---
Angin pagi Aceh membawa aroma lembab tanah yang baru saja terguncang hebat. Di udara, tergantung rasa asing yang tidak bisa dijelaskan—campuran antara tanah yang terseret arus, kayu rapuh yang lembap, dan sesuatu yang lebih halus dari itu: kesedihan.
Kabut tipis menggulung di antara batang-batang pohon patah, seakan ikut berkabung. Di tengah bayangan kelabu itu, Adnan Hanan berdiri, diam, seolah tubuhnya tertancap pada tanah yang nyaris tak lagi dikenalnya. Jalan utama menuju kampungnya yang biasanya ramai—tempat anak-anak berlarian, ibu-ibu menjemur pakaian, dan suara azan menyapu setiap sore—kini tenggelam di bawah lumpur yang menghitam.
Sungai kecil yang dulu jernih telah menjelma menjadi makhluk buas. Warnanya cokelat pekat. Liukannya seperti ular yang marah dan tidak ingin melepaskan mangsanya.
Sudah satu minggu ia tidak mendengar kabar dari Jihan, istrinya.
Satu minggu menjalankan tugas di Sumbar sebagai anggota Basarnas, mengevakuasi korban satu per satu, mengangkat tubuh-tubuh dingin dari balik puing, menenangkan keluarga yang hancur, sementara jiwanya sendiri retak.
Di antara jeritan kehilangan para keluarga korban, ada jeritan lain yang ia telan sendirian—jeritan takut kehilangan seseorang di rumah.
Ketika kabar longsor dan banjir bandang di kampung halamannya sampai ke telinganya, jantung Adnan seperti dihantam palu godam. Perintah atasan memintanya tetap fokus di Sumbar sampai tim tambahan datang. Dan sebagai penyelamat, ia harus menundukkan hatinya dan menjalankan tugas.
Namun hari ini, ia akhirnya berdiri di kampungnya. Atau lebih tepatnya, di sisa-sisanya.
“Bang, lokasi pengungsian sudah dicek semua,” ujar rekannya pelan. “Istri abang… belum ada dalam daftar.”
Kata-kata itu adalah pisau yang tidak pernah berhenti menekan.
Adnan mengangguk, memaksa rahangnya tetap keras.
“Kita lanjut ke titik yang tertimbun. Saya ikut turun.”
“Bang… abang masih—”
“Tolong,” suara Adnan parau dan tegas sekaligus. “Jangan larang aku. Ini rumahku. Dan mereka keluargaku.”
Tak ada yang bisa membantah.
---
Rumah yang Hilang
Rumah-rumah warga telah rata. Tidak ada batasan mana halaman siapa, mana dapur siapa—semua telah menyatu dalam kubangan yang sama.
Bau lumpur bercampur solar dari mesin alat berat dan aroma besi basah yang patah.
Adnan menggali bekas rumahnya.
Genteng pecah berserakan. Kain gorden berpola sederhana tersangkut di batang pohon. Baju Jihan yang biasa digantung rapi basah, terperangkap lumpur.
Tangannya gemetar ketika ia mengangkat kayu kusen yang patah.
“Jihan…” panggilnya, nyaris tak terdengar.
Ia teringat suara lembut Jihan ketika memintanya makan sebelum berangkat tugas.
Cara gadis itu memeluknya dari belakang, menempelkan pipi di punggungnya sambil berbisik:
“Bang, hati-hati… pulang ya.”
Adnan menunduk, menutup mata, menahan gemuruh di dadanya.
Lalu sebuah suara lirih terdengar di belakangnya.
“Bang… Adnan…”
Ia menoleh.
Mak Bura datang tertatih, tubuh renta itu berbalut kain lusuh yang masih basah. Matanya sembap.
“Mak… Mak lihat Jihan?” suara Adnan pecah.
Wanita tua itu memegang tangan Adnan. “Nak… waktu banjir datang… Jihan bantu orang-orang. Banyak benar yang diselamatkannya. Dia tarik anak-anak, ibu-ibu… dia teriak suruh naik ke bukit…”
Adnan menelan napas.
Ia bisa membayangkan istrinya, dengan keberanian yang sering membuatnya bangga sekaligus khawatir.
“Tapi… arus… arus bawa dia, Nak.” Suara Mak Bura bergetar. “Mak lihat dia di dekat jembatan. Airnya ganas… Mak tak bisa tolong…”
Langit tiba-tiba seperti runtuh di atas kepala Adnan.
Dunia berhenti.
Tidak ada suara relawan. Tidak ada bising mesin ekskavator.
Hanya suara sungai yang menggulung lumpur—seperti tawa kejam yang mengabarkan kenyataan.
Adnan merunduk, menutup wajahnya. Tubuhnya goyah, namun ia tidak jatuh. Seorang penyelamat tidak boleh jatuh.
Setelah menarik satu napas panjang yang terdengar lebih seperti teriakan tertahan, Adnan berkata:
“Kalau begitu… bantu aku cari.”
