(Cerpen terkahir dari seri "Di Mana Kita Bermula? Bukan titik, Tapi Lingkaran.")
Langit senja menggantung rendah di atas Stasiun Tua yang sudah direvitalisasi, memantulkan warna tembaga pada rel-rel yang tak lagi mengantar kereta, namun kini membawa langkah-langkah para pengunjung menuju galeri seni dan kedai makanan.
Di dekat gerbang utara, seorang musisi jalanan—Ibra—menggesek gitarnya perlahan, membiarkan melodi lembutnya mengalir seperti cerita yang menolak padam.
Ia selalu berada di tempat yang sama.
Selalu pada jam yang hampir sama.
Seakan menunggu sesuatu yang hanya dia sendiri yang tahu.
Tapi sore itu berbeda.
Seseorang berdiri di pinggir kerumunan—seorang perempuan berbalut blazer krem dan rambut hitam bergelombang yang jatuh sebahu. Sorot matanya menyapu area itu, seperti seseorang yang mencari masa lalu yang ia tinggalkan begitu lama.
Marsha.
Ia kembali setelah bertahun-tahun meninggalkan kota kecil ini—kembali karena kabar kematian ibunya, kembali karena warisan rumah tua, kembali karena… ia tidak tahu.
Tetapi ketika melodi gitar itu sampai di telinganya, jantungnya mengerut.
Ia mengenali petikan itu.
Ia mengenali nada yang hanya dimainkan satu orang, dahulu… untuknya.
***
Ibra menghentikan petikannya ketika melihat seseorang yang tidak pernah ia harapkan untuk melihat lagi.
Atau mungkin ia selalu berharap—tapi berharap diam-diam adalah satu-satunya cara agar tidak hancur.
“Marsha?” suaranya parau, tercampur antara tak percaya dan lega.
Marsha tersenyum kecil, lebih banyak gugup daripada bahagia. “Sudah lama, Bra.”
Lima tahun.
Lima tahun sejak mereka masih dua bocah dewasa yang bermimpi kabur dari kota kecil.
“Lo kelihatan… beda,” ujar Ibra. “Lebih… kota besar.”
“Dan lo kelihatan masih sama,” balas Marsha. “Masih pakai gitar itu?”
Ibra menepuk gitar kusamnya.
Gitar dengan ukiran dua inisial kecil di belakangnya, ukiran yang mereka buat saat berusia tujuh belas tahun: I & M.
Ukiran yang seharusnya menjadi tanda awal petualangan bersama.
Petualangan yang tidak pernah terjadi.
Ibra tersenyum miris. “Gitar ini lebih setia daripada semua orang yang pernah gue coba percaya.”
Senyap menggantung. Namun senyap itu tidak menusuk—lebih seperti ruang yang menunggu untuk diisi.
***
Malamnya, Marsha kembali ke rumah peninggalan ibunya.
Rumah kayu itu berdebu, sunyi, dan menyimpan memori yang terlalu padat untuk disentuh.
Ia membuka laci meja di kamar ibunya.
Di sana ia menemukan tiket kereta lusuh yang pernah ia sembunyikan bertahun-tahun lalu.
Tiket keberangkatan ke luar kota. Satu arah.
Tanggal keberangkatan: hari ulang tahun mereka yang ke-17.—hari mereka berjanji kabur.
Ia memegang tiket itu seolah memegang sesuatu yang masih hangat.
Pada waktu itu, Marsha menunggu di peron.
Ibra tidak datang.
Ia menunggu satu jam. Dua jam.
Ia menunggu sampai pengumuman terakhir memanggil penumpang untuk masuk gerbong.
Lalu ia pulang dengan mata yang bengkak.
Dan keesokan harinya… ia memutuskan pergi sendirian—bukan dengan kereta, tapi dengan ambisi, kerja keras, dan kebanggaan yang harus ia bangun sendiri.
Sekarang, tiket itu terasa seperti lingkaran yang tak pernah ditutup.
Ia menarik napas panjang.
Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia bertanya:
“Kenapa dia gak datang?”
***
Keesokan harinya, Marsha kembali ke Art District.
Ia mendapati Ibra sedang mengatur amplifier kecilnya.
“Bisa ngomong?” tanya Marsha.
Ibra mengangguk. Mereka duduk di bangku besi dekat mural bertuliskan “Kota Ini Selalu Punya Ruang untuk Kembali.”
“Apa kabar setelah gue pergi?” tanya Marsha hati-hati.
