Pukul 21.47. Kamar Sintia.
Notifikasi WhatsApp dari grup kelas berbunyi. Sintia yang sedang tiduran sambil scroll media sosial langsung membuka pesannya dengan malas.
Rani: "Guys, kalian tau ga? Kevin besok terakhir di sekolah. Dia pindah ke Jakarta. Ortu nya pindah tugas :("
Jantung Sintia rasanya berhenti seketika.
Ia membaca ulang pesan itu. Satu kali. Dua kali. Tiga kali.
Kevin? Pindah? Besok?
Ponselnya hampir terjatuh dari tangan. Napasnya tercekat. Dunia seolah berhenti berputar, hanya menyisakan satu nama yang terus bergema di kepalanya.
Kevin.
Sahabatnya sejak kelas 8 SMP. Cowok cuek yang selalu duduk di sebelahnya saat pelajaran Matematika. Yang selalu membawakan coklat kalau Sintia sedang bad mood. Yang selalu jemput dia kalau hujan, padahal rumah mereka berlawanan arah.
Kevin yang selama ini ia sukai. Diam-diam. Penuh takut. Tanpa pernah berani mengatakannya.
Dan sekarang, ia hanya punya waktu kurang dari 24 jam.
"Gila... kenapa aku baru tau sekarang?" bisiknya pelan, mata mulai berkaca-kaca.
Sintia memeluk bantal erat-erat. Dadanya sesak. Ia tidak bisa tidur malam itu. Pikirannya terus berputar, menyusun keberanian yang selama ini ia pendam.
Besok. Aku harus bilang. Apapun yang terjadi.
Pukul 06.15. Gerbang Sekolah.
Sintia datang lebih pagi dari biasanya. Matanya sembab, wajahnya pucat. Ia berdiri di dekat tangga menuju kelas, menunggu sosok yang biasanya datang jam setengah tujuh.
Detik demi detik terasa lambat. Setiap kali ada yang lewat, ia menoleh—berharap itu Kevin.
Lalu ia melihatnya.
Kevin berjalan dengan tas ransel besar di punggung, wajahnya tenang seperti biasa. Rambut sedikit berantakan, seragam rapi. Senyumnya yang kecil itu muncul begitu melihat Sintia.
"Eh, lo udah dateng? Jarang banget," tegur Kevin sambil menghampiri. "Wajah lo pucat, Sin. Sakit?"
Sintia menggeleng cepat, berusaha tersenyum. "Nggak kok. Cuma... kurang tidur."
Kevin menatapnya sebentar, lalu mengeluarkan sebotol teh kotak dari tasnya. "Nih. Minum dulu."
Sintia menerima botol itu dengan tangan gemetar. Ia ingin mengatakan sesuatu. Tapi tenggorokannya tercekat.
"Makasih, Vin..."
Kevin tersenyum kecil, lalu menepuk pundaknya ringan. "Gue ke kelas dulu ya. Banyak yang harus gue rapiin."
Sintia hanya mengangguk. Melihat punggung Kevin yang menjauh, dadanya terasa sesak lagi.
Kenapa aku nggak bisa bilang sekarang?
Pukul 12.30. Kantin Sekolah.
Mereka makan siang bersama seperti biasa. Tapi kali ini, Sintia tidak bisa menikmati makanannya. Ia hanya menatap Kevin yang makan dengan santai sambil sesekali bergurau.
"Lo beneran nggak makan? Sayang tuh nasi gorengnya," kata Kevin.
"Gue... nggak laper."
Kevin mengernyit. "Emang kenapa sih dari tadi? Lo aneh banget hari ini."
Sintia menunduk. Tangannya meremas ujung seragamnya. Harus bilang sekarang, Sin. Ini kesempatan.
"Kevin, sebenernya—"
"Eh, Kevin! Ayo foto bareng dulu sebelum lo pergi!" seru salah satu teman sekelas mereka tiba-tiba datang.
Kevin tersenyum canggung, lalu bangkit. "Bentar ya, Sin."
Sintia hanya mengangguk lemah. Momen itu hilang lagi.
Rani yang duduk di seberangnya menatapnya prihatin. "Sin, lo harus bilang hari ini. Nanti nyesel."
"Aku tau..." bisik Sintia, suaranya bergetar. "Tapi... aku takut."
Pukul 15.45. Ruang Kelas.
Jam pelajaran sudah usai. Sebagian siswa sudah pulang. Sintia masih duduk di bangkunya, menatap bangku kosong di sebelahnya—bangku yang biasa diduduki Kevin.
Kevin sedang membereskan lokernya. Sesekali ia tersenyum kecil melihat foto-foto dan kenangan yang ia simpan di sana.
Sintia mengumpulkan keberanian. Ia berdiri, berjalan pelan mendekati Kevin.