Ia mengambil helm, memasang sarung tangan, dan berjalan menuju sungai.
Hari itu, ia menyisir setiap meter bantaran sungai.
Sampai malam.
Sampai tubuhnya menggigil.
Sampai suaranya habis.
Tapi ia tidak berhenti.
---
Tiga Hari Pencarian
Pagi ketiga, wajah Adnan pucat. Matanya cekung. Namun langkahnya tetap terarah menuju sungai.
“Sungai ini belum selesai bicara,” katanya pelan.
Rekan-rekannya mengawasi dalam diam—mereka tahu, yang berjalan di depannya bukan lagi hanya seorang penyelamat. Tapi seorang suami yang menolak menyerah pada kenyataan.
Lalu seorang anggota tim berlari.
“Bang! Ada korban perempuan ditemukan di semak dekat sungai!”
Detak jantung Adnan berhenti sekejap.
Tanpa menunggu penjelasan, ia berlari. Sepatu bootsnya menghantam lumpur, membuat cipratan cokelat naik setinggi betis.
Ketika ia tiba di lokasi… tubuhnya gemetar.
Seorang perempuan tergeletak di antara semak basah. Baju yang dikenalnya. Jilbab yang pernah ia belikan. Wajah pucat dengan luka di pelipis.
Jihan.
“Ji…” suara Adnan serak. Ia berlutut, menggenggam tangan istrinya yang dingin. “Jihan… sayang… bangun…”
Adnan menahan napas yang terpecah.
Air mata Adnan jatuh satu per satu.
Tubuh kecil tak bernyawa itu dalam pelukan suaminya.
Adnan menangis, dia kehilangan istrinya, Satu-satunya keluarga yang ia punya saat ini. Rumah baginya, dunianya, cintanya.
Hening panjang turun seperti hujan tak bersuara.
Lalu ia memeluk Jihan erat—erat sekali—seolah memaksa waktu kembali.
Namun waktu tetap berjalan. Jihannya, istrinya yang sangat ia cintai tiada.
Rekan-rekannya menunduk, menahan air mata. Tidak ada yang berani menyentuh pasangan itu. Tidak ada yang berani mengganggu Adnan yang sedang memeluk erat jenazah istrinya.
Mereka melihat Adnan yang hancur karena kehilangan dunianya.
---
Setelahnya
Jihan dimakamkan di tempat yang lebih tinggi, jauh dari jangkauan banjir.
Para warga hadir, banyak yang menangis. Banyak yang bercerita bagaimana Jihan menyelamatkan mereka di malam bencana—bagaimana ia menuntun anak-anak, memaksa ibu-ibu naik ke bukit, dan menolak diselamatkan duluan.
Adnan berdiri paling depan.
Wajahnya keras, namun air matanya tak berhenti.
Dari jauh, sungai terus menggeram, seolah masih mengingatkan bahwa tidak semua yang direnggutnya bisa kembali.
Setelah pemakaman, Adnan duduk sendirian di tepi lembah, menatap kampungnya yang hancur. Di genggamannya, ia memegang cincin pernikahan Jihan yang berhasil ditemukan di saku bajunya.
“Terima kasih, sayang…” bisiknya. “Kamu pergi sebagai penyelamat… lebih hebat dari siapa pun yang aku kenal.”
Angin sore menyapu wajahnya, lembut, seperti sentuhan Jihan sebelum tidur.
Adnan menghela napas panjang.
Ia mengangkat wajah, berdiri, dan menatap sisa kampungnya.
“Aku akan lanjut kerja, Ji,” katanya pelan. “Bantu orang-orang seperti kamu… demi kamu.”
Bencana telah merenggut banyak hal dari hidupnya.
Namun dalam puing-puing yang berserakan dan doa yang menggantung, ia menemukan satu hal yang tersisa:
Kekuatan yang diberikan cinta terakhir Jihan padanya.
Dan kekuatan itu akan selalu ia bawa, kemana pun tugas memanggil.
Mak burah mendekati Adnan sambil menangis, lalu mengusap punggung Adnan.
"Maaf nan mak gagal melindungi jihan padahal kau sidak menitipkan nya pas mak"
"Sebelum jihan terseret arus, dia titip pesan. Seandainya nak jihan gk selamat, jihan dan anakmu bangga karena kamu adalah penyelamat orang-orang. "
Nafas Adnan tercekat
"A.. Anak? "
"Jihan hamil, dia bilang mau kasih tau kamu saat kembali dari bertugas. Mak gk nyangka bakal berakhir gini"
Adnan menangis dalam diam dengan tatapan kosong. Padahal anak itu adalah yang dinanti ia dan jihan selama 5 tahun ini. Berjuang bersama dan berdoa dengan tulus meminta keajaiban kecil itu. Namun sekarang istri dan anaknya tiada dalam bencana itu.
---