Senja sore itu begitu memesona.
Langit berwarna jingga keemasan, seakan membisikkan kisah yang enggan dilupakan.
Orang-orang berlarian menuju gerbang sekolah, tapi Luna tetap melangkah pelan di trotoar, memeluk bukunya erat.
Ia lupa membawa payung, dan rasa lelah mulai menguasainya.
Saat ia hampir menyerah, sebuah motor berhenti di sampingnya.
Seorang pemuda dengan jaket hitam menoleh dan tersenyum pendek.
Bukan senyum lebar—tapi cukup untuk membuat waktu seakan berhenti sebentar.
“Kalau jalan, nanti capek. Bareng aku aja,” katanya lembut.
Tanpa banyak pikir, Luna naik. Motor itu melaju pelan, namun terasa cepat.
Luna tidak sempat bertanya siapa dia; ia terlalu sibuk menikmati pemandangan senja yang indah di sepanjang jalan.
“Hm… rumah kamu di mana?” tanya pemuda itu pelan, memecah lamunan.
“Di depan sana, belok kiri.”
“Di sini?”
“Iya… terima kasih sudah mau nganter,” ucap Luna.
Ia turun, dan pemuda itu mengangguk pelan sebelum kembali melaju, tanpa mengatakan sepatah kata lagi.
Luna menatap motor itu menjauh, diselimuti cahaya lampu jalan yang redup.
Hari mulai gelap, namun di dadanya senja masih tinggal.
---
Beberapa hari kemudian, hujan turun saat Luna berjalan pulang.
Ia mempercepat langkah, tapi tetesan semakin deras, membuatnya berhenti di bawah pohon besar di dekat taman.
Di sanalah ia kembali melihatnya.
Pemuda itu berdiri sambil membawa payung hitam.
Melihat Luna yang basah kuyup, ia tersenyum kecil dan mengulurkan payung itu.
“Pakai ini,” katanya.
“Kalau kamu?” tanya Luna.
“Gak apa-apa. Aku suka hujan.”
Dari cara ia menatap hujan, Luna tahu ia tidak berbohong.
Tatapannya tenang, tapi seakan menyimpan sesuatu yang berat, sesuatu yang tidak diucapkan.
“Nama kamu siapa?” tanya Luna.
“Ethan.”
“Luna.”
Ethan mengangguk pelan, seperti sedang menyimpan nama itu di tempat yang paling aman dalam hatinya.
---
Mereka mulai sering bertemu—kadang tak sengaja, kadang seperti sudah ditakdirkan.
Luna yang biasanya berjalan cepat mendadak suka melambat, berharap Ethan muncul dengan motor hitamnya.
Ethan yang jarang bicara tiba-tiba menjadi seseorang yang Luna tunggu setiap hari.
Namun Ethan selalu menjaga jarak.
Tidak terlalu dekat, tidak terlalu jauh.
Seolah ia tahu batas waktu mereka.
Hingga suatu sore, mereka pulang bersama lagi.
Ethan berhenti di depan rumah Luna, menatap senja yang mulai memudar.
“Terima kasih… sudah bikin hujan dan senja nggak lagi terasa sendirian,” ucapnya pelan.
Luna tersenyum kecil. “Kamu juga. Jangan capek menatap senja ya. Karena aku bakal selalu ada buat nemenin kamu.”
Senyum Ethan memudar perlahan.
Ia seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi memilih diam.
Dan malam itu, ia melangkah pergi di bawah hujan, punggungnya semakin jauh seperti senja yang perlahan ditelan malam.
Hari-hari berikutnya ia tidak muncul.
Luna menunggu.
Menunggu lagi.
Sampai menunggu menjadi hal yang menyakitkan.
---
Dua minggu kemudian, hujan turun deras.
Saat itu, sebuah pesan masuk ke ponsel Luna dari kepala lingkungan.
Ada kecelakaan.
Sebuah motor terbawa arus air di tikungan.
Pengendaranya… Ethan.
Luna membacanya berulang-ulang—tapi tubuhnya menolak percaya.
Napasnya tercekat, dadanya seperti diremas dari dalam.
Ethan tak kembali bukan karena lupa, atau menghindari.
Tapi karena takdir tidak memberinya kesempatan.
Esoknya, keluarga Ethan menghubungi Luna.
Mereka bilang Ethan menitipkan sepucuk surat “untuk gadis yang suka berjalan pelan di bawah senja.”
Surat itu diremas lembut oleh tangan Luna, seolah takut hurufnya akan patah.
Ia membukanya dengan gemetar.
---
✉️ Surat Terakhir Ethan
Hai Luna,
Hujan turun lagi saat senja menyala — aku ingat bagaimana kamu menggigit bibir saat tetesan itu turun, takut kehilangan lagi.
Maaf ya, aku tidak bisa menemani kamu lebih lama.
Tak bisa lagi bersamamu menunggu hujan berhenti atau menyaksikan matahari tenggelam.
Aku tahu ini akan membuatmu merasa sendirian lagi, dan itu membuat hatiku sakit.
Tapi ingat ya: setiap senja yang datang adalah janji bahwa esok akan ada,
dan setiap hujan yang turun adalah tanda bahwa bumi akan segar lagi.
Kamu kuat, Luna. Dan aku akan selalu mengingatmu di setiap salah satunya.
Maaf, dan terima kasih sudah ada.
Dengan cinta,
Ethan
---
Luna membaca surat itu sambil menahan napas.
Hujan mengguyur deras di luar, seperti ikut menangisi sesuatu yang tak bisa kembali.
Ia berdiri di tempat mereka biasa bertemu, memandangi jalan yang kini kosong.
Payung hitam Ethan sudah memudar warnanya, tapi kenangan tentangnya tetap tajam.
Hari memang semakin gelap,
tapi di hati Luna
senja dan hujan akan selalu tinggal
bersama seseorang yang tak lagi bisa ia sentuh: Ethan.