yang membelalak, terpaku pada Sheila. Wajahnya menyiratkan sebuah keterkejutan yang pengenalan yang mengejutkan, sekaligus ketakutan yang mendalam.
Tubuhnya, yang dulu tegap, kini terlihat ringkih dan membungkuk. Pakaiannya sederhana namun bersih, jauh dari kesan sang bos congkak yang dulu mereka kenal. Itu adalah Adrian.
" Sheila…" suaranya parau, tercekat, seolah kata itu dicungkil dari dasar jiwa yang penuh duri. Tanpa pikir panjang, pria itu ambruk berlutut di lantai dingin, tangannya gemetar.
"Sheila, akhirnya… aku bisa bertemu denganmu. Aku minta maaf… sudah menyakitimu. Aku sangat, sangat menyesal." Tangisnya meletus, gugup dan tak terkendali, menggenangi udara antara mereka.
Sheila dan Clara bagai patung yang terpaku. Clara, kini seorang wanita muda dengan sorot mata tajam, melangkah sedikit maju, melindungi mamanya.
Sheila hanya bisa menatap. Napasnya tertahan. Dia melihat garis-garis pahit yang mengukir wajah Adrian, rambut yang telah memutih sebagian, dan kerutan di sudut matanya yang bicara tentang penderitaan yang tak mereka alami. Ini bukan lagi Adrian yang sombong, melainkan bayangan yang aus oleh waktu dan penyesalan.
Kepala yayasan, Ibu Riani, dengan suara lembut penuh empati, lalu menjelaskan perjalanan panjang Adrian, dia pernah menjalani hukuman enam setengah tahun penjara atas korupsi.
Saat keluar dia tak punya apapun dan siapapun, dia berjuang sebagai pemulung selama ini, dan hampir merenggut kesehatannya, hingga akhirnya ditemukan dan dirawat oleh yayasan. Setiap kata seperti tetesan air yang memantul di ruang hening, mengisi gambaran penderitaan yang selama ini hanya samar-samar mereka duga.
Hati Sheila, yang selama sepuluh tahun membangun benteng ketenangan, tergerus oleh rasa iba yang tulus. Dia melihat bukan lagi mantan suami yang keji, tetapi seorang manusia yang telah dihajar oleh hukum dan hidupnya sendiri. Dengan langkah perlahan, dia mendekati Adrian yang masih berlutut, setiap hentakan sepatu haknya terdengar jelas di keheningan itu.
"Baiklah, Adrian," suara Sheila keluar, jernih dan tenang, bagai embun di dedaunan. "Aku memaafkanmu. Sekarang, berdirilah."
"Ma!" Clara berseru lirih, tangannya meraih lengan ibunya. Namun, satu pandangan lembut dari Sheila membuatnya mengurungkan niatnya untuk melanjutkan protes, meski matanya masih menyala api kemarahan.
Adrian bangkit, tubuhnya limbung. Wajahnya basah oleh air mata, namun cahaya harapan yang sembrono tiba-tiba menyala di matanya. "Terima kasih, Sheila! Kau memang wanita terbaik yang pernah aku kenal. Kita… kita nanti akan tinggal di mana?" tanyanya, polos tanpa tedeng aling-aling, seolah sepuluh tahun itu bisa dihapus dengan satu kalimat maaf.
Pertanyaan itu bagai percikan api yang jatuh ke bubuk mesiu. Clara tak bisa lagi menahan diri.
"Enak sekali kau bertanya begitu! suaranya meledak, memenuhi ruangan.
" Pernahkah kau khawatir saat kami susah payah mencari atap untuk berteduh? Saat mama harus bangun jam dua pagi untuk bekerja? Dan sekarang, dengan mudahnya kau bertanya ‘tinggal di mana’? Kau pikir segampang itu?" Amarah Clara meluap, kata-kata pedas dan kasar terlontar, mencoba melukai pria yang dulu melukai mereka.
"Clara, stop!" Sheila memotong, suaranya tegas namun tak meninggi. " Biar Mama yang bicara."
Sheila menatap Adrian kembali. Iba di matanya tidak hilang, tetapi di baliknya ada keteguhan baja yang terbentuk dari penderitaan dan kebangkitan dirinya sendiri.
" Adrian, aku memang memaafkanmu," ucapnya, pelan namun berisi. "Aku memaafkanmu karena aku tak ingin sisa hidupku dipenuhi oleh racun dendam dan kebencian. Aku ingin bebas dan hidup damai. Namun, maaf bukanlah penghapus. Maaf bukan tiket untuk kembali."
Adrian terlihat bingung. "Tapi… kau sudah memaafkan. Aku janji akan berubah…"
Sheila menggeleng lembut. "Hubungan kita sudah berakhir sepuluh tahun yang lalu, Adrian. Sudah hancur dan terkubur. Aku sekarang sudah bahagia bersama anak-anakku, dengan hidup yang telah kami bangun dari nol. Aku tak akan pernah kembali ke dalam bayang-bayang luka itu."
Ucapannya tuntas. Penuh kepastian. Dia tidak lagi marah, hanya menyampaikan sebuah kebenaran yang final. Sheila kemudian memandang putrinya, memberikan isyarat halus. Dengan anggukan hormat kepada Ibu Riani, mereka berbalik dan berjalan meninggalkan lobi itu.
Adrian terdiam, terpaku di tempatnya. Harapan yang sempat mengembung di dadanya kini luruh seketika, digantikan oleh penerimaan pahit akan konsekuensi yang harus ia tanggung selamanya.
Di luar, gerimis sore mulai turun, membasahi jalanan. Sheila menarik napas dalam-dalam, mencium aroma bumi yang disiram hujan. Rasanya seperti sebuah beban yang sangat berat akhirnya berhasil diturunkan dari pundaknya setelah sekian lama.
Clara memegang tangan mamanya erat-erat, dan dalam genggaman itu, tanpa kata, mereka saling mengerti. Mereka berjalan perlahan, meninggalkan masa lalu yang telah dimaafkan, menuju rumah—tempat di mana kebahagiaan mereka yang sekarang, dan masa depan mereka yang tenang, benar-benar berada.
🦋~𝑻𝑯𝑬 𝑬𝑵𝑫~🦋
𝑻𝒆𝒓𝒊𝒎𝒂 𝒌𝒂𝒔𝒊𝒉 𝒃𝒂𝒏𝒚𝒂𝒌 𝒔𝒖𝒅𝒂𝒉 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒄𝒂 𝑪𝒆𝒓𝒑𝒆𝒏 𝒑𝒆𝒓𝒕𝒂𝒎𝒂𝒌𝒖,
𝑪𝒆𝒓𝒑𝒆𝒏 𝒊𝒏𝒊 𝒂𝒌𝒖 𝒅𝒆𝒅𝒊𝒌𝒂𝒔𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌
•☆*✦✵ ¦¦ 𝑮𝑪 𝑹𝑼𝑴𝑨𝑯 𝑴𝑬𝑵𝑼𝑳𝑰𝑺 ¦¦✵✦*☆•.
𝑺𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒉𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕 𝒅𝒂𝒓𝒊𝒌𝒖
𝑨𝒕𝒉𝒆𝒏𝒂 ✿⚈‿‿⚈✿