Ibra tertawa pelan. “Lo pergi dengan tiket, gue pergi dengan patah hati. Kayaknya imbang.”
“Kenapa lo gak datang waktu itu, Bra?”
Pertanyaan yang selalu menunggu tempatnya.
Ibra menundukkan kepala.
Tangannya menekan-nekan senar gitar tanpa suara.
“Gue datang, Sha.”
Napasnya berat.
“Gue sudah di peron… Tapi gue ngeliat lo berdiri sama nyokap lo. Lo nangis. Gue kira lo mau batal.”
Marsha menegang. “Gue—nyokap gue tau rencana kita. Dia marah besar. Dia paksa gue pulang.”
Ibra mengangguk. “Gue pikir lo nyesel. Gue pikir gue yang maksa lo terlalu jauh.”
“Terus kenapa lo gak coba hubungin gue setelah itu?”
Ibra tersenyum getir. “Karena gue tahu lo bakal pergi juga suatu hari. Lo terlalu besar buat kota kecil kayak gini. Gue cuma… lingkaran pertama yang harus lo lewati sebelum menuju hidup yang lebih gede.”
Marsha terdiam.
Untuk pertama kalinya sejak pulang, hatinya terasa ditarik ke dua arah: masa lalu dan masa depan.
***
Malam itu, Ibra mengajak Marsha ke atas atap bangunan galeri—tempat yang dulu mereka jadikan markas kecil.
“Lo masih inget lagu yang pernah kita tulis di buku matematika lo?” tanya Ibra.
Marsha tertawa. “Itu lagu paling jelek yang pernah ada.”
“Makanya gue perbaikin.”
Ibra tersenyum.
“Gue nambahin bagian penutup.”
Ibra memainkan melodi sendu.
Lagu itu masih sama, tapi kini ada nuansa baru di akhir—seolah lagu itu telah menemukan penghentiannya.
Marsha menutup mata.
Ia tidak menangis—setidaknya tidak yang terlihat.
Tapi dadanya penuh dengan sesuatu yang lembut dan menyakitkan pada saat yang sama.
“Bagian akhir itu… buat kita?” ia berbisik.
Ibra menggeleng.
“Itu buat lo. Lo yang pergi, lo yang pulang. Gue cuma bagian kecil yang pernah lo singgahi. Tapi itu cukup buat gue.”
Untuk pertama kalinya seumur hidupnya, Marsha merasakan sesuatu yang jarang ia izinkan masuk:
keinginan untuk tidak menjadi kuat sepanjang waktu.
***
Hari terakhir sebelum kembali ke kota besar, Marsha berdiri di depan rumah ibunya.
Koper kecil sudah siap di sampingnya.
Ia menatap tiket yang dulu tidak ia pakai.
Tiket yang membuat hidupnya berubah arah.
Tiket yang membawa ia ke kesempatan-kesempatan besar.
Tiket yang sekaligus membuatnya selalu merasa ada lingkaran yang belum selesai.
Ia menatap teleponnya.
Ada satu pesan belum terkirim:
"Gue balik ke kota hari ini. Makasih buat semuanya, Bra."
Tapi jempolnya menggantung.
Ia tidak menekan “kirim”.
Sebaliknya, ia menutup koper, lalu mendorongnya kembali ke dalam rumah.
Tidak pergi hari ini.
Tidak pergi besok.
Tidak pergi sampai ia menyelesaikan apa yang dulu ia lari darinya.
***
Marsha kembali ke Art District.
Ibra sedang bermain lagu ceria kali ini, dikelilingi anak-anak kecil.
Ketika melihat Marsha datang tanpa koper, matanya membesar.
“Lo… gak pergi?”
Marsha menggeleng.
“Ada lingkaran yang belum gue selesain.”
Ibra tersenyum pelan.
Tidak bahagia berlebihan.
Tidak berharap terlalu besar.
Hanya tersenyum…
seperti seseorang yang akhirnya melihat sesuatu kembali ke tempatnya.
“Kalau begitu…” kata Ibra sambil menepuk kursi kosong di sebelahnya,
“duduk sebentar. Kita mulai dari mana kita terakhir berhenti.”
Marsha duduk.
Matahari mulai tenggelam.
Gitar mulai mengalun.
Dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Marsha tidak sedang berlari ke mana pun.
Ia sedang kembali.
Bukan titik…
Bukan garis lurus…
Tapi lingkaran yang akhirnya menemukan bentuknya.
—Tamat Seri “Di Mana Kita Bermula? Bukan Titik, Tapi Lingkaran.”