Azhar Creative & Production—perusahaan besar yang selama dua tahun terakhir menjadi rumah kedua bagi Shereny Dasthara Zamora, sekaligus tempat ia belajar bahwa hidup tidak selalu ramah.
Tapi hari ini?
Hari ini hidup terasa kurang ajar.
“Mulai bulan depan, saya resmi pensiun,” ucap Danar Azhar, atasan Shereny, sambil tersenyum bangga. “Dan posisi saya akan digantikan oleh anak saya, Rey Malvin Azhar.”
Dunia seketika gelap.
Kuping Shereny berdenging.
Jantungnya melorot ke dengkul.
Anak Danar?
Malvin?
Mantan pacarnya waktu SMA.
Mantan yang pernah membuatnya bersumpah, “Kalau aku ketemu dia lagi, tolong ingatkan aku buat lari.”
Kini?
Lari pun percuma.
Kontrak kerjanya masih tiga tahun lagi.
Shereny ingin teriak. Ingin misuh. Ingin banting kursi. Tapi yang keluar hanya senyum palsu—senyum pegawai teladan yang sudah hancur di dalam.
---
Hari pertama Malvin resmi jadi bos, Shereny langsung disuguhi momen yang rasanya seperti disusun khusus oleh malaikat pencatat kesialan manusia.
Pintu lift terbuka.
Sosok pria tinggi dengan jas abu premium masuk.
Rambut makin rapi.
Rahang makin tegas.
Senyum… masih menyebalkan.
“Morning, Shereny,” sapanya.
Suaranya berubah—lebih dewasa, lebih berat… dan lebih bikin emosi.
Shereny refleks menunduk. “Selamat pagi, Pak.”
Malvin menaikkan alis. “Pak? Astaga, sejak kapan kamu formal sama aku?”
“Sejak kamu jadi bos, Pak Malvin.”
“Hmm.” Malvin memasukkan tangan ke saku. “Aku lebih suka kalau kamu manggil namaku tanpa ‘Pak’ sih. Dulu kan kamu paling sering manggil aku—”
“Nggak usah diingat, Pak!” Shereny hampir spontan menutup mulut Malvin. “Tolong jangan bahas masa lalu di kantor.”
Malvin terkekeh. “Baiklah. Tapi kamu tahu kan, slogan hidupku?”
Shereny meringis. “Aku nggak mau tahu.”
Malvin melangkah keluar lift dan menoleh sambil menyeringai seperti iblis bersetelan jas.
“Welcome, Shereny. Motto-ku: tiada hari tanpa menyiksamu.”
Shereny ingin sujud. Bukan sujud syukur—tapi sujud putus asa.
---
Sejak hari itu, hidup Shereny berubah menjadi reality show dengan genre komedi tragis.
1. Malvin selalu memanggilnya lewat interkom hanya untuk bertanya hal-hal tidak penting.
“Shereny, kopi favorit aku dulu apa?”
“Pak, ini bukan sesi nostalgia.”
2. Ia sering dipaksa ikut rapat yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaannya.
“Biar kamu dekat dengan bos barumu,” kata Malvin sambil mengedip.
3. Setiap Shereny lewat, Malvin pura-pura batuk sambil bilang, “Jangan jatuh cinta lagi ya.”
4. Saat makan siang, Malvin suka duduk di meja yang sama.
Padahal perusahaan punya empat lantai kantin.
5. Malvin menolak sekretaris baru.
“Kamu sudah cukup,” katanya enteng.
Padahal kerjaan Shereny jadi dua kali lipat.
6. Saat rapat, dia bilang,
“Shereny itu dulu kalau marah pipinya merah. Sekarang sama aja sih.”
Semua orang menatap Shereny.
Shereny ingin pensiun dini.
7. Pernah suatu hari Shereny berdiri lama di luar ruangan, menimbang rencana kabur via jendela. Tapi jendelanya ditempa—nggak bisa dibuka.
Intinya: Hidup Shereny sial. Sial banget.
---
Suatu malam, kantor sudah sepi.
Shereny masih mengetik laporan. Matanya lelah, kepalanya berat.
Malvin datang membawa jaket. “Pulang yuk.”
“Tinggal bentar lagi,” jawab Shereny tanpa melihat.
“Sher.”
Shereny berhenti mengetik.
Ia lupa bagaimana rasanya dipanggil seperti itu—dengan suara yang dulu membuatnya nyaman.
“Apa?” tanyanya pelan.
“Kamu capek banget. Aku nggak mau kamu sakit.”
Kalimat itu merayap masuk ke tempat yang ia kira sudah mati dalam dirinya.
“Aku bos sekarang. Tanggung jawabku bukan cuma perusahaan.”
Malvin menatapnya lembut.
“Tapi kamu juga.”
Shereny tercekat.
“Jangan gitu… kita udah bukan siapa-siapa.”
Malvin mendekat satu langkah. “Itu kata kamu.”
“Malvin—”
“Aku nyesel waktu SMA.” Suaranya pelan, jujur, tanpa sarkasme. “Kita putus karena aku bodoh. Dan aku nggak mau ngulangin kebodohan itu.”
Shereny menelan ludah.
Jantungnya berdetak kacau.
“Sekarang aku cuma punya satu rencana,” lanjut Malvin.
“Bikin kamu jatuh cinta lagi.”
---
Besoknya, hidup Shereny makin rumit.
Malvin lebih perhatian.
Lebih lembut.
Dan menyebalkannya—lebih membuat hati Shereny tak tenang.
Setiap kali ia marah, Malvin cuma tersenyum.
Setiap ia jutek, Malvin balas dengan sabar.
Setiap ia pura-pura cuek, Malvin makin mendekat.
“Sher?”
“Hm?”
“Kamu udah mulai jatuh cinta lagi belum?”
“Belum.”
“Ya sudah… nanti juga iya.”
“Malvin!”
Malvin tertawa kecil. “Kamu lucu kalau marah.”
Shereny menutup wajahnya dengan map.
Dia benci ini.
Benci karena Malvin masih sama menyebalkan seperti dulu…
Dan sialnya, hatinya masih bereaksi sama seperti dulu.
---
Suatu malam, Shereny duduk di rooftop kantor.
Langit gelap, angin lembut.
Malvin muncul membawa dua gelas cokelat panas.
“Kamu masih marah sama aku?” tanyanya.
“Bukan marah…” Shereny menghela napas. “Aku cuma takut.”
“Takut apa?”
“Takut kita mengulang kesalahan yang sama. Takut kalau kita coba lagi… nanti kamu pergi lagi.”
Malvin menatapnya lama.
Lalu menaruh tangannya di atas tangan Shereny.
“Sher… kali ini aku nggak mau pergi. Dan aku nggak mau kamu pergi juga.”
Hening sejenak.
Lalu Malvin tersenyum kecil.
“Boleh nggak… aku nggak cuma jadi bosmu?”
Ia menunduk sedikit, suara lebih lembut.
“Boleh nggak… aku jadi seseorang yang kamu percaya lagi?”
Shereny menatapnya.
Hatinya masih takut.
Tapi juga rindu.
“Malvin,” bisiknya, “kita coba pelan-pelan.”
Malvin tersenyum lega. “Deal.”
“Dan jangan ganggu aku di kantor.”
“Oke, itu aku nggak janji.”
“Malvin!”
Tawa Malvin pecah.
Shereny ikut tersenyum—kali ini tanpa pura-pura.
Sial memang.
Tapi cinta yang dulu belum selesai… akhirnya mulai menemukan jalannya lagi.
---
Jika kamu mau, aku bisa buat lanjutan, versi lebih panjang, atau versi novel bab per bab!