"Vin..."
Kevin menoleh. "Iya?"
"Aku... aku mau ngomong sesuatu."
Kevin menutup lokernya, lalu menghadap Sintia sepenuhnya. "Apa?"
Kata-kata yang sudah Sintia susun sejak semalam tiba-tiba menguap. Matanya memanas. Tangannya mengepal.
"Aku... aku cuma mau bilang... semoga kamu sukses di Jakarta."
Kevin tersenyum lembut. "Makasih, Sin. Lo juga ya."
Bukan ini! Bukan yang ini yang mau aku bilang!
Kevin melirik jam tangannya. "Gue harus pulang sekarang. Ortu gue lagi packing barang."
"Oh... iya."
Kevin meraih tasnya, lalu berjalan menuju pintu. Sintia berdiri membeku di tempatnya. Setiap langkah Kevin terasa seperti menjauh selamanya.
Jangan diam, Sintia. Jangan biarkan dia pergi begitu saja.
Pukul 16.00. Halaman Sekolah.
Sintia berlari.
Sekuat tenaga. Melewati koridor, menuruni tangga, menuju gerbang sekolah.
"KEVIN!"
Kevin berhenti di tengah halaman. Ia menoleh, terkejut melihat Sintia berlari dengan napas terengah-engah.
"Sin? Kenapa—"
Sintia berhenti di depannya. Napasnya memburu. Matanya berkaca-kaca. Tangannya gemetar.
"Aku... aku harus bilang..."
Kevin menatapnya serius. "Bilang apa?"
Sintia menarik napas dalam. Air matanya mulai turun, tapi ia tidak peduli lagi.
"Aku suka sama kamu, Kevin."
Hening.
Angin sore berhembus pelan. Dunia seolah berhenti lagi—tapi kali ini bukan karena takut, melainkan karena lega.
"Aku suka sama kamu... dari dulu. Dari kita pertama kali ketemu di kelas 8. Aku nggak pernah berani bilang karena takut merusak persahabatan kita. Tapi... aku nggak mau nyesel. Aku nggak mau kamu pergi tanpa tau perasaan aku."
Kevin terdiam. Ekspresinya sulit dibaca. Lalu perlahan, senyum kecil muncul di wajahnya.
"Bodoh," gumamnya pelan.
Sintia mengerjap, bingung.
Kevin melangkah maju, lalu mengusap kepala Sintia dengan lembut. "Kenapa lo baru bilang sekarang?"
"Hah?"
"Gue juga suka sama lo, Sin. Dari dulu."
Kali ini, Sintia yang membeku.
"Tapi... kenapa kamu nggak pernah bilang?"
Kevin menghela napas. "Karena gue tau gue bakal pindah. Gue nggak mau bikin lo sedih. Gue pikir... lebih baik gue nahan perasaan gue, daripada lo ngerasain sakit pas gue pergi."
Air mata Sintia mengalir makin deras. Tapi kali ini, ia tersenyum.
Kevin meraih tangan Sintia dengan lembut. "Tapi gue salah. Harusnya gue bilang dari dulu. Harusnya kita sama-sama jujur."
Sintia tertawa kecil di tengah tangisnya. "Kita berdua bodoh ya..."
"Iya. Kita berdua bodoh."
Mereka terdiam sejenak, hanya menatap satu sama lain.
Lalu Kevin mengeluarkan sesuatu dari sakunya—sebuah gelang rajutan berwarna biru muda.
"Ini buat lo. Gue bikin sendiri. Tadinya gue mau kasih pas hari terakhir, tapi... yaudah sekarang aja deh."
Sintia menerima gelang itu dengan tangan bergetar. "Kevin..."
"Kita tetap berhubungan, ya. Jarak nggak akan ngubah apa-apa. Janji."
Sintia mengangguk kuat. "Janji."
Pukul 16.30. Depan Mobil Keluarga Kevin.
Sintia mengantar Kevin sampai ke mobil yang sudah menunggu. Orang tua Kevin tersenyum ramah melihat mereka.
Kevin memasukkan tasnya ke bagasi, lalu kembali menatap Sintia.
"Jaga diri baik-baik, ya."
"Kamu juga."
Kevin tersenyum—senyum yang hangat dan tulus. Lalu ia membuka pintu mobil dan masuk.
Sintia berdiri di sana, melambaikan tangan perlahan. Mobil mulai berjalan, perlahan menjauh.
Tapi Sintia tidak menangis lagi. Ia tersenyum.
Karena ia tahu, ia tidak menyesal. Ia sudah jujur pada hatinya sendiri.
Dan itu sudah cukup.
Sintia menatap gelang di pergelangan tangannya, lalu membisikkan kata-kata kecil pada angin sore:
"Sampai jumpa lagi, Kevin."