Itu sudah pukul 1 dini hari. Andri belum pulang karena harus lembur sebagai penyortir ikan di gudang pelabuhan. Tubuhnya letih dan matanya mulai berat, namun perutnya belum terisi sejak sore. Dalam perjalanan pulang yang sunyi, ia melihat sebuah restoran seafood di kejauhan—lampunya redup, tetapi papan namanya masih menyala samar. Tanpa pikir panjang, Andri melangkah masuk, berharap bisa makan cepat sebelum pulang.
Begitu pintu terbuka, aroma ikan dan seafood langsung menyeruak. Anehnya, meski sudah larut malam, restoran itu cukup ramai. Para pelanggan makan sambil tersenyum lebar—senyum yang terasa… terlalu lebar.
Andri mengabaikan rasa aneh di dadanya dan duduk di kursi terdekat.
"Satu porsi udang mentah. Dan ini… unagi panggang," katanya pada pelayan yang baru mendekat.
Pelayan itu tersenyum. Senyum aneh—lebar, kaku, dan kepalanya miring seolah lehernya lemas.
“Pilihan yang bagus… itu hidangan favorit kami. Harap tunggu sebentar, ya,” jawabnya tanpa mengubah ekspresi.
Andri mulai tidak nyaman. Lantai restoran dipenuhi bercak tinta hitam yang seperti menetes dari meja-meja tertentu. Namun setiap kali ia hendak memperhatikan lebih dekat, pelanggan di sekitar justru menatap balik, tersenyum seakan tahu ia sedang memperhatikan sesuatu yang tidak seharusnya dilihat.
Tiga puluh menit berlalu. Pesanannya tak kunjung tiba. Kesal, ia bangkit dan berjalan menuju kasir. Namun sebelum ia sempat berbicara—
Lampu mati.
Gelap total.
Ketika lampu kembali menyala redup beberapa detik kemudian, semua pelanggan sudah berdiri, menghadap ke arahnya. Senyum mereka lebih lebar dari sebelumnya, mata mereka membelalak seperti tak berkedip.
Andri mundur selangkah.
Jantungnya berdegup keras.
Ia berlari menuju pintu keluar—namun pintu itu terkunci, meski ia menggeretaknya sekuat tenaga. Dari belakang, langkah-langkah menyeret terdengar. Para pelanggan bergerak perlahan ke arahnya, masih dengan senyum tak wajar itu.
Tepat saat tangan mereka hampir menyentuhnya—
Andri terbangun.
Ia tersentak, terpaku di kursinya. Restoran itu tampak normal kembali. Tidak ada pelanggan berdiri, tidak ada tinta hitam, dan pelayan mendekat sambil membawa pesanannya.
“Udang mentah dan unagi panggang, pesanan Anda.”
Karena lapar dan mencoba menenangkan diri, Andri makan tanpa banyak berpikir. Rasa makanannya sangat kuat, hampir terlalu segar… seperti baru saja diambil dari laut dalam.
Setelah selesai makan, ia membayar di kasir dan bergegas keluar. Udara malam langsung menyambutnya. Namun saat ia melangkah keluar, ia melihat jejak-jejak kecil tinta hitam menetes dari ujung celananya—bekas sesuatu yang tidak ia ingat pernah disentuh.
Dan dari dalam restoran, terdengar suara pelayan itu berbisik, seolah tepat di belakang telinganya.
“Terima kasih sudah kembali.”
Di luar restoran, angin malam berhembus dingin. Andri memeluk tubuhnya, mencoba mengusir rasa tidak nyaman yang tiba-tiba merayap ke tengkuk. Ia menatap kembali ke gedung restoran. Lampunya tampak biasa saja… tapi jendela depannya terlalu gelap, seperti kedap cahaya, seolah ada sesuatu di dalam yang tidak ingin terlihat dari luar.
Andri menggeleng, mencoba menenangkan pikiran.
“Mungkin cuma mimpi buruk,” gumamnya sambil melangkah menjauh.
Namun setelah beberapa langkah, ia melihat sesuatu di jalanan. Jejak. Garis-garis basah berwarna hitam pekat, seperti tinta, membentuk pola memanjang… mengikuti arah langkahnya sendiri.
Ia berhenti. Meraba celananya. Benar—ujungnya masih basah oleh tinta hitam itu.
“Ini… dari mana?” bisiknya.
Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, ponselnya bergetar. Ada pesan baru yang masuk, dari nomor tak dikenal. Layar ponselnya menunjukkan satu kalimat:
“Rasanya enak, ya?”
Andri langsung menoleh ke sekeliling, namun jalanan kosong.
Ia menelan ludah dan buru-buru mempercepat langkah. Tapi semakin jauh ia berjalan, semakin jelas ia mendengar bunyi sesuatu… suara berdecit lembap. Seperti daging basah diseret di aspal.
Ckrrr… ckrrr…
Andri berhenti. Suaranya berhenti juga.
Ia berjalan lagi. Suaranya muncul lagi—lebih dekat.
Ckrrr… ckrrr…
Dengan perlahan, ia menoleh ke belakang.
Tidak ada siapa-siapa. Hanya jejak tinta hitam yang kini bukan hanya mengikuti… tapi bertambah panjang, seolah ada sesuatu yang merayap di belakangnya, tepat di luar jangkauan pandangan.
Andri mulai berlari.
Semakin cepat ia berlari, semakin cepat pula suara itu mengejarnya. Tinta hitam di belakangnya seperti memercik, membentuk pola aneh… hampir seperti gurita yang merangkak.
Andri semakin panik. Napasnya terengah-engah. Ketika ia hampir mencapai tikungan menuju rumahnya, ponselnya bergetar lagi.
Pesan kedua masuk.
“Kamu sudah makan kami.”
Tangannya gemetar saat membuka pesan itu.
Sebelum ia sempat bereaksi, sebuah tangan dingin dan berlendir menyentuh bahunya dari belakang.
Andri berputar dengan mata terbelalak—
Dan dunia sekitarnya berubah hitam.
Bau asin laut menyengat. Suara bisikan memenuhi telinganya, suara yang sama seperti pelayan restoran tadi.
“Tetaplah tersenyum walaupun sakit."